Kearifan Ali bin Abi Thalib Tentang Kekuatan Lisan

Lisan Ali bin Abi Thalib

Ilustrasi: Kontrol terhadap apa yang diucapkan

Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah ﷺ, dikenal luas tidak hanya karena keberaniannya di medan perang, tetapi juga karena kedalaman hikmahnya yang tertuang dalam setiap ucapan. Salah satu tema sentral dalam ajaran dan nasihatnya adalah tentang **lisan**—alat komunikasi yang ia pandang sebagai pedang bermata dua yang sangat berbahaya jika tidak dikelola dengan baik. Baginya, lisan adalah representasi nyata dari isi hati dan akal seseorang.

Dalam pandangan Ali, menjaga lisan adalah inti dari pengendalian diri. Ia seringkali menekankan bahwa kata-kata yang terucap akan menjadi saksi atau penuduh di hari penghakiman. Kekuatan lisan terletak pada kemampuannya untuk membangun jembatan persaudaraan atau, sebaliknya, meruntuhkan fondasi hubungan sosial dalam sekejap mata.

Lisan Sebagai Cerminan Hati

Ali bin Abi Thalib pernah bersabda, "Lisan orang yang berakal berada di belakang hatinya, sementara hati orang yang bodoh berada di belakang lisannya." Ungkapan ini sangat kuat maknanya. Bagi orang berakal, setiap kata yang keluar telah melalui proses penyaringan, pertimbangan, dan evaluasi mendalam oleh hati (pusat kesadaran dan moral). Mereka berbicara setelah berpikir matang.

Sebaliknya, orang yang ceroboh dalam bertutur cenderung berbicara tanpa filter. Ucapan mereka adalah reaksi instan yang seringkali didorong oleh emosi sesaat, bukan oleh kebijaksanaan yang terpendam. Akibatnya, lisan mereka sering menjadi sumber penyesalan, fitnah, atau kebohongan yang merusak tatanan diri dan lingkungannya.

"Jaga lidahmu dari kata-kata yang tidak perlu, karena ucapan itu akan menjadi beban bagimu di hari kiamat."

Bahaya Lisan yang Tidak Terkendali

Ali sangat mewanti-wanti tentang bahaya berlebihan dalam berbicara. Beliau mengajarkan bahwa diam yang bijaksana jauh lebih berharga daripada berbicara banyak tanpa substansi. Bicara yang sia-sia, menurutnya, adalah tanda kekosongan batin. Ketika seseorang mengisi waktu dengan celotehan tak berguna, berarti ia membuang kesempatan untuk mengingat Tuhan atau memikirkan kemaslahatan umat.

Bukan hanya dusta atau maksiat yang harus dihindari, tetapi juga hal-hal yang mubah (diperbolehkan) namun berlebihan. Kelebihan bicara membuka pintu bagi gosip, menggunjing (ghibah), dan menyebarkan permusuhan. Hal ini sangat ditekankan dalam banyak riwayat yang dinisbatkan kepadanya, menunjukkan keseriusannya dalam menjaga kebersihan lisan.

Memanfaatkan Lisan untuk Kebaikan

Namun, Ali tidak hanya menekankan aspek penghindaran bahaya. Lisan yang dikendalikan adalah alat dakwah dan penyebar kebenaran yang paling efektif. Ketika lisan dibimbing oleh ilmu dan keikhlasan, ia dapat menjadi rahmat. Lisan yang digunakan untuk menegakkan keadilan, mengajarkan hikmah, mengingatkan saudara seiman, dan mengucapkan syukur adalah bentuk ibadah tertinggi.

Nasihatnya mendorong umat untuk menimbang manfaat dari setiap kata sebelum dilontarkan. Pertimbangkan tiga hal: Apakah ucapan itu benar? Apakah itu bermanfaat? Dan apakah waktu untuk mengucapkannya tepat? Jika salah satu dari kriteria ini tidak terpenuhi, maka keheningan adalah pilihan yang lebih mulia.

"Janganlah kamu berbicara kecuali kamu telah menghitung (menimbang) ucapanmu, sebagaimana kamu menghitung hartamu."

Pengelolaan lisan menurut Ali bin Abi Thalib adalah sebuah proses spiritual berkelanjutan yang membutuhkan disiplin tinggi. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat sangat erat kaitannya dengan seberapa baik seseorang mampu mengendalikan organ kecil namun dahsyat ini. Menguasai lisan sama dengan menguasai separuh dari kepribadian seseorang.

Oleh karena itu, warisan pemikiran Ali tentang lisan tetap relevan hingga kini, menjadi pengingat abadi bahwa lidah yang terikat oleh kesadaran moral adalah kunci menuju ketenangan jiwa dan kehormatan di mata sesama maupun Sang Pencipta.

🏠 Homepage