Alhamdulillah 'ala Ni'matil Iman, Alhamdulillah 'ala Ni'matil Islam
Setiap tarikan napas adalah anugerah, setiap detak jantung adalah karunia. Di antara lautan nikmat yang Allah SWT limpahkan kepada kita, ada dua mutiara yang cahayanya melampaui segala materi duniawi, yang nilainya tak tertandingi oleh emas dan permata. Dua mutiara itu adalah nikmat Iman dan nikmat Islam. Kalimat zikir yang sering terucap, "Alhamdulillah 'ala ni'matil iman, walhamdulillah 'ala ni'matil Islam," bukanlah sekadar rangkaian kata tanpa makna. Ia adalah pengakuan terdalam dari seorang hamba, sebuah deklarasi syukur atas kepemilikan harta paling berharga yang pernah ada.
Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, seringkali kita terjebak dalam perlombaan mengejar kesuksesan material. Kita bersyukur atas pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman, kendaraan yang mewah, dan kesehatan yang prima. Semua itu memang nikmat yang patut disyukuri. Namun, kita terkadang lupa atau bahkan menganggap remeh anugerah yang menjadi fondasi dari segala kebaikan, yaitu hidayah untuk beriman kepada Allah dan tuntunan untuk hidup dalam naungan Islam. Tanpa keduanya, segala kemewahan dunia ini tak lebih dari sekadar fatamorgana yang menipu, kebahagiaan yang semu dan rapuh.
Mendalami Samudera Nikmat Iman
Iman bukanlah sekadar pengakuan di lisan bahwa "saya percaya". Ia jauh lebih dalam dari itu. Iman adalah cahaya yang Allah tanamkan di dalam hati, sebuah keyakinan yang kokoh tak tergoyahkan yang menghubungkan seorang hamba dengan Penciptanya. Ia adalah sauh yang menjaga kapal kehidupan tetap stabil di tengah badai ujian dan cobaan. Mari kita selami lebih dalam betapa luar biasanya nikmat iman ini.
Iman sebagai Kompas Kehidupan
Bayangkan Anda berada di tengah lautan luas tanpa kompas, tanpa peta, dan tanpa pengetahuan tentang arah. Kegelapan, kebingungan, dan keputusasaan pasti akan menyelimuti. Itulah perumpamaan kehidupan tanpa iman. Manusia tanpa iman akan terus bertanya-tanya tentang tujuan hidupnya. Untuk apa saya ada? Kemana saya akan pergi setelah ini? Pertanyaan-pertanyaan eksistensial ini akan terus menghantui, menciptakan kehampaan jiwa yang tak terobati.
Iman datang sebagai kompas ilahi. Ia memberikan jawaban yang paling memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut. Iman menegaskan bahwa kita diciptakan oleh Allah (QS. Adz-Dzariyat: 56), bahwa tujuan hidup kita adalah untuk beribadah kepada-Nya, dan bahwa kehidupan ini adalah sebuah perjalanan singkat menuju kehidupan abadi di akhirat. Dengan iman, hidup menjadi terarah. Setiap langkah memiliki tujuan, setiap tindakan memiliki makna, dan setiap pengorbanan memiliki nilai di sisi Allah.
Ketenangan Jiwa di Tengah Gelombang Masalah
Salah satu buah termanis dari keimanan adalah sakinah atau ketenangan jiwa. Di dunia yang penuh dengan ketidakpastian, kecemasan, dan tekanan, iman menawarkan oase kedamaian yang tak bisa dibeli dengan harta. Seorang mukmin sejati memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini berada dalam genggaman dan kendali Allah SWT. Ia yakin bahwa setiap takdir, baik yang tampak menyenangkan maupun yang terlihat menyakitkan, mengandung hikmah dan kebaikan.
Ketika dihadapkan pada kesulitan, ia tidak larut dalam keputusasaan. Sebaliknya, ia bersabar (sabr) dan bertawakal (tawakkal), menyerahkan sepenuhnya urusannya kepada Allah setelah berusaha maksimal. Ia tahu bahwa ujian adalah cara Allah untuk mengangkat derajatnya, menghapus dosa-dosanya, dan mendekatkan dirinya kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah, "Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28). Ketenangan ini adalah perisai yang melindungi hati dari gempuran stres dan depresi yang merajalela di zaman ini.
Kekuatan untuk Melampaui Batas Diri
Iman menanamkan optimisme dan kekuatan yang luar biasa. Seorang mukmin tidak mudah menyerah. Ia percaya pada pertolongan Allah yang tak terbatas. Ketika ia merasa lemah, ia memohon kekuatan dari Yang Maha Kuat. Ketika ia merasa sempit, ia berharap kelapangan dari Yang Maha Luas. Kepercayaan ini mendorongnya untuk terus berusaha, berjuang, dan tidak pernah kehilangan harapan, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun.
Sejarah telah membuktikan bagaimana kekuatan iman mampu melahirkan individu-individu luar biasa yang mengubah peradaban. Para nabi dan rasul, dengan segelintir pengikut, mampu menghadapi tirani penguasa zalim. Para sahabat Nabi Muhammad SAW mampu menyebarkan risalah ke penjuru dunia dengan bekal iman yang membaja di dada. Iman adalah bahan bakar yang menggerakkan seseorang untuk melakukan hal-hal besar, bukan untuk ketenaran pribadi, melainkan untuk mencari ridha Ilahi.
Menyelami Keindahan Nikmat Islam
Jika iman adalah keyakinan di dalam hati, maka Islam adalah manifestasi dari keyakinan tersebut dalam tindakan nyata. Islam adalah sistem, sebuah jalan hidup (way of life) yang komprehensif dan sempurna yang diturunkan oleh Allah sebagai panduan bagi seluruh umat manusia. Mengucapkan "Alhamdulillah 'ala ni'matil Islam" adalah bentuk syukur atas peta jalan yang jelas menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS. Al-Ma'idah: 3)
Islam sebagai Sistem Hidup yang Paripurna
Keindahan Islam terletak pada kelengkapannya. Ajarannya tidak hanya terbatas pada ritual di tempat ibadah, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam memberikan panduan tentang bagaimana berhubungan dengan Allah (ibadah), bagaimana berhubungan dengan sesama manusia (muamalah), bagaimana membangun keluarga (munakahat), bagaimana mengatur ekonomi (muamalat maliyah), hingga bagaimana menjalankan pemerintahan (siyasah).
Aturan-aturan ini bukanlah untuk membelenggu, melainkan untuk memuliakan manusia. Larangan meminum khamr adalah untuk menjaga akal. Perintah menjaga pandangan adalah untuk menjaga kehormatan. Kewajiban zakat adalah untuk menciptakan keadilan sosial dan mengikis kesenjangan. Setiap perintah dan larangan dalam syariat Islam memiliki tujuan luhur untuk mendatangkan kemaslahatan (kebaikan) dan menolak kemudharatan (keburukan) bagi individu dan masyarakat.
Ibadah sebagai Nutrisi Ruhani
Dalam Islam, ibadah adalah sarana untuk mengisi ulang energi spiritual. Shalat lima waktu, misalnya, bukanlah sekadar gerakan fisik. Ia adalah momen intim seorang hamba dengan Tuhannya, sebuah jeda dari kesibukan dunia untuk kembali fokus pada tujuan hakiki. Ia adalah dialog suci, saat kita mengadukan segala keluh kesah dan memohon petunjuk kepada Sang Pencipta. Shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, membersihkan jiwa seperti air yang membersihkan badan.
Puasa di bulan Ramadhan adalah madrasah (sekolah) untuk melatih kesabaran, empati, dan pengendalian diri. Zakat adalah wujud nyata kepedulian sosial, membersihkan harta dan jiwa dari sifat kikir. Ibadah haji adalah simbol persatuan umat Islam sedunia, di mana semua manusia setara di hadapan Allah, tanpa memandang status, suku, atau warna kulit. Setiap pilar ibadah ini dirancang dengan sempurna untuk membentuk karakter muslim yang bertakwa dan bermanfaat bagi sesama.
Akhlak Mulia sebagai Cerminan Keislaman
Islam menempatkan akhlak (karakter) pada posisi yang sangat tinggi. Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Seorang muslim yang baik tidak hanya diukur dari seberapa rajin ia shalat atau puasa, tetapi juga dari seberapa baik perilakunya terhadap orang lain. Kejujuran dalam berdagang, kelembutan dalam bertutur kata, menepati janji, menghormati orang tua dan tetangga, menyayangi anak yatim, dan menjaga kebersihan lingkungan adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam.
Nikmat Islam berarti kita diberi pedoman untuk menjadi versi terbaik dari diri kita. Kita diajarkan untuk menjadi individu yang adil, amanah, pemaaf, dan penyabar. Inilah esensi dari menjadi rahmatan lil 'alamin, atau rahmat bagi seluruh alam. Keberadaan seorang muslim seharusnya membawa kedamaian, keamanan, dan kebaikan bagi lingkungan sekitarnya.
Sinergi Tak Terpisahkan antara Iman dan Islam
Iman dan Islam adalah dua sisi dari satu koin yang sama. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Iman tanpa Islam adalah seperti keyakinan tanpa bukti, sebuah pohon tanpa buah. Sedangkan Islam tanpa iman adalah seperti jasad tanpa ruh, sebuah rangkaian ritual kosong tanpa makna.
Iman sebagai Akar, Islam sebagai Batang dan Buah
Kita bisa menggunakan analogi pohon. Iman adalah akar yang tersembunyi di dalam tanah (hati). Ia menyerap nutrisi keyakinan dan mengokohkan seluruh struktur. Islam adalah batang, dahan, ranting, dan daun yang terlihat di atas tanah. Ia adalah wujud nyata dari akar yang sehat. Shalat, puasa, zakat, dan amalan lainnya adalah manifestasi dari iman yang kokoh.
Buah dari pohon ini adalah akhlak yang mulia dan kemaslahatan bagi seluruh makhluk. Pohon tidak bisa tumbuh subur tanpa akar yang kuat, dan akar tidak memiliki tujuan jika tidak menumbuhkan batang dan menghasilkan buah. Demikian pula, iman akan layu tanpa amalan Islam, dan amalan Islam akan sia-sia tanpa landasan iman yang benar.
Saling Menguatkan dalam Perjalanan Hidup
Iman dan Islam memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Iman yang kuat mendorong seseorang untuk menjalankan ajaran Islam dengan ikhlas dan penuh semangat. Sebaliknya, ketika seseorang konsisten (istiqamah) dalam menjalankan syariat Islam, seperti shalat tepat waktu atau rajin membaca Al-Qur'an, maka imannya pun akan semakin bertambah kuat dan bercahaya. Inilah siklus positif yang harus terus dijaga oleh setiap muslim. Iman memotivasi amal, dan amal menyuburkan iman.
Bagaimana Wujud Syukur Kita?
Menyadari betapa agungnya nikmat iman dan Islam ini, pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana cara kita mensyukurinya dengan sebenar-benarnya? Syukur bukan hanya ucapan "Alhamdulillah" di lisan, meskipun itu adalah langkah awal yang penting. Syukur yang hakiki harus terwujud dalam tiga dimensi.1. Syukur dengan Hati (Syukr bil Qalb)
Ini adalah fondasi dari segala bentuk syukur. Yaitu dengan meyakini sepenuh hati bahwa nikmat iman dan Islam ini murni datang dari Allah SWT. Bukan karena kecerdasan kita, bukan karena keturunan kita, dan bukan pula karena usaha kita semata. Allah-lah yang memilih kita di antara miliaran manusia untuk menerima hidayah ini. Perasaan ini akan melahirkan rasa cinta, pengagungan, dan kerendahan hati di hadapan Allah.
2. Syukur dengan Lisan (Syukr bil Lisan)
Membasahi lisan dengan zikir, tahmid, dan tasbih. Selalu mengucapkan "Alhamdulillah" setiap kali kita teringat akan nikmat ini. Selain itu, syukur dengan lisan juga berarti menggunakan lisan kita untuk menyebarkan kebaikan Islam. Mengajarkan Al-Qur'an, berdakwah dengan hikmah, dan menuturkan kata-kata yang baik adalah bagian dari syukur lisan.
3. Syukur dengan Perbuatan (Syukr bil 'Amal)
Inilah puncak dan bukti kesungguhan syukur kita. Mensyukuri nikmat iman dan Islam dengan perbuatan berarti:
- Mempelajarinya dengan Sungguh-sungguh: Bagaimana kita bisa mensyukuri sesuatu yang tidak kita kenali? Meluangkan waktu untuk belajar Al-Qur'an, hadis, dan ilmu-ilmu agama lainnya adalah kewajiban dan bentuk syukur. Semakin kita belajar, semakin kita akan takjub akan keagungan Islam.
- Mengamalkannya Secara Konsisten (Istiqamah): Menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dengan segenap kemampuan. Menjadikan Islam bukan sebagai amalan musiman, tetapi sebagai identitas yang melekat dalam setiap detik kehidupan kita.
- Menjaganya dari Segala Perusak: Menjaga iman dan Islam dari syubhat (keraguan) dan syahwat (nafsu) yang dapat mengotorinya. Bergaul dengan orang-orang saleh dan berada dalam lingkungan yang baik adalah cara untuk menjaga benteng iman kita.
- Mendakwahkannya dengan Akhlak Mulia: Menjadi etalase berjalan bagi keindahan Islam. Menunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama damai, adil, dan penuh kasih sayang melalui perilaku kita sehari-hari.
Pada akhirnya, nikmat iman dan Islam adalah anugerah termahal yang akan kita bawa hingga menghadap Allah kelak. Ia adalah tiket menuju surga-Nya, kunci untuk meraih kebahagiaan abadi. Harta, tahta, dan popularitas akan kita tinggalkan di dunia, tetapi iman dan amal saleh yang lahir dari Islam akan menjadi teman setia di alam kubur dan penolong di hari perhitungan. Maka, jangan pernah berhenti untuk merenung, mensyukuri, dan memohon kepada Allah agar kita diwafatkan dalam keadaan memeluk erat dua mutiara ini. Alhamdulillah 'ala ni'matil iman, walhamdulillah 'ala ni'matil Islam.