Dalam diskursus keagamaan dan filosofis, seringkali muncul pembedaan antara konsep yang berasal dari "atas" atau "langit" dan konsep yang berakar pada "bumi" atau "duniawi". Pembedaan ini melahirkan terminologi Agama Samawi dan Agama Ardhi. Meskipun tidak selalu baku dalam setiap tradisi, pemahaman terhadap kedua kategori ini membantu kita mengklasifikasikan sumber otoritas dan fokus utama dari ajaran-ajaran tersebut.
Agama Samawi (berasal dari kata Arab Sama' yang berarti langit) umumnya merujuk pada agama-agama yang diyakini turun langsung dari wahyu ilahi, disampaikan melalui perantara (nabi atau rasul) yang ditunjuk Tuhan yang Maha Esa. Otoritas utama ajaran ini adalah teks-teks suci yang dianggap sebagai firman langsung dari Sang Pencipta.
Sebaliknya, Agama Ardhi (berasal dari kata Arab Ard yang berarti bumi) sering digunakan untuk mengelompokkan sistem kepercayaan yang tumbuh dan berkembang secara organik dari interaksi manusia dengan alam, tradisi lokal, atau interpretasi filosofis mendalam yang lahir dari pengalaman hidup di dunia. Fokusnya cenderung lebih terpusat pada praktik-praktik kultural, ritual alam, atau etika sosial yang terbentuk secara historis.
Agama Samawi memiliki beberapa karakteristik fundamental yang membedakannya. Struktur ajarannya cenderung monoteistik (percaya pada satu Tuhan) dan eskatologis (memiliki pandangan jelas mengenai akhir zaman, surga, dan neraka).
Contoh utama dari kategori ini adalah Yudaisme, Kristen, dan Islam. Meskipun terdapat perbedaan teologis yang signifikan di antara ketiganya, kesamaan dalam kerangka sumber wahyu membuat mereka sering dikelompokkan dalam kategori Samawi atau Abrahamik.
Agama Ardhi, yang sering tumpang tindih dengan istilah agama alam atau agama tradisional setempat (paganisme), menunjukkan keragaman yang sangat besar karena ia tumbuh dari konteks geografis dan budaya yang spesifik. Fokus utamanya adalah menjaga harmoni dengan alam semesta yang dipahami secara lokal.
Kategori ini mencakup berbagai kepercayaan pribumi di seluruh dunia, seperti Shintoisme (meskipun memiliki aspek metafisik yang mendalam), animisme, dan banyak bentuk kebudayaan spiritual yang tidak memiliki nabi sentral atau kitab suci tunggal yang diyakini diturunkan langsung dari langit.
Penting untuk dicatat bahwa klasifikasi agama Samawi dan agama Ardhi bukanlah pemisahan yang mutlak dan kaku. Dalam praktiknya, sering terjadi sinkretisme, di mana elemen-elemen Samawi diserap dan diadaptasi ke dalam praktik-praktik lokal, atau sebaliknya, tradisi Ardhi lama diinterpretasikan ulang melalui lensa wahyu langit.
Misalnya, perayaan atau ritual panen dalam budaya yang telah menganut agama Samawi seringkali mempertahankan akar filosofi Ardhi tentang penghargaan terhadap bumi dan kesuburan. Hal ini menunjukkan bahwa spiritualitas manusia cenderung mencari keseimbangan antara tuntutan ilahi yang datang dari atas (transendensi) dan realitas hidup yang harus dijalani di dunia (imanensi).
Memahami kedua paradigma ini membuka wawasan tentang bagaimana manusia mencari makna—apakah melalui penerimaan pesan yang diwahyukan secara eksternal, atau melalui pendalaman dan penghormatan terhadap realitas tempat mereka berpijak di bumi ini.