Abdullah bin Ubay: Tokoh di Balik Selimut Madinah

Cahaya dan Bayangan di Kota Nabi Ilustrasi simbolis kota Madinah yang diterangi cahaya, dengan bayangan gelap yang melambangkan kemunafikan tersembunyi yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay.
Dualisme di Madinah: antara keimanan yang tulus dan konspirasi yang tersembunyi.

Penguasa yang Nyaris Bertahta

Sebelum fajar Islam menyingsing di cakrawala kota yang kala itu bernama Yatsrib, seorang tokoh berdiri di puncak kekuasaan dan pengaruh. Namanya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia bukan sekadar orang kaya atau kepala suku biasa. Ia adalah pemimpin dari suku Khazraj, salah satu dari dua suku Arab terbesar di Yatsrib selain suku Aus. Selama bertahun-tahun, kedua suku ini terlibat dalam perang saudara yang melelahkan dan merusak, yang puncaknya adalah Perang Bu'ats. Perang tersebut memakan banyak korban dari kedua belah pihak, terutama dari kalangan pemimpin mereka.

Di tengah kekosongan kepemimpinan dan kelelahan akibat konflik, Abdullah bin Ubay muncul sebagai figur pemersatu. Ia adalah seorang orator ulung, politisi cerdas, dan memiliki wibawa yang dihormati. Ia tidak ikut serta secara penuh dalam Perang Bu'ats, yang memberinya posisi netral dan membuatnya diterima oleh faksi-faksi yang bertikai. Perlahan tapi pasti, masyarakat Yatsrib, baik dari suku Aus maupun Khazraj, mulai melihatnya sebagai satu-satunya harapan untuk perdamaian dan stabilitas. Rencana besar pun disusun. Sebuah mahkota bertahtakan permata sedang dibuat khusus untuknya. Hari penobatannya sebagai raja Yatsrib sudah di depan mata. Ia hanya tinggal selangkah lagi untuk menjadi penguasa absolut kota oasis itu.

Namun, takdir berkata lain. Tepat ketika mimpinya akan terwujud, datanglah sebuah perubahan besar dari Makkah. Dua belas orang perwakilan dari Yatsrib telah berbaiat kepada seorang Nabi di Aqabah. Gelombang keimanan baru ini mulai merambat pelan, lalu semakin deras, menyapu struktur sosial dan politik kota. Kedatangan Mus'ab bin Umair sebagai duta Islam pertama semakin mempercepat proses ini. Rumah demi rumah di Yatsrib mulai diterangi oleh cahaya tauhid. Para pemimpin suku Aus dan Khazraj, seperti Sa'ad bin Mu'adz dan Usaid bin Hudhair, memeluk agama baru ini dengan sepenuh hati. Kekuatan politik mulai bergeser. Fondasi kekuasaan Abdullah bin Ubay yang telah ia bangun dengan susah payah mulai retak. Mahkota yang hampir ia kenakan kini terasa semakin jauh dari jangkauan.

Hijrah dan Panggung Baru Kemunafikan

Puncak dari pergeseran kekuasaan ini terjadi dengan hijrahnya Rasulullah ﷺ beserta para sahabatnya dari Makkah ke Yatsrib, yang kemudian berganti nama menjadi Madinah al-Munawwarah, kota yang bercahaya. Kedatangan Nabi tidak hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai pemimpin politik dan kepala negara. Seluruh penduduk Madinah, dari kaum Anshar (penduduk asli Madinah yang memeluk Islam) hingga Muhajirin (pendatang dari Makkah), bersatu di bawah panji beliau. Otoritas tertinggi kini berada di tangan Rasulullah ﷺ.

Abdullah bin Ubay berada dalam posisi yang sangat sulit. Impiannya menjadi raja telah pupus selamanya. Ia melihat bagaimana para pengikutnya, bahkan orang-orang dari sukunya sendiri, kini mengalihkan kesetiaan mereka kepada Nabi pendatang dari Makkah itu. Kebencian dan iri hati mulai membara di dalam dadanya. Namun, ia adalah seorang politisi yang lihai. Ia sadar bahwa kekuatan Islam di Madinah sudah terlalu besar untuk dilawan secara terbuka. Menentang secara langsung hanya akan menghancurkan sisa-sisa pengaruhnya dan bahkan bisa mengancam nyawanya.

Maka, ia memilih jalan lain. Jalan yang lebih berbahaya dan licik. Bersama sekelompok orang yang memiliki perasaan serupa—mereka yang masuk Islam karena tekanan sosial atau untuk mengamankan posisi mereka—ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Di depan umum, mereka shalat bersama kaum muslimin, mendengarkan khutbah Nabi, dan ikut dalam kegiatan komunitas. Namun, di dalam hati mereka, tersimpan kekufuran, kedengkian, dan rencana jahat. Inilah kelahiran fenomena nifaq atau kemunafikan di Madinah. Abdullah bin Ubay, dengan status dan pengaruhnya, secara otomatis menjadi pemimpin atau "Ras al-Munafiqin" (Kepala Kaum Munafik). Mereka menjadi duri dalam daging, musuh dalam selimut yang jauh lebih berbahaya daripada musuh yang terang-terangan di luar kota.

Ujian Pertama: Pembelaan untuk Bani Qaynuqa

Setelah kemenangan gemilang kaum muslimin dalam Perang Badr, posisi Islam di Madinah menjadi semakin kokoh. Kemenangan ini membuat banyak pihak yang semula meremehkan kekuatan baru ini menjadi gentar. Termasuk di antaranya adalah suku-suku Yahudi Madinah dan kaum munafik pimpinan Abdullah bin Ubay. Bagi Abdullah bin Ubay, kemenangan Badr adalah tamparan keras. Itu membuktikan bahwa kekuatan yang dibawa oleh Nabi bukanlah kekuatan biasa. Kedengkiannya pun semakin menjadi-jadi.

Kesempatan untuk menunjukkan pengaruhnya dan menantang otoritas Nabi datang tidak lama kemudian. Salah satu suku Yahudi di Madinah, Bani Qaynuqa, yang dikenal sebagai pengrajin emas dan memiliki kekuatan militer, secara terbuka melanggar Piagam Madinah. Mereka mulai mengganggu dan melecehkan kaum muslimin. Puncaknya adalah ketika seorang wanita muslimah dilecehkan di pasar mereka. Insiden ini memicu perkelahian yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Menanggapi pengkhianatan dan pelanggaran perjanjian ini, Rasulullah ﷺ mengepung benteng Bani Qaynuqa.

Setelah dikepung selama beberapa hari, Bani Qaynuqa akhirnya menyerah tanpa syarat. Sesuai hukum perang saat itu, nasib mereka berada sepenuhnya di tangan Rasulullah ﷺ. Pada saat genting inilah Abdullah bin Ubay maju ke depan. Bani Qaynuqa adalah sekutu lama (hulafa') dari suku Khazraj. Ia merasa memiliki kewajiban untuk melindungi mereka, bukan karena kesetiaan, tetapi lebih untuk mempertahankan sisa-sisa jaring kekuasaannya. Ia mendatangi Rasulullah ﷺ dan memohon dengan sangat agar beliau memaafkan sekutunya.

Awalnya, Nabi berpaling darinya. Namun, Abdullah bin Ubay tidak menyerah. Ia dengan lancang memegang baju besi Rasulullah ﷺ dan terus memaksa. "Wahai Muhammad, perlakukanlah sekutuku dengan baik," katanya dengan nada menekan. Wajah Rasulullah ﷺ memerah karena marah melihat kelancangannya. Namun, Abdullah bin Ubay terus mendesak, "Aku tidak akan melepaskanmu sampai engkau memperlakukan sekutuku dengan baik. Empat ratus orang tanpa baju besi dan tiga ratus orang dengan baju besi, mereka telah melindungiku dalam setiap peperangan. Apakah engkau akan menghabisi mereka semua dalam satu pagi? Demi Tuhan, aku khawatir akan datang bencana."

Permohonan yang disertai ancaman terselubung ini menunjukkan betapa ia masih mencoba menggunakan pengaruh lamanya. Di hadapan desakan yang begitu kuat dan untuk menjaga stabilitas internal Madinah, Rasulullah ﷺ yang penuh hikmah akhirnya mengabulkan permintaannya. Beliau bersabda, "Biarkan mereka pergi, semoga Allah melaknat mereka dan dia yang bersama mereka." Bani Qaynuqa diusir dari Madinah, namun nyawa mereka terselamatkan berkat intervensi Abdullah bin Ubay. Meskipun berhasil kali ini, tindakannya semakin membuka tabir kemunafikannya di mata para sahabat yang tulus.

Pengkhianatan Besar di Uhud

Peristiwa yang paling telanjang memperlihatkan pengkhianatan Abdullah bin Ubay terjadi pada saat Perang Uhud. Kaum musyrikin Quraisy datang dari Makkah dengan kekuatan besar untuk membalas kekalahan mereka di Badr. Di Madinah, terjadi perdebatan mengenai strategi perang. Para sahabat senior, termasuk Rasulullah ﷺ sendiri, cenderung untuk bertahan di dalam kota Madinah, memanfaatkan benteng-benteng dan gang-gang sempit sebagai keuntungan.

Namun, para pemuda muslim yang tidak ikut serta dalam Perang Badr sangat bersemangat untuk menyambut musuh di luar kota. Mereka merasa malu jika hanya berdiam diri dan membiarkan musuh mengepung kota. Desakan dari para pemuda ini begitu kuat sehingga Rasulullah ﷺ akhirnya setuju untuk menghadapi musuh di luar, di kaki Gunung Uhud. Abdullah bin Ubay, yang sejak awal sependapat dengan ide bertahan di dalam kota, merasa pendapatnya diabaikan. Ini menjadi alasan baginya untuk melakukan tindakan yang akan tercatat selamanya dalam sejarah.

Ketika pasukan muslim yang berjumlah sekitar seribu orang bergerak menuju Uhud, di tengah perjalanan, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Abdullah bin Ubay tiba-tiba membelot. Ia beserta sekitar tiga ratus pengikutnya—sepertiga dari total kekuatan pasukan—memutuskan untuk kembali ke Madinah. Ketika seseorang mencoba mengingatkannya, "Mari kita berperang di jalan Allah," ia menjawab dengan sinis, "Jika kami tahu akan terjadi peperangan sungguhan, kami pasti akan mengikuti kalian."

Alasannya adalah dalih yang dibuat-buat. Ia berargumen bahwa pendapatnya untuk berperang di dalam kota tidak didengar. "Dia (Muhammad) menuruti anak-anak muda dan tidak menuruti pendapatku," keluhnya. Pengkhianatan ini merupakan pukulan telak bagi kaum muslimin. Di saat mereka paling membutuhkan persatuan untuk menghadapi musuh yang jumlahnya tiga kali lipat, mereka justru dikejutkan oleh pengkhianatan dari dalam. Moril pasukan sempat goyah, namun berkat keteguhan iman para sahabat sejati, mereka terus maju dengan sisa kekuatan yang ada. Pengkhianatan di Uhud adalah bukti nyata bahwa loyalitas Abdullah bin Ubay tidak pernah untuk Islam, melainkan hanya untuk kepentingan dan egonya sendiri.

Fitnah Keji Terhadap Ummul Mukminin Aisyah

Salah satu manuver paling kotor dan menyakitkan yang diorkestrasi oleh Abdullah bin Ubay adalah peristiwa yang dikenal sebagai *Haditsul Ifk* (Berita Bohong), yaitu fitnah keji yang ditujukan kepada istri tercinta Rasulullah ﷺ, Aisyah radhiyallahu 'anha. Peristiwa ini terjadi sekembalinya pasukan muslim dari ekspedisi melawan Bani Musthaliq.

Dalam perjalanan pulang, rombongan berhenti sejenak di suatu tempat. Aisyah keluar dari sekedup (tandu di atas unta) untuk suatu keperluan. Ketika kembali, ia menyadari kalungnya hilang dan ia pun pergi mencarinya. Sementara itu, rombongan pasukan mulai bergerak kembali. Para pengawal yang bertugas mengangkat sekedup Aisyah tidak menyadari bahwa Aisyah tidak ada di dalamnya karena postur tubuhnya yang ringan. Mereka mengangkat sekedup kosong itu ke atas unta dan melanjutkan perjalanan.

Ketika Aisyah kembali setelah menemukan kalungnya, ia mendapati rombongan telah meninggalkannya. Dengan tenang, ia memutuskan untuk tetap berada di tempatnya, berharap seseorang akan menyadari ketiadaannya dan kembali menjemput. Tak lama, ia pun tertidur. Seorang sahabat bernama Shafwan bin Mu'aththal, yang bertugas sebagai penyisir barisan belakang untuk memastikan tidak ada yang tertinggal, menemukan Aisyah. Ia terkejut dan mengucapkan kalimat istirja'. Tanpa banyak bicara, ia merendahkan untanya, mempersilakan Aisyah untuk naik, lalu menuntun unta tersebut untuk menyusul rombongan utama.

Pemandangan Aisyah yang datang di belakang rombongan dituntun oleh Shafwan menjadi amunisi bagi Abdullah bin Ubay. Ia melihat ini sebagai kesempatan emas untuk menghancurkan kehormatan rumah tangga Nabi, menciptakan perpecahan di kalangan kaum muslimin, dan merusak citra Rasulullah ﷺ. Ia segera menyebarkan desas-desus jahat. "Demi Tuhan, dia tidak selamat darinya dan laki-laki itu pun tidak selamat darinya," bisiknya kepada para pengikutnya.

Api fitnah ini menyebar dengan cepat di Madinah. Beberapa orang muslim yang kurang waspada, termasuk penyair Hassan bin Tsabit dan kerabat Abu Bakar, Misthah bin Utsatsah, ikut termakan isu dan menyebarkannya. Suasana Madinah menjadi keruh. Rasulullah ﷺ sangat terpukul dan bersedih. Aisyah jatuh sakit parah karena tekanan mental. Wahyu dari langit pun terhenti untuk sementara waktu, menambah berat ujian ini. Selama sebulan penuh, kota Madinah diliputi ketegangan dan kesedihan.

Akhirnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan wahyu, beberapa ayat dalam surat An-Nur, yang membersihkan nama Aisyah dari segala tuduhan keji tersebut dan mengancam dengan azab yang pedih bagi mereka yang memulai dan menyebarkan fitnah. Setelah kebenaran terungkap, mereka yang terbukti menyebarkan fitnah dihukum sesuai syariat. Namun, Abdullah bin Ubay, sebagai biang keladi utama, berhasil berkelit dan tidak mendapat hukuman fisik di dunia, karena ia selalu menyangkal keterlibatannya di depan umum. Meskipun demikian, peristiwa ini semakin mengukuhkan posisinya sebagai musuh Islam nomor satu dari kalangan internal.

Ucapan Penuh Kesombongan

Dalam ekspedisi melawan Bani Musthaliq yang sama, sebelum peristiwa fitnah terhadap Aisyah memuncak, terjadi sebuah insiden yang kembali menunjukkan isi hati Abdullah bin Ubay yang sebenarnya. Terjadi perselisihan antara seorang dari kaum Muhajirin dan seorang dari kaum Anshar di dekat sebuah sumur. Perkelahian kecil ini dengan cepat membesar menjadi sentimen kesukuan. Orang Muhajirin itu berteriak memanggil kaum Muhajirin, dan orang Anshar itu memanggil kaum Anshar.

Mendengar keributan ini, Abdullah bin Ubay melihatnya sebagai peluang untuk memecah belah persaudaraan yang telah dibangun oleh Rasulullah ﷺ. Dengan nada penuh amarah dan kebencian, ia berkata kepada kaum Anshar yang ada di sekelilingnya, "Apakah mereka (kaum Muhajirin) sudah berani berbuat demikian? Mereka menyaingi kita dan menjadi banyak di negeri kita. Demi Allah, perumpamaan kita dengan mereka adalah seperti kata pepatah: 'Gemukkan anjingmu, maka ia akan menerkammu'."

Ia tidak berhenti di situ. Dengan kesombongan yang meluap-luap, ia mengucapkan kalimat yang paling berbahaya, "Demi Allah, jika kita telah kembali ke Madinah, pastilah orang yang lebih mulia (maksudnya dirinya dan kaum Anshar) akan mengusir orang yang lebih hina (maksudnya Rasulullah ﷺ dan kaum Muhajirin)."

Ucapan ini didengar oleh seorang sahabat muda yang masih belia namun memiliki keimanan yang kokoh, Zaid bin Arqam. Zaid segera melaporkan perkataan berbahaya ini kepada Rasulullah ﷺ. Para sahabat yang mendengarnya menjadi sangat marah. Umar bin Khattab, dengan karakternya yang tegas, langsung meminta izin kepada Nabi untuk memenggal kepala gembong munafik itu.

Namun, Rasulullah ﷺ dengan kebijaksanaannya yang luar biasa menolak. Beliau bersabda, "Biarkan saja dia, Umar. Agar orang-orang tidak berkata bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri." Nabi tidak ingin citra Islam tercoreng dengan tuduhan bahwa beliau menyingkirkan orang-orang yang berada di lingkarannya. Ketika Abdullah bin Ubay dipanggil dan ditanyai, ia bersumpah dengan nama Allah bahwa ia tidak pernah mengatakan hal tersebut. Para pengikutnya pun membelanya, menuduh Zaid bin Arqam masih terlalu muda dan mungkin salah dengar.

Pelajaran dari Sang Putra

Kisah ini memiliki sebuah babak penutup yang luar biasa, yang menunjukkan kontras tajam antara kemunafikan sang ayah dan keimanan sang anak. Putra Abdullah bin Ubay, yang juga bernama Abdullah, adalah seorang muslim yang sangat saleh dan tulus cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika mendengar apa yang telah diucapkan oleh ayahnya, ia merasa sangat malu dan sedih. Ia segera mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata, "Wahai Rasulullah, telah sampai berita kepadaku bahwa engkau hendak membunuh ayahku karena perkataannya. Jika memang engkau akan melakukannya, maka perintahkanlah aku, aku yang akan membawa kepalanya kepadamu."

Abdullah, sang anak, khawatir jika orang lain yang membunuh ayahnya, ia sebagai anak akan menyimpan dendam dan akhirnya membunuh seorang mukmin karena membunuh seorang kafir, yang akan menyebabkannya masuk neraka. Permintaan yang luar biasa ini menunjukkan betapa dalam imannya dan betapa ia mendahulukan loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya di atas ikatan darah. Rasulullah ﷺ menenangkannya dan berkata, "Tidak, kita akan berlemah lembut kepadanya dan memperlakukannya dengan baik selama ia bersama kita."

Namun, Abdullah sang anak tidak puas hanya dengan itu. Ia ingin memberi pelajaran kepada ayahnya. Ketika rombongan pasukan tiba di gerbang Madinah, Abdullah berdiri di depan ayahnya, menghunus pedangnya, dan berkata, "Demi Allah, engkau tidak akan masuk ke Madinah sampai Rasulullah ﷺ mengizinkanmu, dan sampai engkau mengakui bahwa engkaulah yang hina dan Rasulullah ﷺ-lah yang mulia."

Abdullah bin Ubay terkejut dan marah melihat putranya sendiri menghalanginya. Ia mengadu kepada Rasulullah ﷺ. Ketika Nabi datang, Abdullah sang anak kembali menegaskan pendiriannya. Melihat keteguhan iman pemuda ini, Rasulullah ﷺ tersenyum dan bersabda kepada Abdullah sang anak, "Biarkan dia masuk." Akhirnya, sang ayah yang sombong itu terpaksa mengakui di hadapan anaknya sendiri siapa yang sebenarnya mulia dan siapa yang hina. Peristiwa ini menjadi tamparan keras bagi Abdullah bin Ubay, yang dihina bukan oleh musuhnya, melainkan oleh darah dagingnya sendiri.

Akhir Hayat Sang Pemimpin Munafik

Seiring berjalannya waktu, pengaruh Abdullah bin Ubay semakin memudar. Setiap kali ia mencoba berbicara di depan umum, terutama setelah shalat Jumat, kaum muslimin akan menarik bajunya dan menyuruhnya duduk, mengatakan bahwa ia tidak pantas berbicara setelah semua yang ia lakukan. Topengnya telah benar-benar terbuka. Meskipun demikian, Rasulullah ﷺ tetap memperlakukannya dengan sabar dan lemah lembut.

Ketika persiapan untuk Perang Tabuk, sebuah ekspedisi yang sangat berat karena jarak yang jauh dan musim yang panas, Abdullah bin Ubay kembali menunjukkan sifat aslinya. Ia tidak hanya menolak untuk ikut, tetapi juga menyebarkan keraguan dan berusaha melemahkan semangat kaum muslimin. "Janganlah kalian berangkat di musim panas ini," katanya. Ia dan para pengikutnya memilih untuk tinggal di Madinah.

Tidak lama setelah kembalinya pasukan muslim dari Tabuk, Abdullah bin Ubay jatuh sakit parah. Penyakitnya menggerogoti tubuhnya hingga ia mendekati ajal. Di saat-saat terakhirnya, sebuah drama terakhir pun terjadi. Putranya yang saleh, Abdullah, datang kepada Rasulullah ﷺ dengan sebuah permintaan. Ia meminta agar Rasulullah ﷺ memberikan gamis beliau untuk dijadikan kain kafan bagi ayahnya dan agar beliau bersedia menyalatkan jenazahnya.

Rasulullah ﷺ yang memiliki hati penuh kasih sayang, mengabulkan permintaan itu. Beliau memberikan gamisnya dan bersiap untuk menyalatkan jenazah Abdullah bin Ubay. Namun, saat beliau hendak memulai shalat, Umar bin Khattab maju dan memegang baju beliau. "Wahai Rasulullah," kata Umar, "Apakah engkau akan menyalatkan musuh Allah ini? Bukankah ia telah mengatakan ini dan itu pada hari ini dan itu?" Umar mengingatkan semua pengkhianatan dan kejahatan yang telah dilakukan oleh Abdullah bin Ubay.

Rasulullah ﷺ tersenyum dan berkata, "Mundurlah dariku, wahai Umar. Sesungguhnya aku diberi pilihan. Allah berfirman (yang maknanya): 'Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka.' Jika aku tahu dengan memohonkan ampun lebih dari tujuh puluh kali ia akan diampuni, niscaya akan aku lakukan."

Maka, Rasulullah ﷺ pun tetap menyalatkan jenazahnya. Namun, tak lama setelah itu, turunlah wahyu yang menjadi penegas dan pelajaran abadi bagi seluruh umat Islam. Allah berfirman (yang maknanya): "Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik." Sejak saat itu, Rasulullah ﷺ tidak pernah lagi menyalatkan jenazah seorang munafik yang telah diketahui kemunafikannya. Kematian Abdullah bin Ubay menjadi penutup dari sebuah babak kelam tentang pengkhianatan internal dalam sejarah awal Islam, sekaligus menjadi sumber pelajaran yang tak ternilai harganya.

🏠 Homepage