Ilustrasi Konflik dan Kedaulatan
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada Agustus, harapan bangsa akan kedaulatan penuh segera diuji oleh kekuatan kolonial yang enggan melepaskan jajahannya. Puncak dari ketegangan ini adalah pecahnya Agresi Militer Belanda II, sebuah operasi militer besar-besaran yang dilancarkan oleh Belanda dengan tujuan utama menumpas Republik dan mendirikan kembali pemerintahan sementara di bawah kendalinya.
Secara resmi dikenal Belanda sebagai Operatie Kraai (Operasi Gagak), serangan ini dilancarkan pada tanggal 19 Desember. Serangan ini menunjukkan betapa kecilnya dampak dari Perjanjian Renville yang sebelumnya dianggap sebagai jalan damai. Belanda, yang merasa dirugikan oleh perundingan Renville, memutuskan untuk menyelesaikan masalah secara militer. Target utama mereka adalah ibu kota Republik saat itu, Yogyakarta, serta pusat-pusat pemerintahan penting lainnya.
Agresi Militer II dibuka dengan serangan udara mendadak terhadap Yogyakarta. Dalam waktu singkat, pasukan Belanda berhasil menduduki kota tersebut. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah petinggi negara lainnya ditangkap dan diasingkan ke Bangka. Penangkapan para pemimpin inti ini merupakan pukulan telak bagi moril bangsa, karena seolah-olah Republik telah berhasil dilumpuhkan total.
Namun, strategi Belanda yang mengumumkan bahwa Republik Indonesia telah bubar ternyata menjadi blunder besar. Sebelum ditangkap, Presiden Soekarno telah menyiapkan instruksi darurat. Ia memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara di Sumatera untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Tindakan cepat ini memastikan bahwa meskipun para pemimpin di Jawa ditahan, eksistensi Republik Indonesia tetap terjamin secara hukum dan politik di mata internasional.
Di tengah pendudukan militer, Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama dengan laskar-laskar perjuangan lainnya tidak menyerah begitu saja. Mereka segera beralih ke taktik perang gerilya. Panglima Besar Sudirman, yang saat itu dalam kondisi sakit parah, memimpin langsung perlawanan ini dari pedalaman. Strategi yang diterapkan adalah menyatu dengan rakyat, menghindari pertempuran frontal yang merugikan, dan melancarkan serangan mendadak (hit-and-run).
Perang gerilya ini sangat efektif dalam menguras sumber daya Belanda dan membuat mereka terjebak dalam perang berkepanjangan yang mahal dan tidak populer di mata dunia internasional. Meskipun secara fisik Belanda menguasai kota-kota besar, wilayah pedalaman dan desa-desa tetap menjadi basis pertahanan yang kuat bagi RI. Perlawanan heroik di berbagai front, seperti di Surabaya, Semarang, dan Sumatera, terus membuktikan bahwa semangat kemerdekaan tidak bisa dibungkam oleh senjata.
Agresi Militer Belanda II adalah langkah mundur dalam upaya diplomasi internasional Indonesia. Tindakan agresi ini menuai kecaman keras dari berbagai negara di Asia dan dunia, termasuk India, Australia, dan negara-negara Liga Arab. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai terlibat aktif mendesak gencatan senjata.
Tekanan politik dari PBB, ditambah dengan kegagalan Belanda untuk memenangkan hati rakyat dan keberlanjutan perang gerilya yang melelahkan, memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan. Belanda menyadari bahwa mempertahankan kendali militer di wilayah yang ditolak oleh rakyatnya adalah hal yang mustahil dalam konteks politik global pasca-Perang Dunia II.
Puncak dari tekanan ini adalah Konferensi Meja Bundar (KMB) yang akhirnya memaksa Belanda untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Agresi Militer II, ironisnya, justru menjadi titik balik yang memperkuat posisi diplomasi Indonesia di forum internasional, karena menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia adalah entitas politik yang solid dan memiliki kemampuan untuk bertahan melawan kekuatan militer.
Peristiwa ini tetap menjadi salah satu babak paling krusial dalam sejarah perjuangan bangsa, menegaskan bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan hingga titik darah penghabisan, bukan hanya dideklarasikan.