Dalam alunan zikir seorang hamba, dalam helaan napas lega setelah melewati kesulitan, atau dalam senyum tulus saat menerima anugerah, seringkali terucap sebuah frasa yang singkat namun sarat makna: Alhamdulillah 'ala ni'matillah. Kalimat ini bukan sekadar rangkaian kata dari bahasa Arab, melainkan sebuah deklarasi jiwa, pengakuan hati, dan kunci pembuka pintu-pintu keberkahan yang lebih luas. Ia adalah esensi dari rasa syukur, sebuah pilar fundamental dalam bangunan keimanan seorang Muslim.
Menggali lebih dalam ke dalam kalimat ini laksana menyelami samudra yang tak bertepi. Setiap katanya mengandung lapisan makna yang mendalam, menghubungkan lidah yang berucap dengan hati yang merasa, dan pada akhirnya, menyambungkan sang hamba dengan Penciptanya. Artikel ini akan menjadi panduan untuk menjelajahi setiap sudut dari kalimat agung ini, mulai dari penulisan Arab yang benar, pembedahan makna per kata, hingga keutamaan dan manifestasinya dalam kehidupan nyata. Dengan memahaminya secara utuh, kita berharap dapat mengubah ucapan ini dari sekadar kebiasaan lisan menjadi getaran jiwa yang konstan, yang mampu mentransformasi cara kita memandang dunia dan berinteraksi dengan setiap nikmat yang Allah anugerahkan.
"Segala puji bagi Allah atas nikmat Allah"
Penulisan Arab yang Benar dan Transliterasi
Untuk memahami sebuah konsep dari tradisi Islam, langkah pertama yang paling fundamental adalah mengenal bentuk aslinya dalam bahasa Al-Qur'an. Ini bukan hanya soal ketepatan, tetapi juga soal adab dan upaya untuk menangkap nuansa makna yang mungkin hilang dalam terjemahan. Kalimat syukur yang kita bahas ini memiliki penulisan Arab yang spesifik.
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى نِعْمَةِ اللَّهِ
Mari kita pecah kalimat ini menjadi komponen-komponen dasarnya untuk memahami struktur dan cara membacanya:
- الْحَمْدُ (Al-Hamdu): Dibaca "Alhamdu". Kata ini berarti "pujian" atau "segala puji".
- لِلَّهِ (Lillāh): Dibaca "Lillaah". Merupakan gabungan dari huruf 'li' (لِ) yang berarti "untuk" atau "milik" dan lafadz 'Allah' (اللَّه). Jadi, maknanya adalah "bagi Allah" atau "milik Allah".
- عَلَى ('Alā): Dibaca "'Alaa". Ini adalah preposisi yang berarti "atas".
- نِعْمَةِ (Ni'mati): Dibaca "Ni'mati". Kata ini berarti "nikmat" atau "karunia".
- اللَّهِ (Allāh): Lafadz Jalalah, nama Tuhan yang paling agung, Allah.
Ketika digabungkan, kalimat ini secara harfiah berarti: "Segala puji bagi Allah atas nikmat Allah." Pengulangan lafadz Allah di akhir kalimat menegaskan bahwa sumber dari segala nikmat tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini adalah penegasan tauhid yang kuat dalam sebuah ungkapan syukur.
Transliterasi dan Pengucapan
Transliterasi adalah proses mengalih-aksarakan dari satu sistem tulisan ke sistem tulisan lain. Dalam hal ini, dari aksara Arab ke aksara Latin. Terdapat beberapa variasi transliterasi yang umum dijumpai, seperti:
- Alhamdulillah 'ala ni'matillah
- Alhamdulillahi 'alaa ni'matillaah
- Alhamdu lillahi 'ala ni'matillah
Perbedaan ini biasanya terletak pada cara merepresentasikan vokal panjang (seperti 'aa') dan penekanan pada harakat akhir (misalnya, 'Alhamdu' vs 'Alhamdulillahi'). Meskipun ada variasi, intinya merujuk pada kalimat yang sama. Yang terpenting adalah usaha untuk mengucapkannya dengan makhraj (tempat keluarnya huruf) yang mendekati benar, terutama pada huruf-huruf seperti 'Ha' (ح) pada Al-Hamdu dan 'Ayn' (ع) pada 'Alaa, yang tidak memiliki padanan persis dalam abjad Latin. Belajar langsung dari seseorang yang paham adalah cara terbaik untuk menyempurnakan pelafalan.
Makna Mendalam di Balik Setiap Kata
Untuk benar-benar meresapi kekuatan kalimat "Alhamdulillah 'ala ni'matillah", kita perlu membedah setiap katanya dan menyelami lautan makna yang terkandung di dalamnya. Ini bukan sekadar penerjemahan, melainkan sebuah tafakur atas pilihan kata yang Allah ilhamkan kepada hamba-hamba-Nya.
1. Al-Hamdu (الْحَمْدُ): Lebih dari Sekadar Terima Kasih
Kata pertama, Al-Hamdu, sering diterjemahkan sebagai "pujian". Namun, maknanya jauh lebih luas dan mendalam. Dalam bahasa Arab, ada kata lain untuk berterima kasih, yaitu Asy-Syukru (الشكر). Lalu, apa bedanya?
- Asy-Syukru (Syukur) adalah respon terima kasih atas kebaikan atau manfaat yang kita terima secara langsung. Jika seseorang memberi Anda hadiah, Anda bersyukur kepadanya. Syukur terikat pada adanya manfaat yang diterima.
- Al-Hamdu (Pujian) adalah pengakuan dan pujian atas keindahan, kesempurnaan, dan keagungan Dzat itu sendiri, terlepas dari apakah kita menerima manfaat langsung darinya atau tidak. Anda memuji keindahan matahari terbenam bukan karena ia memberi Anda sesuatu, tetapi karena ia memang indah. Anda memuji Allah karena sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna (Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Bijaksana), bahkan sebelum Anda memikirkan nikmat apa yang telah Anda terima.
Adanya partikel "Al-" (ال) di awal kata "Al-Hamdu" disebut sebagai alif lam istighraq, yang berarti mencakup keseluruhan. Jadi, "Al-Hamdu" bukan sekadar "sebuah pujian", melainkan "SEGALA puji" dalam bentuknya yang paling sempurna, total, dan absolut. Ini adalah sebuah deklarasi bahwa setiap pujian yang pernah terucap, yang sedang terucap, dan yang akan terucap di seluruh alam semesta, pada hakikatnya hanya pantas dan hanya berhak ditujukan kepada Allah semata.
2. Lillāh (لِلَّهِ): Arah dan Kepemilikan Mutlak
Kata kedua, Lillāh, menegaskan arah dari segala pujian tersebut. Huruf "Li" (لِ) di sini memiliki makna kepemilikan (lil-milk) dan kekhususan (lil-ikhtishas). Ini berarti bahwa segala puji itu milik Allah dan khusus untuk Allah. Tidak ada satu partikel pujian pun yang pantas disandarkan kepada selain-Nya secara hakiki. Jika kita memuji ciptaan-Nya—keindahan alam, kecerdasan manusia, atau kelezatan makanan—pujian itu pada akhirnya harus kembali kepada Sang Pencipta yang menciptakan itu semua. Lillāh adalah penegasan konsep tauhid yang paling murni: hanya Allah yang berhak atas pujian absolut.
3. 'Alā (عَلَى): Jembatan Antara Pujian dan Sebabnya
Kata 'Alā, yang berarti "atas", berfungsi sebagai jembatan. Ia menghubungkan tindakan memuji (Al-Hamdu Lillāh) dengan alasan spesifik dari pujian tersebut. Dalam konteks kalimat ini, pujian kita secara khusus difokuskan "atas" atau "karena" nikmat-nikmat yang diberikan-Nya. Ini membuat ungkapan syukur menjadi lebih sadar dan terarah. Kita tidak hanya memuji secara umum, tetapi kita secara sadar mengakui bahwa pujian ini terucap karena kita sedang merenungkan sebuah karunia spesifik.
4. Ni'mah (نِعْمَةِ): Karunia yang Tak Terhingga
Inilah inti dari fokus kalimat ini: Ni'mah. Kata ini diterjemahkan sebagai nikmat, karunia, atau anugerah. Namun, konsep ni'mah dalam Islam sangatlah luas. Seringkali, pikiran kita terbatas pada nikmat-nikmat yang terlihat dan material, seperti harta, makanan, atau jabatan. Padahal, nikmat Allah jauh melampaui itu. Mari kita coba merenungkan sebagian kecil dari samudra ni'mah ini:
- Nikmat Terbesar: Iman dan Islam. Inilah nikmat paling agung yang sering kita lupakan. Diberikannya hidayah untuk mengenal Allah, meyakini-Nya, dan berserah diri kepada-Nya adalah anugerah yang nilainya melampaui seluruh isi dunia.
- Nikmat Kehidupan (Al-Hayah). Setiap detik napas yang kita hembuskan adalah nikmat. Kesempatan untuk hidup, beribadah, bertaubat, dan berbuat baik adalah karunia yang tak ternilai.
- Nikmat Kesehatan ('Afiyah). Kemampuan mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, lidah untuk merasa, kaki untuk melangkah, dan organ-organ tubuh yang berfungsi normal adalah nikmat luar biasa yang baru terasa nilainya saat salah satunya dicabut.
- Nikmat Akal ('Aql). Kemampuan untuk berpikir, belajar, membedakan baik dan buruk, serta merenungkan ciptaan Allah adalah nikmat yang mengangkat derajat manusia.
- Nikmat Keamanan (Al-Amn). Tidur nyenyak tanpa takut, berjalan di luar tanpa khawatir, dan hidup dalam masyarakat yang damai adalah nikmat yang seringkali dianggap biasa saja oleh mereka yang memilikinya.
- Nikmat-nikmat "Kecil". Segelas air dingin di hari yang panas, senyum dari orang yang kita cintai, udara segar di pagi hari, kemampuan untuk membaca tulisan ini—semuanya adalah bagian dari ni'mah.
Allah sendiri menegaskan dalam Al-Qur'an tentang betapa tak terhitungnya nikmat-Nya:
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ
"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya." (QS. Ibrahim: 34)
Mengucapkan "Alhamdulillah 'ala ni'matillah" adalah upaya kita sebagai hamba yang lemah untuk mengakui lautan nikmat ini, meskipun kita sadar sepenuhnya bahwa kita tidak akan pernah mampu menghitung atau mensyukurinya secara sempurna.
Keutamaan dan Manfaat Dahsyat di Balik Ungkapan Syukur
Mengucapkan "Alhamdulillah 'ala ni'matillah" bukan sekadar rutinitas verbal. Ia adalah sebuah amalan yang memiliki dampak luar biasa, baik secara spiritual, psikologis, maupun dalam realitas kehidupan kita. Kalimat ini adalah doa, zikir, dan afirmasi yang mampu membuka pintu-pintu kebaikan yang tak terduga.
1. Kunci Pembuka Tambahan Nikmat
Ini adalah janji Allah yang paling eksplisit dan agung terkait syukur. Sebuah janji yang pasti dan tidak akan pernah diingkari. Allah berfirman dalam Al-Qur'an dengan penegasan yang sangat kuat:
لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu." (QS. Ibrahim: 7)
Kata "La-azīdannakum" (لَأَزِيدَنَّكُمْ) dalam ayat ini menggunakan bentuk penekanan berlapis (lam taukid dan nun taukid), yang menunjukkan sebuah kepastian mutlak. "Tambahan" (ziyadah) dari Allah ini bisa datang dalam berbagai bentuk:
- Tambahan Kuantitas: Harta yang bersyukur akan ditambah jumlahnya. Ilmu yang disyukuri (dengan diajarkan) akan ditambah pemahamannya.
- Tambahan Kualitas (Barakah): Harta yang sedikit terasa cukup dan membawa banyak kebaikan. Waktu yang singkat bisa digunakan untuk banyak hal produktif. Keluarga yang sederhana diliputi kehangatan dan sakinah. Inilah yang disebut keberkahan.
- Tambahan dalam Bentuk Nikmat Lain: Syukur atas nikmat sehat bisa jadi mendatangkan nikmat rezeki. Syukur atas nikmat ilmu bisa jadi mendatangkan nikmat kehormatan. Allah mengganti dan menambah nikmat dengan cara yang seringkali tidak kita sangka.
- Tambahan Kenikmatan dalam Merasakan Nikmat: Ini adalah level yang lebih tinggi. Dua orang bisa makan makanan yang sama, tetapi orang yang bersyukur akan merasakan kelezatan dan kepuasan yang jauh lebih mendalam. Rasa syukur itu sendiri menjadi sebuah nikmat.
Dengan demikian, setiap kali kita mengucapkan "Alhamdulillah 'ala ni'matillah", kita seolah-olah sedang "menginvestasikan" nikmat yang sudah ada untuk mendapatkan nikmat yang lebih banyak dan lebih berkah dari Allah.
2. Meningkatkan Kualitas Iman dan Taqwa
Syukur adalah cerminan dari iman. Seorang yang benar-benar beriman pasti akan menjadi seorang yang pandai bersyukur. Mengapa demikian? Karena syukur adalah pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Ini secara langsung memupuk pilar-pilar keimanan:
- Menguatkan Tauhid: Dengan bersyukur, kita mengakui bahwa hanya Allah-lah sumber segala nikmat. Ini membersihkan hati dari ketergantungan kepada makhluk dan menyandarkan segalanya hanya kepada Sang Khaliq.
- Menumbuhkan Cinta kepada Allah (Mahabbah): Secara fitrah, manusia akan mencintai siapa saja yang berbuat baik kepadanya. Dengan terus-menerus mengingat dan mensyukuri nikmat Allah, akan tumbuh benih-benih cinta yang mendalam kepada-Nya. Semakin kita sadar betapa banyak yang telah Dia berikan, semakin besar cinta kita kepada-Nya.
- Meningkatkan Rasa Ridha (Qana'ah): Syukur memindahkan fokus kita dari apa yang tidak kita miliki ke apa yang sudah kita miliki. Ini adalah penawar paling ampuh untuk penyakit hati seperti iri, dengki, dan keluh kesah. Hati menjadi lapang, tenang, dan ridha dengan segala ketetapan Allah. Jiwa menjadi kaya meskipun materi mungkin sederhana.
3. Meraih Pahala dan Keridhaan Allah
Syukur adalah salah satu ibadah yang paling dicintai oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa kalimat "Alhamdulillah" saja sudah memiliki bobot yang luar biasa di timbangan amal.
"Alhamdulillah itu dapat memenuhi timbangan." (HR. Muslim)
Jika "Alhamdulillah" saja sudah memenuhi timbangan, bayangkan bobotnya ketika diucapkan dengan kesadaran penuh atas nikmat tertentu, seperti dalam "Alhamdulillah 'ala ni'matillah". Allah ridha kepada hamba-Nya yang bersyukur. Dalam hadits lain disebutkan:
"Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat ridha terhadap hamba-Nya yang mengucapkan Alhamdulillah sesudah makan dan minum." (HR. Muslim)
Makan dan minum adalah nikmat yang sangat rutin, namun syukur atasnya dapat mendatangkan keridhaan Allah. Bagaimana dengan syukur atas nikmat iman, kesehatan, dan kehidupan itu sendiri? Keridhaan Allah adalah puncak dari segala pencapaian seorang hamba, dan syukur adalah salah satu jalan termudah untuk meraihnya.
4. Manfaat Psikologis: Kebahagiaan dan Kesehatan Mental
Ilmu pengetahuan modern, khususnya dalam bidang psikologi positif, telah "menemukan" apa yang telah diajarkan Islam selama 14 abad: praktik bersyukur (gratitude) memiliki dampak luar biasa pada kesehatan mental dan kebahagiaan.
- Mengurangi Stres dan Depresi: Fokus pada hal-hal positif yang dimiliki dapat mengubah sirkuit di otak, mengurangi produksi hormon stres seperti kortisol, dan meningkatkan hormon kebahagiaan seperti serotonin dan dopamin.
- Meningkatkan Optimisme dan Resiliensi: Orang yang terbiasa bersyukur cenderung lebih optimis dalam memandang masa depan dan lebih tangguh (resilien) dalam menghadapi kesulitan. Mereka melihat tantangan sebagai kesempatan, bukan sebagai akhir dari segalanya.
- Memperbaiki Kualitas Tidur: Merenungkan hal-hal yang patut disyukuri sebelum tidur dapat menenangkan pikiran, mengurangi kecemasan, dan membantu seseorang tidur lebih nyenyak.
- Memperkuat Hubungan Sosial: Rasa syukur membuat kita lebih menghargai orang lain, lebih berterima kasih, dan tidak mudah mengeluh. Ini membuat kita menjadi pribadi yang lebih menyenangkan dan memperkuat ikatan dengan keluarga serta teman.
Mengucapkan "Alhamdulillah 'ala ni'matillah" secara rutin adalah bentuk latihan bersyukur (gratitude exercise) yang paling agung, karena ia tidak hanya menghubungkan kita dengan hal-hal positif di dunia, tetapi juga menghubungkan kita langsung dengan Sumber dari segala hal positif tersebut: Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Menginternalisasi Makna: Dari Lisan ke Hati dan Perbuatan
Puncak dari pemahaman kalimat "Alhamdulillah 'ala ni'matillah" adalah ketika ia tidak lagi menjadi sekadar ucapan di lisan. Ia harus meresap ke dalam hati dan termanifestasi dalam setiap tindakan. Para ulama membagi syukur ke dalam tiga tingkatan yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan: syukur dengan lisan, syukur dengan hati, dan syukur dengan perbuatan.
Tingkat Pertama: Syukur dengan Lisan (Syukr bil Lisān)
Ini adalah tingkatan yang paling dasar dan merupakan pintu gerbang menuju tingkatan selanjutnya. Syukur dengan lisan adalah mengakui dan menyatakan nikmat Allah melalui ucapan. Ini mencakup:
- Mengucapkan Hamdalah: Secara sadar dan rutin mengucapkan "Alhamdulillah" atau "Alhamdulillah 'ala ni'matillah" setiap kali merasakan atau teringat akan suatu nikmat. Setelah makan, setelah minum, saat bangun tidur, saat menerima kabar baik, saat selamat dari bahaya, dan lainnya.
- Menceritakan Nikmat Allah (Tahadduts bin Ni'mah): Berbagi kabar baik dan menceritakan karunia yang Allah berikan—bukan dengan niat pamer atau sombong—tetapi dengan niat menampakkan nikmat Allah dan mensyukurinya. Ini sesuai dengan firman Allah: وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ "Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan." (QS. Ad-Dhuha: 11).
- Berdoa dan Berzikir: Menggunakan lisan untuk senantiasa memuji dan mengagungkan Allah, mengakui kebesaran-Nya yang telah melimpahkan segala karunia ini.
Meskipun ini adalah tingkat pertama, ia sangat penting. Lisan yang terbiasa basah dengan zikir dan syukur akan membentuk kebiasaan positif dan secara bertahap akan memengaruhi apa yang ada di dalam hati.
Tingkat Kedua: Syukur dengan Hati (Syukr bil Qalb)
Ini adalah esensi dan ruh dari rasa syukur. Tanpa kehadiran hati, ucapan lisan hanyalah cangkang kosong. Syukur dengan hati melibatkan beberapa aspek batiniah:
- Pengakuan Penuh (I'tiraf): Keyakinan yang tertanam kuat di dalam hati bahwa setiap nikmat, sekecil apa pun, datangnya murni dari Allah. Tidak ada campur tangan kekuatan lain, dan bahkan usaha kita sendiri pun bisa terwujud hanya karena izin dan kekuatan dari-Nya. Ini menyingkirkan perasaan sombong dan ujub atas pencapaian diri.
- Kecintaan (Mahabbah): Merasakan getaran cinta kepada Sang Pemberi Nikmat. Rasa syukur yang tulus akan melahirkan cinta yang mendalam kepada Allah, karena hati secara alami akan mencintai siapa pun yang berbuat baik kepadanya.
- Kerendahan Hati (Tawadhu'): Menyadari betapa banyaknya nikmat yang diberikan sementara ibadah dan ketaatan kita masih sangat kurang. Ini melahirkan rasa rendah hati di hadapan Allah dan malu untuk berbuat maksiat kepada-Nya.
- Rasa Puas dan Cukup (Qana'ah): Hati yang bersyukur akan selalu merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Ia tidak terus-menerus melihat ke atas dengan rasa iri, melainkan melihat ke bawah (kepada mereka yang diberi lebih sedikit) dengan rasa syukur.
Inilah tingkatan di mana rasa syukur berubah dari sebuah tindakan menjadi sebuah keadaan (state of being). Hati seorang hamba yang bersyukur akan senantiasa damai, lapang, dan terhubung dengan Tuhannya.
Tingkat Ketiga: Syukur dengan Perbuatan (Syukr bil Jawārih)
Inilah bukti nyata dan manifestasi tertinggi dari rasa syukur. Syukur sejati harus berbuah amal. Jika lisan telah berucap dan hati telah meyakini, maka anggota badan harus bergerak untuk membuktikannya. Syukur dengan perbuatan berarti menggunakan nikmat yang telah Allah berikan sesuai dengan tujuan penciptaannya dan di jalan yang Allah ridhai.
Contohnya sangat luas dan mencakup seluruh aspek kehidupan:
- Nikmat Harta: Disyukuri dengan cara menunaikan zakatnya, bersedekah kepada yang membutuhkan, tidak menggunakannya untuk hal yang haram, dan tidak boros.
- Nikmat Ilmu: Disyukuri dengan cara mengajarkannya kepada orang lain, mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak menggunakannya untuk menipu atau merendahkan orang lain.
- Nikmat Kesehatan dan Kekuatan: Disyukuri dengan cara menggunakannya untuk beribadah (shalat, puasa, haji), menolong sesama yang lemah, dan bekerja mencari rezeki yang halal. Bukan untuk bermaksiat atau menzalimi orang lain.
- Nikmat Jabatan dan Kekuasaan: Disyukuri dengan cara berlaku adil, melindungi yang lemah, menunaikan amanah, dan tidak menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi.
- Nikmat Mata, Telinga, dan Lisan: Disyukuri dengan cara menjaga mereka dari melihat, mendengar, dan mengucapkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Digunakan untuk membaca Al-Qur'an, mendengarkan nasihat, dan berkata yang baik.
Syukur dengan perbuatan inilah yang menjadi ujian sejati dari keimanan kita. Mengucapkan "Alhamdulillah 'ala ni'matillah" atas rezeki yang kita dapatkan menjadi sempurna ketika kita menyisihkan sebagian dari rezeki itu untuk orang lain. Mengucapkannya atas kesehatan menjadi sempurna ketika kita menggunakan kesehatan itu untuk sujud kepada-Nya di sepertiga malam terakhir. Inilah integrasi sempurna antara ucapan, keyakinan, dan tindakan.
Penutup: Sebuah Jalan Menuju Kehidupan yang Berkah
Kalimat Alhamdulillah 'ala ni'matillah adalah sebuah permata yang Allah anugerahkan kepada lisan para hamba-Nya. Ia lebih dari sekadar frasa, ia adalah sebuah pandangan hidup, sebuah filosofi, dan sebuah kunci untuk membuka gerbang kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat. Ia mengajarkan kita untuk mengalihkan fokus dari apa yang kurang menuju lautan karunia yang telah terhampar.
Dengan memahaminya secara mendalam—mulai dari setiap huruf Arabnya, makna katanya, hingga keutamaan dan cara mengamalkannya—kita dapat mentransformasi diri kita. Dari seorang hamba yang sering mengeluh menjadi hamba yang senantiasa bersyukur. Dari jiwa yang sempit dan gelisah menjadi jiwa yang lapang dan tenang (nafsul muthmainnah).
Marilah kita jadikan kalimat ini sebagai zikir harian kita, bukan hanya saat menerima kebaikan, tetapi di setiap hembusan napas. Karena setiap napas itu sendiri adalah nikmat yang paling agung. Semoga Allah menjadikan kita semua tergolong dalam golongan hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur ('ibādi asy-syakūr), yang lisannya basah karena memuji-Nya, hatinya penuh dengan cinta kepada-Nya, dan seluruh hidupnya adalah perwujudan dari rasa syukur kepada-Nya. Amin.