Dalam dunia properti dan transaksi barang berharga, legalitas adalah hal yang utama. Salah satu instrumen yang sering digunakan dalam proses peralihan hak adalah Akta Jual Beli (AJB). Namun, seringkali muncul istilah Akta Jual Beli Dibawah Tangan. Meskipun sah secara perdata antara para pihak yang membuatnya, status hukumnya di mata hukum publik, terutama terkait pendaftaran hak milik, memiliki perbedaan signifikan dibandingkan AJB yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Ilustrasi kesepakatan sederhana
Definisi dan Landasan Hukum
Akta Jual Beli Dibawah Tangan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak penjual dan pembeli tanpa dihadiri oleh notaris atau PPAT. Akta ini dibuat berdasarkan kesepakatan bebas para pihak, seringkali hanya dibubuhi materai dan tanda tangan di atasnya. Secara hukum perdata, akta ini memiliki kekuatan pembuktian yang mengikat bagi para pihak yang menandatanganinya, sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengenai syarat sahnya perjanjian.
Namun, penting untuk dicatat bahwa untuk pemindahan hak atas tanah dan bangunan, yang mensyaratkan formalitas tertentu, akta ini belum cukup kuat sebagai alat pemindah hak yang sempurna. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), peralihan hak atas tanah hanya sah jika dilakukan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Akta di bawah tangan pada dasarnya adalah bukti adanya niat dan kesepakatan untuk menjual, tetapi belum final dalam konteks pendaftaran hak.
Kelebihan Akta Jual Beli Dibawah Tangan
Meskipun memiliki keterbatasan formalitas, akta di bawah tangan tetap populer karena beberapa keunggulan praktis:
- Proses Cepat dan Sederhana: Pembuatannya tidak memerlukan prosedur birokrasi yang panjang atau jadwal dengan notaris/PPAT. Proses bisa diselesaikan dalam hitungan jam.
- Biaya Lebih Rendah: Biaya yang dikeluarkan jauh lebih kecil karena tidak adanya honorarium PPAT atau biaya administrasi formal lainnya yang ditetapkan secara resmi.
- Fleksibilitas Isi: Para pihak lebih leluasa menentukan klausul dan syarat pembayaran sesuai kesepakatan tanpa terikat format baku yang kaku.
Risiko dan Keterbatasan Hukum
Di sinilah letak kerumitan utama dari akta jual beli dibawah tangan. Kekurangannya sangat signifikan, terutama jika salah satu pihak di kemudian hari mengingkari janji atau muncul sengketa:
Jika terjadi sengketa, kekuatan pembuktiannya masih bisa diperdebatkan di pengadilan, berbeda dengan akta notaris/PPAT yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Akta di bawah tangan pada dasarnya adalah perjanjian pendahuluan yang mewajibkan para pihak untuk membuat AJB yang sah di hadapan PPAT di kemudian hari. Jika salah satu pihak menolak menghadap PPAT, pihak yang dirugikan harus mengajukan gugatan perdata untuk memaksa pelaksanaan perjanjian tersebut.
Peran Dalam Proses Pembalikan Nama Sertifikat
Penerbitan sertifikat hak milik baru atas nama pembeli memerlukan AJB yang dibuat oleh PPAT. Jika transaksi awal hanya berupa akta di bawah tangan, maka langkah selanjutnya yang harus diambil adalah membawa akta tersebut ke PPAT. PPAT akan melakukan verifikasi dan biasanya akan membuatkan Akta Jual Beli baru (AJB resmi) setelah memastikan bahwa persyaratan formal dan yuridis (termasuk kelengkapan pajak) telah dipenuhi.
Proses konversi dari akta di bawah tangan ke AJB resmi inilah yang sering memakan waktu dan biaya. Jika ada masalah administrasi, seperti tanah yang ternyata bermasalah atau pajak yang belum terbayar lunas saat transaksi awal, proses ini bisa tertunda lama.
Kesimpulan dan Saran Praktis
Meskipun akta jual beli dibawah tangan menawarkan kemudahan dan kecepatan dalam mengikat kesepakatan jual beli, sangat disarankan untuk tidak menjadikannya transaksi final untuk properti yang status kepemilikannya akan didaftarkan ulang (sertifikat tanah, rumah, atau apartemen). Akta ini harus dipandang sebagai janji untuk menjual dan membeli.
Untuk menjamin keamanan hukum sepenuhnya dan kepastian hak milik terdaftar, setiap transaksi peralihan hak atas tanah dan bangunan harus diaktakan di hadapan PPAT yang berwenang. Ini adalah langkah krusial untuk melindungi investasi Anda dari risiko sengketa di masa depan, serta memastikan bahwa nama Anda tercatat secara sah dalam buku tanah di BPN. Mengabaikan formalitas ini sama saja dengan menunda masalah hukum yang potensial di kemudian hari.