Dalam hukum Islam, pembagian harta warisan merupakan salah satu aspek penting yang diatur secara rinci. Tujuannya adalah untuk memastikan keadilan dan ketertiban dalam pendistribusian kekayaan orang yang telah meninggal kepada ahli warisnya. Namun, dalam beberapa situasi, konsep ahli waris pengganti (atau sering juga disebut wasiat wajibah, meskipun memiliki perbedaan nuansa) menjadi relevan dan menarik untuk dibahas. Konsep ini muncul ketika terdapat kondisi yang tidak secara langsung diatur oleh nas-nas Al-Qur'an dan As-Sunnah secara eksplisit mengenai siapa yang berhak menerima warisan dalam keadaan tertentu.
Secara umum, hukum waris Islam didasarkan pada hubungan darah dan pernikahan. Ahli waris yang sah adalah mereka yang memiliki hubungan nasab (keturunan) langsung atau melalui pernikahan dengan pewaris. Namun, bagaimana jika ada anggota keluarga yang seharusnya mendapatkan bagian, namun ia sudah meninggal terlebih dahulu sebelum pewarisnya? Di sinilah konsep ahli waris pengganti mulai menjadi bahan diskusi. Pertanyaan utamanya adalah, apakah anak-anak dari ahli waris yang telah meninggal tersebut berhak mendapatkan bagian warisan yang seharusnya menjadi hak orang tua mereka?
Dalam tradisi hukum waris Islam klasik, prinsip utama adalah bahwa hak waris melekat pada individu yang hidup pada saat pewaris meninggal. Jika seseorang telah meninggal sebelum pewarisnya, maka ia tidak berhak lagi atas warisan tersebut, dan secara otomatis hak warisnya gugur. Anak-anak dari orang yang telah meninggal tersebut tidak secara otomatis menggantikan kedudukan orang tua mereka dalam menerima warisan dari kakek atau nenek mereka. Ini adalah prinsip yang dipegang teguh oleh mayoritas ulama dalam mazhab-mazhab fikih.
Namun, pandangan ini mulai mendapatkan tantangan seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan sosial yang semakin kompleks. Muncul argumen bahwa prinsip ini dapat menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi cucu atau cicit yang kehilangan orang tua mereka dan kemudian juga kehilangan hak waris dari pihak kakek atau nenek mereka. Bayangkan seorang anak yang ayahnya meninggal lebih dulu, lalu ibunya meninggal, dan kemudian kakeknya meninggal. Tanpa konsep ahli waris pengganti, anak tersebut bisa saja tidak mendapatkan apa-apa dari harta warisan kakeknya, sementara anak-anak lain dari kakeknya yang masih hidup mendapatkan bagian.
Menanggapi potensi ketidakadilan ini, beberapa negara mayoritas Muslim, termasuk Indonesia, telah mengadopsi konsep yang menyerupai ahli waris pengganti melalui peraturan perundang-undangan, terutama dalam konteks hukum waris perdata Islam atau yang diatur dalam kompilasi hukum Islam. Konsep ini seringkali disebut sebagai "wasiat wajibah" atau "pemberian hak waris pengganti" dalam praktik pengadilan agama. Tujuannya adalah untuk memberikan sebagian dari harta warisan kepada keturunan dari anak yang telah meninggal terlebih dahulu, sejumlah bagian yang seharusnya diterima oleh anak tersebut.
Penting untuk dicatat bahwa konsep ini bukanlah penggantian murni dalam arti yang sama seperti sistem ahli waris pengganti dalam hukum waris Barat. Dalam hukum Islam, wasiat wajibah memiliki dasar hukum yang berbeda. Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, misalnya, mengatur tentang pemberian bagian waris kepada keturunan anak laki-laki atau anak perempuan yang telah meninggal, dengan syarat bahwa mereka tidak diwasiati oleh pewaris dan bukan sebagai ahli waris pada saat pewaris meninggal. Pemberian ini berasal dari harta peninggalan pewaris sejumlah bagian yang seharusnya diterima oleh anak yang meninggal tersebut, namun tidak melebihi sepertiga dari harta peninggalan.
Penerapan konsep ahli waris pengganti atau wasiat wajibah ini bertujuan untuk menjaga keutuhan keluarga, mencegah terjadinya ketidakadilan, dan memberikan perlindungan bagi anggota keluarga yang paling rentan. Ini menunjukkan bagaimana hukum Islam terus berkembang dan beradaptasi dengan konteks sosial masyarakat tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya. Namun, interpretasi dan penerapannya tetap memerlukan kajian mendalam dari para ahli hukum Islam dan proses yuridis yang sesuai agar tidak bertentangan dengan nash syara' yang fundamental.
Secara ringkas, meskipun dalam fikih klasik ahli waris pengganti tidak dikenal secara langsung, praktik dan regulasi modern telah mengadopsi solusi yang mirip untuk mengatasi ketidakadilan yang mungkin timbul. Konsep ini menjadi jembatan antara prinsip hukum waris Islam yang baku dengan realitas sosial yang dinamis, demi tercapainya keadilan yang berkeadilan dalam Islam.