Antara Ancaman dan Anugerah: Menggali Makna Surah Al-Lahab dan An-Nasr

Al-Qur'an, sebagai firman Allah yang mulia, diturunkan sebagai petunjuk universal bagi seluruh umat manusia. Setiap surah, bahkan setiap ayat di dalamnya, mengandung lautan hikmah yang tak terbatas. Ada kalanya, dua surah yang tampak berbeda secara diametral justru saling melengkapi, memberikan gambaran utuh tentang keadilan dan rahmat ilahi. Di antara pasangan surah yang paling menonjol dalam kontrasnya adalah Surah Al-Lahab dan Surah An-Nasr. Yang satu berbicara tentang kehancuran, kutukan, dan keputusasaan bagi musuh Allah, sementara yang lainnya mengabarkan tentang kemenangan, pertolongan, dan anjuran untuk bersyukur serta merendah diri. Mempelajari keduanya secara berdampingan membuka jendela pemahaman yang luas tentang perjuangan dakwah, konsekuensi dari penentangan, dan buah dari kesabaran.

Surah Al-Lahab, surah ke-111 dalam mushaf, adalah deklarasi tegas tentang nasib akhir seorang penentang dakwah yang paling keras, yang notabene adalah paman Nabi Muhammad SAW sendiri. Surah ini menjadi bukti bahwa ikatan darah tidak memiliki nilai di hadapan Allah jika tidak disertai dengan keimanan. Di sisi lain, Surah An-Nasr, surah ke-110, merupakan salah satu surah terakhir yang diturunkan. Ia bagaikan pengumuman resmi dari langit atas kemenangan gemilang yang diraih umat Islam, yakni penaklukan Kota Makkah (Fathu Makkah). Surah ini merangkum esensi dari sebuah keberhasilan: bukan untuk dirayakan dengan kesombongan, melainkan dengan tasbih, tahmid, dan istighfar. Mari kita selami lebih dalam makna, konteks, dan pelajaran abadi yang terkandung dalam dua surah agung ini, yakni Surah Al-Lahab dan Surah An-Nasr.

Memahami Surah Al-Lahab (Gejolak Api)

Ikon Api Melambangkan Surah Al-Lahab

Surah Al-Lahab adalah surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Surah ini sangat unik karena secara spesifik menyebut nama individu—Abu Lahab—dan mengecamnya secara langsung beserta istrinya. Ini merupakan sebuah penegasan yang sangat kuat tentang keadilan Allah yang tidak memandang status sosial atau hubungan kekerabatan. Surah ini menjadi simbol bagi akhir yang tragis bagi siapa pun yang dengan sadar dan sengaja memusuhi kebenaran.

Teks, Transliterasi, dan Terjemahan Surah Al-Lahab

تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ

Tabbat yadā abī lahabiw wa tabb(a).

"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia."

مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ

Mā agnā ‘anhu māluhū wa mā kasab(a).

"Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan."

سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ

Sayaṣlā nāran żāta lahab(in).

"Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka)."

وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ

Wamra'atuh(ū), ḥammālatal-ḥaṭab(i).

"Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah)."

فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ ࣖ

Fī jīdihā ḥablum mim masad(in).

"Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal."

Asbabun Nuzul: Latar Belakang Turunnya Ayat

Konteks turunnya surah ini sangat dramatis dan menunjukkan tingkat permusuhan yang luar biasa dari Abu Lahab. Dikisahkan dalam riwayat yang shahih, setelah Nabi Muhammad SAW menerima perintah untuk berdakwah secara terang-terangan, beliau naik ke atas Bukit Shafa dan memanggil suku-suku Quraisy. Beliau berseru, "Wahai Bani Fihr, wahai Bani 'Adi," dan seterusnya hingga semua suku penting berkumpul. Setelah mereka berkumpul, Rasulullah bertanya, "Bagaimana pendapat kalian jika aku memberitahukan bahwa ada pasukan kuda di lembah sana yang hendak menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka serempak menjawab, "Tentu kami percaya, karena kami tidak pernah mendapati engkau berdusta."

Setelah mendapatkan pengakuan atas kejujurannya, beliau melanjutkan, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya azab yang sangat pedih." Mendengar ini, pamannya sendiri, Abu Lahab, yang bernama asli Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, bangkit dengan amarah yang meluap-luap. Ia mengambil batu dan berteriak dengan nada menghina, "Tabban laka sā'iral yaum! A li hāżā jama'tanā?" (Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?). Sebagai respons langsung dari langit atas penghinaan yang keji ini, Allah SWT menurunkan Surah Al-Lahab, membalikkan kutukan tersebut kepada Abu Lahab sendiri dengan kekuatan firman ilahi.

Tafsir Mendalam Ayat per Ayat

Ayat 1: Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia.

Ayat pertama ini adalah sebuah pernyataan dan doa kebinasaan yang sangat kuat. Frasa "Tabbat yadā" (Binasalah kedua tangan) memiliki makna yang sangat dalam. Tangan adalah simbol dari usaha, kekuatan, kekuasaan, dan perbuatan. Dengan menyatakan kebinasaan pada kedua tangannya, Allah menegaskan bahwa segala usaha, rencana, dan kekuatan yang dimiliki Abu Lahab untuk menentang Islam akan hancur dan sia-sia. Ini bukan hanya doa, tetapi juga sebuah nubuat ilahi yang pasti terjadi. Bagian kedua ayat, "wa tabb" (dan benar-benar binasa dia), merupakan penegasan bahwa kebinasaan itu tidak hanya menimpa usahanya, tetapi juga meliputi seluruh dirinya, baik di dunia maupun di akhirat. Kebinasaannya adalah sebuah kepastian yang tak terelakkan.

Ayat 2: Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan.

Abu Lahab adalah seorang tokoh Quraisy yang kaya raya dan memiliki kedudukan sosial yang tinggi. Ia sangat membanggakan harta dan anak-anaknya. Ayat ini menelanjangi kesombongannya. Allah menyatakan bahwa semua kekayaan yang ia kumpulkan dan segala pencapaian duniawi ("wa mā kasab" - apa yang dia usahakan, yang bisa juga merujuk pada anak-anak dan statusnya) sama sekali tidak akan mampu menolongnya dari azab Allah. Ini adalah pelajaran universal bahwa kekayaan materi dan status sosial tidak memiliki nilai sedikit pun sebagai penebus di hadapan pengadilan ilahi. Saat ketetapan Allah datang, tidak ada harta benda atau pengaruh duniawi yang dapat menjadi perisai atau penolong.

Ayat 3: Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka).

Di sinilah letak salah satu mukjizat linguistik Al-Qur'an. Nama julukan Abu Lahab berarti "Bapak Gejolak Api". Allah SWT menggunakan kata yang berakar sama, "lahab", untuk menggambarkan azab yang akan menimpanya. Ia akan masuk ke dalam "nāran żāta lahab" (api yang memiliki gejolak). Ini adalah balasan yang setimpal dan mengandung ironi yang tajam. Seseorang yang hidupnya dipenuhi "gejolak" amarah dan permusuhan terhadap kebenaran akan dibalas dengan "gejolak" api neraka yang sesungguhnya. Ayat ini merupakan vonis akhirat yang pasti baginya, dan karena surah ini dibaca oleh umat Islam selama hidupnya, ini juga menjadi bukti kenabian Muhammad SAW. Jika saja Abu Lahab berpura-pura masuk Islam, ia bisa meruntuhkan kredibilitas Al-Qur'an, namun ia tetap dalam kekafirannya hingga mati.

Ayat 4: Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).

Ayat ini menunjukkan bahwa permusuhan terhadap dakwah tidak hanya dilakukan oleh Abu Lahab, tetapi juga didukung penuh oleh istrinya, Arwa binti Harb, yang juga dikenal sebagai Ummu Jamil. Ia adalah saudara perempuan dari Abu Sufyan. Julukan "ḥammālatal-ḥaṭab" (pembawa kayu bakar) memiliki dua makna yang saling melengkapi. Makna literalnya adalah ia sering menebarkan duri dan kayu di jalan yang biasa dilalui oleh Nabi Muhammad SAW di malam hari untuk mencelakai beliau. Makna kiasannya, yang lebih dalam, adalah ia aktif menyebarkan fitnah, adu domba, dan gosip untuk "membakar" suasana, memprovokasi permusuhan, dan merusak citra Rasulullah. Ia adalah bahan bakar bagi api kebencian yang dikobarkan suaminya.

Ayat 5: Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.

Ayat terakhir melengkapi gambaran hukuman yang mengerikan bagi Ummu Jamil. "Fī jīdihā" (di lehernya) merujuk pada leher jenjang yang mungkin di dunia ia hiasi dengan kalung-kalung mahal sebagai simbol statusnya. Namun di neraka, leher itu akan diikat dengan "ḥablum mim masad" (tali dari sabut yang dipintal). Tali sabut adalah tali yang kasar, kuat, dan melambangkan kehinaan. Gambaran ini menunjukkan penghinaan yang luar biasa. Perhiasan kebanggaannya di dunia digantikan dengan alat penyiksa yang menghinakannya di akhirat. Tali itu juga bisa diartikan sebagai simbol dari dosa-dosanya sendiri yang membelit dan mencekiknya. Ia terikat oleh perbuatannya sendiri, sebuah balasan yang setimpal atas perannya sebagai penyulut api fitnah.

Secara keseluruhan, Surah Al-Lahab adalah sebuah monumen peringatan. Ia mengabadikan kisah kejatuhan seorang manusia yang memilih untuk menentang kebenaran ilahi karena kesombongan, fanatisme kesukuan, dan kebencian pribadi. Surah ini menjadi penegas bahwa di hadapan Allah, tidak ada nepotisme, dan setiap individu akan bertanggung jawab penuh atas pilihan dan perbuatannya.

Menyambut Kemenangan dengan Surah An-Nasr (Pertolongan)

Ikon Ka'bah Melambangkan Kemenangan Islam dalam Surah An-Nasr

Jika Surah Al-Lahab adalah potret kelam dari penentangan di awal dakwah, maka Surah An-Nasr adalah cahaya terang kemenangan di penghujung perjuangan. Surah ini adalah surah Madaniyah, diturunkan di Madinah setelah Nabi SAW dan para sahabat membangun peradaban di sana. Mayoritas ulama berpendapat bahwa surah ini turun setelah peristiwa Fathu Makkah, penaklukan kota Makkah tanpa pertumpahan darah. Surah ini bukan hanya kabar gembira, tetapi juga sebuah panduan etika kemenangan dalam Islam, sekaligus isyarat halus akan berakhirnya tugas kerasulan Nabi Muhammad SAW.

Teks, Transliterasi, dan Terjemahan Surah An-Nasr

اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ

Iżā jā'a naṣrullāhi wal-fatḥ(u).

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"

وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًاۙ

Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā(n).

"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا ࣖ

Fasabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfirh(u), innahū kāna tawwābā(n).

"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."

Asbabun Nuzul: Konteks Kemenangan Agung

Surah An-Nasr diyakini turun pada masa Haji Wada' (haji perpisahan) Nabi Muhammad SAW, tidak lama sebelum beliau wafat. Konteks utamanya adalah keberhasilan Fathu Makkah. Setelah bertahun-tahun diusir, diperangi, dan dimusuhi oleh kaumnya sendiri di Makkah, Rasulullah kembali sebagai pemenang. Namun, kemenangan ini unik. Beliau memasuki kota kelahirannya dengan kepala tertunduk penuh kerendahan hati, memberikan ampunan massal kepada penduduk Makkah yang dahulu memusuhinya. Peristiwa ini menunjukkan keagungan akhlak beliau dan menjadi magnet yang menarik hati banyak orang.

Setelah Fathu Makkah, delegasi-delegasi dari berbagai kabilah di seluruh Jazirah Arab datang kepada Nabi untuk menyatakan keislaman mereka. Periode ini dikenal sebagai 'Amul Wufud (Tahun Delegasi). Orang-orang yang tadinya ragu atau takut, kini melihat dengan mata kepala sendiri kebenaran dan kekuatan Islam. Mereka masuk Islam secara berbondong-bondong, persis seperti yang digambarkan dalam surah ini. Ketika surah ini turun, para sahabat senior seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Al-Abbas merasakan getaran yang berbeda. Mereka memahami isyarat halus di baliknya: jika misi seorang nabi telah tuntas dengan kemenangan yang sempurna, maka tugasnya di dunia telah selesai, dan ajalnya pun sudah dekat.

Tafsir Mendalam Ayat per Ayat

Ayat 1: Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.

"Naṣrullāh" (pertolongan Allah) ditempatkan sebelum "al-fatḥ" (kemenangan). Ini adalah penekanan teologis yang fundamental: kemenangan bukanlah hasil dari kehebatan strategi militer, jumlah pasukan, atau kekuatan manusia semata. Kemenangan adalah buah dari pertolongan Allah. Tanpa pertolongan-Nya, segala upaya manusia akan sia-sia. "Al-Fatḥ" secara spesifik merujuk pada pembebasan kota Makkah, pusat spiritual Jazirah Arab dan tempat Ka'bah berada. Penaklukan Makkah bukan sekadar kemenangan teritorial, tetapi sebuah kemenangan simbolis yang membuktikan kebenaran risalah Islam dan meruntuhkan benteng paganisme di tanah Arab.

Ayat 2: dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah.

Ayat ini adalah deskripsi visual dari dampak kemenangan tersebut. "Afwājā" berarti berbondong-bondong, dalam kelompok-kelompok besar. Ini kontras dengan kondisi awal dakwah di Makkah, di mana orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, satu per satu, dan sering kali harus menanggung siksaan. Kini, setelah kemenangan itu, penghalang psikologis dan fisik telah runtuh. Manusia dari berbagai suku dan latar belakang datang dengan sukarela untuk memeluk agama Allah. Ini adalah pemenuhan janji Allah bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang dan diterima oleh hati-hati yang tulus. Pemandangan ini adalah puncak dari perjuangan panjang dan sabar selama lebih dari dua dekade.

Ayat 3: maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.

Inilah inti dari surah ini dan etika kemenangan dalam Islam. Respons yang diperintahkan Allah saat berada di puncak kejayaan bukanlah pesta pora, arogansi, atau balas dendam. Respons yang benar adalah kembali kepada Allah dengan tiga amalan utama:
1. Tasbih (Fasabbiḥ): Mensucikan Allah dari segala kekurangan. Mengakui bahwa kemenangan ini terjadi bukan karena kekuatan diri, melainkan murni karena keagungan dan kekuasaan Allah.
2. Tahmid (biḥamdi Rabbika): Memuji Allah atas segala nikmat-Nya. Bersyukur atas anugerah kemenangan dan hidayah yang telah Dia berikan. Ini adalah ekspresi rasa terima kasih yang mendalam.
3. Istighfar (wastagfirh): Memohon ampunan. Ini mungkin tampak aneh. Mengapa memohon ampun di saat menang? Para ulama menjelaskan beberapa hikmahnya. Pertama, sebagai pengakuan bahwa dalam perjuangan panjang itu, mungkin ada kekurangan, kelalaian, atau kesalahan yang tidak disadari. Kedua, sebagai bentuk kerendahan hati yang puncak, untuk melindungi diri dari penyakit hati seperti ujub (bangga diri) dan sombong yang seringkali muncul saat meraih kesuksesan. Ketiga, sebagai persiapan untuk bertemu dengan Allah, karena tugas telah selesai.
Ayat ditutup dengan penegasan "innahū kāna tawwābā" (Sungguh, Dia Maha Penerima tobat). Ini adalah jaminan dan penghiburan bahwa sebanyak apa pun kekurangan kita, pintu tobat Allah selalu terbuka lebar bagi hamba-Nya yang tulus kembali kepada-Nya.

Kontras yang Menggugah: Al-Lahab dan An-Nasr

Menempatkan Surah Al-Lahab di samping Surah An-Nasr akan menyingkapkan sebuah diptik (lukisan dua panel) yang luar biasa dalam Al-Qur'an. Keduanya melukiskan dua kutub nasib yang berbeda sebagai hasil dari dua sikap yang berlawanan terhadap risalah ilahi.

"Surah Al-Lahab adalah vonis kehancuran bagi penentang di awal jalan, sementara Surah An-Nasr adalah proklamasi kemenangan bagi para pejuang di akhir perjalanan. Keduanya adalah cermin bagi kita: jalan mana yang akan kita pilih?"

Berikut adalah beberapa poin kontras utama antara keduanya:

Kontras ini memberikan pelajaran yang sangat kuat. Ia menunjukkan bahwa roda waktu berputar atas kehendak Allah. Penindasan dan arogansi di awal mungkin tampak menang, tetapi pada akhirnya akan hancur lebur seperti nasib Abu Lahab. Sebaliknya, kesabaran, keteguhan iman, dan perjuangan di jalan Allah, meskipun awalnya penuh penderitaan, pada akhirnya akan berbuah kemenangan gemilang dan pertolongan yang tidak terduga, seperti yang dialami oleh Rasulullah dan para sahabat.

Pelajaran Abadi dari Dua Surah

Baik Surah Al-Lahab maupun Surah An-Nasr bukanlah sekadar catatan sejarah. Keduanya mengandung prinsip-prinsip universal yang relevan bagi setiap Muslim di setiap zaman.

Dari Surah Al-Lahab, kita belajar:

  1. Keadilan Allah itu Mutlak: Ikatan darah atau status sosial tidak memberikan imunitas dari keadilan Allah. Kebenaran harus ditegakkan bahkan jika itu berarti berhadapan dengan keluarga terdekat.
  2. Kebinasaan bagi Penentang Kebenaran: Siapa pun yang secara aktif memusuhi agama Allah, menyebarkan fitnah, dan menghalangi jalan dakwah, sejatinya sedang menempuh jalan kebinasaannya sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.
  3. Kefanaan Dunia: Harta, kekuasaan, dan keturunan tidak akan pernah bisa membeli keselamatan atau menolak takdir Allah. Ketergantungan pada hal-hal ini adalah sebuah ilusi yang fatal.

Dari Surah An-Nasr, kita belajar:

  1. Sumber Kemenangan Hakiki: Semua keberhasilan, kemenangan, dan pencapaian berasal dari pertolongan Allah semata. Peran manusia adalah berikhtiar dengan sungguh-sungguh, namun hasilnya mutlak di tangan-Nya.
  2. Etika Kesuksesan: Puncak kesuksesan harus disambut dengan puncak kerendahan hati. Semakin tinggi nikmat yang diterima, semakin dalam pula sujud syukur, zikir, dan permohonan ampun yang harus dipanjatkan.
  3. Pentingnya Istighfar: Memohon ampun bukanlah tanda kelemahan atau pengakuan dosa besar semata, tetapi juga merupakan bagian dari penyempurnaan amal dan perlindungan dari kesombongan. Bahkan di saat paling bahagia sekalipun, seorang hamba harus selalu merasa butuh akan ampunan Tuhannya.
  4. Setiap Awal Memiliki Akhir: Surah ini mengingatkan kita bahwa setiap tugas dan setiap kehidupan memiliki batas waktu. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan waktu yang ada untuk menyelesaikan misi hidup kita dengan sebaik-baiknya, agar siap ketika panggilan untuk kembali datang.

Kesimpulannya, perjalanan menelusuri Surah Al-Lahab dan An-Nasr adalah perjalanan melihat dua sisi mata uang dari ketetapan ilahi. Keduanya menegaskan sunnatullah (hukum Allah) di alam semesta: kebatilan, meski pada awalnya tampak berkuasa, pada akhirnya pasti akan lenyap. Sedangkan kebenaran, meski pada awalnya harus melalui jalan terjal dan penuh penderitaan, pada akhirnya pasti akan meraih kemenangan. Semoga kita dapat mengambil ibrah dari kehancuran Abu Lahab dan meneladani kerendahan hati Rasulullah SAW dalam menyikapi setiap episode kehidupan, baik dalam kesulitan maupun dalam kemudahan.

🏠 Homepage