Prinsip Abadi Perubahan: Membedah Makna di Balik Firman-Nya
Perubahan besar berawal dari benih transformasi di dalam diri.
Di tengah lautan kehidupan yang penuh dinamika, manusia sering kali bertanya tentang nasib, takdir, dan peran dirinya dalam membentuk masa depan. Ada kalanya kita merasa terjebak dalam situasi yang tidak diinginkan, baik secara pribadi maupun kolektif. Kemiskinan, kebodohan, keterpurukan moral, atau stagnasi dalam berbagai aspek kehidupan seolah menjadi belenggu yang sulit dilepaskan. Dalam kegelisahan itu, sering muncul pertanyaan: "Mengapa kondisi kami seperti ini? Kapan pertolongan Tuhan akan datang?"
Al-Qur'an, sebagai petunjuk abadi bagi umat manusia, memberikan jawaban yang fundamental dan memberdayakan. Jawaban itu terangkum dalam sebuah ayat agung yang menjadi salah satu pilar utama dalam memahami hukum sosial-ketuhanan (sunnatullah). Firman Allah SWT dalam Surat Ar-Ra'd ayat 11 menyatakan sebuah prinsip yang tak lekang oleh waktu:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra'd: 11)
Ayat ini bukan sekadar untaian kata, melainkan sebuah deklarasi ilahi yang menempatkan manusia sebagai agen aktif dalam perubahan nasibnya. Ia adalah penawar bagi sikap pasrah yang keliru (fatalisme) dan sekaligus cambuk bagi mereka yang hanya berdiam diri menanti keajaiban tanpa usaha. Prinsip ini menegaskan bahwa kunci utama dari transformasi eksternal—perubahan kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya—terletak pada transformasi internal, yaitu perubahan yang terjadi di dalam diri setiap individu yang menjadi bagian dari kaum tersebut.
Artikel ini akan mengajak kita untuk menyelami lebih dalam lautan makna yang terkandung dalam ayat mulia ini. Kita akan membedah konsep perubahan dari perspektif Al-Qur'an, memahami apa yang dimaksud dengan "mengubah apa yang ada pada diri sendiri", dan bagaimana prinsip ini berlaku secara universal, baik pada level individu, keluarga, masyarakat, hingga sebuah bangsa. Ini adalah perjalanan untuk menemukan kembali kekuatan yang telah Allah titipkan dalam diri kita untuk menjadi arsitek masa depan yang lebih baik, di bawah naungan ridha dan pertolongan-Nya.
Memahami Fondasi: Tafsir dan Makna Mendalam Ar-Ra'd Ayat 11
Untuk memahami kekuatan sesungguhnya dari ayat ini, kita perlu mengurai frasa-frasa kuncinya. Setiap kata yang dipilih oleh Allah SWT memiliki kedalaman makna yang luar biasa.
"Innallāha lā yughayyiru mā biqaumin" (Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum)
Bagian pertama ayat ini adalah sebuah pernyataan tentang sunnatullah, yaitu hukum ketetapan Allah yang berlaku secara konsisten di alam semesta, termasuk dalam kehidupan sosial manusia. Kata "lā yughayyiru" (tidak akan mengubah) menggunakan bentuk penafian yang kuat, menandakan sebuah prinsip yang pasti dan tidak berubah. Allah, dengan segala kekuasaan-Nya untuk mengubah apa pun dalam sekejap, telah menetapkan sebuah mekanisme.
Apa yang dimaksud dengan "mā biqaumin" (apa yang ada pada suatu kaum)? Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ini mencakup segala kondisi yang melingkupi suatu kaum atau masyarakat. Ini bisa berupa kenikmatan, kemakmuran, keamanan, dan kejayaan. Sebaliknya, ini juga bisa berupa azab, penderitaan, kemiskinan, kehinaan, dan keterjajahan. Ayat ini bersifat umum, artinya Allah tidak akan mencabut nikmat dari suatu kaum yang taat, dan sebaliknya, tidak akan mengangkat penderitaan dari suatu kaum yang bermaksiat, sampai syaratnya terpenuhi.
Ini adalah manifestasi keadilan Allah. Perubahan kondisi eksternal tidak terjadi secara acak atau sewenang-wenang. Ada hukum sebab-akibat yang berlaku. Kondisi suatu masyarakat adalah cerminan dari apa yang ada di dalam diri mereka. Jika mereka berada dalam kebaikan, itu adalah buah dari kebaikan internal mereka. Jika mereka berada dalam keburukan, itu adalah konsekuensi dari kerusakan yang ada di dalam jiwa mereka.
"Hattā yughayyirū mā bi`anfusihim" (sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri)
Inilah inti dari ayat tersebut, syarat yang harus dipenuhi. Perubahan eksternal bergantung sepenuhnya pada pemicu internal. Kata "hattā" (sehingga/sampai) menunjukkan hubungan sebab-akibat yang sangat erat. Allah menangguhkan perubahan-Nya sampai manusia memulai perubahan dari sisi mereka.
Lalu, apa makna "mā bi`anfusihim" (apa yang ada pada diri mereka sendiri)? Ini adalah konsep yang sangat luas dan mendalam. "Anfus" (bentuk jamak dari nafs) tidak hanya berarti diri secara fisik, tetapi mencakup seluruh dimensi internal manusia. Para ulama merincinya menjadi beberapa aspek fundamental:
- Pola Pikir (Mindset): Cara pandang terhadap kehidupan, Tuhan, diri sendiri, dan alam semesta. Apakah mindset mereka progresif, optimis, dan berorientasi pada solusi, ataukah pesimis, fatalistis, dan suka menyalahkan keadaan?
- Keyakinan dan Akidah: Fondasi keimanan kepada Allah. Apakah tauhid mereka murni, ataukah telah tercampur dengan syirik dan khurafat yang melumpuhkan potensi diri?
- Niat dan Kehendak (Azam): Dorongan batin yang menggerakkan perbuatan. Apakah niat mereka tulus untuk mencari ridha Allah dan membangun kebaikan, ataukah didasari oleh hawa nafsu, keserakahan, dan kepentingan sesaat?
- Akhlak dan Moralitas: Standar perilaku dan etika. Apakah mereka menjunjung tinggi kejujuran, amanah, keadilan, dan kasih sayang, ataukah mereka tenggelam dalam kebohongan, korupsi, kezaliman, dan egoisme?
- Ilmu dan Pengetahuan: Tingkat pemahaman mereka terhadap ajaran agama dan ilmu pengetahuan duniawi yang bermanfaat. Apakah mereka masyarakat yang gemar belajar dan berpikir kritis, ataukah masyarakat yang terbelenggu dalam kebodohan dan taklid buta?
- Kebiasaan dan Perilaku: Tindakan-tindakan yang dilakukan secara berulang hingga menjadi karakter. Apakah kebiasaan mereka adalah produktivitas, disiplin, dan amal saleh, ataukah kemalasan, kelalaian, dan perbuatan dosa?
Perubahan pada elemen-elemen internal inilah yang menjadi motor penggerak transformasi sebuah masyarakat. Inisiatif harus datang dari manusia. Ini adalah bentuk penghormatan Allah terhadap kehendak bebas (free will) yang dianugerahkan-Nya kepada kita. Manusia bukanlah robot yang diprogram, melainkan makhluk yang diberi pilihan dan bertanggung jawab atas pilihannya.
Dimensi Perubahan: Dari Individu Menuju Peradaban
Prinsip dalam Surat Ar-Ra'd ayat 11 berlaku dalam berbagai tingkatan. Ia seperti riak air; dimulai dari satu titik kecil (individu), kemudian menyebar membentuk lingkaran yang lebih besar (keluarga, komunitas) hingga akhirnya menggerakkan seluruh permukaan air (masyarakat/bangsa).
Fase Pertama: Transformasi Individu (Al-Taghyir Al-Fardi)
Segala perubahan besar di dunia ini selalu dimulai dari perubahan satu orang. Masyarakat tidak lain adalah kumpulan individu. Kualitas masyarakat sangat ditentukan oleh kualitas individu-individu yang menyusunnya. Oleh karena itu, titik awal perbaikan umat adalah perbaikan setiap pribadi.
Perubahan individu adalah sebuah perjalanan jihad melawan hawa nafsu, kebodohan, dan kemalasan yang ada di dalam diri. Perjalanan ini mencakup beberapa domain penting:
1. Perubahan Spiritualitas (Hati dan Iman)
Ini adalah fondasi dari segala perubahan. Hati, dalam pandangan Islam, adalah pusat kendali. Rasulullah ﷺ bersabda, "Ketahuilah, di dalam jasad manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, ia adalah hati." (HR. Bukhari & Muslim).
Mengubah hati berarti membersihkannya dari penyakit-penyakit spiritual seperti kesombongan, iri hati, riya' (pamer), dan cinta dunia yang berlebihan. Proses pembersihan ini (tazkiyatun nafs) dilakukan dengan memperkuat hubungan dengan Allah melalui ibadah yang khusyuk (shalat, zikir, membaca Al-Qur'an), merenungkan kebesaran-Nya, serta menumbuhkan rasa takut (khauf) dan harap (raja') kepada-Nya. Ketika iman telah kokoh tertanam di hati, ia akan menjadi sumber energi yang tak terbatas untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan.
2. Perubahan Intelektualitas (Akal dan Ilmu)
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi akal dan ilmu. Wahyu pertama yang turun adalah "Iqra!" (Bacalah!). Perubahan diri tidak mungkin terjadi tanpa ilmu. Seseorang perlu belajar untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang bermanfaat dan mana yang merugikan.
Mengubah akal berarti mengubah cara berpikir. Dari berpikir sempit menjadi berpikir luas, dari taklid buta menjadi berpikir kritis dan analitis, dari menyalahkan orang lain menjadi introspeksi diri. Ini membutuhkan kemauan untuk terus belajar, membaca, berdiskusi, dan membuka diri terhadap wawasan baru, baik ilmu agama maupun ilmu dunia yang relevan untuk kemaslahatan.
3. Perubahan Perilaku (Kebiasaan dan Akhlak)
Ilmu dan iman yang ada di dalam harus termanifestasi dalam tindakan nyata. Perubahan sejati terjadi ketika pengetahuan diubah menjadi kebiasaan baik. Ini adalah proses yang membutuhkan disiplin, kesabaran, dan konsistensi (istiqamah).
Mengubah perilaku berarti mengganti kebiasaan buruk dengan kebiasaan baik. Misalnya, mengganti kebiasaan menunda-nunda dengan disiplin, kebiasaan berbohong dengan kejujuran, kebiasaan boros dengan hidup sederhana, atau kebiasaan malas beribadah dengan rajin mendekatkan diri kepada Allah. Perubahan-perubahan kecil yang dilakukan secara konsisten akan membentuk karakter (akhlak) yang mulia dan pada akhirnya mengubah takdir seseorang.
Fase Kedua: Transformasi Kolektif (Al-Taghyir Al-Jama'i)
Ketika individu-individu yang telah tercerahkan dan berubah ini berinteraksi satu sama lain, mereka akan menciptakan efek domino. Seorang ayah yang saleh akan mendidik keluarganya dengan baik. Seorang guru yang berilmu akan mencerahkan murid-muridnya. Seorang pemimpin yang adil akan membawa kemakmuran bagi rakyatnya. Seorang pengusaha yang jujur akan membangun ekonomi yang berkah.
Perubahan kolektif adalah agregasi dari perubahan individu. Ketika kesadaran untuk berubah telah menjadi gerakan bersama, maka saat itulah "kaum" tersebut sedang "mengubah apa yang ada pada diri mereka". Proses ini melibatkan beberapa mekanisme sosial:
1. Dakwah dan Pendidikan
Individu yang telah berubah memiliki kewajiban untuk mengajak orang lain kepada kebaikan (dakwah) dan berbagi ilmu (pendidikan). Ini adalah proses transfer nilai, pengetahuan, dan semangat perubahan kepada orang lain. Tanpa dakwah dan pendidikan yang efektif, perubahan individu akan tetap terisolasi dan tidak akan menjadi kekuatan sosial.
2. Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang peduli. Prinsip menyuruh kepada yang baik (amar ma'ruf) dan mencegah dari yang mungkar (nahi munkar) adalah katup pengaman sosial. Ketika ada individu atau kelompok yang melakukan penyimpangan, anggota masyarakat lainnya memiliki tanggung jawab untuk menasihati dan meluruskannya dengan cara yang bijaksana. Ini mencegah kerusakan menyebar dan menjaga standar moral kolektif.
3. Kepemimpinan yang Visioner
Perubahan kolektif seringkali membutuhkan seorang pemimpin atau sekelompok elite yang dapat mengartikulasikan visi, mengorganisir potensi, dan mengarahkan energi masyarakat menuju tujuan bersama. Sejarah Islam dipenuhi oleh contoh para pemimpin—dari Rasulullah ﷺ, Khulafaur Rasyidin, hingga para pembaharu—yang berhasil menjadi katalisator perubahan besar karena mereka sendiri telah melalui transformasi internal yang mendalam.
Ketika mayoritas anggota masyarakat telah mengubah pola pikir, keyakinan, dan perilaku mereka ke arah yang lebih baik, maka saat itulah janji Allah dalam Surat Ar-Ra'd ayat 11 akan terwujud. Nikmat, kemuliaan, dan kemenangan akan dianugerahkan kepada mereka. Sebaliknya, jika suatu kaum secara kolektif memilih jalan kefasikan, kezaliman, dan kebodohan, maka kehancuran dan kehinaan pun akan menimpa mereka sebagai konsekuensi dari pilihan mereka sendiri.
Langkah Praktis Menuju Perubahan Diri
Menyadari pentingnya prinsip ini adalah langkah pertama. Langkah selanjutnya, yang jauh lebih menantang, adalah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. "Mengubah apa yang ada pada diri sendiri" bukanlah slogan kosong, melainkan sebuah program kerja yang sistematis dan berkelanjutan. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang dapat kita ambil:
1. Muhasabah: Seni Introspeksi Diri
Perubahan tidak bisa dimulai tanpa kesadaran akan apa yang perlu diubah. Muhasabah adalah proses jujur untuk mengevaluasi diri sendiri. Luangkan waktu setiap hari, misalnya setelah shalat Isya, untuk merenung. Tanyakan pada diri sendiri: Apa saja kebaikan yang telah aku lakukan hari ini? Apa saja kesalahan dan dosa yang telah aku perbuat? Di aspek mana aku masih lemah? Sifat buruk apa yang masih mendominasi diriku?
Seperti seorang pedagang yang menghitung untung ruginya setiap hari, kita harus menghitung "modal" amal kita. Umar bin Khattab pernah berkata, "Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab." Dengan muhasabah, kita dapat mengidentifikasi penyakit-penyakit hati dan perilaku kita, sehingga kita bisa fokus untuk mengobatinya.
2. Taubat: Titik Balik Menuju Kebersihan Jiwa
Setelah mengenali kesalahan melalui muhasabah, langkah selanjutnya adalah taubat. Taubat bukan sekadar mengucapkan "astaghfirullah", tetapi sebuah proses yang melibatkan tiga komponen utama: (1) Menyesali perbuatan dosa di masa lalu; (2) Berhenti total dari perbuatan dosa tersebut saat ini; dan (3) Bertekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi di masa depan. Jika dosa itu berkaitan dengan hak orang lain, maka harus ditambah komponen keempat, yaitu menyelesaikannya dengan orang yang bersangkutan.
Taubat adalah sebuah "reset" spiritual. Ia membersihkan catatan buruk kita dan membuka lembaran baru yang putih bersih. Ia adalah gerbang yang membebaskan kita dari belenggu masa lalu dan memberikan energi baru untuk melangkah ke depan. Allah Maha Penerima Taubat, dan Dia sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang kembali kepada-Nya.
3. Thalabul Ilmi: Mengisi Diri dengan Cahaya Pengetahuan
Kebodohan adalah kegelapan. Untuk mengubah diri, kita butuh cahaya, dan cahaya itu adalah ilmu. Alokasikan waktu setiap hari untuk belajar. Prioritaskan ilmu-ilmu agama yang fundamental (fardhu 'ain) seperti akidah, fiqih ibadah, dan akhlak. Pelajari Al-Qur'an dengan terjemahan dan tafsirnya, serta hadis-hadis Nabi ﷺ.
Selain ilmu agama, bekali diri dengan ilmu dunia yang relevan dengan peran kita. Seorang pelajar harus tekun dalam studinya. Seorang profesional harus terus meningkatkan keterampilannya. Ilmu akan membuka wawasan, memperbaiki cara pandang, dan memberikan kita alat untuk menyelesaikan masalah dengan lebih baik. Dengan ilmu, kita beribadah dengan benar dan berkarya dengan efektif.
4. Amal Shalih dan Latihan Disiplin (Riyadhah)
Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah. Perubahan sejati terjadi melalui tindakan. Mulailah dari hal-hal kecil yang bisa dilakukan secara konsisten. Paksa diri (inilah makna riyadhah atau latihan) untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan baik. Misalnya:
- Menjaga shalat lima waktu di awal waktu dan berjamaah bagi laki-laki.
- Membaca Al-Qur'an setiap hari, meskipun hanya satu halaman.
- Bersedekah secara rutin, meskipun dengan jumlah yang kecil.
- Menjaga lisan dari ghibah, fitnah, dan perkataan sia-sia.
- Berbakti kepada orang tua dan menyambung silaturahmi.
- Menjadi pribadi yang amanah dan profesional dalam pekerjaan.
Kunci dari pembentukan kebiasaan adalah istiqamah (konsistensi). Amal yang sedikit tetapi rutin lebih dicintai Allah daripada amal yang banyak tetapi hanya sesekali. Seiring waktu, kebiasaan-kebiasaan baik ini akan mengakar kuat dan menjadi bagian tak terpisahkan dari karakter kita.
5. Berdoa dan Tawakal: Menyempurnakan Ikhtiar dengan Kepasrahan
Setelah melakukan semua usaha (ikhtiar) secara maksimal, langkah terakhir adalah menyerahkan hasilnya kepada Allah. Inilah esensi dari doa dan tawakal. Doa adalah pengakuan atas kelemahan kita dan pengakuan atas kemahakuasaan Allah. Kita berusaha sekuat tenaga, tetapi pada akhirnya Allah-lah yang menentukan hasilnya.
Prinsip dalam Surat Ar-Ra'd ayat 11 tidak menafikan peran doa. Justru, ayat ini mengajarkan adab yang benar dalam berdoa. Kita tidak bisa hanya berdoa meminta perubahan tanpa melakukan apa-apa. Usaha adalah bentuk nyata dari keseriusan kita dalam berdoa. Ketika ikhtiar dan doa telah menyatu, lahirlah tawakal—sikap pasrah yang penuh optimisme kepada Allah. Kita telah melakukan bagian kita, dan kita percaya sepenuhnya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik untuk kita.
Cermin Sejarah: Ketika Sebuah Kaum Mengubah Dirinya
Sejarah adalah laboratorium terbaik untuk menguji kebenaran firman Allah. Sejarah peradaban manusia penuh dengan contoh kaum yang naik daun karena perubahan internal dan kaum yang runtuh karena kerusakan dari dalam.
Contoh paling gemilang adalah transformasi masyarakat Arab pada zaman Nabi Muhammad ﷺ. Sebelum kedatangan Islam, mereka adalah kaum yang tenggelam dalam kegelapan Jahiliyyah. Mereka menyembah berhala, berperang karena hal-hal sepele (perang Al-Basus berlangsung 40 tahun hanya karena seekor unta), mengubur anak perempuan hidup-hidup, dan hidup dalam perpecahan suku yang akut. Kondisi eksternal mereka penuh dengan kehinaan dan keterbelakangan.
Lalu datanglah Rasulullah ﷺ membawa Al-Qur'an. Apa yang pertama kali beliau ubah? Beliau tidak memulai dengan revolusi ekonomi atau perebutan kekuasaan politik. Beliau memulai dari fondasi paling dasar: "mā bi`anfusihim".
- Perubahan Akidah: Dari penyembahan berhala kepada penyembahan Allah Yang Maha Esa. Ini membebaskan mereka dari takhayul dan memberikan tujuan hidup yang luhur.
- Perubahan Pola Pikir: Dari fanatisme kesukuan ('ashabiyyah) kepada persaudaraan universal atas dasar iman (ukhuwah islamiyah).
- Perubahan Akhlak: Dari kebiadaban kepada peradaban. Islam menanamkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kasih sayang, dan kehormatan.
- Perubahan Visi: Dari bangsa yang tidak diperhitungkan menjadi umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, dengan misi menyebarkan rahmat ke seluruh alam.
Selama 13 tahun di Mekkah, fokus utama dakwah adalah menanamkan perubahan internal ini pada diri para sahabat. Setelah fondasi ini kokoh, barulah di Madinah dibangun struktur masyarakat dan negara. Hasilnya sungguh luar biasa. Dalam kurun waktu kurang dari seabad, kaum yang tadinya terbelakang ini berubah menjadi pemimpin peradaban dunia, unggul dalam spiritualitas, ilmu pengetahuan, dan keadilan.
Sebaliknya, sejarah juga mencatat kejatuhan peradaban-peradaban besar, termasuk peradaban Islam di kemudian hari. Kemunduran itu tidak terjadi tiba-tiba. Ia didahului oleh proses degradasi internal. Ketika umat Islam mulai meninggalkan Al-Qur'an dan Sunnah, ketika para pemimpinnya menjadi zalim dan korup, ketika ulamanya sibuk berdebat hal-hal sepele, dan ketika masyarakatnya tenggelam dalam kemewahan dan kelalaian, maka saat itulah "mā bi`anfusihim" telah berubah ke arah negatif. Akibatnya, "mā biqaumin" pun berubah. Kejayaan digantikan oleh kemunduran, kekuatan digantikan oleh kelemahan, dan kemerdekaan digantikan oleh penjajahan. Sunnatullah kembali berlaku.
Penutup: Panggilan untuk Bangkit
Firman Allah dalam Surat Ar-Ra'd ayat 11 adalah sebuah pesan yang abadi dan selalu relevan. Di zaman modern ini, di mana banyak umat Islam mengeluhkan kondisi keterpurukan mereka, ayat ini datang sebagai diagnosis sekaligus resep.
Kunci untuk bangkit dari keterpurukan, baik sebagai individu maupun sebagai umat, tidak terletak pada menyalahkan pihak luar, mengutuk keadaan, atau sekadar bernostalgia dengan kejayaan masa lalu. Kunci itu ada di dalam genggaman kita sendiri, tertanam dalam jiwa kita masing-masing. Ia adalah kemauan dan kesungguhan untuk "mengubah apa yang ada pada diri kita sendiri".
Mari kita mulai perjalanan ini hari ini, saat ini juga. Mulailah dengan muhasabah yang jujur, taubat yang tulus, semangat belajar yang tak pernah padam, dan disiplin dalam mengamalkan kebaikan-kebaikan kecil secara konsisten. Mari kita perbaiki hubungan kita dengan Allah, perbaiki akhlak kita terhadap sesama makhluk, dan perbaiki cara kita berpikir dan bertindak.
Ketika setiap individu Muslim berjuang menjadi versi terbaik dari dirinya, maka secara perlahan tapi pasti, kualitas kolektif umat ini akan terangkat. Saat itulah, janji Allah akan tiba. Pertolongan-Nya akan datang menyempurnakan usaha hamba-hamba-Nya yang bersungguh-sungguh. Nasib suatu kaum memang ada di tangan mereka sendiri, karena Allah Yang Maha Adil telah menetapkan bahwa perubahan di langit bermula dari perubahan di bumi, dan perubahan di bumi bermula dari perubahan di dalam jiwa manusia.