Prinsip Konsumsi dan Syukur dalam Al-Baqarah Ayat 172
Dalam samudra luas ajaran Islam, terdapat permata-permata hikmah yang mengatur setiap aspek kehidupan manusia, dari hal-hal yang paling agung hingga yang paling mendasar. Salah satu aspek fundamental yang mendapat perhatian khusus adalah perihal konsumsi—apa yang kita makan dan minum. Ini bukan sekadar urusan perut, melainkan sebuah pilar yang menopang spiritualitas, kesehatan, dan keberkahan hidup. Salah satu ayat yang menjadi kompas dalam urusan ini adalah firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah, ayat 172.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya."
Ayat ini, meskipun singkat, memuat tiga pilar utama yang saling terkait dan membentuk sebuah filosofi hidup yang utuh: perintah untuk mengonsumsi yang thayyib, kewajiban untuk bersyukur, dan penegasan bahwa kedua hal tersebut adalah manifestasi dari ibadah sejati. Ini adalah seruan langsung kepada esensi keimanan, sebuah panggilan yang melampaui sekadar aturan, menuju kesadaran spiritual yang mendalam.
Panggilan Iman: "Yā Ayyuhal-ladzīna Āmanū"
Ayat ini diawali dengan sapaan mesra dan penuh penghormatan dari Sang Pencipta kepada hamba-hamba-Nya: "Wahai orang-orang yang beriman!". Panggilan ini memiliki makna yang sangat dalam. Ini bukanlah perintah yang ditujukan kepada seluruh umat manusia secara umum, melainkan sebuah seruan khusus bagi mereka yang telah mengikrarkan iman di dalam hatinya. Penggunaan frasa ini menyiratkan beberapa hal:
- Penghormatan dan Pengakuan: Allah SWT mengakui dan menghormati status keimanan hamba-Nya. Ini adalah panggilan yang membangkitkan rasa cinta dan kedekatan, membuat perintah yang mengikutinya terasa lebih ringan dan mudah diterima.
- Konsekuensi Iman: Panggilan ini secara implisit mengingatkan bahwa keimanan bukanlah sekadar pengakuan lisan, tetapi menuntut adanya pembuktian melalui amal perbuatan. Salah satu bukti keimanan adalah kepatuhan terhadap perintah-Nya, termasuk dalam urusan makanan.
- Relevansi Universal bagi Orang Beriman: Seruan ini mengikat setiap individu yang merasa dirinya beriman, tanpa memandang suku, bangsa, atau zaman. Selama seseorang mengaku beriman, maka perintah dalam ayat ini berlaku mutlak baginya.
Dengan mengawali perintah dengan panggilan iman, Allah seakan-akan berfirman, "Karena kalian telah memilih untuk percaya kepada-Ku, maka inilah salah satu panduan dari-Ku untuk kebaikan hidup kalian." Ini mengubah paradigma dari sekadar aturan menjadi sebuah anugerah dan petunjuk yang lahir dari kasih sayang Tuhan kepada makhluk-Nya.
Perintah Mengonsumsi yang Baik: "Kulū min Thayyibāti mā Razaqnākum"
Inti dari perintah pertama dalam ayat ini terpusat pada kata kunci: Thayyibāt (jamak dari Thayyib). Seringkali, konsep ini disederhanakan dan disamakan dengan kata "halal". Meskipun keduanya sangat berkaitan erat, "thayyib" memiliki cakupan makna yang jauh lebih luas dan mendalam. Jika "halal" berbicara tentang kebolehan sesuatu dari segi hukum syariat (tidak haram zatnya), maka "thayyib" berbicara tentang kualitas, kebaikan, kebersihan, dan kemurnian dari berbagai aspek.
Dimensi Mendalam dari Konsep 'Thayyib'
Untuk memahami perintah ini secara komprehensif, kita perlu mengurai makna thayyib ke dalam beberapa dimensi yang saling melengkapi:
1. Dimensi Halal dan Haram (Aspek Syariat)
Dasar utama dari sesuatu yang thayyib adalah ia harus halal. Sesuatu yang secara zatnya diharamkan oleh Allah, seperti babi, darah, bangkai, dan khamr, secara otomatis tidak akan pernah bisa menjadi thayyib. Ini adalah garis batas pertama yang tidak bisa ditawar. Makanan yang haram dianggap kotor (rijs) secara spiritual dan berpotensi merusak jiwa, akal, serta fisik manusia. Kepatuhan terhadap batasan halal dan haram adalah bentuk ketundukan paling dasar seorang hamba.
2. Dimensi Sumber dan Cara Perolehan (Aspek Ekonomi dan Etika)
Sebuah makanan, meskipun zatnya halal, akan kehilangan status thayyib-nya jika diperoleh dengan cara yang batil. Daging kambing yang halal bisa menjadi haram dan tidak thayyib jika didapat dari hasil mencuri. Buah-buahan yang segar bisa kehilangan berkahnya jika dibeli dengan uang hasil korupsi, riba, atau penipuan. Konsep thayyib menuntut kebersihan tidak hanya pada produk akhir, tetapi juga pada seluruh prosesnya. Ini mengajarkan integritas, kejujuran, dan etika dalam mencari rezeki. Doa seseorang bisa tertolak karena ada unsur haram dalam makanan, minuman, atau pakaiannya, sebagaimana disebutkan dalam hadis. Ini menunjukkan betapa krusialnya aspek sumber rezeki dalam spiritualitas seorang Muslim.
3. Dimensi Kesehatan dan Kualitas (Aspek Fisik)
Thayyib juga berarti baik, sehat, dan tidak merusak bagi tubuh. Makanan yang sudah basi, beracun, atau dipenuhi bahan kimia berbahaya, meskipun asalnya dari sumber yang halal, tidak lagi bisa dikategorikan sebagai thayyib. Islam sangat menekankan penjagaan terhadap tubuh, karena tubuh adalah amanah dari Allah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Mengonsumsi makanan yang merusak kesehatan secara sengaja bertentangan dengan prinsip menjaga amanah ini. Oleh karena itu, memilih makanan yang segar, bergizi, bersih, dan diolah dengan cara yang higienis adalah bagian dari pengamalan ayat ini. Ini selaras dengan prinsip kedokteran modern yang menekankan pentingnya nutrisi untuk kesehatan jangka panjang.
4. Dimensi Keseimbangan dan Kewajaran (Aspek Moderasi)
Sesuatu yang thayyib juga dikonsumsi dengan cara yang thayyib. Berlebih-lebihan (israf) dalam mengonsumsi makanan yang halal dan sehat sekalipun dapat menghilangkan sifat thayyib-nya. Sikap berlebihan dapat merusak tubuh, menyebabkan pemborosan sumber daya, dan menumbuhkan sifat tamak. Rasulullah SAW mencontohkan pola makan yang moderat, yaitu berhenti makan sebelum kenyang. Prinsip ini mengajarkan keseimbangan, pengendalian diri, dan kesadaran sosial—bahwa di luar sana mungkin ada orang lain yang kekurangan.
Rezeki Sebagai Pemberian Allah: "mā Razaqnākum"
Frasa "mā razaqnākum" (apa yang telah Kami rezekikan kepadamu) adalah penegasan tauhid yang kuat. Ini mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang kita miliki dan konsumsi pada hakikatnya adalah pemberian dari Allah. Manusia hanya berusaha, namun Allah-lah yang menentukan dan memberikan hasilnya. Kesadaran ini menumbuhkan beberapa sikap mental yang positif:
- Kerendahan Hati: Menghilangkan kesombongan atas harta dan kemampuan yang dimiliki, karena semua itu hanyalah titipan.
- Ketenangan Jiwa: Mengurangi kekhawatiran berlebihan tentang rezeki, karena Sang Pemberi Rezeki Maha Kaya dan Maha Pemurah.
- Rasa Cukup (Qana'ah): Menerima dan merasa cukup dengan rezeki yang telah Allah berikan, tanpa membanding-bandingkan dengan milik orang lain secara berlebihan.
Dengan demikian, perintah "makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu" bukan hanya sekadar izin untuk makan, melainkan sebuah panduan komprehensif tentang gaya hidup yang bersih, sehat, etis, dan berlandaskan tauhid.
Kewajiban Bersyukur: "Wasykurū lillāh"
Setelah memberikan panduan tentang apa yang harus dikonsumsi, ayat ini langsung menyambung dengan perintah kedua yang menjadi konsekuensi logisnya: "dan bersyukurlah kepada Allah". Hubungan antara menikmati rezeki yang thayyib dan bersyukur sangatlah erat. Syukur adalah respons alami jiwa yang sehat terhadap nikmat yang diterima. Tanpa syukur, kenikmatan hanya akan menjadi kesenangan sesaat yang hampa dari nilai spiritual.
Tiga Pilar Syukur yang Hakiki
Syukur dalam Islam bukanlah sekadar ucapan "Alhamdulillah" di lisan, meskipun itu adalah bagian penting darinya. Syukur yang sejati adalah sebuah sistem yang terintegrasi, mencakup hati, lisan, dan perbuatan.
1. Syukur dengan Hati (Syukr bil-Qalb)
Ini adalah fondasi dari segala bentuk syukur. Syukur dengan hati berarti mengakui dan meyakini sepenuh hati bahwa setiap nikmat, sekecil apa pun, berasal dari Allah SWT. Bukan karena kepintaran, kekuatan, atau usaha kita semata. Usaha manusia adalah sebab, tetapi Allah adalah Musabbibul Asbab (Penyebab dari segala sebab). Tanpa keyakinan ini, ucapan syukur di lisan akan menjadi kosong dan perbuatan baik bisa ternodai oleh rasa sombong ('ujub). Ini adalah tentang menata niat dan menanamkan kesadaran ilahiah dalam setiap tarikan napas dan suapan makanan.
2. Syukur dengan Lisan (Syukr bil-Lisān)
Setelah hati meyakini, lisan akan secara otomatis mengungkapkannya. Ini terwujud dalam ucapan tahmid (Alhamdulillah), tasbih (Subhanallah), dan zikir lainnya yang memuji keagungan Allah. Mengucapkan "Bismillah" sebelum makan dan "Alhamdulillah" sesudahnya adalah praktik nyata dari syukur dengan lisan. Selain itu, menceritakan nikmat Allah (tahadduts bin ni'mah) kepada orang lain—bukan untuk pamer, tetapi untuk menginspirasi dan mengingatkan akan kemurahan-Nya—juga merupakan bagian dari syukur dengan lisan.
3. Syukur dengan Perbuatan (Syukr bil-Jawārih)
Inilah puncak dan bukti nyata dari rasa syukur. Syukur dengan perbuatan berarti menggunakan nikmat yang diterima untuk ketaatan kepada Allah, bukan untuk kemaksiatan. Bagaimana kita menerapkan ini dalam konteks nikmat makanan?
- Menggunakan Energi untuk Ibadah: Energi yang didapat dari makanan digunakan untuk beribadah (shalat, puasa, membaca Al-Qur'an), bekerja mencari nafkah yang halal, menuntut ilmu, dan menolong sesama. Bukan digunakan untuk melakukan perbuatan dosa.
- Tidak Membuang-buang Makanan: Menghargai setiap butir nasi dan remah roti adalah bentuk syukur. Pemborosan adalah saudara setan, dan itu menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap rezeki yang telah diberikan.
- Berbagi dengan Sesama: Cara bersyukur atas nikmat makanan yang paling mulia adalah dengan membaginya kepada mereka yang kekurangan. Memberi makan orang miskin, anak yatim, atau tetangga adalah manifestasi syukur sosial yang sangat dianjurkan.
- Menjaga Kesehatan: Menggunakan nikmat sehat yang didapat dari makanan yang baik untuk terus beraktivitas positif adalah bentuk syukur. Sebaliknya, merusak tubuh dengan pola makan yang buruk adalah bentuk kufur nikmat.
Allah berjanji dalam Surah Ibrahim ayat 7, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." Janji ini menunjukkan bahwa syukur bukanlah untuk kepentingan Allah—karena Allah Maha Kaya—tetapi untuk kebaikan manusia itu sendiri. Syukur membuka pintu-pintu rezeki dan keberkahan yang lebih luas.
Penegasan Tauhid: "in Kuntum Iyyāhu Ta'budūn"
Ayat ini ditutup dengan sebuah kalimat syarat yang sangat kuat: "...jika kamu hanya menyembah kepada-Nya." Kalimat ini berfungsi sebagai pengikat dan penegas bagi dua perintah sebelumnya. Ia menempatkan aktivitas makan dan bersyukur dalam bingkai ibadah yang paling murni, yaitu tauhid—mengesakan Allah dalam segala bentuk penyembahan.
Makna di Balik Syarat "Jika Kamu Hanya Menyembah-Nya"
Penutup ini memberikan beberapa pelajaran penting:
1. Ibadah Bukan Hanya Ritual
Ayat ini secara gamblang mengajarkan bahwa ibadah dalam Islam tidak terbatas pada shalat, puasa, dan haji. Aktivitas sehari-hari seperti makan pun bisa bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar dan cara yang sesuai dengan syariat. Memilih makanan yang thayyib adalah ibadah. Mengucap syukur adalah ibadah. Keduanya adalah bukti konkret dari penyembahan kita kepada Allah. Ini menjadikan seluruh hidup seorang mukmin sebagai ladang ibadah.
2. Tes Keimanan dan Ketauhidan
Kalimat "jika kamu hanya menyembah kepada-Nya" berfungsi sebagai sebuah ujian. Seolah-olah Allah berkata, "Buktikanlah klaim penyembahanmu itu! Jika kalian benar-benar hanya menyembah Aku, maka kalian akan patuh pada perintah-Ku untuk memakan yang baik dan menjauhi yang haram. Kalian akan bersyukur kepada-Ku sebagai satu-satunya Pemberi rezeki, bukan kepada berhala, jimat, atau kekuatan lain." Kepatuhan dalam urusan perut, yang merupakan kebutuhan paling dasar manusia, menjadi cerminan dari ketulusan tauhid seseorang.
3. Memurnikan Niat dan Tujuan
Ayat ini mengajak kita untuk merefleksikan kembali motivasi kita dalam setiap tindakan. Mengapa kita memilih makanan tertentu? Apakah hanya karena enak dan tren, atau karena kita ingin menaati perintah Allah? Mengapa kita bersyukur? Apakah hanya sebagai formalitas, atau karena kesadaran tulus bahwa semua berasal dari-Nya? Penutup ini mendorong kita untuk memurnikan segala tindakan kita hanya untuk Allah semata, membersihkannya dari unsur syirik, riya' (pamer), atau tujuan duniawi lainnya.
Implikasi dan Relevansi di Era Modern
Ajaran dalam Al-Baqarah ayat 172 ini memiliki relevansi yang luar biasa kuat di tengah tantangan zaman modern. Di era di mana industri makanan begitu masif dan kompleks, ayat ini menjadi panduan yang sangat praktis.
- Menghadapi Budaya Konsumerisme: Ayat ini menantang budaya konsumerisme yang mendorong konsumsi berlebihan tanpa pertimbangan. Prinsip thayyib dan syukur mengajarkan kita untuk menjadi konsumen yang sadar, selektif, dan bertanggung jawab.
- Panduan Kesehatan Holistik: Konsep thayyib sejalan dengan gerakan gaya hidup sehat modern yang menekankan pada makanan alami, organik, dan gizi seimbang. Islam telah mengajarkan prinsip ini ribuan tahun yang lalu, menggabungkan kesehatan fisik dengan keberkahan spiritual.
- Krisis Pangan dan Ketidaksetaraan: Perintah untuk bersyukur dan berbagi mengingatkan kita akan tanggung jawab sosial terhadap jutaan orang yang menderita kelaparan. Ini mendorong lahirnya gerakan filantropi, sedekah makanan, dan upaya untuk menciptakan sistem distribusi pangan yang lebih adil.
- Isu Kehalalan Produk: Di tengah maraknya produk olahan dengan bahan-bahan yang rumit, ayat ini menjadi dasar bagi pentingnya sertifikasi halal dan kewaspadaan umat dalam memilih produk yang dikonsumsi, memastikan sumber dan prosesnya sesuai dengan syariat.
Kesimpulannya, Surah Al-Baqarah ayat 172 adalah sebuah paket panduan hidup yang lengkap. Ia dimulai dengan panggilan keimanan, dilanjutkan dengan perintah praktis untuk menjaga kualitas konsumsi (thayyib), diiringi dengan kewajiban untuk menumbuhkan mentalitas positif (syukur), dan diakhiri dengan penegasan tujuan akhir dari semua itu (ibadah kepada Allah semata). Mengamalkan ayat ini dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya akan mendatangkan kesehatan fisik, tetapi juga ketenangan jiwa, keberkahan rezeki, dan yang terpenting, mengantarkan kita pada derajat hamba yang benar-benar tunduk dan patuh kepada Sang Pencipta.