Memahami Keagungan Allah Ta'ala

Kaligrafi abstrak nama Allah Ta'ala

"Dialah Allah, tidak ada tuhan selain Dia."

Dalam perjalanan spiritual setiap insan, terdapat satu pertanyaan fundamental yang menjadi poros bagi seluruh eksistensi: Siapakah Pencipta alam semesta ini? Pertanyaan ini bukanlah sekadar keingintahuan intelektual, melainkan sebuah panggilan fitrah yang terpatri dalam sanubari. Jawaban atas pertanyaan ini, bagi seorang mukmin, tertuju pada satu nama yang Maha Agung: Allah Ta'ala. Mengenal Allah bukan hanya tentang mengetahui sebuah nama, melainkan sebuah proses seumur hidup untuk memahami hakikat-Nya, kebesaran-Nya, dan bagaimana seharusnya seorang hamba berinteraksi dengan-Nya. Ini adalah fondasi dari seluruh bangunan keyakinan, pilar utama yang menopang segala amal, dan tujuan akhir dari setiap tarikan napas.

Konsep tentang Allah Ta'ala adalah inti dari ajaran Islam. Ia bukanlah entitas yang jauh dan tak terjangkau, melainkan Zat yang lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Ia bukanlah sekadar kekuatan impersonal yang menggerakkan alam, tetapi Pribadi yang Maha Mengetahui, Maha Mendengar, dan Maha Melihat. Pemahaman yang benar tentang Allah Ta'ala akan melahirkan ketenangan dalam jiwa, kekuatan dalam menghadapi cobaan, dan arah yang jelas dalam meniti kehidupan. Artikel ini akan mengajak kita untuk menyelami lebih dalam makna dan esensi dari mengenal Allah Ta'ala, melalui pilar-pilar utama akidah yang telah diajarkan oleh para nabi dan rasul.

Tauhid: Fondasi Utama Mengesakan Allah Ta'ala

Pintu gerbang utama untuk mengenal Allah Ta'ala adalah melalui konsep Tauhid. Tauhid, secara bahasa, berarti mengesakan atau menjadikan sesuatu menjadi satu. Dalam terminologi syariat, Tauhid adalah keyakinan dan persaksian bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pemilik alam semesta, serta meyakini kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tauhid bukanlah sekadar pengakuan lisan, melainkan sebuah keyakinan yang meresap ke dalam hati dan termanifestasi dalam setiap tindakan. Para ulama membagi Tauhid menjadi tiga pilar utama yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.

"Katakanlah (Muhammad), 'Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.'"

1. Tauhid Rububiyyah: Mengakui Allah sebagai Satu-satunya Rabb

Tauhid Rububiyyah adalah keyakinan bahwa Allah Ta'ala adalah satu-satunya Rabb (Tuhan) yang menciptakan, memiliki, menguasai, dan mengatur seluruh alam semesta. Ini adalah pengakuan bahwa tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada pemberi rezeki selain Dia, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan selain Dia, dan tidak ada yang mengatur peredaran matahari dan bulan selain Dia.

Lihatlah di sekeliling kita. Dari galaksi yang maha luas hingga partikel terkecil yang tak kasat mata, semuanya bergerak dalam sebuah keteraturan yang luar biasa. Siapakah yang merancang orbit planet-planet sehingga tidak saling bertabrakan? Siapakah yang menumbuhkan biji kecil di dalam tanah menjadi pohon raksasa yang kokoh? Siapakah yang mengalirkan darah di dalam tubuh kita dan memberikan detak pada jantung tanpa kita sadari? Jawabannya hanya satu: Allah Ta'ala. Mengakui Tauhid Rububiyyah berarti menafikan adanya kekuatan lain yang setara dengan-Nya dalam penciptaan dan pengaturan. Keyakinan ini secara fitrah sebenarnya telah diakui oleh sebagian besar umat manusia, bahkan oleh kaum musyrikin di zaman dahulu. Mereka mengakui Allah sebagai Pencipta, namun mereka menyekutukan-Nya dalam hal ibadah.

Implikasi dari meyakini Tauhid Rububiyyah adalah lahirnya rasa takjub dan kagum terhadap kebesaran-Nya. Setiap kali kita melihat keindahan alam, kompleksitas makhluk hidup, atau ketepatan hukum fisika, hati kita seharusnya bergetar seraya mengakui keagungan Sang Pencipta. Keyakinan ini juga menumbuhkan rasa syukur yang mendalam, karena menyadari bahwa setiap nikmat, dari sebutir nasi hingga udara yang kita hirup, berasal dari-Nya semata.

2. Tauhid Uluhiyyah: Mengesakan Allah dalam Peribadahan

Inilah inti dari dakwah para nabi dan rasul, dan pilar Tauhid yang menjadi pembeda utama antara seorang muslim dengan yang lainnya. Tauhid Uluhiyyah, atau sering disebut Tauhid Ibadah, adalah mengesakan Allah Ta'ala dalam segala bentuk peribadahan. Artinya, tidak ada satupun bentuk ibadah, baik yang lahir maupun batin, yang boleh ditujukan kepada selain Allah.

Ibadah adalah sebuah konsep yang sangat luas. Ia tidak terbatas pada shalat, puasa, dan zakat saja. Doa adalah ibadah, maka memohon kepada selain Allah adalah kesyirikan. Menyembelih kurban adalah ibadah, maka melakukannya untuk selain Allah adalah terlarang. Rasa cinta yang tertinggi, rasa takut yang paling dalam, dan harapan yang paling puncak, semuanya harus ditujukan hanya kepada Allah Ta'ala. Ketika seseorang mencintai sesuatu atau seseorang melebihi cintanya kepada Allah, ia telah jatuh pada bentuk penyekutuan. Ketika seseorang lebih takut kepada makhluk daripada kepada Sang Khaliq hingga meninggalkankan perintah-Nya, ia telah merusak tauhidnya.

Tauhid Uluhiyyah adalah konsekuensi logis dari Tauhid Rububiyyah. Jika kita meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur segalanya, maka logikanya hanya Dia-lah yang pantas dan berhak untuk disembah. Mengapa kita harus meminta kepada makhluk yang tidak memiliki daya dan upaya, sementara Sang Pencipta Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan? Mengapa kita harus menyandarkan harapan kepada sesuatu yang fana, sementara Allah adalah Zat yang Maha Kekal? Inilah esensi dari kalimat syahadat "Laa ilaaha illallah" (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Kalimat ini mengandung dua rukun: penafian (an-nafyu) terhadap segala bentuk sesembahan selain Allah, dan penetapan (al-itsbat) bahwa hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak disembah.

3. Tauhid Asma' wa Sifat: Mengimani Nama dan Sifat-Nya yang Sempurna

Bagian ketiga dari Tauhid adalah mengimani nama-nama (Asma') dan sifat-sifat (Sifat) Allah Ta'ala yang telah Ia tetapkan untuk diri-Nya di dalam Al-Qur'an atau melalui lisan Rasul-Nya. Mengimani hal ini harus dilakukan sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, tanpa melakukan empat hal yang terlarang:

  • Tahrif (penyelewengan): Mengubah makna nama atau sifat dari makna yang sebenarnya.
  • Ta'thil (penolakan): Menolak atau mengingkari sebagian atau seluruh nama dan sifat Allah.
  • Takyif (menanyakan 'bagaimana'): Mempertanyakan kaifiyah atau hakikat dari sifat Allah, karena akal manusia tidak akan pernah mampu menjangkaunya.
  • Tamtsil (penyerupaan): Menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Allah Ta'ala berfirman, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

Sebagai contoh, kita mengimani bahwa Allah memiliki sifat "Maha Mendengar" (As-Sami'). Kita menetapkan sifat ini tanpa menyelewengkannya, tanpa menolaknya, tanpa bertanya "bagaimana pendengaran-Nya?", dan tanpa menyerupakannya dengan pendengaran makhluk. Pendengaran Allah sempurna, meliputi segala sesuatu, tidak terbatas oleh jarak atau halangan. Sedangkan pendengaran makhluk sangat terbatas dan penuh kekurangan. Demikian pula dengan sifat-sifat lainnya seperti Maha Melihat, Bersemayam di atas 'Arsy, memiliki Tangan, Wajah, dan sifat-sifat lainnya yang sesuai dengan keagungan-Nya. Keyakinan ini membangun gambaran yang benar tentang Allah, sebagai Zat yang Maha Sempurna, jauh dari segala sifat kekurangan yang ada pada makhluk.

Mengenal Allah Ta'ala Melalui Asma'ul Husna

Salah satu cara terindah untuk mengenal Allah Ta'ala adalah dengan merenungi nama-nama-Nya yang paling indah, yang dikenal sebagai Asma'ul Husna. Nama-nama ini bukanlah sekadar sebutan, melainkan cerminan dari sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna. Setiap nama membuka jendela bagi kita untuk memahami keagungan, kekuasaan, dan kasih sayang-Nya. Allah Ta'ala sendiri memerintahkan kita untuk berdoa dengan menyebut nama-nama-Nya.

Ar-Rahman dan Ar-Rahim (Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang)

Dua nama ini seringkali disebut bersamaan, terutama dalam basmalah. Keduanya berasal dari akar kata yang sama, "rahmah" (kasih sayang). Ar-Rahman menunjukkan kasih sayang Allah yang sangat luas, meliputi seluruh makhluk-Nya di dunia, baik yang beriman maupun yang kafir. Matahari yang bersinar untuk semua, hujan yang turun membasahi bumi, dan udara yang tersedia untuk dihirup adalah manifestasi dari sifat Ar-Rahman-Nya. Kasih sayang ini bersifat umum dan berlaku di dunia.

Sementara itu, Ar-Rahim merujuk pada kasih sayang-Nya yang bersifat khusus, yang hanya dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat kelak. Ini adalah rahmat berupa surga, ampunan, dan keridhaan-Nya. Seorang hamba yang merenungi kedua nama ini akan senantiasa optimis. Ia menyadari bahwa di balik setiap kesulitan, ada rahmat Allah yang lebih besar. Ia tidak akan pernah putus asa dari ampunan-Nya, sebesar apapun dosa yang telah ia lakukan, karena ia tahu Tuhannya adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim.

Al-Malik (Yang Maha Merajai)

Nama ini menegaskan bahwa Allah adalah Raja yang sebenarnya, Pemilik mutlak dari segala kerajaan di langit dan di bumi. Kekuasaan para raja dan penguasa di dunia ini hanyalah titipan, bersifat sementara, dan sangat terbatas. Sedangkan kerajaan Allah adalah abadi, tidak terbatas, dan mutlak. Dia berkuasa atas segala sesuatu, tidak ada yang bisa menghalangi kehendak-Nya.

Memahami Allah sebagai Al-Malik akan membebaskan jiwa dari perbudakan kepada makhluk. Hati tidak akan lagi tunduk kepada kekuasaan manusia, harta, atau jabatan. Sebab ia tahu bahwa semua itu berada di bawah genggaman Sang Raja Diraja. Rasa takut hanya akan tertuju kepada-Nya, dan harapan hanya akan tersandar pada-Nya. Ia akan menjalani hidup dengan penuh kehormatan sebagai hamba dari Al-Malik, bukan sebagai budak dunia yang fana.

Al-'Alim (Yang Maha Mengetahui)

Ilmu Allah Ta'ala meliputi segala sesuatu, tanpa terkecuali. Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang sedang terjadi, dan apa yang akan terjadi. Dia mengetahui apa yang tampak dan apa yang tersembunyi di dalam dada. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya. Tidak ada bisikan hati, niat tersembunyi, atau pikiran yang melintas yang luput dari pengetahuan-Nya.

Keyakinan terhadap nama Al-'Alim melahirkan sikap mawas diri (muraqabah). Seorang hamba akan merasa senantiasa diawasi oleh Allah, baik dalam keramaian maupun dalam kesendirian. Ini akan mendorongnya untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhi kemaksiatan, karena ia tahu tidak ada satupun perbuatannya yang luput dari catatan-Nya. Di sisi lain, keyakinan ini juga memberikan ketenangan. Ketika ia dizalimi atau difitnah, ia tahu bahwa Allah Maha Mengetahui kebenaran yang sesungguhnya dan keadilan-Nya pasti akan tegak.

Al-Wadud (Yang Maha Mencintai)

Ini adalah salah satu nama Allah yang paling menenangkan hati. Al-Wadud berarti Zat yang sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang beriman dan taat, dan Dia juga dicintai oleh mereka. Cinta Allah bukanlah cinta yang pasif. Ia menunjukkan cinta-Nya dengan memberikan taufik, hidayah, ampunan, dan nikmat yang tak terhingga. Dia mencintai orang-orang yang bertaubat, orang-orang yang bersabar, dan orang-orang yang berbuat baik.

Mengenal Allah sebagai Al-Wadud akan mengubah hubungan seorang hamba dengan Tuhannya dari sekadar hubungan antara pencipta dan makhluk, menjadi hubungan cinta yang mendalam. Ibadah tidak lagi terasa sebagai beban, melainkan sebagai ekspresi kerinduan dan cinta kepada Zat yang Maha Mencintai. Setiap ketaatan adalah cara untuk meraih cinta-Nya, dan setiap doa adalah percakapan mesra dengan Sang Kekasih Sejati. Ini adalah puncak dari keimanan, di mana hati dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah di atas segala-galanya.

Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana)

Segala sesuatu yang Allah ciptakan dan tetapkan pasti mengandung hikmah yang sempurna, baik kita mengetahuinya maupun tidak. Tidak ada satupun perbuatan-Nya yang sia-sia atau tanpa tujuan. Perintah dan larangan-Nya didasari oleh kebijaksanaan yang agung untuk kebaikan manusia itu sendiri. Musibah yang menimpa, rezeki yang tertunda, atau doa yang belum terkabul, semuanya berjalan di atas rel kebijaksanaan-Nya yang sempurna.

Mengimani Allah sebagai Al-Hakim akan melahirkan sikap rida dan pasrah terhadap segala ketetapan-Nya. Hati akan menjadi lapang dalam menghadapi ujian, karena yakin bahwa di baliknya pasti ada kebaikan yang mungkin belum terlihat. Seorang hamba tidak akan mudah menyalahkan takdir atau berburuk sangka kepada Tuhannya. Ia akan menjalani hidup dengan keyakinan penuh bahwa ia berada dalam pengawasan dan pengaturan Zat Yang Maha Bijaksana, yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuknya daripada dirinya sendiri.

Bukti Keberadaan dan Keagungan Allah Ta'ala

Keimanan kepada Allah Ta'ala tidaklah dibangun di atas pondasi yang buta, melainkan didukung oleh berbagai bukti dan argumen yang kuat, baik yang berasal dari fitrah manusia, akal sehat, wahyu, maupun tanda-tanda di alam semesta.

1. Dalil Fitrah (Bukti dari Naluri Dasar)

Setiap manusia dilahirkan dengan fitrah atau naluri dasar untuk mengakui adanya Tuhan Pencipta. Jauh di dalam lubuk hati setiap insan, ada pengakuan akan adanya kekuatan yang lebih tinggi dan agung. Naluri ini mungkin tertutupi oleh lingkungan, pendidikan, atau kesombongan, tetapi ia akan muncul kembali, terutama saat seseorang berada dalam kondisi terjepit dan putus asa. Ketika kapal di ambang karam di tengah lautan, atau ketika penyakit divonis tidak ada harapan, kepada siapakah manusia secara spontan akan berteriak meminta tolong? Mereka akan menengadah ke langit, memohon kepada kekuatan yang mereka yakini ada, yaitu Allah Ta'ala. Inilah bukti fitrah yang tidak bisa diingkari.

2. Dalil 'Aql (Bukti dari Akal Sehat)

Akal yang sehat dan lurus pasti akan sampai pada kesimpulan tentang keberadaan Tuhan. Salah satu argumen akal yang paling sederhana adalah hukum kausalitas. Segala sesuatu yang ada pasti ada yang mengadakannya. Sebuah bangunan tidak mungkin berdiri sendiri tanpa ada arsitek dan pekerjanya. Sebuah lukisan yang indah tidak mungkin tercipta tanpa ada pelukisnya. Maka, alam semesta yang jauh lebih kompleks, lebih besar, dan lebih teratur ini, mustahil ada dengan sendirinya tanpa ada Pencipta Yang Maha Cerdas dan Maha Kuasa. Rantai sebab-akibat ini pada akhirnya harus berhenti pada satu Penyebab Pertama yang tidak disebabkan oleh apapun, dan Dialah Allah Ta'ala.

3. Dalil Naql (Bukti dari Wahyu)

Allah Ta'ala dengan rahmat-Nya tidak membiarkan manusia meraba-raba dalam kegelapan. Dia mengutus para nabi dan rasul serta menurunkan kitab-kitab suci sebagai petunjuk. Al-Qur'an, sebagai wahyu terakhir, adalah bukti nyata keberadaan dan keesaan Allah. Keindahan bahasanya, keakuratan informasi ilmiahnya yang baru terbukti berabad-abad kemudian, konsistensi ajarannya, dan pengaruhnya yang luar biasa dalam mengubah peradaban manusia adalah mukjizat yang membuktikan bahwa ia bukanlah karangan manusia, melainkan firman dari Pencipta alam semesta.

4. Dalil Ayat (Bukti dari Tanda-tanda Kekuasaan)

Seluruh alam semesta ini adalah hamparan ayat atau tanda-tanda kebesaran Allah Ta'ala bagi orang-orang yang mau berpikir. Allah mengajak kita untuk merenungkan ciptaan-Nya:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan."

Peredaran matahari yang presisi, siklus air yang menghidupkan bumi, keanekaragaman hayati yang menakjubkan, hingga kompleksitas organ tubuh manusia seperti mata dan otak; semuanya adalah "buku terbuka" yang menceritakan tentang keagungan, ilmu, dan kekuasaan Sang Pencipta. Orang yang beriman akan melihat jejak-jejak Sang Khaliq di setiap sudut alam, yang semakin mempertebal keyakinannya.

Membangun Hubungan dengan Allah Ta'ala

Mengenal Allah Ta'ala bukanlah tujuan akhir, melainkan langkah awal untuk membangun hubungan yang intim dan kokoh dengan-Nya. Hubungan ini dibangun di atas pilar-pilar ibadah, cinta, harapan, dan rasa takut yang seimbang.

Ibadah sebagai Tujuan Hidup

Tujuan utama penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah kepada Allah. Sebagaimana telah dijelaskan, ibadah memiliki makna yang sangat luas. Shalat lima waktu adalah tiang agama, sebuah momen dialog langsung seorang hamba dengan Tuhannya. Puasa melatih kesabaran dan empati. Zakat membersihkan harta dan jiwa. Namun, setiap aktivitas yang diniatkan untuk mencari ridha Allah bisa bernilai ibadah. Bekerja mencari nafkah yang halal, belajar menuntut ilmu, berbuat baik kepada orang tua, tersenyum kepada sesama, bahkan menyingkirkan duri dari jalan, semuanya adalah bentuk ibadah. Dengan demikian, seluruh hidup seorang mukmin adalah rangkaian ibadah yang tak terputus.

Menumbuhkan Cinta, Harap, dan Takut

Hati seorang mukmin ibarat seekor burung, di mana rasa cinta (mahabbah) adalah kepalanya, sementara rasa harap (raja') dan rasa takut (khauf) adalah kedua sayapnya. Ketiganya harus ada secara seimbang.

  • Cinta (Mahabbah): Mendorong seorang hamba untuk bersegera dalam ketaatan dan merasakan manisnya iman. Ia beribadah bukan karena terpaksa, tetapi karena rindu dan cinta kepada Allah.
  • Harap (Raja'): Membuat seorang hamba tetap optimis dan tidak putus asa dari rahmat Allah. Sekalipun berbuat dosa, ia akan segera bertaubat dengan harapan besar akan ampunan-Nya. Rasa harap ini memotivasi untuk terus beramal baik.
  • Takut (Khauf): Mencegah seorang hamba dari perbuatan maksiat dan sikap meremehkan dosa. Ia takut akan azab dan murka Allah, serta takut jika amalnya tidak diterima. Rasa takut ini melahirkan kehati-hatian dan kerendahan hati.

Jika salah satu dari ketiganya tidak seimbang, maka hubungan dengan Allah akan menjadi timpang. Terlalu dominan rasa harap tanpa rasa takut akan melahirkan sikap meremehkan dosa. Sebaliknya, terlalu dominan rasa takut tanpa harapan akan menjerumuskan ke dalam keputusasaan. Keseimbangan ketiganyalah yang akan membawa seorang hamba pada jalan yang lurus.

Syukur dan Sabar dalam Setiap Keadaan

Kehidupan seorang mukmin senantiasa berputar antara dua kondisi: nikmat dan ujian. Sikap yang benar dalam menghadapi keduanya adalah kunci kebahagiaan sejati. Ketika mendapatkan nikmat, baik berupa kesehatan, harta, atau kebahagiaan, ia bersyukur. Syukur bukan hanya ucapan "Alhamdulillah", tetapi pengakuan dalam hati bahwa nikmat itu dari Allah, diucapkan dengan lisan, dan digunakan untuk ketaatan kepada-Nya. Dengan bersyukur, nikmat itu akan ditambah.

Ketika dihadapkan pada ujian, baik berupa sakit, kesulitan ekonomi, atau kehilangan, ia bersabar. Sabar berarti menahan diri dari keluh kesah, menahan lisan dari ucapan yang tidak diridhai, dan menahan anggota badan dari perbuatan yang menunjukkan keputusasaan. Ia yakin bahwa setiap ujian adalah cara Allah untuk menghapus dosa, mengangkat derajat, dan menguji keimanan. Dengan kesabaran, ia akan mendapatkan pahala yang tanpa batas. Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, seluruh urusannya adalah baik.

Penutup: Buah Mengenal Allah Ta'ala

Perjalanan mengenal Allah Ta'ala adalah perjalanan paling mulia yang bisa ditempuh oleh seorang manusia. Semakin dalam pengenalan seseorang terhadap Rabb-nya, semakin besar pula ketenangan, kebahagiaan, dan kemuliaan yang ia rasakan. Buah dari pengenalan ini adalah lahirnya seorang hamba yang bertauhid murni, yang hidupnya hanya untuk Allah, ibadahnya hanya untuk Allah, dan matinya pun dalam keadaan berserah diri kepada Allah. Ia akan merasakan kemerdekaan sejati dari belenggu dunia dan makhluk, karena hatinya telah terpaut kepada Zat Yang Maha Kaya dan Maha Kuasa.

Ia akan menjalani hidup dengan penuh tujuan, menyadari bahwa ia tidak diciptakan sia-sia. Setiap langkahnya dipandu oleh cahaya ilmu tentang Tuhannya, setiap keputusannya dilandasi oleh keyakinan akan kebijaksanaan-Nya, dan setiap tarikan napasnya adalah ungkapan syukur atas kasih sayang-Nya. Inilah hakikat kehidupan yang sebenarnya, sebuah perjalanan indah menuju perjumpaan dengan Allah Ta'ala, Zat yang keindahan dan keagungan-Nya melampaui segala imajinasi.

🏠 Homepage