Aliran Abstraksionisme, atau seni abstrak, merupakan salah satu gerakan paling revolusioner dalam sejarah seni modern. Lahir pada awal abad ke-20, gerakan ini secara radikal meninggalkan tradisi representasi dunia nyata yang telah mendominasi seni Barat selama berabad-abad. Alih-alih menggambarkan objek, pemandangan, atau figur yang dapat dikenali secara harfiah, abstraksionisme berfokus pada penggunaan bentuk, warna, garis, dan tekstur murni untuk menciptakan komposisi yang tidak merujuk pada realitas eksternal.
Munculnya abstraksi didorong oleh berbagai faktor, termasuk perkembangan fotografi yang mengambil alih peran dokumentasi visual, serta perubahan filosofis dan ilmiah yang menggeser fokus dari yang terlihat ke yang tak terlihat—emosi, spiritualitas, dan struktur dasar alam semesta. Tokoh-tokoh kunci seperti Wassily Kandinsky, Piet Mondrian, dan Kazimir Malevich sering disebut sebagai pelopor utama. Kandinsky, misalnya, sering dikaitkan dengan abstraksi liris atau ekspresionis, di mana warna dan bentuk digunakan untuk mengekspresikan perasaan batin sang seniman.
Bagi para pionir ini, seni abstrak bukan sekadar penghancuran bentuk lama, melainkan pencarian bahasa visual yang baru, lebih universal, dan lebih jujur secara emosional dibandingkan representasi tradisional yang mereka anggap dangkal. Mereka percaya bahwa elemen visual dasar—garis, bidang, dan warna—memiliki kekuatan inheren untuk membangkitkan respons spiritual atau intelektual pada penonton tanpa perlu terikat pada subjek yang spesifik.
Meskipun luas, seni abstrak secara umum dapat dibagi menjadi dua kategori besar yang mewakili pendekatan yang berbeda dalam menolak realisme:
Setelah Perang Dunia II, Abstraksionisme terus berevolusi, khususnya di Amerika Serikat. Munculnya Abstract Expressionism di New York, yang dipimpin oleh seniman seperti Mark Rothko (dengan Color Field Painting) dan Willem de Kooning, membawa gerakan ini ke panggung global. Rothko, misalnya, menciptakan bidang warna besar yang dirancang untuk membanjiri pandangan penonton, bertujuan menciptakan pengalaman meditasi yang mendalam dan hampir religius.
Di sisi lain spektrum, beberapa seniman kemudian bergerak menuju bentuk yang lebih dingin dan terukur, yang kemudian dikenal sebagai Minimalisme, yang menyederhanakan seni hingga ke elemen strukturalnya yang paling dasar. Meskipun berbeda dalam metode dan filosofi, benang merah yang menghubungkan semua cabang abstraksionisme adalah keyakinan bahwa seni dapat berdiri sendiri, terlepas dari tugasnya meniru dunia luar. Seni abstrak menuntut penonton untuk merasakan dan berpikir tentang medium itu sendiri—warna, tekstur, dan komposisi—bukan tentang apa yang digambarkan. Pergeseran paradigma ini secara fundamental mengubah cara kita mendefinisikan dan menghargai seni.