Simbol abstrak yang terinspirasi dari bentuk kaligrafi aksara Jawi.
Di tengah gempuran budaya global dan pesatnya perkembangan teknologi digital, warisan budaya tak benda dari Nusantara seringkali terabaikan. Salah satu kekayaan intelektual yang perlu terus digali dan dilestarikan adalah aksara Jawi Melayu. Lebih dari sekadar sistem penulisan, aksara Jawi merupakan cerminan identitas, sejarah, dan peradaban masyarakat Melayu yang telah berusia berabad-abad.
Aksara Jawi adalah sebuah sistem penulisan yang menggunakan abjad Arab yang dimodifikasi untuk merepresentasikan bunyi-bunyi dalam bahasa Melayu. Perkembangan aksara ini diperkirakan dimulai sekitar abad ke-14 di pesisir timur Sumatera dan berkembang pesat di wilayah Melayu lainnya, termasuk Semenanjung Malaya, Brunei, Indonesia, dan sebagian Thailand Selatan. Kehadiran aksara Jawi tidak terlepas dari peran Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab ke Nusantara. Seiring dengan penyebaran ajaran Islam, bahasa Arab menjadi bahasa penting dalam urusan keagamaan dan perdagangan. Namun, karena perbedaan fonetik antara bahasa Arab dan bahasa Melayu, muncullah kebutuhan untuk mengadaptasi abjad Arab agar sesuai dengan lidah Melayu.
Proses adaptasi ini memakan waktu dan melibatkan penambahan beberapa huruf dari abjad Arab yang tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa Melayu, serta modifikasi beberapa huruf yang sudah ada. Misalnya, huruf-huruf seperti ‘ca’, ‘pa’, ‘nya’, ‘ga’, ‘nga’, dan ‘va’ memiliki bentuk unik dalam aksara Jawi. Perubahan ini menunjukkan kecerdasan dan kreativitas para penulis dan cendekiawan Melayu terdahulu dalam memanfaatkan sistem penulisan yang ada untuk kebutuhan lokal mereka.
Aksara Jawi memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya. Pertama, penulisan dilakukan dari kanan ke kiri, sama seperti abjad Arab. Kedua, vokal dalam bahasa Melayu, terutama ‘a’, ‘i’, dan ‘u’, seringkali tidak dituliskan secara eksplisit, melainkan disimbolkan melalui huruf hidup Arab seperti alif (ا), ya (ي), dan wau (و). Hal ini membuat pembacaan aksara Jawi terkadang memerlukan pemahaman mendalam tentang tata bahasa dan kosakata Melayu. Namun, justru keunikan inilah yang memberikan nuansa estetika tersendiri pada setiap tulisan Jawi.
Pada masa kejayaannya, aksara Jawi menjadi media utama untuk penyebaran ilmu pengetahuan, sastra, hukum, dan ajaran agama. Prasasti-prasasti kuno, naskah-naskah hikayat, undang-undang, dan kitab-kitab keagamaan banyak yang ditulis menggunakan aksara Jawi. Kitab-kitab seperti Hikayat Abdullah, Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), dan berbagai karya ulama tersohor semuanya direkam dalam bentuk tulisan Jawi. Ini menjadikan aksara Jawi sebagai jendela berharga untuk memahami pemikiran, budaya, dan sejarah masyarakat Melayu di masa lalu.
Masuknya pengaruh Barat dan pengenalan aksara Rumi (Latin) ke wilayah Melayu pada abad ke-20 menjadi titik balik bagi eksistensi aksara Jawi. Aksara Rumi dianggap lebih praktis, mudah dipelajari, dan selaras dengan perkembangan zaman, terutama di era kolonial. Lambat laun, penggunaan aksara Jawi mulai berkurang dalam berbagai aspek kehidupan, digantikan oleh aksara Rumi yang menjadi standar dalam pendidikan dan administrasi.
Meskipun demikian, aksara Jawi tidak lantas menghilang. Di beberapa komunitas, terutama di lingkungan pesantren tradisional, sekolah agama, dan di kalangan masyarakat yang peduli terhadap warisan budaya, aksara Jawi masih dipelajari dan digunakan. Berbagai inisiatif terus dilakukan oleh pemerintah, lembaga kebudayaan, akademisi, dan komunitas pegiat aksara Jawi untuk menghidupkannya kembali. Pelatihan menulis Jawi, lomba, penerbitan buku-buku dalam aksara Jawi, serta integrasi aksara Jawi dalam desain grafis dan seni kontemporer adalah beberapa contoh upaya pelestarian yang dilakukan.
Memahami dan melestarikan aksara Jawi Melayu bukan hanya sekadar menjaga kelangsungan sebuah tradisi penulisan. Ini adalah upaya untuk merawat ingatan kolektif bangsa, menjaga otentisitas identitas, dan membuka pintu pemahaman yang lebih mendalam tentang akar budaya kita. Di era digital ini, teknologi justru dapat menjadi alat bantu yang efektif dalam melestarikan aksara Jawi, misalnya melalui pengembangan aplikasi belajar, kamus digital, atau platform daring yang memfasilitasi pembelajaran dan penggunaan aksara Jawi.
Aksara Jawi Melayu adalah permata budaya yang tak ternilai harganya. Dengan kesadaran dan upaya bersama, warisan berharga ini dapat terus bersinar, melintasi batas waktu dan generasi, serta menjadi kebanggaan bagi seluruh masyarakat Nusantara.