Dalam pergulatan hidup manusia, salah satu tema sentral yang selalu menarik perhatian adalah konsep takdir atau qada dan qadar. Bagaimana seorang individu harus menyikapi rencana Ilahi yang terkadang terasa tidak sesuai dengan harapan? Pertanyaan ini telah dijawab dengan sangat lugas dan mendalam oleh salah satu sahabat terbesar Rasulullah SAW, yaitu Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu 'anhu.
Pernyataan bijak yang sering dinisbahkan padanya merangkum sikap seorang mukmin sejati dalam menghadapi ketetapan: "Ali bin Abi Thalib pernah berkata, apapun yang menjadi takdirmu, ia akan menimpamu." Kalimat ini bukan sekadar penyerahan pasrah tanpa usaha, melainkan sebuah pernyataan tentang kepastian mutlak dari ketetapan Allah SWT, yang harus diiringi dengan usaha maksimal.
Kata "takdir" sering disalahpahami sebagai alasan untuk bermalas-malasan atau menolak bertanggung jawab. Padahal, pemahaman yang benar menurut ajaran Islam, yang juga tercermin dalam filsafat Ali bin Abi Thalib, adalah memisahkan antara ikhtiar (usaha) dan hasil (natijah). Manusia diperintahkan untuk berikhtiar sekuat tenaga, melakukan segala upaya yang logis dan rasional, namun hasil akhir dari semua usaha tersebut sepenuhnya berada di luar kendali kita dan telah ditentukan oleh Pencipta.
Jika kita menerima bahwa apapun yang menjadi takdirmu, ia akan menimpamu, maka beban kecemasan dan kekecewaan akibat kegagalan usaha akan berkurang drastis. Mengapa? Karena kita tahu bahwa apa pun yang terjadi—baik itu kesuksesan besar atau kegagalan yang menyakitkan—adalah bagian dari skenario agung yang Maha Tahu segalanya. Usaha kita adalah kewajiban, hasilnya adalah hak prerogatif Tuhan.
Pernyataan Ali bin Abi Thalib tentang kepastian takdir mengajarkan kita untuk menjalani hidup dengan ketenangan batin (sakinah). Jika tujuan kita tercapai, kita bersyukur atas karunia dan taufik yang diberikan. Jika tujuan kita meleset, kita tidak jatuh ke dalam keputusasaan, karena kita tahu bahwa ada hikmah tersembunyi di balik hal yang kita anggap sebagai "kegagalan."
Bayangkan seorang petani yang telah mencangkul, menabur benih, menyirami, dan menjaganya dari hama. Semua itu adalah ikhtiarnya. Namun, ketika panen gagal akibat kekeringan ekstrem, petani bijak tidak akan menyalahkan dirinya karena telah berusaha. Ia akan berkata, "Inilah takdir yang telah digariskan." Ia menerima hasil panen yang ada—walaupun minim—sebagai ketetapan yang mesti ia jalani, sambil merencanakan strategi yang lebih baik untuk musim berikutnya.
Filosofi ini sangat membebaskan. Ia membebaskan kita dari beban perfeksionisme yang mencekik dan ketakutan akan penghakiman orang lain atas hasil usaha kita. Fokus kita kemudian beralih dari mengejar hasil yang belum pasti, menuju pada kesempurnaan dalam proses itu sendiri. Kualitas ibadah dan kualitas kerja kita menjadi tolok ukur utama, bukan hanya kuantitas atau keuntungan yang diperoleh.
Ketika kita internalisasi bahwa apapun yang menjadi takdirmu, ia akan menimpamu, hal ini menciptakan kedamaian psikologis yang mendalam. Kecemasan adalah ketakutan terhadap masa depan yang tidak pasti. Ketika masa depan (hasil akhir) diserahkan kepada Zat yang Maha Kuasa, kekhawatiran itu berangsur sirna.
Ini mendorong keberanian. Seseorang yang yakin akan ketetapan Ilahi akan berani mengambil risiko yang diperhitungkan, karena ia tahu bahwa kegagalan fisik (kerugian materi atau fisik) tidak akan merusak nilai sejatinya di mata Tuhan selama ia telah berusaha dengan jujur. Ali bin Abi Thalib sendiri dikenal sebagai pribadi yang gagah berani di medan perang, menunjukkan bahwa penerimaan takdir tidak menghilangkan semangat juang, melainkan mengarahkan semangat juang itu pada titik yang benar—yaitu usaha yang tulus.
Oleh karena itu, hikmah ini mengajak kita untuk menjadi pribadi yang dinamis sekaligus tabah: giat bekerja, namun lapang dada menerima konsekuensinya, apa pun bentuknya. Sebab, pada akhirnya, yang terpenting bukanlah apakah kita mendapatkan apa yang kita inginkan, melainkan apakah kita telah menjalankan peran kita dengan sebaik-baiknya sesuai kehendak Yang Maha Mengatur seluruh alur nasib.