Memahami Kebesaran Allah Subhanahu wa Ta'ala
Di jantung setiap denyut nadi keimanan, bersemayam sebuah nama yang paling agung, paling mulia, dan paling fundamental bagi eksistensi seluruh alam semesta: Allah Subhanahu wa Ta'ala. Nama ini bukan sekadar sebutan, melainkan esensi dari segala keyakinan, tujuan dari segala ibadah, dan sumber dari segala penciptaan. Memahami siapa Allah adalah perjalanan intelektual dan spiritual terpenting yang dapat ditempuh oleh seorang manusia. Ini adalah perjalanan untuk menemukan hakikat diri, tujuan hidup, dan tempat kita di dalam kosmos yang mahaluas. Frasa "Subhanahu wa Ta'ala" yang senantiasa menyertai nama-Nya memiliki makna yang mendalam, yaitu "Maha Suci dan Maha Tinggi". Ini adalah pengakuan mutlak bahwa Dia terbebas dari segala bentuk kekurangan, cela, dan keserupaan dengan makhluk-Nya, serta pengakuan akan ketinggian Dzat, Sifat, dan Kekuasaan-Nya yang melampaui segala sesuatu.
Perjalanan mengenal Allah, atau yang dikenal dengan istilah ma'rifatullah, adalah lautan ilmu yang tak bertepi. Semakin dalam kita menyelaminya, semakin kita menyadari betapa sedikitnya yang kita ketahui, namun di saat yang sama, semakin besar pula rasa takjub, cinta, dan pengagungan kita kepada-Nya. Artikel ini adalah sebuah upaya sederhana untuk mengarungi sebagian kecil dari lautan tersebut, dengan harapan dapat membuka cakrawala pemahaman kita tentang Sang Pencipta, Pengatur, dan Pemilik segala sesuatu. Kita akan menjelajahi konsep ke-Esa-an-Nya yang mutlak (Tauhid), merenungi keindahan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya yang sempurna, menyaksikan jejak-jejak kebesaran-Nya yang tersebar di alam semesta, dan pada akhirnya, memahami buah manis dari mengenal-Nya dalam kehidupan sehari-hari.
Tauhid: Fondasi Keimanan Kepada Allah
Pilar utama dan inti ajaran Islam adalah Tauhid, yaitu keyakinan yang teguh akan ke-Esa-an Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tauhid bukanlah sekadar pengakuan lisan bahwa Tuhan itu satu, melainkan sebuah konsep komprehensif yang mencakup seluruh aspek kehidupan seorang hamba. Ia adalah fondasi yang di atasnya seluruh bangunan amal dan ibadah ditegakkan. Tanpa Tauhid yang lurus, segala perbuatan akan menjadi sia-sia laksana fatamorgana di padang pasir. Para ulama membagi Tauhid menjadi tiga pilar utama yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
1. Tauhid Rububiyah: Mengakui Ke-Esa-an dalam Perbuatan-Nya
Tauhid Rububiyah adalah keyakinan mutlak bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb (Tuhan) yang menciptakan, memiliki, menguasai, dan mengatur seluruh alam semesta. Ini adalah pengakuan bahwa tidak ada pencipta selain Dia, tidak ada pemilik sejati kecuali Dia, dan tidak ada pengatur yang berkuasa mutlak melainkan Dia. Keyakinan ini sebenarnya telah tertanam dalam fitrah (naluri dasar) setiap manusia. Bahkan masyarakat Arab jahiliyah pada masa sebelum kenabian pun mengakui bahwa Allahlah yang menciptakan langit dan bumi. Allah berfirman:
"Dan jika kamu bertanya kepada mereka, 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?' Niscaya mereka akan menjawab, 'Allah'." (QS. Luqman: 25)
Merenungi alam semesta adalah cara termudah untuk memperkuat Tauhid Rububiyah. Lihatlah keteraturan pergerakan matahari dan bulan, silih bergantinya siang dan malam, turunnya hujan yang menumbuhkan aneka ragam tanaman, dan kompleksitas luar biasa dalam tubuh manusia. Semua ini adalah bukti nyata akan adanya Sang Pengatur yang Maha Bijaksana. Mungkinkah sebuah jam tangan yang rumit ada tanpa seorang pembuat jam? Tentu tidak. Maka, bagaimana mungkin alam semesta yang jutaan kali lebih kompleks dan teratur ini ada dengan sendirinya tanpa seorang Pencipta yang Maha Agung?
Keyakinan ini menuntut kita untuk meyakini bahwa segala rezeki, kehidupan, kematian, manfaat, dan mudharat berada sepenuhnya dalam genggaman kekuasaan Allah. Tidak ada satu daun pun yang gugur melainkan atas sepengetahuan dan izin-Nya. Dengan meyakini Tauhid Rububiyah, hati seorang mukmin menjadi tenang karena ia tahu bahwa nasibnya tidak ditentukan oleh ramalan bintang, jimat, atau kekuatan makhluk lain, melainkan oleh ketetapan Allah, Rabb semesta alam.
2. Tauhid Uluhiyah: Mengesakan Allah dalam Ibadah
Jika Tauhid Rububiyah adalah pengakuan, maka Tauhid Uluhiyah adalah konsekuensi logis dari pengakuan tersebut. Tauhid Uluhiyah, yang juga disebut Tauhid Ibadah, adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam segala bentuk peribadahan. Inilah inti dari dakwah para nabi dan rasul, dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Misi utama mereka adalah mengajak manusia untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan segala bentuk sesembahan selain-Nya.
Ibadah adalah sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin. Shalat, puasa, zakat, haji, doa, tawakal, rasa takut (khauf), harapan (raja'), cinta (mahabbah), dan menyembelih kurban adalah bagian dari ibadah. Tauhid Uluhiyah menuntut kita untuk mempersembahkan semua bentuk ibadah ini hanya kepada Allah. Menujukan salah satu saja dari bentuk ibadah ini kepada selain Allah, baik itu kepada malaikat, nabi, orang saleh, jin, batu, atau pohon, adalah perbuatan syirik (menyekutukan Allah) yang merupakan dosa terbesar dan tak terampuni jika dibawa mati.
Allah berfirman dengan sangat tegas:
"Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia..." (QS. Al-Isra': 23)
Lawan dari Tauhid adalah syirik. Syirik membatalkan semua amal kebaikan dan menjerumuskan pelakunya ke dalam kehinaan di dunia dan akhirat. Karena alasan inilah, memahami Tauhid Uluhiyah menjadi sangat krusial. Seseorang mungkin mengakui Allah sebagai Pencipta (Rububiyah), tetapi jika ia masih berdoa kepada penghuni kubur, meminta pertolongan kepada jin, atau memakai jimat dengan keyakinan bahwa benda itu dapat mendatangkan manfaat, maka ia telah jatuh ke dalam jurang syirik yang membatalkan keimanannya. Oleh karena itu, kalimat "Laa ilaaha illallah" (Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah) adalah deklarasi murni dari Tauhid Uluhiyah.
3. Tauhid Asma' was Sifat: Mengesakan Allah dalam Nama dan Sifat-Nya
Pilar ketiga adalah Tauhid Asma' was Sifat, yaitu meyakini dan menetapkan bagi Allah apa yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya dalam Al-Qur'an, atau yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam Sunnah yang shahih, berupa nama-nama yang indah (Asma'ul Husna) dan sifat-sifat yang luhur dan sempurna. Keyakinan ini harus dipegang tanpa melakukan empat hal terlarang:
- Tahrif (penyelewengan): Mengubah makna lafazh atau makna dari nama atau sifat tersebut dari makna yang sebenarnya.
- Ta'thil (penolakan): Menolak atau mengingkari sebagian atau seluruh nama dan sifat Allah.
- Takyif (menanyakan 'bagaimana'): Mencoba membayangkan atau menggambarkan bagaimana hakikat sifat Allah tersebut. Akal manusia yang terbatas tidak akan pernah mampu menjangkau hakikat Dzat dan Sifat Sang Pencipta.
- Tamtsil (penyerupaan): Menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Ini adalah kesalahan fatal, karena Allah telah berfirman, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia." (QS. Asy-Syura: 11).
Contohnya, Allah menetapkan bagi diri-Nya sifat "Tangan" (Yad) dalam Al-Qur'an. Maka kita wajib meyakini bahwa Allah memiliki Tangan, namun tangan yang sesuai dengan keagungan-Nya, tidak sama dan tidak serupa dengan tangan makhluk-Nya. Kita tidak boleh menyelewengkan maknanya menjadi "kekuasaan" atau "nikmat", tidak boleh menolaknya, tidak boleh bertanya "bagaimana bentuk tangan-Nya?", dan tidak boleh menyerupakannya dengan tangan manusia. Kita menetapkannya sebagaimana lafazhnya datang, dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah.
Dengan memahami Tauhid Asma' was Sifat, kita dapat mengenal Allah dengan lebih dekat melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang Dia perkenalkan kepada kita. Ini membuka pintu untuk mencintai, mengagungkan, dan merasa diawasi oleh-Nya dalam setiap saat.
Mengenal Allah Melalui Asma'ul Husna
Salah satu cara paling indah untuk mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah dengan merenungi nama-nama-Nya yang paling indah, yang dikenal sebagai Asma'ul Husna. Allah sendiri memerintahkan kita untuk berdoa dengan menyebut nama-nama-Nya.
"Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu..." (QS. Al-A'raf: 180)
Setiap nama dari Asma'ul Husna mengandung sifat kesempurnaan dan keagungan Allah yang tak terbatas. Merenungi makna-maknanya akan menumbuhkan benih-benih cinta, takut, dan harap di dalam hati seorang hamba. Mari kita telaah beberapa di antaranya.
Ar-Rahman (Maha Pengasih) & Ar-Rahim (Maha Penyayang)
Dua nama ini sering disebut bersamaan, termasuk dalam kalimat Basmalah yang kita ucapkan setiap hari. Keduanya berasal dari akar kata yang sama, "rahmah" (kasih sayang). Namun, para ulama menjelaskan ada perbedaan halus di antara keduanya. Ar-Rahman menunjukkan kasih sayang Allah yang sangat luas, meliputi seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali, baik yang beriman maupun yang kafir. Matahari yang bersinar, udara yang kita hirup, air yang kita minum, dan rezeki yang kita nikmati adalah manifestasi dari sifat Ar-Rahman-Nya Allah. Dia memberikan semua ini kepada seluruh ciptaan-Nya.
Sementara itu, Ar-Rahim adalah kasih sayang Allah yang bersifat khusus, yang dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di dunia dan secara eksklusif di akhirat. Kasih sayang ini berupa hidayah iman, kenikmatan beribadah, pertolongan dalam ketaatan, dan puncaknya adalah surga-Nya kelak. Memahami kedua nama ini membuat kita bersyukur atas nikmat umum yang kita terima (sebagai wujud Ar-Rahman) dan memotivasi kita untuk menjadi hamba yang taat agar meraih kasih sayang khusus-Nya (sebagai wujud Ar-Rahim).
Al-Malik (Maha Raja)
Nama ini menegaskan bahwa Allah adalah Raja yang sebenarnya, Pemilik mutlak dari segala kerajaan. Kekuasaan-Nya sempurna, tidak terbatas oleh waktu dan tempat, dan tidak memerlukan bantuan siapapun. Semua raja di dunia, sehebat apapun kekuasaan mereka, hanyalah pemilik sementara yang diberi pinjaman kekuasaan oleh Al-Malik. Mereka akan mati dan kekuasaan mereka akan sirna. Sedangkan kerajaan Allah adalah abadi.
Merenungi nama Al-Malik akan melahirkan rasa rendah hati dan menundukkan kesombongan. Kita akan sadar bahwa segala yang kita miliki—harta, jabatan, keluarga, bahkan tubuh kita—hanyalah titipan dari Sang Raja. Tidak ada ruang untuk berbangga diri. Sebaliknya, yang muncul adalah kesadaran untuk menggunakan titipan tersebut sesuai dengan kehendak Sang Pemilik. Pada Hari Kiamat, Allah akan bertanya, "Milik siapakah kerajaan pada hari ini?" Lalu Dia sendiri yang akan menjawab, "Milik Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan." (QS. Ghafir: 16). Di hari itu, semua "raja" dunia akan tertunduk tak berdaya di hadapan Al-Malik yang sejati.
Al-Quddus (Maha Suci)
Al-Quddus berarti Dzat yang Maha Suci, terbebas dari segala bentuk aib, cela, kekurangan, dan keserupaan dengan makhluk. Kesucian-Nya meliputi Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Dia suci dari rasa lelah, kantuk, tidur, lupa, atau kezaliman. Semua perbuatan-Nya penuh dengan hikmah dan keadilan, meskipun terkadang akal kita yang terbatas tidak mampu memahaminya.
Memahami nama Al-Quddus membersihkan hati kita dari prasangka buruk kepada Allah. Ketika kita ditimpa musibah, kita yakin bahwa itu bukanlah karena Allah zalim, melainkan karena ada hikmah agung di baliknya. Keyakinan ini juga mendorong kita untuk senantiasa menyucikan Allah dalam hati dan lisan kita melalui dzikir seperti "Subhanallah" (Maha Suci Allah), serta berusaha menyucikan diri kita dari dosa dan maksiat agar layak menghadap Dzat Yang Maha Suci.
As-Salam (Maha Pemberi Kesejahteraan)
Nama As-Salam memiliki dua makna utama. Pertama, Dzat-Nya selamat dari segala kekurangan. Makna ini mirip dengan Al-Quddus. Kedua, Dia adalah sumber segala keselamatan dan kedamaian bagi makhluk-Nya. Surga disebut "Darussalam" (Negeri Keselamatan) karena di sanalah para penghuninya akan merasakan kedamaian abadi, terbebas dari segala penderitaan, penyakit, dan kematian, semua itu berasal dari As-Salam.
Mengimani nama As-Salam menumbuhkan rasa aman dan damai dalam jiwa. Kita tahu bahwa sumber kedamaian sejati hanyalah Allah. Kita memohon kepada-Nya untuk memberikan keselamatan di dunia (dari fitnah dan marabahaya) dan di akhirat (dari siksa neraka). Nama ini juga menginspirasi kita untuk menjadi penebar kedamaian di muka bumi, sesuai dengan ucapan salam yang menjadi sapaan umat Islam: "Assalamu'alaikum" (Semoga keselamatan tercurah atasmu).
Al-Khaliq (Maha Pencipta)
Al-Khaliq adalah Dia yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan (ex nihilo) dengan ukuran dan takdir yang sempurna. Penciptaan-Nya tidak memerlukan contoh sebelumnya dan tidak didasari oleh kebutuhan. Setiap atom, sel, planet, dan galaksi adalah bukti kebesaran-Nya sebagai Sang Pencipta. Allah juga disebut Al-Bari' (Yang Mengadakan) dan Al-Mushawwir (Yang Membentuk Rupa).
"Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Hasyr: 24)
Merenungi nama Al-Khaliq menumbuhkan rasa takjub yang luar biasa. Kita melihat diri kita sendiri sebagai mahakarya penciptaan yang sempurna, dari setetes mani menjadi manusia yang utuh. Kita melihat alam sekitar sebagai galeri seni ilahi yang tak tertandingi. Kesadaran ini seharusnya membuat kita semakin tunduk dan bersyukur kepada Dzat yang telah menciptakan kita dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Al-'Alim (Maha Mengetahui)
Ilmu Allah, yang ditunjukkan oleh nama-Nya Al-'Alim, adalah ilmu yang sempurna dan mutlak. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, tanpa terkecuali. Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang sedang terjadi, dan apa yang akan terjadi. Dia mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi, yang besar dan yang kecil, bahkan bisikan hati dan lintasan pikiran manusia.
"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya..." (QS. Al-An'am: 59)
Keyakinan bahwa Allah adalah Al-'Alim memiliki dampak yang sangat kuat dalam kehidupan seorang mukmin. Di satu sisi, ia akan merasa malu dan takut untuk berbuat maksiat, bahkan di tempat paling tersembunyi sekalipun, karena ia tahu Allah melihat dan mengetahuinya. Di sisi lain, ia akan merasa tenang dan sabar ketika dizalimi atau difitnah, karena ia tahu Allah mengetahui kebenaran yang sesungguhnya dan tidak ada yang luput dari catatan-Nya. Ia juga akan beribadah dengan ikhlas, karena ia tahu Allah mengetahui niat tulus di dalam hatinya, meskipun tidak ada manusia yang melihatnya.
Al-Hakim (Maha Bijaksana)
Nama Al-Hakim menunjukkan bahwa Allah memiliki hikmah (kebijaksanaan) yang sempurna dalam segala ciptaan, perintah, dan takdir-Nya. Tidak ada satu pun yang Dia ciptakan sia-sia. Tidak ada satu pun syariat yang Dia tetapkan kecuali untuk kebaikan manusia. Dan tidak ada satu pun takdir yang Dia tentukan, baik yang terasa manis maupun pahit, kecuali mengandung kebaikan dan pelajaran yang mendalam.
Terkadang, akal kita yang terbatas gagal menangkap hikmah di balik suatu kejadian atau perintah. Mengapa si A yang saleh diuji dengan penyakit berat, sementara si B yang durhaka hidup bergelimang harta? Mengapa Allah mengharamkan sesuatu yang kelihatannya nikmat? Di sinilah keimanan kepada Al-Hakim diuji. Seorang mukmin akan menyerahkan keterbatasannya kepada kebijaksanaan Allah yang tak terbatas. Ia akan berkata, "Aku mendengar dan aku taat," yakin bahwa di balik setiap perintah dan larangan-Nya pasti ada maslahat. Ia akan berbaik sangka kepada takdir-Nya, yakin bahwa di balik setiap ujian pasti ada kebaikan yang tersembunyi.
Jejak Kebesaran Allah di Alam Semesta
Al-Qur'an berulang kali mengajak kita untuk menggunakan akal dan penglihatan kita untuk merenungi tanda-tanda (ayat) kebesaran Allah Subhanahu wa Ta'ala yang terhampar di alam semesta. Seluruh kosmos, dari partikel terkecil hingga galaksi terbesar, adalah kitab terbuka yang memproklamasikan keberadaan, keesaan, dan kekuasaan Sang Pencipta. Ini adalah bukti empiris yang dapat dijangkau oleh siapa saja yang mau berpikir.
Ayat-ayat di Langit
Pandanglah ke langit di malam yang cerah. Jutaan bintang yang berkelip, bulan yang bersinar dengan cahayanya yang menenangkan, dan galaksi-galaksi yang terbentang jauh adalah saksi bisu keagungan Allah. Ilmu pengetahuan modern telah mengungkap betapa luasnya alam semesta ini, dengan jarak yang diukur dalam jutaan tahun cahaya. Planet kita, Bumi, hanyalah setitik debu di tengah hamparan kosmik yang tak terbayangkan.
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." (QS. Ali 'Imran: 190)
Keteraturan sistem tata surya kita sungguh menakjubkan. Matahari sebagai pusat energi, Bumi yang berotasi pada porosnya dengan kemiringan yang tepat untuk menciptakan musim, dan planet-planet lain yang bergerak dalam orbit yang presisi. Semua ini berjalan dalam harmoni yang sempurna selama miliaran tahun. Apakah keteraturan ini muncul dari sebuah kebetulan acak? Akal sehat menolak kemungkinan tersebut. Keteraturan yang luar biasa ini adalah bukti tak terbantahkan dari adanya Sang Desainer yang Maha Cerdas dan Maha Kuasa.
Ayat-ayat di Bumi
Kemudian, mari kita turun ke Bumi, planet tempat kita tinggal. Perhatikan bagaimana Allah menghamparkan bumi sebagai tempat yang layak huni. Gunung-gunung yang menjulang tinggi berfungsi sebagai pasak yang menstabilkan kerak bumi. Lautan yang luas menjadi sumber air dan regulator iklim. Siklus air—penguapan, pembentukan awan, dan turunnya hujan—adalah sebuah sistem irigasi raksasa yang menghidupkan tanah yang mati dan menumbuhkan berbagai macam tanaman yang menjadi sumber makanan bagi kita dan hewan.
Keanekaragaman hayati di bumi adalah keajaiban lainnya. Dari semut terkecil hingga paus biru terbesar, setiap makhluk diciptakan dengan desain yang sempurna untuk lingkungannya. Perhatikan lebah yang diilhami untuk membangun sarang heksagonal yang efisien dan menghasilkan madu yang menjadi obat bagi manusia. Perhatikan unta yang diciptakan dengan fitur-fitur unik untuk bertahan hidup di padang pasir yang ganas. Semua ini bukanlah produk kebetulan, melainkan hasil karya cipta dari Dzat yang Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.
Ayat-ayat dalam Diri Manusia
Tanda kebesaran Allah yang paling dekat dengan kita adalah diri kita sendiri. Allah berfirman:
"Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?" (QS. Adz-Dzariyat: 20-21)
Proses penciptaan manusia dari setetes air mani adalah sebuah mukjizat yang luar biasa. Dari satu sel, ia berkembang menjadi triliunan sel yang terdiferensiasi membentuk organ-organ yang kompleks seperti jantung yang memompa darah tanpa henti, paru-paru yang menukar oksigen, dan ginjal yang menyaring racun. Otak manusia, dengan miliaran neuronnya, adalah superkomputer biologis yang paling canggih, mampu berpikir, merasakan, berkreasi, dan mengingat. Sistem kekebalan tubuh kita adalah pasukan pertahanan yang selalu siaga melawan jutaan kuman setiap hari. Siapakah yang merancang dan mengatur semua ini dengan begitu detail dan sempurna? Dialah Allah Subhanahu wa Ta'ala, Al-Khaliq, Al-Mushawwir.
Buah Manis Mengenal Allah (Ma'rifatullah)
Perjalanan mengenal Allah bukanlah sekadar latihan intelektual. Ia adalah sebuah proses transformatif yang menghasilkan buah-buah manis dalam hati, pikiran, dan perilaku seorang hamba. Semakin dalam pengenalan seseorang terhadap Rabb-nya, semakin berkualitas hidupnya di dunia dan semakin tinggi derajatnya di akhirat.
Ketenangan Jiwa (Sakinah)
Di tengah dunia yang penuh dengan ketidakpastian, kecemasan, dan kegelisahan, mengenal Allah adalah sumber ketenangan yang hakiki. Ketika seseorang tahu bahwa alam semesta ini diatur oleh Dzat yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Bijaksana, hatinya akan merasa damai. Ia yakin bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi di luar kehendak dan ilmu-Nya. Ia menyerahkan segala urusannya kepada Allah (tawakal) setelah berusaha sekuat tenaga.
"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28)
Cinta yang Tertinggi (Mahabbatullah)
Pengenalan akan melahirkan cinta. Semakin kita mengenal keindahan, kebaikan, dan kesempurnaan sifat-sifat Allah, semakin besar pula cinta kita kepada-Nya. Cinta inilah yang menjadi bahan bakar utama dalam beribadah. Shalat tidak lagi terasa sebagai beban, melainkan sebagai momen indah untuk berdialog dengan Sang Kekasih. Sedekah tidak lagi terasa sebagai kehilangan, melainkan sebagai persembahan cinta. Cinta kepada Allah akan mengalahkan cinta kepada dunia dan segala isinya, membebaskan jiwa dari perbudakan materi dan hawa nafsu.
Rasa Takut dan Harap yang Seimbang (Khauf dan Raja')
Mengenal Allah juga menumbuhkan dua perasaan penting yang menjadi sayap bagi seorang mukmin untuk terbang menuju ridha-Nya: khauf (rasa takut) dan raja' (rasa harap). Dengan mengenal nama-nama-Nya yang menunjukkan keperkasaan dan keadilan, seperti Al-'Aziz (Maha Perkasa) dan Al-Muntaqim (Maha Pemberi Balasan), akan tumbuh rasa takut untuk melanggar perintah-Nya. Namun, dengan merenungi nama-nama-Nya yang menunjukkan kasih sayang dan ampunan, seperti Al-Ghafur (Maha Pengampun) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang), akan tumbuh pula harapan yang besar akan rahmat-Nya. Keseimbangan antara takut dan harap inilah yang menjaga seorang mukmin tetap berada di jalan yang lurus, tidak sombong karena amalnya dan tidak putus asa karena dosanya.
Sabar dalam Ujian dan Syukur dalam Nikmat
Orang yang mengenal Allah akan memahami filosofi hidup yang indah. Ia tahu bahwa hidup adalah ladang ujian. Ketika ditimpa musibah, ia tidak akan berkeluh kesah. Ia tahu bahwa ini adalah takdir dari Al-Hakim (Maha Bijaksana), yang di dalamnya pasti terkandung kebaikan. Ia akan bersabar, dan kesabarannya akan mengangkat derajatnya. Sebaliknya, ketika ia mendapatkan nikmat, ia tidak akan sombong dan lupa diri. Ia sadar bahwa nikmat itu adalah anugerah dari Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki). Ia akan bersyukur dengan lisan, hati, dan perbuatannya, dan syukurnya akan mendatangkan nikmat yang lebih banyak lagi.
Kesimpulan
Mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah tujuan penciptaan, puncak dari segala ilmu, dan kunci kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat. Ia adalah perjalanan seumur hidup yang ditempuh dengan merenungi ayat-ayat-Nya di dalam Al-Qur'an dan di alam semesta, mempelajari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta berusaha merealisasikan pengenalan itu dalam bentuk ketundukan dan pengabdian yang total.
Setiap detil dalam hidup kita, mulai dari hembusan nafas hingga detak jantung, adalah bukti nyata dari keberadaan dan kebesaran-Nya. Mengabaikan-Nya adalah bentuk kesombongan dan kebodohan terbesar, sementara berusaha mengenal dan mendekat kepada-Nya adalah pilihan paling cerdas yang dapat dibuat oleh seorang manusia. Semoga kita semua senantiasa diberi hidayah untuk terus berjalan di atas jalan ma'rifatullah, hingga kita kembali kepada-Nya dalam keadaan diridhai dan meridhai.