Membedah Makna di Balik Al-Baqarah Ayat 264

Al-Qur'an, sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia, tidak hanya berisi perintah dan larangan, tetapi juga kaya akan perumpamaan-perumpamaan indah yang mendidik jiwa. Salah satu ayat yang memuat perumpamaan yang sangat kuat dan relevan dengan kehidupan sehari-hari adalah Surat Al-Baqarah ayat 264. Ayat ini membahas esensi dari sebuah amalan yang agung, yaitu sedekah, dan mengungkap dua penyakit hati yang dapat menghanguskan seluruh pahalanya, menjadikannya sia-sia laksana debu yang tersapu hujan.

Ayat ini adalah sebuah panggilan mendalam bagi setiap orang yang beriman untuk tidak hanya fokus pada kuantitas amalan, tetapi yang lebih penting lagi, kualitas dan kemurnian niat di baliknya. Mari kita selami bersama kandungan ayat mulia ini.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُبۡطِلُواْ صَدَقَٰتِكُم بِٱلۡمَنِّ وَٱلۡأَذَىٰ كَٱلَّذِي يُنفِقُ مَالَهُۥ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ صَفۡوَانٍ عَلَيۡهِ تُرَابٞ فَأَصَابَهُۥ وَابِلٞ فَتَرَكَهُۥ صَلۡدٗاۖ لَّا يَقۡدِرُونَ عَلَىٰ شَيۡءٖ مِّمَّا كَسَبُواْۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَٰفِرِينَ

Yā ayyuhallażīna āmanụ lā tubṭilụ ṣadaqātikum bil-manni wal-ażā, kallażī yunfiqu mālahụ ri`ā`an-nāsi wa lā yu`minu billāhi wal-yaumil-ākhir, fa maṡaluhụ kamaṡali ṣafwānin 'alaihi turābun fa aṣābahụ wābilun fa tarakahụ ṣaldā, lā yaqdirụna 'alā syai`im mimmā kasabụ, wallāhu lā yahdil-qaumal-kāfirīn.

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya (al-mann) dan menyakiti (perasaan penerima) (al-adza), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir."

Panggilan Iman: Sebuah Peringatan Penuh Kasih

Ayat ini diawali dengan seruan yang khas dan mesra: "Yā ayyuhallażīna āmanụ" (Wahai orang-orang yang beriman). Panggilan ini bukanlah sekadar sapaan biasa. Ia adalah pengingat akan identitas, sebuah penegasan atas ikrar keimanan yang telah terpatri di dalam hati. Ketika Allah memanggil hamba-Nya dengan sebutan "orang beriman", itu berarti apa yang akan disampaikan setelahnya adalah konsekuensi logis dari keimanan itu sendiri. Ini adalah sebuah pengingat bahwa iman bukan hanya keyakinan dalam hati, tetapi harus termanifestasi dalam perbuatan yang selaras dengan kehendak-Nya. Seruan ini seolah mengatakan, "Karena kalian telah beriman, maka dengarkanlah dan patuhilah, karena ini adalah demi kebaikan iman kalian sendiri."

Setelah panggilan tersebut, langsung datang sebuah larangan yang tegas: "lā tubṭilụ ṣadaqātikum" (janganlah kamu merusak/membatalkan sedekahmu). Kata "tubṭilụ" berasal dari akar kata yang sama dengan "batal", yang berarti menjadi sia-sia, tidak sah, atau hangus. Ini memberikan gambaran yang sangat kuat. Sedekah yang telah dikeluarkan, harta yang telah berpindah tangan, tenaga yang telah dikorbankan, bisa menjadi nol nilainya di sisi Allah. Bukan hanya berkurang pahalanya, tetapi bisa total terhapus. Ini adalah sebuah peringatan keras bahwa tindakan memberi saja tidaklah cukup. Ada syarat dan etika yang harus dipenuhi agar amalan tersebut berbobot dan diterima di sisi Allah.

Dua Penyakit Penghancur Pahala: Al-Mann dan Al-Adza

Allah kemudian merinci dua perilaku spesifik yang menjadi penyebab utama batalnya pahala sedekah. Keduanya berkaitan dengan sikap dan lisan setelah perbuatan memberi itu dilakukan.

1. Al-Mann: Mengungkit dan Menyebut-nyebut Pemberian

Al-Mann secara harfiah berarti menyebut-nyebut atau mengungkit-ungkit kebaikan yang telah dilakukan kepada seseorang. Ini adalah penyakit hati yang lahir dari rasa lebih tinggi, kesombongan, dan keinginan untuk membuat orang lain merasa berutang budi. Ketika seseorang memberi bantuan lalu di kemudian hari ia berkata, "Ingat tidak, dulu kamu susah, sayalah yang membantumu," atau "Kalau bukan karena saya, kamu tidak akan seperti sekarang," maka ia telah jatuh ke dalam jurang al-mann.

Mengapa al-mann begitu merusak? Pertama, ia mencederai esensi keikhlasan. Sedekah yang tulus dilakukan semata-mata karena Allah, bukan untuk mendapatkan pengakuan, terima kasih, atau "balas budi" dari manusia. Dengan mengungkit-ungkitnya, si pemberi seolah-olah menagih kembali pengorbanannya dalam bentuk pengakuan atau penghormatan dari si penerima. Niatnya telah bergeser dari "lillahi ta'ala" menjadi "untuk pengakuanku".

Kedua, al-mann sangat menyakitkan dan menghinakan bagi si penerima. Ia merenggut martabat dan kehormatan orang yang dibantu. Setiap kali pemberian itu diungkit, si penerima akan merasa rendah, terbebani, dan mungkin menyesal pernah menerima bantuan tersebut. Padahal, tujuan sedekah adalah untuk mengangkat kesulitan dan membahagiakan, bukan untuk menciptakan beban psikologis baru. Islam sangat menjaga kehormatan setiap individu, dan al-mann adalah pelanggaran berat terhadap prinsip ini. Ia mengubah tindakan mulia menjadi alat untuk mengontrol dan merendahkan orang lain.

2. Al-Adza: Menyakiti Perasaan Penerima

Al-Adza berarti menyakiti, mengganggu, atau menimbulkan mudarat. Dalam konteks sedekah, al-adza bisa terjadi dalam berbagai bentuk, baik sebelum, saat, maupun sesudah memberi. Contohnya adalah memberi dengan wajah cemberut, dengan kata-kata yang kasar, atau di depan umum dengan cara yang mempermalukan si penerima. Bisa juga dengan memberikan barang yang sudah tidak layak pakai sambil berkata, "Ini saja sudah untung saya kasih."

Al-Adza merusak sedekah karena ia bertentangan dengan ruh kasih sayang (rahmah) yang menjadi dasar dari filantropi Islam. Pemberian yang disertai dengan caci maki, penghinaan, atau perlakuan yang tidak pantas, lebih banyak mendatangkan luka daripada kelegaan. Si penerima mungkin mengambil barangnya karena terpaksa butuh, tetapi hatinya terluka. Allah tidak menginginkan sebuah ibadah yang justru menodai kemuliaan manusia ciptaan-Nya. Pemberian seharusnya menjadi jembatan cinta kasih, bukan menjadi sumber kebencian dan dendam.

Gabungan antara al-mann dan al-adza adalah racun yang sempurna untuk amalan sedekah. Keduanya berakar dari penyakit yang sama: arogansi (kibr) dan kurangnya empati. Si pemberi merasa dirinya superior dan si penerima inferior, sehingga ia merasa berhak untuk memperlakukannya sesuka hati. Inilah yang ingin diberantas oleh Al-Qur'an.

Ilustrasi perumpamaan sedekah yang sia-sia Sebuah batu licin yang dilapisi debu tipis, kemudian sebuah tetesan hujan besar datang untuk menyapunya bersih, melambangkan amal yang tidak ikhlas akan hilang sia-sia.

Perumpamaan Indah nan Menusuk: Batu Licin Berdebu

Untuk memperjelas betapa sia-sianya sedekah yang disertai riya, al-mann, dan al-adza, Allah menyajikannya dalam sebuah perumpamaan yang luar biasa visual dan mudah dipahami. Amal perbuatan orang tersebut diibaratkan seperti sebuah batu yang licin (ṣafwān). Batu ini pada dasarnya keras, tandus, dan tidak produktif. Ia tidak bisa menyerap air dan tidak bisa menumbuhkan tanaman.

Di atas batu licin itu, ada lapisan debu tipis ('alaihi turābun). Debu ini dari kejauhan mungkin tampak seperti tanah yang subur. Ia memberikan ilusi atau penampilan luar bahwa batu ini berpotensi untuk menjadi lahan yang produktif. Debu ini melambangkan amal sedekah yang dilakukan karena riya, atau yang diiringi dengan al-mann dan al-adza. Tampak di mata manusia sebagai sebuah kebaikan, sebuah "investasi" akhirat yang menjanjikan.

Kemudian datanglah hujan yang sangat lebat (wābil). Hujan lebat ini bukanlah hujan rahmat yang menumbuhkan, melainkan hujan yang menghanyutkan dan membersihkan. Ia adalah metafora untuk hari perhitungan (Yaumul Hisab), hari di mana segala kepalsuan akan tersingkap dan hanya amalan yang tulus yang akan bertahan. Hujan deras itu menyapu bersih seluruh debu tanpa sisa, dan akhirnya "fatarakahụ ṣaldā" (maka tinggallah batu itu licin lagi).

Hasil akhirnya adalah pemandangan yang menyedihkan. Batu itu kembali ke wujud aslinya: keras, licin, tandus, dan sama sekali tidak bernilai dari segi agrikultur. Seluruh lapisan "kebaikan" yang semu itu telah lenyap. Inilah gambaran sempurna bagi orang yang beramal tanpa keikhlasan. Mereka mengira telah mengumpulkan banyak pahala, namun pada hari kiamat, mereka mendapati "rekening" akhirat mereka kosong melompong. "Lā yaqdirụna 'alā syai`im mimmā kasabụ" (Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan).

Akar Masalah: Riya dan Ketiadaan Iman yang Hakiki

Ayat ini secara eksplisit mengaitkan perilaku al-mann dan al-adza dengan perilaku orang yang lebih besar lagi dosanya, yaitu "kallażī yunfiqu mālahụ ri`ā`an-nāsi" (seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya/pamer kepada manusia). Riya adalah melakukan suatu amalan ibadah bukan untuk mencari keridhaan Allah, melainkan untuk mendapatkan pujian, sanjungan, atau status di mata manusia. Ini adalah bentuk kesyirikan kecil (syirk al-ashghar) karena ia telah menduakan Allah dengan makhluk dalam niat beribadahnya.

Orang yang riya menjadikan manusia sebagai tujuan dan standar penilaian amalnya. Jika dipuji, ia senang. Jika tidak ada yang melihat, ia enggan beramal. Sedekahnya adalah sebuah pertunjukan, sebuah teater kesalehan yang panggungnya adalah dunia dan penontonnya adalah manusia. Tentu saja, orang yang memiliki niat seperti ini sangat rentan untuk melakukan al-mann dan al-adza. Mengapa? Karena ketika ia tidak mendapatkan pujian yang "sepadan" dari manusia, ia akan berusaha "menagihnya" dengan cara mengungkit-ungkit pemberiannya (al-mann) atau melampiaskan kekecewaannya dengan menyakiti si penerima (al-adza).

Lebih dalam lagi, Allah SWT mengungkap akar dari segala penyakit ini: "wa lā yu`minu billāhi wal-yaumil-ākhir" (dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir). Pernyataan ini bisa memiliki dua makna. Pertama, secara harfiah merujuk pada orang-orang kafir yang berderma untuk mendapatkan reputasi di dunia. Kedua, dan ini yang lebih relevan bagi orang yang mengaku muslim, adalah imannya kepada Allah dan hari akhir tidaklah kokoh dan hakiki. Imannya hanya sebatas di lisan, belum meresap ke dalam sanubari.

Seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah akan meyakini bahwa Allah Maha Melihat setiap perbuatan, bahkan yang tersembunyi di lubuk hati. Sehingga, ia tidak butuh "penonton" dari kalangan manusia. Seseorang yang benar-benar beriman kepada Hari Akhir akan yakin bahwa balasan yang sejati dan abadi hanya ada di sisi Allah. Pahala surgawi jauh lebih berharga daripada pujian sesaat dari manusia yang fana. Keyakinan inilah yang menjadi benteng utama melawan bisikan riya, al-mann, dan al-adza. Ketika keyakinan ini goyah, maka orientasi amal pun bergeser dari vertikal (kepada Allah) menjadi horizontal (kepada manusia).

Implikasi dalam Konteks Kehidupan Modern

Pesan dari Surat Al-Baqarah ayat 264 ini relevansinya tidak lekang oleh waktu. Justru di era modern ini, tantangannya menjadi semakin besar dan beragam.

1. Sedekah di Era Media Sosial

Zaman digital dan media sosial telah menciptakan panggung riya yang sangat luas. Dengan sekali klik, seseorang dapat mempublikasikan "aksi kebaikannya" ke seluruh dunia. Foto-foto saat memberikan sumbangan, video saat mengunjungi panti asuhan, atau status yang menceritakan detail bantuan yang diberikan, semuanya berpotensi menjadi debu di atas batu licin jika niatnya adalah untuk meraih "likes", "shares", dan komentar pujian. Fenomena ini sering disebut "poverty porn", di mana kemiskinan orang lain dieksploitasi untuk konten demi citra diri. Ayat ini menjadi tamparan keras, mengingatkan kita bahwa Allah tidak menilai berdasarkan jumlah interaksi digital, melainkan kemurnian niat di balik layar.

2. Filantropi Korporat dan Politik

Di level yang lebih besar, kita melihat banyak program Corporate Social Responsibility (CSR) atau bantuan sosial dari para politisi. Meskipun banyak yang tulus, tidak sedikit yang menjadikannya sebagai alat pemasaran atau kampanye terselubung. Spanduk besar dengan logo perusahaan atau wajah politisi yang terpampang di setiap paket bantuan adalah bentuk "riya institusional". Begitu pula saat seorang calon pejabat memberikan bantuan lalu dalam kampanyenya ia terus-menerus mengungkit, "Kami sudah membangun ini, kami sudah memberi itu," ini adalah bentuk al-mann dalam skala massa untuk menagih "balas budi" dalam bentuk suara di bilik pemilu.

3. Hubungan Personal Sehari-hari

Dalam lingkup yang paling kecil sekalipun, ayat ini sangat aplikatif. Seorang kakak yang membiayai sekolah adiknya, lalu setiap kali bertengkar selalu mengungkit, "Kamu itu tidak tahu berterima kasih, saya yang menyekolahkanmu!" telah menghancurkan pahala kebaikannya. Seorang teman yang meminjamkan uang, lalu menyebarkan cerita kesulitan temannya itu kepada orang lain, telah melakukan al-adza yang parah. Ayat ini mengajarkan kita untuk "melupakan" kebaikan yang telah kita lakukan kepada orang lain, seolah-olah tangan kiri tidak tahu apa yang diberikan oleh tangan kanan. Biarlah kebaikan itu menjadi rahasia antara kita dengan Allah.

Kesimpulan: Menuju Sedekah yang Murni dan Berkualitas

Surat Al-Baqarah ayat 264 adalah sebuah panduan etika bersedekah yang komprehensif. Ia mengajarkan bahwa esensi dari memberi bukanlah pada perbuatan itu sendiri, melainkan pada ruh yang menyertainya. Sebuah sedekah, sebesar apapun nilainya, akan menjadi sia-sia dan tidak berbobot jika tercemar oleh tiga penyakit utama: riya (pamer), al-mann (mengungkit-ungkit), dan al-adza (menyakiti).

Perumpamaan tentang batu licin berdebu yang disapu bersih oleh hujan lebat adalah pengingat abadi bahwa di hadapan Allah, penampilan luar tidak ada artinya. Yang dinilai adalah fondasi amal, yaitu keimanan yang kokoh dan keikhlasan yang murni. Amal yang dibangun di atas fondasi yang rapuh (mencari pujian manusia) akan hancur lebur diterpa "hujan" pengadilan ilahi, tidak menyisakan apapun kecuali penyesalan.

Oleh karena itu, marilah kita senantiasa menjaga hati kita setiap kali beramal. Sebelum beramal, luruskan niat semata-mata untuk Allah. Saat beramal, lakukan dengan cara terbaik dan paling memuliakan penerimanya. Dan yang terpenting, setelah beramal, tutuplah rapat-rapat pintu ingatan atas kebaikan itu, kunci dengan gembok keikhlasan, dan buanglah anak kuncinya. Biarkan Allah saja yang menjadi Saksi dan Pemberi balasan. Karena hanya dengan cara itulah, sedekah kita tidak akan menjadi debu yang beterbangan, melainkan menjadi pohon rindang yang buahnya akan kita petik di akhirat kelak.

🏠 Homepage