Di antara surat-surat dalam Al-Qur'an, terdapat satu surat yang ringkas namun memiliki bobot makna yang luar biasa padat. Surat itu adalah An-Nasr, surat ke-110 dalam mushaf, yang terdiri dari tiga ayat. Meskipun pendek, surat ini merekam sebuah momen puncak dalam sejarah dakwah Islam, sebuah penanda kemenangan agung yang dijanjikan oleh Allah SWT. Di jantung surat inilah terletak sebuah ayat yang melukiskan pemandangan menakjubkan, sebuah visualisasi dari buah kesabaran dan pertolongan ilahi. Ayat yang menjadi fokus utama pembahasan kita adalah ayat kedua, yang berbunyi dengan penuh keagungan dan menjadi saksi bisu atas gelombang hidayah yang tak terbendung.
Surat An-Nasr, yang berarti "Pertolongan", tergolong sebagai surat Madaniyah. Para ulama tafsir mayoritas berpendapat bahwa surat ini adalah surat terakhir yang diturunkan secara lengkap, menjadi semacam epilog atau penutup dari risalah kenabian Muhammad SAW. Konteks penurunannya sangat erat kaitannya dengan peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Kota Mekkah), sebuah titik balik yang mengubah konstelasi kekuatan di Jazirah Arab dan membuka gerbang Islam bagi kabilah-kabilah yang sebelumnya ragu atau memusuhi. Surat ini bukan sekadar berita gembira atas kemenangan militer, melainkan sebuah proklamasi kemenangan ideologi, kemenangan hidayah atas kejahilan, dan yang terpenting, sebuah pengingat tentang bagaimana seharusnya seorang hamba bersikap di puncak kejayaan.
Ilustrasi grafis orang-orang berbondong-bondong menuju cahaya hidayah, merepresentasikan makna Surat An-Nasr.
Teks Lengkap Surat An-Nasr dan Terjemahannya
Untuk memahami kedalaman makna ayat kedua, penting bagi kita untuk melihatnya dalam bingkai surat yang utuh. Berikut adalah teks lengkap Surat An-Nasr beserta transliterasi dan terjemahannya:
إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ (١)
وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا (٢)
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا (٣)
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
1. Idzaa jaa-a nashrullahi wal fat-h
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
2. Wa ra-aitan naasa yadkhuluuna fii diinillaahi afwaajaa
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
3. Fa sabbih bihamdi rabbika wastaghfir-h, innahuu kaana tawwaabaa
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.
Fokus Utama: Ayat Kedua Surat An-Nasr Berbunyi...
Pusat perhatian kita, ayat yang melukiskan sebuah fenomena sosial-religius yang luar biasa, berbunyi:
Wa ra-aitan naasa yadkhuluuna fii diinillaahi afwaajaa
"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"
Ayat ini, secara sekilas, adalah sebuah deskripsi. Namun, di baliknya terkandung bobot sejarah, bukti kebenaran, dan pelajaran abadi. Ia bukan sekadar laporan, melainkan sebuah penegasan atas janji Allah yang termaktub dalam ayat pertama. Mari kita selami lebih dalam setiap kata yang menyusun kalimat agung ini.
Tafsir Mendalam per Kata (Tafsir Lafdziyah)
Membedah setiap lafaz dalam ayat ini akan membuka cakrawala pemahaman yang lebih luas dan mendalam. Setiap kata dipilih oleh Allah dengan presisi yang sempurna untuk menyampaikan pesan yang utuh.
1. وَرَأَيْتَ (Wa ra-aita) - "dan engkau melihat"
Kata ini terdiri dari dua bagian: `Wa` (dan) yang berfungsi sebagai kata sambung, mengikat ayat ini dengan ayat sebelumnya secara tak terpisahkan. Kemudian `ra-aita` yang berarti "engkau melihat". Kata `ra-a` (melihat) dalam bahasa Arab bisa memiliki dua makna utama: melihat dengan mata kepala (penglihatan fisik) dan melihat dengan mata hati atau akal (pemahaman, keyakinan, pengetahuan). Dalam konteks ayat ini, kedua makna tersebut berlaku.
Rasulullah SAW secara fisik menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri delegasi-delegasi dari berbagai penjuru Jazirah Arab datang ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka. Beliau melihat masjid menjadi ramai, dan barisan kaum muslimin semakin panjang dan kuat. Ini adalah penglihatan fisik yang nyata.
Namun, lebih dari itu, ini juga merupakan `ru'yah qalbiyyah` (penglihatan hati). Rasulullah SAW dan para sahabat melihat dan memahami dengan penuh keyakinan bahwa fenomena ini bukanlah kejadian biasa. Ini adalah manifestasi nyata dari `nashrullah` (pertolongan Allah) yang telah dijanjikan. Ini adalah bukti kebenaran risalah yang beliau bawa selama lebih dari dua dekade. Kata ganti "engkau" (`ta` pada akhir kata `ra-aita`) secara langsung ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai penegasan bahwa beliaulah yang akan menyaksikan buah dari perjuangan dan kesabarannya.
2. ٱلنَّاسَ (An-Naasa) - "manusia"
Lafaz `An-Naas` berarti "manusia" atau "orang-orang". Penggunaan kata ini sangat signifikan. Sebelumnya, Al-Qur'an sering berbicara tentang orang-orang beriman (`alladzina amanu`), orang-orang kafir (`alladzina kafaru`), atau kaum tertentu (Bani Israil, Kaum 'Ad, dll). Namun di sini, kata yang digunakan adalah `An-Naas`, sebuah istilah yang lebih umum dan inklusif.
Ini mengindikasikan bahwa Islam tidak lagi hanya diterima oleh individu-individu dari latar belakang tertentu, tetapi oleh "manusia" secara umum pada saat itu, khususnya masyarakat Arab. Setelah Fathu Makkah, penghalang utama dakwah, yaitu hegemoni kaum Quraisy, telah runtuh. Kabilah-kabilah Arab yang sebelumnya menunggu dan melihat, ("Jika Muhammad bisa mengalahkan kaumnya sendiri (Quraisy), maka dia benar-benar seorang nabi"), kini tidak memiliki keraguan lagi. Mereka datang dari Yaman, Oman, Nejd, dan berbagai penjuru lainnya. Mereka adalah `An-Naas`, manusia dari beragam suku dan latar belakang yang kini disatukan di bawah panji tauhid.
3. يَدْخُلُونَ (Yadkhuluuna) - "mereka masuk"
Kata ini berasal dari `dakhala-yadkhulu` yang berarti masuk. Bentuk kata kerja yang digunakan adalah `fi'il mudhari'` (`yadkhuluuna`), yang dalam tata bahasa Arab menunjukkan suatu perbuatan yang sedang atau akan terus terjadi. Ini bukan bentuk lampau (`dakhuluu`). Pilihan kata kerja ini sangat indah dan presisi.
Penggunaan `fi'il mudhari'` memberikan gambaran sebuah proses yang dinamis dan berkelanjutan. Gelombang manusia yang masuk Islam bukanlah peristiwa sesaat yang terjadi lalu berhenti. Sebaliknya, ia adalah sebuah arus yang terus mengalir, satu kelompok menyusul kelompok lainnya, menciptakan momentum yang tak terbendung. Ini melukiskan sebuah pemandangan hidup di mana proses konversi terjadi secara masif dan terus-menerus pada periode tersebut.
4. فِى دِينِ ٱللَّهِ (Fii diinillaah) - "ke dalam agama Allah"
Frasa ini mendefinisikan tujuan dari "masuknya" manusia tersebut. Mereka tidak sekadar masuk ke dalam sebuah aliansi politik atau kelompok sosial baru. Mereka masuk `fii diinillaah`, ke dalam "agama Allah". Istilah `diin` di sini memiliki makna yang sangat komprehensif. Ia bukan hanya sekadar "religion" dalam pengertian Barat yang terbatas pada ritual pribadi. `Diin` mencakup seluruh aspek kehidupan: akidah (keyakinan), ibadah (ritual), muamalah (interaksi sosial), akhlak (moralitas), dan hukum.
Dengan masuk ke dalam `diinillaah`, mereka secara totalitas menyerahkan diri pada aturan, pedoman, dan cara hidup yang ditetapkan oleh Allah. Penyandaran kata `diin` kepada `Allah` (`diinillaah`) adalah penegasan bahwa ini bukanlah agama buatan manusia, bukan ideologi ciptaan Muhammad, melainkan sistem kehidupan yang bersumber langsung dari Sang Pencipta alam semesta. Ini adalah puncak dari misi para nabi, yaitu mengajak manusia kembali ke agama Allah yang murni.
5. أَفْوَاجًا (Afwaajaa) - "berbondong-bondong"
Inilah kata kunci yang menjadi puncak dari deskripsi dalam ayat ini. `Afwaajaa` adalah bentuk jamak dari `fauj`, yang berarti sekelompok besar, rombongan, atau delegasi. Kata ini secara dramatis mengontraskan kondisi saat itu dengan masa-masa awal dakwah di Mekkah. Dahulu, orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, satu per satu, seringkali harus menanggung siksaan dan pengucilan. Mereka adalah individu-individu pemberani yang melawan arus.
Kini, situasinya berbalik 180 derajat. Manusia tidak lagi masuk Islam sebagai individu, tetapi sebagai `afwaajaa`, sebagai satu kabilah utuh, sebagai satu rombongan delegasi resmi. Mereka datang dalam kelompok-kelompok besar, secara terang-terangan dan penuh kebanggaan. Pemandangan ini adalah sebuah keajaiban sosial dan spiritual. Sebuah bukti visual yang tak terbantahkan bahwa pertolongan Allah (`nashrullah`) dan kemenangan (`al-fath`) telah benar-benar tiba. Kata ini melukiskan skala dan kecepatan ekspansi Islam pasca-Fathu Makkah dengan sangat efektif.
Asbabun Nuzul: Konteks Sejarah di Balik Ayat
Memahami sebab turunnya (`asbabun nuzul`) sebuah ayat adalah kunci untuk membuka lapis-lapis maknanya. Mayoritas ulama, termasuk Ibnu Abbas, sepakat bahwa surat ini turun setelah peristiwa Fathu Makkah pada tahun 8 Hijriah, atau selama periode setelahnya hingga menjelang wafatnya Rasulullah SAW.
Peristiwa Fathu Makkah: Kunci Pembuka Gerbang Hidayah
Selama bertahun-tahun, kaum Quraisy di Mekkah menjadi penghalang utama (`roadblock`) dakwah Islam. Mereka adalah suku paling terpandang di Arab, penjaga Ka'bah, dan pusat kekuatan politik serta ekonomi. Banyak kabilah lain di Jazirah Arab yang menahan diri untuk menerima Islam karena segan atau takut kepada Quraisy. Mereka berada dalam posisi menunggu: "Kita lihat saja apa yang terjadi antara Muhammad dan kaumnya. Jika ia menang, ia adalah nabi yang benar."
Perjanjian Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriah, meskipun tampak merugikan kaum muslimin pada awalnya, justru menjadi langkah strategis yang jenius. Salah satu isinya adalah gencatan senjata selama sepuluh tahun. Periode damai ini memungkinkan dakwah Islam menyebar lebih luas tanpa intimidasi perang. Namun, Quraisy melanggar perjanjian ini dengan membantu sekutu mereka, Bani Bakr, menyerang sekutu muslim, Bani Khuza'ah.
Pelanggaran ini memberikan legitimasi bagi Rasulullah SAW untuk bergerak menuju Mekkah. Dengan pasukan sekitar 10.000 orang, beliau memasuki kota kelahirannya itu. Namun, ini bukanlah penaklukan yang diwarnai pertumpahan darah. Rasulullah SAW memasuki Mekkah dengan penuh ketawadukan, menundukkan kepala di atas untanya, sebagai tanda syukur kepada Allah. Beliau memberikan jaminan keamanan bagi siapa saja yang berlindung di rumahnya, di rumah Abu Sufyan, atau di Masjidil Haram. Mekkah pun takluk nyaris tanpa perlawanan. Ini adalah `al-fath` (kemenangan) yang dijanjikan.
Fenomena Tahun Delegasi ('Aamul Wufud)
Setelah Mekkah berada di bawah naungan Islam, peta kekuatan Jazirah Arab berubah total. Kabilah-kabilah yang tadinya ragu, kini melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Allah memenangkan Nabi-Nya atas musuh terkuatnya. Ini adalah bukti yang lebih kuat dari argumen apa pun. Maka, dimulailah sebuah periode yang dikenal dalam sejarah sebagai `'Aamul Wufud` atau "Tahun Delegasi", yaitu pada tahun ke-9 Hijriah.
Dari segala penjuru, rombongan (`fauj`) demi rombongan datang ke Madinah. Mereka adalah delegasi resmi dari suku-suku seperti Bani Tsaqif dari Thaif, Bani Tamim, Bani Hanifah, para raja dari Himyar di Yaman, utusan dari Hadramaut dan Oman. Mereka datang bukan lagi untuk berperang atau bernegosiasi politik, melainkan untuk menyatakan keislaman mereka dan kaumnya, serta untuk belajar langsung ajaran Islam dari Rasulullah SAW. Pemandangan inilah yang secara literal digambarkan oleh ayat `وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا`. Masjid Nabawi menjadi pusat diplomasi dan pendidikan yang sibuk menerima gelombang manusia yang mencari hidayah. Ini adalah panen raya dari benih dakwah yang telah ditanam selama 21 tahun dengan air mata, darah, dan kesabaran tanpa batas.
Korelasi Ayat Kedua dengan Ayat Pertama dan Ketiga
Struktur Surat An-Nasr sangat logis dan koheren. Ayat kedua berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan sebab (ayat 1) dan akibat atau respons yang seharusnya (ayat 3).
Hubungan dengan Ayat Pertama: Sebab dan Akibat Langsung
Ayat pertama, `إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ` (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan), menetapkan syarat atau penyebabnya. Pertolongan Allah dan kemenangan (Fathu Makkah) adalah pemicunya. Ayat kedua, `وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ ...` (dan engkau melihat manusia...), adalah hasil atau konsekuensi logis dari ayat pertama. Seolah-olah Allah berfirman, "Jika dua hal ini (pertolongan dan kemenangan) telah terjadi, maka sebagai tandanya, engkau akan menyaksikan fenomena ini (manusia masuk Islam berbondong-bondong)."
Dengan kata lain, masuknya manusia secara massal ke dalam Islam bukanlah karena kekuatan militer kaum muslimin semata, bukan pula karena kelihaian diplomasi, tetapi karena itu adalah buah langsung dari `nashrullah` (pertolongan Allah). Kemenangan tersebut membuka mata hati manusia dan menyingkirkan selubung keraguan yang selama ini menutupi mereka. Hubungan keduanya adalah hubungan sebab-akibat yang sangat jelas dan tak terpisahkan.
Hubungan dengan Ayat Ketiga: Peristiwa dan Respons yang Tepat
Setelah menyaksikan pemandangan agung di ayat kedua, apa respons yang seharusnya dilakukan? Apakah berpesta pora, berbangga diri, atau membalas dendam kepada musuh-musuh lama? Sama sekali tidak. Allah langsung memberikan instruksi yang sangat berbeda di ayat ketiga: `فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ` (maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya).
Pemandangan manusia yang masuk Islam berbondong-bondong (ayat 2) menjadi pemicu bagi perintah di ayat 3. Kejayaan ini bukanlah untuk dirayakan dengan euforia duniawi, melainkan dengan peningkatan spiritualitas.
- Tasbih (`Fasabbih`): Mensucikan Allah dari segala kekurangan. Kemenangan ini murni karena keagungan-Nya, bukan karena kekuatan manusia. Ini adalah pengakuan bahwa tiada daya dan upaya selain dari Allah.
- Tahmid (`bihamdi rabbika`): Memuji Allah atas segala nikmat dan karunia-Nya. Kemenangan dan hidayah yang menyertainya adalah nikmat terbesar yang wajib disyukuri dengan pujian.
- Istighfar (`wastaghfirhu`): Memohon ampunan. Ini adalah puncak ketawadukan. Justru di saat menang, seorang hamba diperintahkan untuk memohon ampun. Mungkin ada kekurangan dalam menunaikan hak-hak Allah selama perjuangan, mungkin ada terselip rasa ujub atau bangga di dalam hati. Istighfar membersihkan semua itu dan menjaga hati agar tetap lurus.
Jadi, ayat kedua adalah titik sentral yang menjadi bukti terlaksananya janji di ayat pertama, sekaligus menjadi alasan diperintahkannya zikir dan istighfar di ayat ketiga. Ini adalah pelajaran agung tentang manajemen kesuksesan dalam perspektif Islam.
Isyarat Tersembunyi: Tanda Dekatnya Ajal Rasulullah SAW
Di balik kabar gembira yang tersurat, para sahabat yang memiliki pemahaman mendalam mampu menangkap isyarat yang tersirat dalam surat ini. Mereka memahami bahwa Surat An-Nasr bukan hanya proklamasi kemenangan, tetapi juga sebuah `na'yu` atau pemberitahuan tentang dekatnya waktu wafat Rasulullah SAW.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: "Umar biasa mengajakku ikut serta dalam majelis para tokoh senior Perang Badar. Sebagian dari mereka merasa tidak nyaman dan bertanya, 'Mengapa engkau mengajak anak ini bersama kami, padahal kami punya anak-anak seusianya?' Umar menjawab, 'Karena pengetahuannya yang kalian tahu.' Suatu hari, Umar memanggil mereka dan mengajakku. Aku tahu ia memanggilku hari itu hanya untuk menunjukkan (pemahamanku) kepada mereka. Umar bertanya, 'Apa pendapat kalian tentang firman Allah: إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ?' Sebagian dari mereka berkata, 'Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan memohon ampun kepada-Nya ketika Dia menolong kita dan memberi kita kemenangan.' Sebagian yang lain diam. Lalu Umar bertanya kepadaku, 'Apakah begitu pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?' Aku menjawab, 'Tidak.' Umar bertanya lagi, 'Lalu apa pendapatmu?' Aku menjawab, 'Itu adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepadanya. Allah berfirman, (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan), yang merupakan tanda ajalmu, (maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat).' Maka Umar bin Khattab berkata, 'Aku tidak mengetahui darinya kecuali apa yang engkau katakan.'" (HR. Bukhari)
Logikanya sederhana. Misi utama seorang rasul adalah menyampaikan risalah hingga sempurna dan diterima oleh umatnya. Pemandangan dalam ayat kedua—manusia masuk Islam secara berbondong-bondong—adalah tanda bahwa misi tersebut telah tuntas. Tugas Rasulullah SAW di dunia telah selesai dengan gemilang. Kemenangan telah diraih, agama Allah telah tegak, dan manusia telah menerimanya secara massal. Maka, tidak ada lagi tugas yang tersisa selain kembali ke haribaan Sang Pemberi Tugas. Perintah untuk memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar di ayat ketiga adalah persiapan spiritual untuk perjumpaan agung tersebut. Ini adalah bekal terakhir sebelum kembali kepada Allah. Oleh karena itu, surat ini juga sering disebut sebagai `Surat At-Taudii'` (Surat Perpisahan).
Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Ayat Kedua
Meskipun ayat ini berbicara tentang sebuah peristiwa historis yang spesifik, pelajaran dan hikmah yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan abadi. Di antara pelajaran tersebut adalah:
1. Kesabaran dan Keyakinan Pasti Berbuah Manis
Pemandangan `afwaajaa` tidak datang dalam semalam. Ia adalah buah dari 23 tahun perjuangan yang penuh liku. Tiga belas tahun di Mekkah diisi dengan penindasan, boikot, siksaan, dan hijrah. Sepuluh tahun di Madinah diwarnai dengan serangkaian peperangan untuk mempertahankan eksistensi. Namun, Rasulullah SAW dan para sahabat tidak pernah goyah. Mereka sabar dan yakin akan janji pertolongan Allah. Ayat ini mengajarkan bahwa setiap perjuangan di jalan Allah, yang didasari kesabaran dan keyakinan, pasti akan berujung pada kemenangan, cepat atau lambat.
2. Kemenangan Hakiki adalah Kemenangan Hati
Fathu Makkah bukanlah penaklukan fisik semata. Kemenangan terbesarnya adalah `fathul qulub` (terbukanya hati manusia). Melihat orang-orang berbondong-bondong memeluk `diinillaah` adalah kemenangan yang jauh lebih agung daripada menguasai sebuah kota atau meruntuhkan berhala. Ini mengajarkan bahwa tujuan dakwah bukanlah dominasi, melainkan hidayah. Kesuksesan sejati adalah ketika kebenaran dapat diterima dan menyentuh jiwa-jiwa manusia.
3. Pertolongan Allah adalah Faktor Penentu
Fenomena `afwaajaa` adalah sesuatu yang di luar nalar manusia biasa. Sebuah gerakan yang dimusuhi selama puluhan tahun tiba-tiba diterima secara massal dalam waktu singkat. Ini adalah bukti nyata bahwa ada "tangan" Allah yang bekerja di baliknya. Tanpa `nashrullah`, kemenangan dan penerimaan massal ini tidak mungkin terjadi. Ini adalah pengingat bagi setiap pejuang di jalan kebenaran bahwa hasil akhir selalu berada di tangan Allah. Tugas kita adalah berikhtiar maksimal, dan pertolongan-Nya akan datang pada waktu yang tepat.
4. Pentingnya Persatuan dalam Jamaah
Kata `afwaajaa` (rombongan-rombongan) juga mengisyaratkan kekuatan kolektif dan persatuan. Islam bukan agama individualistis. Kekuatannya terletak pada barisan yang solid dan teratur. Ketika manusia masuk Islam dalam kelompok, ini menciptakan kekuatan sosial dan politik baru yang mampu mengubah masyarakat. Pelajaran bagi kita adalah pentingnya menjaga ukhuwah (persaudaraan) dan bekerja sama dalam kebaikan (`ta'awun 'alal birri wat taqwa`).
Implementasi Nilai Ayat Kedua dalam Kehidupan Modern
Bagaimana kita, sebagai Muslim yang hidup berabad-abad setelah peristiwa ini, dapat mengambil inspirasi dari ayat yang agung ini?
Pertama, dalam menghadapi kesulitan, baik personal maupun komunal, kita harus meneladani kesabaran dan keyakinan Rasulullah SAW. Ingatlah bahwa setelah kesulitan (`'usr`) pasti ada kemudahan (`yusr`), dan pertolongan Allah akan datang bagi mereka yang sabar dan teguh di jalan-Nya.
Kedua, ketika meraih kesuksesan, baik dalam karier, bisnis, studi, maupun proyek dakwah, jangan pernah lupakan Allah. Ingatlah bahwa kesuksesan itu adalah `nashrullah`. Respons yang tepat bukanlah kesombongan, melainkan sikap yang diajarkan di ayat ketiga: perbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar. Semakin tinggi pencapaian, seharusnya semakin dekat kita dengan Allah.
Ketiga, dalam berdakwah dan mengajak kepada kebaikan, fokus kita harus pada `fathul qulub` (membuka hati), bukan memaksa atau mendominasi. Sampaikan kebenaran dengan hikmah dan cara terbaik. Hasilnya serahkan kepada Allah, karena Dialah yang membolak-balikkan hati dan memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Keempat, sadari bahwa setiap fase kehidupan memiliki akhir. Sebagaimana kesuksesan dakwah Nabi menjadi pertanda dekatnya ajal beliau, setiap pencapaian dalam hidup kita adalah penanda bahwa satu bab telah selesai dan kita semakin dekat dengan akhir perjalanan kita di dunia. Oleh karena itu, setiap kesuksesan harus menjadi momentum untuk meningkatkan persiapan spiritual kita untuk bertemu Allah SWT.
Kesimpulan
Ayat kedua Surat An-Nasr, `وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا`, adalah sebuah lukisan verbal yang mengabadikan salah satu momen paling transformatif dalam sejarah peradaban manusia. Ia bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah monumen abadi atas janji Allah yang pasti, buah dari kesabaran yang tak terbatas, dan manifestasi dari pertolongan-Nya yang tak terkalahkan.
Ayat ini mengajarkan kita tentang siklus perjuangan dan kemenangan, tentang hubungan antara sebab ilahi dan akibat duniawi, dan yang terpenting, tentang adab seorang hamba di puncak kejayaan. Di dalamnya terkandung kabar gembira, pelajaran sejarah, bimbingan spiritual, dan bahkan isyarat perpisahan. Memahaminya secara mendalam berarti memahami esensi dari perjalanan dakwah Islam itu sendiri: sebuah perjalanan dari keterasingan individu menuju kekuatan jamaah yang solid, dari penindasan menuju kemenangan, dan dari perjuangan duniawi menuju persiapan untuk kehidupan abadi. Semoga kita dapat terus menggali hikmahnya dan menerapkannya dalam setiap langkah kehidupan kita.