Mengenang Wafatnya Ali bin Abi Thalib

Keabadian Momen Transisi

Ilustrasi simbolis wafatnya seorang pemimpin besar.

Ali bin Abi Thalib: Khalifah Terakhir Rasyidin

Kisah wafatnya Ali bin Abi Thalib adalah salah satu peristiwa paling tragis dan signifikan dalam sejarah Islam. Beliau, yang dikenal sebagai sepupu sekaligus menantu kesayangan Nabi Muhammad SAW, serta khalifah keempat dari Khulafaur Rasyidin, mengakhiri masa kepemimpinannya melalui sebuah tragedi pembunuhan. Kepergiannya meninggalkan luka mendalam dan menandai berakhirnya periode kekhalifahan yang dipimpin berdasarkan manhaj kenabian secara langsung.

Pada masa kepemimpinan Ali, stabilitas politik umat Islam sedang menghadapi tantangan besar. Konflik internal, yang dikenal sebagai Fitnah Kubra, terus membayangi. Meskipun Ali berusaha keras untuk menyatukan barisan dan menegakkan keadilan, perbedaan pandangan politik dan ideologis di kalangan umat semakin tajam. Ia memindahkan ibu kota pemerintahan dari Madinah ke Kufah di wilayah Irak saat ini, sebuah langkah strategis yang diambilnya untuk lebih dekat dengan pusat populasi Muslim yang semakin meluas dan untuk mengelola isu-isu yang ada.

Peristiwa di Masjid Kufah

Musibah yang merenggut nyawa Ali terjadi saat beliau sedang melaksanakan salat Subuh di Masjid Agung Kufah. Peristiwa ini direncanakan oleh sekelompok kecil pemberontak yang tidak puas dengan kepemimpinannya. Kelompok ini dikenal sebagai Khawarij, yang sebelumnya memisahkan diri setelah peristiwa tahkim antara Ali dan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Pada hari yang naas itu, seorang anggota Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam al-Muradi telah menanti kesempatan. Saat Ali sujud dalam rakaat pertama salat Subuh, Ibnu Muljam menyerang beliau dengan pedang yang telah dilumuri racun mematikan. Serangan tersebut dilakukan dengan sengaja dan direncanakan dengan perhitungan matang untuk memastikan kematian sasaran.

Dampak Racun dan Syahidnya Sang Khalifah

Meskipun serangan itu fatal, Ali bin Abi Thalib tidak langsung meninggal dunia. Beliau sempat dilarikan dari masjid dalam keadaan terluka parah. Masa kritis ini dihabiskan dengan perawatan seadanya, namun racun yang digunakan sangat kuat dan efektif. Ali bin Abi Thalib, yang terkenal akan kecerdasannya dan keberaniannya yang tak tertandingi di medan perang, kini harus menghadapi takdirnya dengan kesabaran seorang mukmin sejati.

Selama dua hari setelah penyerangan, Ali tetap sadar dan sempat memberikan wasiat-wasiat penting kepada kedua putranya, Hasan dan Husain, serta umat Islam yang datang membesuk. Wasiatnya menekankan pentingnya menjaga takwa, berbuat baik kepada sesama, serta menghindari pertumpahan darah lebih lanjut. Beliau berpesan agar para pembunuhnya diperlakukan dengan adil sesuai hukum syariat, tanpa melakukan pembalasan berlebihan.

Akhirnya, pada malam hari setelah serangan tersebut, Ali bin Abi Thalib wafat dan dinyatakan syahid. Kepemimpinan beliau sebagai khalifah resmi berakhir. Wafatnya Ali bin Abi Thalib bukan sekadar kematian seorang pemimpin politik, tetapi merupakan penutup era emas kepemimpinan Islam awal, yang dilanjutkan oleh putranya, Hasan, meskipun masa kepemimpinan Hasan sangat singkat.

Warisan dan Kenangan

Ali bin Abi Thalib dikenang sebagai salah satu tokoh paling berpengetahuan, adil, dan orator ulung di sepanjang sejarah Islam. Keberaniannya bersama Nabi Muhammad SAW dalam berbagai peperangan, kedalaman ilmunya, serta kefasihannya menjadikannya panutan abadi. Peristiwa wafatnya di Kufah menjadi pengingat pahit tentang betapa sulitnya menjaga persatuan di tengah perbedaan ideologi, dan betapa besarnya pengorbanan yang harus dibayar untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Kisah wafatnya Ali bin Abi Thalib terus menjadi bahan refleksi mendalam mengenai integritas, kepemimpinan, dan ujian kesabaran dalam menghadapi fitnah.

🏠 Homepage