Alhamdulillah atas Nikmat Iman dan Islam

Simbol Nikmat Iman dan Islam Ilustrasi simbolis nikmat iman dan Islam, berupa bulan sabit hijau yang memeluk bintang emas bercahaya.

Di antara triliunan ucapan syukur yang bisa dilantunkan oleh lisan seorang hamba, ada satu kalimat yang bobotnya melampaui segala materi dan kenikmatan duniawi. Sebuah ungkapan yang merangkum anugerah terbesar, hadiah termulia, dan karunia paling agung yang bisa diterima oleh jiwa manusia. Kalimat itu adalah, "Alhamdulillah atas nikmat iman dan Islam." Ungkapan ini bukan sekadar frasa rutin, melainkan sebuah pengakuan tulus dari lubuk hati yang paling dalam, sebuah kesadaran bahwa tanpa dua nikmat ini, seluruh kekayaan dunia, jabatan tertinggi, dan pujian seluruh manusia tidak akan pernah memiliki nilai hakiki.

Bayangkan sejenak seorang musafir yang tersesat di gurun pasir yang maha luas. Di bawah terik matahari yang menyengat, tanpa air, tanpa arah, dan tanpa harapan, ia hampir binasa. Tiba-tiba, ia menemukan sebuah oase yang sejuk, lengkap dengan air jernih, pohon kurma yang rindang, dan petunjuk jalan yang jelas menuju tujuannya. Bagaimana mungkin ia akan lebih mensyukuri butiran pasir di tangannya daripada oase penyelamat hidupnya? Iman dan Islam adalah oase tersebut dalam kehidupan kita. Dunia ini adalah gurun ujian, dan tanpa iman dan Islam, kita akan tersesat dalam kehausan spiritual, kepanasan oleh syahwat, dan kehilangan arah tujuan sejati penciptaan kita.

Oleh karena itu, merenungkan makna di balik kalimat syukur ini adalah sebuah keharusan. Ini adalah perjalanan untuk menyelami kembali esensi keberadaan kita, untuk mengapresiasi peta jalan yang telah Allah berikan, dan untuk menyadari betapa beruntungnya kita dipilih untuk menerima cahaya hidayah-Nya di tengah miliaran manusia lain yang mungkin masih meraba-raba dalam kegelapan. Artikel ini adalah sebuah upaya untuk mengurai benang-benang kemuliaan dari nikmat iman dan Islam, agar lisan kita semakin basah mengucap Alhamdulillah, hati kita semakin kokoh dalam keyakinan, dan perbuatan kita menjadi cerminan nyata dari rasa syukur yang tak terhingga.

Membedah Makna: Apa Itu Iman dan Islam?

Untuk benar-benar mensyukuri sesuatu, kita harus memahaminya terlebih dahulu. Iman dan Islam, meskipun sering disebut bersamaan, memiliki definisi yang saling melengkapi dan membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan. Keduanya ibarat pohon; iman adalah akarnya yang terhujam kuat di dalam tanah keyakinan, sementara Islam adalah batang, dahan, daun, dan buah yang terlihat di atas permukaan, menjadi manifestasi dari akar yang sehat.

Islam, secara harfiah, berarti "ketundukan", "kepatuhan", atau "penyerahan diri". Ini adalah aspek lahiriah dari keberagamaan kita. Islam adalah kerangka, sebuah sistem aturan dan praktik yang memandu setiap gerak-gerik seorang Muslim. Kerangka ini dibangun di atas lima pilar utama yang menjadi fondasi bangunan keislaman seseorang:

Sementara Islam adalah manifestasi lahiriah, Iman adalah dimensinya yang batiniah. Iman berarti "keyakinan" atau "kepercayaan" yang tertanam kokoh di dalam hati, diucapkan oleh lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan. Iman adalah mesin penggerak di balik setiap amalan Islam. Tanpa iman, shalat hanyalah senam, puasa hanyalah diet, dan haji hanyalah perjalanan wisata. Keyakinan ini berlandaskan pada enam pilar fundamental:

Jadi, ketika kita mengucapkan "Alhamdulillah atas nikmat iman dan Islam," kita sejatinya sedang bersyukur atas sebuah paket lengkap: sebuah keyakinan batin yang kokoh (iman) dan sebuah panduan hidup lahiriah yang sempurna (Islam). Keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama, yang menjadikan seorang hamba benar-benar tunduk dan patuh kepada Allah SWT.

Nikmat Iman: Cahaya Penuntun di Lorong Kehidupan

Kehidupan ini sering diibaratkan sebagai sebuah pelayaran di samudra yang luas dan penuh misteri. Terkadang ombaknya tenang, namun tak jarang badai dahsyat datang menerpa tanpa peringatan. Dalam pelayaran ini, iman adalah kompas sekaligus mercusuar. Tanpa iman, manusia seperti kapal tanpa nahkoda dan tanpa arah, terombang-ambing oleh gelombang keraguan, kecemasan, dan keputusasaan. Nikmat iman adalah nikmat yang memberikan cahaya, ketenangan, dan kekuatan di tengah kegelapan dunia.

"Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)."

Pertama, iman adalah sumber ketenangan jiwa (sakinah) yang tiada tara. Di era modern yang penuh dengan tekanan, kecemasan (anxiety) dan depresi menjadi penyakit yang merajalela. Manusia cemas akan masa depan, takut akan kehilangan, dan gelisah atas hal-hal yang berada di luar kendalinya. Seorang mukmin, yang hatinya dipenuhi iman kepada Allah dan takdir-Nya, memiliki penawar untuk semua ini. Ia yakin bahwa rezekinya telah dijamin, ajalnya telah ditetapkan, dan setiap kejadian, baik atau buruk, mengandung hikmah dari Sang Maha Bijaksana. Keyakinan ini membebaskan hatinya dari belenggu kekhawatiran duniawi. Ia bekerja keras, namun hatinya bertawakal. Ia berencana, namun ia ridha dengan ketetapan Allah. Inilah ketenangan sejati yang tidak bisa dibeli dengan harta sebanyak apapun.

Kedua, iman adalah perisai yang melindungi dari keputusasaan. Setiap manusia pasti mengalami ujian. Kehilangan orang yang dicintai, kegagalan dalam usaha, sakit penyakit, atau fitnah yang menyakitkan. Bagi jiwa yang kosong, pukulan-pukulan ini bisa menjadi fatal, menyeretnya ke dalam jurang depresi dan bahkan bunuh diri. Namun bagi seorang mukmin, ujian adalah bagian dari skenario ilahi. Ia memandang ujian bukan sebagai hukuman, melainkan sebagai bentuk kasih sayang Allah untuk mengangkat derajatnya, menghapus dosa-dosanya, dan menguji kualitas imannya. Ia bersenjatakan kesabaran (sabr) dan shalat sebagai penolong. Ia tahu bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan, sebuah janji pasti dari Tuhannya. Iman mengubah perspektifnya dari "Mengapa ini terjadi padaku?" menjadi "Apa yang Allah ingin ajarkan kepadaku melalui ini?".

Ketiga, iman memberikan tujuan dan makna hidup yang jelas. Banyak orang hidup tanpa tahu untuk apa mereka ada di dunia ini. Mereka mengejar kesenangan materi, popularitas, dan kekuasaan, namun pada akhirnya merasakan kekosongan yang mendalam. Iman memberikan jawaban atas pertanyaan fundamental: "Dari mana kita berasal, untuk apa kita di sini, dan ke mana kita akan pergi?". Seorang mukmin tahu bahwa ia diciptakan untuk satu tujuan mulia: beribadah kepada Allah. Hidupnya bukan sekadar siklus lahir, makan, bekerja, tidur, lalu mati. Setiap detiknya bisa bernilai ibadah jika diniatkan untuk mencari ridha Allah. Ia bekerja untuk menafkahi keluarga, itu ibadah. Ia belajar untuk memberi manfaat bagi umat, itu ibadah. Ia tersenyum kepada saudaranya, itu ibadah. Iman mengubah seluruh hidup menjadi sebuah proyek pengabdian yang agung, memberikan nilai dan makna pada setiap tarikan napas.

Keempat, iman adalah motivator terkuat untuk berbuat kebaikan. Keyakinan akan adanya hari pembalasan, surga dengan segala kenikmatannya, dan neraka dengan segala kengeriannya, menjadi pendorong yang luar biasa bagi seorang mukmin untuk senantiasa beramal saleh. Ia tidak berbuat baik hanya karena ingin dipuji manusia atau karena norma sosial. Ia melakukannya karena ia mengharap pahala dari Allah dan takut akan azab-Nya. Motivasi ilahiah ini jauh lebih kuat dan konsisten daripada motivasi duniawi manapun. Inilah yang membuat seorang mukmin tetap jujur meskipun tidak ada yang mengawasi, tetap menolong meskipun tidak ada yang berterima kasih, dan tetap berjuang di jalan kebenaran meskipun banyak rintangan.

Sungguh, nikmat iman adalah nikmat terbesar. Ia adalah cahaya yang menerangi akal, menenangkan hati, menguatkan jiwa, dan meluruskan langkah. Tanpanya, manusia akan tersesat dalam labirin kebingungan dan kegelapan. Maka, setiap kali kita merasakan ketenangan saat berzikir, kekuatan saat diuji, atau semangat untuk berbuat baik, ingatlah bahwa itu adalah buah dari nikmat iman. Alhamdulillah.

Nikmat Islam: Peta Jalan Komprehensif Menuju Kebahagiaan

Jika iman adalah cahaya di dalam hati, maka Islam adalah jalan yang diterangi oleh cahaya tersebut. Islam bukanlah sekadar kumpulan ritual di tempat ibadah. Ia adalah din, sebuah cara hidup yang komprehensif, sebuah sistem operasi yang sempurna untuk menjalankan kehidupan individu dan masyarakat. Allah, Sang Pencipta manusia, tentu lebih tahu apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Islam adalah manual book atau petunjuk penggunaan yang Dia turunkan agar kita dapat mencapai kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.

Islam mengatur hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya (hablun minallah). Ini adalah fondasi dari segalanya. Melalui ibadah-ibadah seperti shalat, puasa, dan zikir, Islam membangun dan memelihara koneksi spiritual yang kuat. Shalat lima waktu, misalnya, adalah "maintenance" spiritual harian. Ia seperti mengisi ulang baterai keimanan, membersihkan jiwa dari karat-karat dosa kecil, dan mengingatkan kita kembali akan tujuan hidup kita di tengah kesibukan dunia. Tanpa panduan ini, manusia mungkin akan mencari Tuhan di tempat yang salah, terjebak dalam ritualisme kosong atau bahkan ateisme.

Islam juga mengatur hubungan horizontal manusia dengan sesama makhluk (hablun minannas). Keindahan Islam terpancar jelas dalam ajaran-ajaran sosialnya. Islam memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua, menyambung tali silaturahmi, memuliakan tetangga, menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Islam mengajarkan etika bisnis yang adil, melarang riba, penipuan, dan monopoli. Islam menetapkan aturan pernikahan untuk menjaga kehormatan dan membentuk keluarga yang sakinah. Ia juga mengatur hukum pidana (qisas, hudud) untuk menciptakan keadilan dan keamanan di masyarakat. Semua aturan ini, jika diterapkan dengan benar, akan membentuk sebuah peradaban yang adil, makmur, dan penuh kasih sayang.

Prinsip-prinsip Islam, dari cara makan hingga cara bernegara, semuanya dirancang untuk membawa maslahat (kebaikan) dan menolak mafsadat (kerusakan).

Contoh sederhana adalah anjuran untuk menjaga kebersihan. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Sebelum shalat, kita berwudhu. Kita dianjurkan untuk membersihkan diri, pakaian, dan lingkungan. Ini bukan hanya baik untuk kesehatan fisik, tetapi juga mencerminkan keindahan dan keteraturan ajaran Islam. Larangan terhadap makanan dan minuman haram seperti babi dan khamr (alkohol) juga memiliki hikmah kesehatan dan sosial yang luar biasa, yang bahkan telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern. Islam datang untuk melindungi lima hal pokok dalam kehidupan manusia (maqashid syariah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Lebih jauh lagi, Islam memberikan solusi untuk setiap problematika kehidupan. Ia memberikan panduan tentang bagaimana mengelola emosi (sabar saat marah, syukur saat senang), bagaimana menghadapi konflik (memaafkan, islah), bagaimana mencari ilmu, hingga bagaimana memimpin sebuah negara. Al-Qur'an dan Sunnah adalah sumber yang tak pernah kering, menyediakan prinsip-prinsip abadi yang relevan di setiap zaman dan tempat. Ketika manusia mencoba membuat sistem hidupnya sendiri, yang terjadi adalah kekacauan: ketidakadilan ekonomi, kerusakan moral, kehancuran keluarga, dan perang yang tak berkesudahan. Islam datang sebagai rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi seluruh alam, menawarkan sebuah tatanan kehidupan yang harmonis dan seimbang.

Maka, mensyukuri nikmat Islam berarti mensyukuri adanya pedoman yang jelas. Kita tidak dibiarkan meraba-raba dalam kegelapan untuk mencari tahu mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk. Allah, dengan kasih sayang-Nya, telah memberikan kita peta jalan yang terperinci. Tugas kita hanyalah mengikuti peta tersebut dengan penuh keyakinan dan ketaatan. Setiap kali kita merasa aman karena aturan Islam, merasa damai karena ajaran Islam, dan merasa adil karena hukum Islam, itulah saatnya kita menundukkan kepala dan berucap, "Alhamdulillah atas nikmat Islam."

Wujud Syukur: Dari Lisan, Hati, Hingga Perbuatan

Rasa syukur atas nikmat iman dan Islam tidak cukup hanya terhenti pada ucapan "Alhamdulillah". Syukur yang sejati adalah sebuah paket trinitas yang melibatkan lisan, hati, dan anggota badan. Ketiganya harus berjalan selaras untuk membuktikan ketulusan syukur kita kepada Sang Pemberi Nikmat.

Pertama, Syukur dengan Lisan (Syukr bil Lisan). Ini adalah tingkatan syukur yang paling dasar dan paling mudah. Lisan kita senantiasa basah dengan pujian kepada Allah. Mengucapkan "Alhamdulillah" setelah makan, setelah mendapat kabar baik, atau bahkan saat terbangun di pagi hari. Namun, syukur lisan tidak hanya itu. Termasuk di dalamnya adalah menggunakan lisan untuk hal-hal yang diridhai-Nya. Membaca Al-Qur'an, berzikir, menasihati dalam kebaikan, dan berdakwah menyebarkan keindahan Islam adalah bentuk syukur lisan yang lebih tinggi. Sebaliknya, menggunakan lisan untuk menggunjing, berbohong, atau mengeluh atas takdir Allah adalah bentuk kufur nikmat lisan.

Kedua, Syukur dengan Hati (Syukr bil Qalb). Ini adalah esensi dari rasa syukur. Hati kita harus mengakui dan meyakini dengan sepenuh jiwa bahwa segala nikmat, terutama iman dan Islam, datang murni dari Allah SWT. Bukan karena kecerdasan kita, bukan karena keturunan kita, bukan pula karena usaha kita semata. Hidayah adalah hak prerogatif Allah yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Kesadaran ini akan melahirkan sifat rendah hati (tawadhu') dan menyingkirkan kesombongan. Hati yang bersyukur akan senantiasa berbaik sangka (husnudzon) kepada Allah, bahkan dalam kondisi sulit sekalipun. Ia yakin bahwa di balik setiap ketetapan-Nya, pasti ada kebaikan yang tersembunyi.

Ketiga, Syukur dengan Anggota Badan (Syukr bil Jawarih). Inilah bukti nyata dan manifestasi dari syukur lisan dan hati. Syukur dengan perbuatan berarti menggunakan seluruh nikmat yang Allah berikan untuk ketaatan kepada-Nya. Mensyukuri nikmat mata adalah dengan menggunakannya untuk melihat ayat-ayat Al-Qur'an dan kebesaran ciptaan-Nya, bukan untuk melihat yang haram. Mensyukuri nikmat tangan adalah dengan menggunakannya untuk bersedekah dan menolong sesama, bukan untuk mencuri atau menyakiti. Dan yang terpenting, wujud syukur tertinggi atas nikmat iman dan Islam adalah dengan mengamalkan ajaran-ajarannya secara kaffah (menyeluruh). Caranya adalah:

Syukur yang sejati adalah ketika hidup kita sepenuhnya selaras dengan apa yang Allah inginkan. Saat itulah kita benar-benar telah menghargai nikmat iman dan Islam, mengubahnya dari sekadar identitas di KTP menjadi sebuah energi yang menggerakkan seluruh aspek kehidupan kita menuju ridha-Nya.

Ketika Iman Diuji: Tanda Cinta dari Sang Pencipta

Dalam perjalanan mensyukuri nikmat iman dan Islam, kita pasti akan dihadapkan pada berbagai ujian dan cobaan. Seringkali, syaitan membisikkan keraguan di hati, "Jika Allah menyayangiku, mengapa Dia memberiku kesulitan ini?" Di sinilah pemahaman yang benar tentang hakikat ujian menjadi sangat penting. Bagi seorang mukmin, ujian bukanlah pertanda kemurkaan Allah, melainkan sebaliknya, ia adalah salah satu tanda cinta-Nya.

Ujian di dunia ini memiliki banyak fungsi. Pertama, untuk membedakan antara mukmin sejati dan mereka yang imannya rapuh. Allah berfirman bahwa manusia tidak akan dibiarkan begitu saja mengatakan "kami telah beriman" sebelum mereka diuji. Ujian bagaikan api yang memurnikan emas; ia memisahkan antara logam mulia dan kotoran. Saat diuji, akan terlihat siapa yang tetap teguh memegang tali agama Allah dan siapa yang goyah lalu berpaling.

Kedua, untuk mengangkat derajat seorang hamba di sisi Allah. Terkadang, ada tingkatan-tingkatan mulia di surga yang tidak bisa dicapai hanya dengan amalan biasa. Maka Allah menimpakan ujian kepada hamba-Nya yang Dia cintai. Jika hamba tersebut bersabar dan ridha, kesabarannya itulah yang akan mengantarkannya ke derajat yang tinggi tersebut. Para nabi dan rasul adalah orang-orang yang paling dicintai Allah, dan mereka pulalah yang menerima ujian terberat. Ujian Nabi Ayyub dengan penyakitnya, Nabi Yusuf dengan fitnah dan penjara, dan Nabi Muhammad ﷺ dengan segala macam penentangan, adalah bukti bahwa beratnya ujian seringkali berbanding lurus dengan tingginya kedudukan.

Ketiga, sebagai penghapus dosa dan kesalahan. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Tidak ada satu hari pun yang terlewat tanpa kita melakukan dosa, baik yang disengaja maupun tidak. Ujian seperti sakit, kehilangan, atau kesulitan ekonomi, jika dihadapi dengan sabar, akan berfungsi sebagai kafarat atau penebus dosa. Setiap rasa sakit, bahkan duri yang menusuk, akan menggugurkan dosa-dosa seorang mukmin. Ini adalah bentuk kasih sayang Allah yang luar biasa. Dia membersihkan kita dari kotoran dosa di dunia yang fana ini, agar kita bisa bertemu dengan-Nya dalam keadaan suci di akhirat kelak.

Maka, sikap seorang mukmin dalam menghadapi ujian adalah dengan dua senjata utama: sabar dan syukur. Sabar saat musibah menimpa, menahan diri dari keluh kesah dan amarah, serta tetap berbaik sangka kepada Allah. Syukur dalam artian yang lebih dalam, yaitu menyadari bahwa di balik musibah ini pasti ada hikmah dan kebaikan. Mungkin Allah ingin kita lebih dekat kepada-Nya, mungkin Allah rindu mendengar rintihan doa kita di sepertiga malam terakhir, atau mungkin Allah ingin mengganti apa yang hilang dari kita dengan sesuatu yang jauh lebih baik di dunia atau di akhirat.

Memahami filsafat ujian ini adalah bagian tak terpisahkan dari mensyukuri nikmat iman. Imanlah yang membuat kita mampu melihat ujian dari sudut pandang yang positif. Tanpa iman, ujian akan terasa sebagai malapetaka yang menghancurkan. Dengan iman, ujian berubah menjadi tangga untuk naik ke tingkat spiritualitas yang lebih tinggi. Alhamdulillah atas nikmat iman yang membuat kita kuat dalam menghadapi badai kehidupan.

Bahaya Kufur Nikmat: Ketika Hidayah Disia-siakan

Sebagaimana syukur akan menambah nikmat, maka kufur (mengingkari) nikmat akan mendatangkan azab yang pedih. Ini adalah sunnatullah yang pasti berlaku. Bahaya terbesar bagi seorang yang telah dianugerahi iman dan Islam adalah ketika ia mulai menganggap remeh nikmat tersebut, menyia-nyiakannya, dan tidak mensyukurinya dengan semestinya. Ini disebut dengan kufur nikmat.

Kufur nikmat iman dan Islam memiliki berbagai tingkatan. Tingkatan terendah adalah ketika seseorang mulai malas beribadah. Shalat ditunda-tunda, Al-Qur'an jarang disentuh, dan majelis ilmu dihindari. Ia masih mengaku Muslim, namun praktik keislamannya mulai luntur. Hatinya perlahan-lahan menjadi keras, tidak lagi tersentuh oleh nasihat dan ayat-ayat Allah. Ia merasa nyaman dengan kemaksiatan dan mulai meremehkan dosa-dosa kecil. Ini adalah gejala spiritual yang sangat berbahaya.

Jika dibiarkan, penyakit ini bisa meningkat ke level yang lebih parah. Seseorang mungkin mulai meragukan ajaran agamanya sendiri. Ia terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran dari luar Islam yang tampak modern dan rasional, lalu mulai membanding-bandingkan dan merasa ajaran Islam sudah kuno atau tidak relevan. Ia mulai berani mengkritik hukum-hukum Allah yang qath'i (pasti), seperti hukum waris, hijab, atau larangan riba, dengan menggunakan akalnya yang terbatas. Hatinya telah dibutakan dari cahaya hidayah yang pernah ia miliki.

Puncak dari kufur nikmat iman dan Islam adalah murtad, yaitu keluar dari agama Islam. Ini adalah kerugian yang paling besar, sebuah tragedi yang tidak ada bandingannya. Seseorang menukar petunjuk dengan kesesatan, menukar cahaya dengan kegelapan, dan menukar surga yang luasnya seluas langit dan bumi dengan neraka yang abadi. Na'udzubillahi min dzalik.

Penyebab utama kufur nikmat adalah kesombongan dan terlalu cinta pada dunia. Kesombongan membuatnya merasa tidak butuh pada Allah, dan cinta dunia membuatnya enggan terikat dengan aturan-aturan syariat yang dianggap menghalangi kesenangannya. Ia lupa bahwa iman dan Islam yang ia miliki bukanlah haknya, melainkan pemberian cuma-cuma dari Allah. Dan sebagaimana Allah Maha Mampu memberi, Dia juga Maha Mampu untuk mencabutnya kembali.

Oleh karena itu, kita harus senantiasa waspada dan melakukan introspeksi diri (muhasabah). Apakah kita sudah benar-benar mensyukuri nikmat ini? Apakah ibadah kita sudah berkualitas? Apakah akhlak kita sudah mencerminkan seorang Muslim sejati? Kita harus terus-menerus memohon kepada Allah agar hati kita diteguhkan di atas agama-Nya. Salah satu doa yang paling sering dipanjatkan oleh Rasulullah ﷺ adalah, "Yaa Muqallibal quluub, tsabbit qalbii 'alaa diinik" (Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).

Menyadari bahaya kufur nikmat akan membuat kita semakin erat memegang hidayah ini. Kita akan menjaganya seperti kita menjaga barang paling berharga yang kita miliki, karena memang inilah harta kita yang sesungguhnya. Harta yang akan kita bawa mati dan akan menentukan nasib kita di keabadian.

Kesimpulan: Syukur Abadi atas Karunia Teragung

Kita telah melakukan perjalanan merenungi betapa agungnya nikmat iman dan Islam. Ia adalah cahaya yang menerangi kegelapan jiwa, kompas yang menuntun arah kehidupan, perisai yang melindungi dari keputusasaan, dan peta jalan yang detail menuju kebahagiaan abadi. Ia adalah oase di tengah gurun dunia, sauh di tengah badai samudra kehidupan. Nilainya jauh melampaui seluruh isi bumi dan langit.

Jika seluruh lautan dijadikan tinta dan seluruh pepohonan dijadikan pena untuk menuliskan nikmat-nikmat Allah, niscaya lautan itu akan habis sebelum nikmat-Nya selesai ditulis. Namun di antara semua nikmat itu, nikmat hidayah untuk beriman dan berislam adalah puncaknya, rajanya, dan intinya. Tanpa nikmat ini, nikmat sehat, harta, dan keluarga tidak akan membawa pada keselamatan hakiki. Sebaliknya, dengan nikmat iman dan Islam, segala ujian dan kekurangan di dunia akan terasa ringan dan bahkan menjadi sarana untuk meraih kemuliaan di akhirat.

Maka, jangan pernah lelah dan jangan pernah bosan untuk mengulang-ulang kalimat sakral ini dari lubuk hati yang paling dalam, dengan lisan yang tulus, dan diwujudkan dalam setiap gerak-gerik kehidupan: Alhamdulillah atas nikmat iman dan Islam.

Ya Allah, wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu. Jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang pandai bersyukur, yang senantiasa istiqamah dalam ketaatan hingga ajal menjemput kami dalam keadaan husnul khatimah. Terimalah syukur kami yang tak seberapa ini, dan masukkanlah kami ke dalam surga-Mu berkat rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Alhamdulillahirabbil 'alamin.

🏠 Homepage