Panduan Transaksi Properti: AJB dan BPHTB

Proses jual beli properti, baik itu tanah maupun bangunan, melibatkan serangkaian prosedur hukum yang wajib dipenuhi. Di Indonesia, dua dokumen legalitas yang sangat krusial dalam tahapan akhir transaksi adalah **Akta Jual Beli (AJB)** dan pembayaran **Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)**. Memahami peran kedua elemen ini sangat penting untuk memastikan bahwa peralihan hak kepemilikan berjalan sah secara hukum dan menghindari potensi sengketa di masa depan.

Ilustrasi Proses Jual Beli Properti AJB Peralihan Hak BPHTB (Pajak Daerah)

Peran utama Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) adalah memfasilitasi pembuatan AJB, sementara BPHTB merupakan kewajiban pajak yang harus dibayar kepada pemerintah daerah setempat sebelum AJB dapat disahkan sepenuhnya.

Apa Itu Akta Jual Beli (AJB)?

AJB adalah dokumen autentik yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT, yang menjadi bukti sah bahwa telah terjadi pengalihan hak kepemilikan properti dari penjual (sebelumnya disebut sebagai pihak yang menyerahkan) kepada pembeli (pihak yang menerima hak). Tanpa adanya AJB yang dibuat oleh PPAT, transaksi jual beli tanah dan bangunan secara hukum formal dianggap belum sempurna, meskipun pembayaran telah lunas.

AJB menjadi fondasi bagi proses balik nama sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Data-data yang termuat dalam AJB sangat rinci, mencakup identitas para pihak, deskripsi objek properti (termasuk nomor sertifikat), harga jual, dan syarat-syarat pembayaran. Keabsahan AJB ini sangat bergantung pada kompetensi PPAT yang membuatnya dan kelengkapan dokumen dasar yang disertakan, seperti Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Hak Guna Bangunan (HGB).

Peran Krusial BPHTB

BPHTB adalah pungutan yang dikenakan oleh pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) atas setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan. Ini adalah pajak yang dibayarkan oleh pembeli properti, bukan penjual. Jika AJB adalah bukti legalitas transaksi, maka BPHTB adalah bukti bahwa kewajiban fiskal daerah terkait transaksi tersebut telah dipenuhi.

Besaran BPHTB dihitung berdasarkan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yang umumnya adalah harga transaksi yang tercantum dalam AJB, dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP ini bervariasi tergantung kebijakan masing-masing pemerintah daerah, namun umumnya ditetapkan antara Rp60 juta hingga Rp300 juta, tergantung lokasi dan peraturan daerah terbaru.

Tanpa adanya Surat Tanda Terima Setoran (STTS) BPHTB, proses pengesahan AJB oleh PPAT seringkali terhambat, dan yang lebih penting, pembeli tidak akan bisa melanjutkan proses balik nama sertifikat ke BPN. Oleh karena itu, pembayaran BPHTB harus diurus secara paralel dengan persiapan AJB.

Sinergi AJB dan BPHTB dalam Kepastian Hukum

Seringkali terdapat kebingungan mengenai mana yang harus didahulukan: AJB atau BPHTB? Secara prosedural, pembentukan AJB sering kali menjadi dasar perhitungan untuk pengenaan BPHTB. Setelah harga disepakati dan dituangkan dalam draf AJB, PPAT akan meminta pembeli untuk mengurus pembayaran BPHTB. Setelah bukti bayar BPHTB diterima (STTS), barulah AJB dapat ditandatangani secara resmi oleh para pihak dan PPAT.

Proses yang terpadu ini memastikan bahwa begitu AJB ditandatangani, pembeli sudah memiliki landasan kuat untuk mendaftarkan peralihan hak. Mengabaikan BPHTB berarti mengabaikan hak pembeli untuk mendapatkan sertifikat atas nama mereka sendiri. Sebaliknya, membayar BPHTB tanpa adanya AJB yang sah juga tidak memberikan kepastian hukum atas kepemilikan karena tidak ada dasar autentik yang diakui PPAT untuk proses pendaftaran ke BPN. Kedua dokumen ini saling melengkapi untuk menciptakan transaksi yang 'bersih' dan sah di mata hukum Republik Indonesia.

🏠 Homepage