Membedah Makna Agung di Balik Nama "Allah"
Apa allah artinya? Pertanyaan ini terdengar sederhana, namun jawabannya mengandung kedalaman yang tak terhingga, membentang melintasi samudra teologi, linguistik, dan spiritualitas. Bagi lebih dari satu miliar Muslim di seluruh dunia, "Allah" bukan sekadar kata. Ia adalah nama teragung, poros dari seluruh keyakinan, sumber segala harapan, dan tujuan akhir dari perjalanan hidup. Memahami makna nama ini adalah langkah pertama dan paling fundamental dalam memahami esensi ajaran Islam itu sendiri.
Nama ini adalah lafaz yang paling sering diucapkan, didengar, dan direnungkan oleh seorang Muslim setiap hari. Dari gemericik air wudhu sebelum fajar hingga kesunyian doa di tengah malam, nama "Allah" senantiasa hadir. Ia terukir dalam arsitektur masjid yang megah, terlantun dalam ayat-ayat suci Al-Qur'an, dan bergetar di dalam kalbu orang-orang yang beriman. Oleh karena itu, menyelami maknanya bukanlah sekadar latihan akademis, melainkan sebuah kebutuhan spiritual yang mendesak untuk membangun hubungan yang kokoh dan penuh makna dengan Sang Pencipta.
Artikel ini akan mengajak Anda untuk melakukan perjalanan mendalam, membedah lapis demi lapis makna yang terkandung dalam empat huruf Arab yang agung: Alif, Lam, Lam, dan Ha. Kita akan menelusuri akarnya secara etimologis, memahami keunikannya sebagai nama diri (ism al-'alam), dan yang terpenting, merenungkan bagaimana pemahaman ini dapat mengubah cara kita memandang dunia, diri sendiri, dan kehidupan secara keseluruhan.
Akar Etimologis dan Keunikan Nama "Allah"
Untuk memahami kedalaman sebuah nama, kita perlu menelusuri asal-usul katanya. Para ulama bahasa Arab telah mengemukakan beberapa pandangan mengenai etimologi kata "Allah". Mayoritas berpendapat bahwa kata "Allah" berasal dari gabungan kata "Al-Ilah".
Kata "Ilah" (إله) dalam bahasa Arab berarti "sesuatu yang disembah" atau "sembahan". Ini adalah istilah umum yang bisa merujuk pada dewa, berhala, atau entitas apa pun yang dijadikan objek pemujaan. Namun, ketika artikel definit (kata sandang) "Al-" (ال) ditambahkan di depannya, maknanya berubah secara drastis. "Al-" dalam konteks ini berfungsi untuk menunjukkan keunikan, keabsolutan, dan totalitas. Sehingga, "Al-Ilah" berarti "Satu-Satunya Sembahan yang Sejati" atau "The One True God". Seiring waktu dan penggunaan, gabungan ini kemudian menyatu menjadi satu kata yang tak terpisahkan: "Allah" (الله).
Keunikan ini sangat krusial. Jika "Ilah" bisa jamak (aalihah), maka "Allah" tidak memiliki bentuk jamak maupun gender. Ia tidak bisa dijadikan maskulin atau feminin, tidak bisa dihitung menjadi dua atau tiga. Ini secara linguistik mengunci konsep Tauhid—keesaan mutlak Tuhan—langsung di dalam nama-Nya. Nama ini sendiri adalah sebuah deklarasi anti-kemusyrikan.
Pendapat lain menghubungkan kata "Allah" dengan akar kata kerja lain yang menyoroti aspek-aspek berbeda dari hubungan manusia dengan Tuhan:
- Dari kata aliha - ya'lahu, yang berarti "menyembah" atau "beribadah". Maka, "Allah" adalah Zat yang secara fitrah menjadi tujuan dari segala bentuk ibadah dan ketundukan.
- Dari kata waliha - yaulahu, yang mengandung arti "terpesona," "bingung," "tergila-gila karena cinta," atau "mencari perlindungan". Makna ini menyiratkan bahwa Allah adalah Zat yang keagungan-Nya membuat akal manusia terpesona dan terpana, Zat yang menjadi tempat hati merindukan cinta, dan Zat yang menjadi satu-satunya tempat berlindung saat jiwa merasa gamang.
Semua pandangan ini tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Mereka secara kolektif melukiskan gambaran yang utuh: Allah adalah satu-satunya Zat yang berhak disembah (Al-Ma'luh), yang keagungan-Nya membuat akal terpesona, dan yang menjadi puncak kerinduan setiap jiwa yang mencari kebenaran dan ketenangan.
Ism al-A'zham: Nama yang Paling Agung
Dalam tradisi Islam, "Allah" dianggap sebagai Al-Ism al-A'zham, yaitu Nama yang Paling Agung. Mengapa demikian? Karena nama "Allah" adalah satu-satunya nama yang merangkum seluruh sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Semua nama-nama lain-Nya yang indah (Al-Asma'ul Husna), seperti Ar-Rahman (Maha Pengasih), Al-Ghafur (Maha Pengampun), atau Al-Khaliq (Maha Pencipta), pada hakikatnya adalah penjelasan atau atribut dari nama "Allah".
Anda bisa berkata, "Ya Rahman, ampunilah aku," tetapi inti dari seruan itu adalah kepada Allah yang memiliki sifat Ar-Rahman. Nama "Allah" adalah nama diri (proper name) bagi Zat Tuhan, sedangkan nama-nama lainnya adalah nama sifat. Inilah sebabnya mengapa kalimat syahadat, fondasi keislaman seseorang, menggunakan nama "Allah" secara spesifik: "Laa ilaaha illallah" (Tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah).
Makna Teologis: Tauhid sebagai Inti dari Arti Allah
Jika etimologi memberikan kita kerangka, maka teologi memberikan kita isinya. Memahami allah artinya secara teologis adalah memahami konsep fundamental yang menjadi ruh ajaran Islam: Tauhid. Tauhid adalah keyakinan akan keesaan mutlak Allah dalam segala aspek. Para ulama membagi Tauhid menjadi tiga pilar utama yang tak terpisahkan, yang semuanya terkandung dalam makna nama "Allah".
1. Tauhid ar-Rububiyyah (Keesaan dalam Penciptaan dan Pengaturan)
Tauhid Rububiyyah adalah pengakuan dan keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb (Tuhan, Penguasa, Pencipta, Pengatur, Pemberi rezeki). Ini berarti meyakini dengan sepenuh hati bahwa:
- Hanya Allah yang menciptakan alam semesta. Tidak ada pencipta lain selain Dia. Dari galaksi terjauh hingga partikel terkecil, semuanya adalah ciptaan-Nya.
- Hanya Allah yang memiliki dan menguasai alam semesta. Kekuasaan raja, presiden, atau siapa pun di dunia ini hanyalah titipan yang terbatas dan sementara. Kepemilikan absolut hanya milik Allah.
- Hanya Allah yang mengatur segala urusan di alam semesta. Pergerakan planet, pergantian siang dan malam, turunnya hujan, hembusan angin, detak jantung kita, hingga takdir setiap makhluk berada dalam genggaman pengaturan-Nya.
Keyakinan ini membebaskan jiwa dari kepercayaan pada takhayul, kekuatan alam, atau ramalan nasib. Seorang yang memahami Tauhid Rububiyyah akan melihat tangan Allah bekerja di balik setiap peristiwa, menumbuhkan rasa takjub dan tawakal (berserah diri) yang mendalam.
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ ۗ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
"Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam." (Q.S. Al-A'raf: 54)
2. Tauhid al-Uluhiyyah (Keesaan dalam Peribadahan)
Ini adalah konsekuensi logis dari Tauhid Rububiyyah dan merupakan inti dari dakwah para nabi dan rasul. Jika kita meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan, memiliki, dan mengatur, maka secara otomatis, hanya Allah yang berhak untuk disembah. Inilah Tauhid Uluhiyyah atau Tauhid Ibadah.
Ibadah dalam Islam memiliki makna yang sangat luas, mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin. Ini termasuk:
- Shalat: Bentuk ketundukan fisik dan spiritual tertinggi.
- Doa: Pengakuan akan kelemahan diri dan kebergantungan mutlak kepada Allah.
- Puasa: Latihan pengendalian diri demi ketaatan.
- Zakat dan Sedekah: Menyucikan harta dan peduli sesama sebagai bentuk syukur.
- Menyembelih kurban: Hanya ditujukan untuk Allah.
- Nazar, tawakal, harap (raja'), dan takut (khauf): Semua perasaan dan tindakan hati ini harus ditujukan hanya kepada Allah.
Mengarahkan salah satu bentuk ibadah ini kepada selain Allah (seperti kepada nabi, malaikat, orang saleh yang telah wafat, jin, atau benda keramat) dianggap sebagai dosa terbesar dalam Islam, yaitu syirik. Syirik merusak kemurnian makna "Allah" sebagai satu-satunya Al-Ilah.
3. Tauhid al-Asma' was-Sifat (Keesaan dalam Nama dan Sifat)
Pilar ketiga ini adalah keyakinan untuk menetapkan bagi Allah nama-nama dan sifat-sifat sempurna yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya dalam Al-Qur'an atau melalui lisan Rasul-Nya, tanpa melakukan empat hal terlarang:
- Tahrif (penyelewengan): Mengubah makna lafaz atau arti dari sifat tersebut.
- Ta'thil (penolakan): Menolak atau mengingkari keberadaan sifat tersebut secara total.
- Takyif (menanyakan bagaimana): Mempertanyakan atau membayangkan "bagaimana" hakikat sifat Allah, karena akal manusia terbatas dan tidak akan mampu menjangkaunya.
- Tamtsil (penyerupaan): Menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.
Kaidah utamanya terkandung dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"...Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Q.S. Asy-Syura: 11)
Ayat ini memberikan formula yang sempurna. Kita menetapkan bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat (menetapkan sifat), namun pendengaran dan penglihatan-Nya sama sekali tidak serupa dengan makhluk (menafikan penyerupaan). Dengan demikian, kita mengimani sifat-sifat-Nya sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa terjatuh dalam antropomorfisme (menyerupakan Tuhan dengan manusia) atau agnostisisme (menolak sifat-sifat-Nya).
Menyelami Samudra Sifat melalui Al-Asma'ul Husna
Nama "Allah" adalah samudra, dan Al-Asma'ul Husna (Nama-Nama yang Paling Indah) adalah mutiara-mutiara yang bisa kita selami untuk memahami kedalamannya. Setiap nama menyingkapkan satu aspek dari kesempurnaan dan keagungan Allah. Merenungkan nama-nama ini adalah cara praktis untuk menghidupkan makna "Allah" dalam hati.
Ar-Rahman (Maha Pengasih) & Ar-Rahim (Maha Penyayang)
Dua nama ini sering disebut bersamaan, termasuk dalam basmalah yang kita ucapkan setiap hari. Ar-Rahman merujuk pada kasih sayang Allah yang bersifat universal, meliputi seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali, baik yang beriman maupun yang kafir, manusia, hewan, dan tumbuhan. Udara yang kita hirup, makanan yang kita makan, dan matahari yang bersinar adalah manifestasi dari sifat Ar-Rahman-Nya.
Sementara Ar-Rahim merujuk pada kasih sayang-Nya yang bersifat khusus, yang dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di dunia dan secara khusus di akhirat kelak. Ini adalah rahmat berupa hidayah, ampunan, dan kenikmatan surga. Memahami dua nama ini mengajarkan kita untuk selalu bersyukur atas nikmat umum dan terus berupaya meraih nikmat khusus.
Al-Malik (Maha Raja) & Al-Quddus (Maha Suci)
Al-Malik menegaskan bahwa Allah adalah Raja dan Penguasa absolut. Kekuasaan-Nya tidak terbatas oleh ruang dan waktu, dan tidak memerlukan legitimasi dari siapa pun. Semua raja di dunia berada di bawah kekuasaan-Nya. Keyakinan ini menumbuhkan kerendahan hati dan membebaskan kita dari penghambaan kepada penguasa makhluk.
Al-Quddus berarti Allah Maha Suci dari segala bentuk kekurangan, cacat, atau sifat yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Dia suci dari rasa lelah, kantuk, lupa, atau ketidaktahuan. Dia suci dari memiliki anak atau sekutu. Nama ini membersihkan pikiran kita dari segala konsepsi yang salah tentang Tuhan dan menegaskan kesempurnaan-Nya yang mutlak.
As-Salam (Maha Pemberi Kedamaian)
Nama ini memiliki dua makna utama. Pertama, Allah terbebas (selamat) dari segala aib dan kekurangan. Kedua, Dia adalah sumber dari segala kedamaian dan keselamatan. Ketenangan sejati (sakinah) hanya datang dari-Nya. Saat dunia terasa kacau dan hati terasa gelisah, mengingat nama As-Salam akan mengembalikan jiwa kepada sumber kedamaian yang hakiki.
Al-Khaliq (Maha Pencipta), Al-Bari' (Maha Mengadakan), Al-Mushawwir (Maha Membentuk Rupa)
Tiga serangkai nama ini menjelaskan proses penciptaan yang menakjubkan. Al-Khaliq adalah Dia yang menciptakan dari ketiadaan, yang menentukan takdir dan ukuran segala sesuatu. Al-Bari' adalah Dia yang mengadakan ciptaan itu dari tidak ada menjadi ada. Al-Mushawwir adalah Dia yang memberikan rupa dan bentuk yang paling sempurna dan beragam bagi setiap ciptaan-Nya, dari sidik jari manusia yang unik hingga corak sayap kupu-kupu.
Al-'Alim (Maha Mengetahui) & Al-Khabir (Maha Teliti)
Al-'Alim menegaskan bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu, tanpa batas. Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang sedang terjadi, dan apa yang akan terjadi. Dia mengetahui apa yang tampak dan apa yang tersembunyi di lubuk hati yang paling dalam.
Al-Khabir menambahkan dimensi kedalaman pada sifat Al-'Alim. Allah tidak hanya mengetahui, tetapi Dia mengetahui hal-hal yang paling tersembunyi dan detail. Dia mengetahui bisikan jiwa, niat yang terlintas, dan rahasia yang kita pendam. Keyakinan ini menumbuhkan rasa pengawasan diri (muraqabah) yang kuat, mendorong kita untuk jujur dalam kesendirian sebagaimana kita jujur di keramaian.
Al-Ghafur (Maha Pengampun) & Al-Wadud (Maha Mencintai)
Al-Ghafur adalah sumber harapan bagi setiap pendosa. Nama ini berarti Allah Maha Menutupi dan Mengampuni dosa-dosa hamba-Nya yang mau bertaubat, tidak peduli seberapa besar dosa tersebut. Pintu ampunan-Nya selalu terbuka.
Al-Wadud adalah salah satu nama yang paling menghangatkan hati. Ia berarti Allah adalah Zat yang Mencintai hamba-hamba-Nya yang taat, dan Dia juga dicintai oleh mereka. Cinta Allah bukanlah cinta yang pasif; Dia menunjukkan cinta-Nya melalui nikmat, hidayah, dan ampunan. Nama ini mengajarkan bahwa hubungan antara hamba dan Tuhan bukan hanya hubungan antara tuan dan budak, tetapi juga hubungan cinta yang mendalam.
Implikasi Mengenal Arti Allah dalam Kehidupan
Memahami allah artinya bukan hanya pengetahuan kognitif, tetapi sebuah kesadaran yang seharusnya meresap ke dalam setiap sel tubuh dan detak jantung, lalu termanifestasi dalam tindakan. Pengetahuan ini memiliki implikasi transformatif yang luar biasa:
- Melahirkan Cinta yang Hakiki (Mahabbah): Semakin kita mengenal kesempurnaan, keindahan, dan kebaikan Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, semakin besar pula cinta kita kepada-Nya. Cinta ini menjadi bahan bakar utama untuk melakukan ketaatan dan menjauhi larangan, bukan karena paksaan, tetapi karena kerinduan.
- Menumbuhkan Rasa Takut dan Harap (Khauf dan Raja'): Mengenal sifat-sifat keagungan dan keadilan Allah (seperti Al-'Aziz, Al-Jabbar, Al-Muntaqim) akan menumbuhkan rasa takut yang sehat—takut akan murka-Nya yang membuat kita waspada terhadap dosa. Di sisi lain, mengenal sifat-sifat kasih sayang dan ampunan-Nya (seperti Ar-Rahman, Al-Ghafur, At-Tawwab) akan menumbuhkan harapan yang tak pernah putus akan rahmat-Nya. Keseimbangan antara takut dan harap ini menjaga seorang mukmin tetap di jalan yang lurus.
- Memberikan Ketenangan Jiwa (Sakinah): Ketika kita yakin bahwa segala sesuatu diatur oleh Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Pengasih, hati akan menjadi tenang dalam menghadapi segala ujian dan ketidakpastian hidup. Kita tahu bahwa tidak ada musibah yang menimpa kecuali atas izin-Nya, dan di balik setiap peristiwa pasti ada hikmah.
- Membebaskan dari Penghambaan kepada Makhluk: Tauhid adalah deklarasi kemerdekaan terbesar bagi umat manusia. Ia membebaskan kita dari perbudakan kepada hawa nafsu, harta, jabatan, opini manusia, dan segala bentuk berhala modern. Satu-satunya yang layak kita takuti, harapkan, dan sembah hanyalah Allah.
- Membentuk Akhlak Mulia: Berusaha meneladani sifat-sifat Allah dalam kapasitas kita sebagai manusia adalah puncak dari pengenalan akan-Nya. Mengenal Allah Yang Maha Penyayang mendorong kita untuk menyayangi sesama. Mengenal Allah Yang Maha Pengampun memotivasi kita untuk mudah memaafkan. Mengenal Allah Yang Maha Adil menuntun kita untuk berlaku adil dalam setiap urusan.
Manifestasi Paling Sempurna dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an, sebagai firman Allah, adalah sumber utama untuk mengenal-Nya. Dua bagian dari Al-Qur'an sering disebut sebagai intisari dari pengenalan akan Allah: Surah Al-Ikhlas dan Ayat Kursi.
Surah Al-Ikhlas: Deklarasi Kemurnian Tauhid
Surah ini, meskipun sangat pendek, dikatakan sebanding dengan sepertiga Al-Qur'an karena kandungan tauhidnya yang murni. Setiap ayatnya adalah jawaban tegas terhadap berbagai konsepsi yang salah tentang Tuhan.
"Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa."
Ini adalah penegasan keesaan (Ahad) yang absolut, menolak segala bentuk kemusyrikan dan konsep trinitas.
"Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu."
As-Shamad adalah Zat yang sempurna dalam segala sifat-Nya, menjadi tempat bergantung seluruh makhluk, sementara Dia sendiri tidak membutuhkan siapa pun dan apa pun.
"Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan."
Ini adalah penolakan tegas terhadap keyakinan yang menganggap Tuhan memiliki anak atau merupakan keturunan dari tuhan lain. Ini membersihkan konsep ketuhanan dari antropomorfisme.
"Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia."
Ayat penutup ini menyempurnakan konsep keesaan dengan menegaskan bahwa tidak ada satu pun makhluk atau entitas yang dapat disetarakan, dibandingkan, atau diserupakan dengan Allah dalam zat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
Ayat Kursi: Ayat Paling Agung
Ayat ke-255 dari Surah Al-Baqarah ini disebut sebagai ayat yang paling agung dalam Al-Qur'an. Ia memuat deskripsi yang luar biasa tentang kehidupan, kekuasaan, ilmu, dan keagungan Allah.
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
"Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." (Q.S. Al-Baqarah: 255)
Merenungkan setiap frasa dalam ayat ini akan membawa kita pada pengakuan yang mendalam akan keagungan Allah. Dari sifat-Nya yang Al-Hayyu (Maha Hidup) dan Al-Qayyum (Maha Mandiri dan Mengurus Makhluk), kepemilikan-Nya yang mutlak, ilmu-Nya yang tak terbatas, hingga kekuasaan-Nya yang dilambangkan dengan "Kursi" yang lebih luas dari langit dan bumi.
Kesimpulan: Sebuah Perjalanan Tanpa Akhir
Jadi, allah artinya apa? Jawabannya ternyata bukanlah sebuah definisi statis yang bisa dihafal dalam satu kalimat. Ia adalah sebuah konsep dinamis yang terus berkembang dalam benak dan hati seorang hamba seiring dengan perjalanan ilmu dan imannya.
Secara ringkas, "Allah" adalah nama diri bagi satu-satunya Tuhan yang hakiki; yang memiliki segala sifat kesempurnaan dan kesucian; yang Esa dalam penciptaan, pengaturan, dan kepemilikan-Nya (Rububiyyah); yang Esa sebagai satu-satunya tujuan peribadahan (Uluhiyyah); dan yang Esa dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang agung (Asma' was-Sifat).
Memahami makna ini adalah kunci untuk membuka pintu kebahagiaan, ketenangan, dan tujuan hidup yang sejati. Ia adalah fondasi yang di atasnya seluruh bangunan amal dan akhlak didirikan. Perjalanan untuk mengenal Allah adalah perjalanan seumur hidup, sebuah samudra yang tak akan pernah habis diselami. Semakin dalam kita menyelam, semakin banyak mutiara hikmah yang kita temukan, dan semakin kita menyadari betapa kecilnya diri ini di hadapan keagungan-Nya, Sang Pemilik nama terindah, Allah Subhanahu wa Ta'ala.