Mengupas Tuntas Surah An-Nasr: Pertolongan, Kemenangan, dan Kerendahan Hati
Surah An-Nasr, yang berarti "Pertolongan", adalah surah ke-110 dalam Al-Qur'an. Meskipun hanya terdiri dari tiga ayat yang singkat, surah ini membawa bobot makna yang sangat mendalam dan signifikansi historis yang luar biasa dalam perjalanan dakwah Islam. Diturunkan di Madinah, surah ini tergolong sebagai surah Madaniyah dan diyakini oleh banyak ulama sebagai surah terakhir yang diturunkan secara lengkap kepada Nabi Muhammad SAW. Kehadirannya bukan sekadar kabar gembira tentang kemenangan, tetapi juga sebuah pengingat agung tentang hakikat kesuksesan, sikap seorang hamba dalam menghadapi nikmat, dan isyarat akan selesainya sebuah misi risalah yang agung.
Kandungan utamanya adalah janji pertolongan Allah (Nasrullah) dan kemenangan yang nyata (Al-Fath), yang secara spesifik merujuk pada peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekah). Peristiwa ini menjadi titik balik krusial bagi umat Islam, di mana agama Allah diterima secara massal oleh penduduk Jazirah Arab. Namun, di puncak kegemilangan ini, surah An-Nasr justru memerintahkan Nabi dan umatnya untuk bertasbih, memuji, dan memohon ampunan kepada Allah. Ini adalah pelajaran abadi tentang kerendahan hati: bahwa setiap pencapaian, sekecil atau sebesar apa pun, adalah murni anugerah dari Yang Maha Kuasa, dan respon terbaik atasnya adalah dengan kembali berserah diri kepada-Nya.
Teks Bacaan Surah An-Nasr Arab, Latin, dan Terjemahannya
Berikut adalah bacaan lengkap Surah An-Nasr dalam tulisan Arab, transliterasi Latin untuk membantu pelafalan, serta terjemahan dalam Bahasa Indonesia agar dapat dipahami maknanya secara menyeluruh.
إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ
1. Iżā jā'a naṣrullāhi wal-fatḥ(u).
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"
وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا
2. Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā(n).
"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًۢا
3. Fasabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfirh(u), innahū kāna tawwābā(n).
"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."
Asbabun Nuzul: Konteks Sejarah Turunnya Surah
Untuk memahami kedalaman makna Surah An-Nasr, kita perlu menyelami konteks sejarah atau Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya) surah ini. Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa surah ini turun berkaitan erat dengan peristiwa Fathu Makkah, yaitu penaklukan kembali kota Mekah oleh kaum Muslimin pada bulan Ramadan tahun 8 Hijriah. Namun, surah ini tidak turun tepat saat peristiwa itu terjadi, melainkan sebelumnya, sebagai sebuah nubuat atau kabar gembira yang pasti akan terwujud.
Selama lebih dari dua dekade, Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya menghadapi penindasan, pengusiran, dan peperangan dari kaum kafir Quraisy di Mekah. Puncaknya adalah hijrah ke Madinah, yang menandai dimulainya fase baru dalam dakwah Islam. Di Madinah, komunitas Muslim tumbuh kuat, tetapi kerinduan untuk kembali ke tanah suci Mekah dan membersihkannya dari berhala selalu membara. Perjanjian Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriah, meskipun pada awalnya tampak merugikan kaum Muslimin, sesungguhnya adalah sebuah 'kemenangan yang nyata' (fathan mubina) yang membuka jalan bagi dakwah yang lebih luas dan damai.
Namun, pihak Quraisy melanggar perjanjian tersebut dengan membantu sekutu mereka, Bani Bakr, untuk menyerang sekutu kaum Muslimin, Bani Khuza'ah. Pelanggaran fatal ini memberikan legitimasi bagi Nabi Muhammad SAW untuk memobilisasi pasukan besar menuju Mekah. Dengan kekuatan sekitar 10.000 prajurit, pasukan Muslim bergerak menuju kota kelahiran mereka. Kekuatan ini begitu besar dan solid sehingga membuat para pemimpin Quraisy gentar.
Atas izin Allah, penaklukan Mekah berlangsung nyaris tanpa pertumpahan darah. Nabi Muhammad SAW memasuki kota dengan penuh kerendahan hati, menundukkan kepala di atas untanya sebagai tanda syukur kepada Allah. Beliau memberikan jaminan keamanan kepada penduduk Mekah yang tidak melawan, bahkan kepada mereka yang dahulunya paling memusuhi beliau. Ka'bah dibersihkan dari 360 berhala yang selama ini menjadi pusat kemusyrikan Arab. Momen ini adalah klimaks dari perjuangan panjang, sebuah kemenangan moral dan spiritual yang luar biasa.
Surah An-Nasr turun sebagai penegas bahwa kemenangan besar ini bukanlah hasil dari kekuatan militer atau strategi manusia semata. Kemenangan ini adalah nasrullah (pertolongan Allah) dan al-fath (kemenangan yang dibukakan oleh-Nya). Turunnya surah ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap usaha manusia, ada kehendak dan pertolongan ilahi yang menjadi faktor penentu. Ia adalah penutup yang indah bagi episode panjang perjuangan menegakkan kalimat tauhid di jantung Jazirah Arab.
Tafsir dan Makna Mendalam Setiap Ayat
Setiap ayat dalam Surah An-Nasr mengandung lautan hikmah. Mari kita selami makna yang terkandung di dalamnya satu per satu.
Ayat 1: إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan)
Ayat pertama ini menetapkan dua konsep fundamental yang saling berkaitan: Nasrullah dan Al-Fath.
Makna "Nasrullah" (Pertolongan Allah)
Kata "Nasr" (نصر) berarti pertolongan, bantuan, atau dukungan yang membawa kemenangan. Dengan menyandarkannya kepada "Allah" (Nasrullah), Al-Qur'an menegaskan bahwa sumber segala pertolongan hakiki hanyalah Allah SWT. Manusia boleh berusaha, berstrategi, dan mengerahkan segenap kemampuan, tetapi hasil akhir dan kemenangan sejati berada di tangan-Nya. Ini adalah fondasi tauhid dalam memandang kesuksesan. Sepanjang sejarah kenabian, konsep ini selalu ditekankan. Nabi Musa AS diselamatkan dari Firaun bukan karena kekuatan pengikutnya, melainkan karena pertolongan Allah yang membelah lautan. Nabi Ibrahim AS diselamatkan dari api bukan karena kemampuannya, tetapi karena pertolongan Allah yang mendinginkan api tersebut.
Dalam konteks dakwah Nabi Muhammad SAW, "Nasrullah" termanifestasi dalam berbagai bentuk. Pertolongan datang melalui kesabaran para sahabat, turunnya malaikat dalam Perang Badar, ketenangan yang ditanamkan di hati kaum mukmin, hingga kondisi-kondisi yang diciptakan Allah untuk memuluskan jalan dakwah. Pertolongan Allah tidak selalu berupa keajaiban yang kasat mata, tetapi sering kali berupa kekuatan internal, keteguhan hati, dan terbukanya jalan-jalan yang sebelumnya buntu. Ayat ini mengajarkan kita untuk selalu menggantungkan harapan hanya kepada Allah, karena Dialah satu-satunya penolong sejati.
Makna "Al-Fath" (Kemenangan)
Kata "Al-Fath" (الفتح) secara harfiah berarti "pembukaan". Ia bisa merujuk pada pembukaan sebuah kota (penaklukan) atau terbukanya kebuntuan dan kesulitan. Para mufassir secara ijma' (konsensus) menafsirkan "Al-Fath" dalam ayat ini sebagai Fathu Makkah. Ini bukan sekadar kemenangan militer biasa. Fathu Makkah adalah sebuah "pembukaan" spiritual yang dahsyat. Dengan takluknya pusat paganisme Arab dan dibersihkannya Ka'bah dari berhala, pintu bagi cahaya Islam terbuka lebar ke seluruh Jazirah Arab.
Fathu Makkah menjadi bukti nyata akan kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW. Selama bertahun-tahun, banyak suku Arab yang menahan diri untuk masuk Islam, dengan alasan menunggu apa yang akan terjadi antara Nabi Muhammad dan kaumnya, Quraisy. Mereka beranggapan, jika Muhammad bisa mengalahkan kaumnya sendiri dan menaklukkan Mekah, maka ia benar-benar seorang nabi. Ketika Fathu Makkah terjadi, argumen itu terbukti. Kemenangan ini membuka hati dan pikiran ribuan orang, mematahkan hegemoni Quraisy, dan menghapus keraguan dari benak banyak orang.
Penyebutan "Nasrullah" sebelum "Al-Fath" juga mengandung makna penting: pertolongan Allah adalah sebab, sedangkan kemenangan adalah akibat. Kemenangan tidak akan pernah terwujud tanpa intervensi dan bantuan dari Allah. Ini adalah pelajaran agar seorang mukmin tidak pernah sombong dan merasa bahwa kesuksesan adalah murni hasil jerih payahnya sendiri.
Ayat 2: وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا (dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah)
Ayat kedua menggambarkan buah manis dari pertolongan dan kemenangan yang disebutkan di ayat pertama. Ini adalah dampak sosial dan spiritual yang luar biasa dari Fathu Makkah.
Makna "Yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā" (Masuk Agama Allah Berbondong-bondong)
Frasa ini melukiskan sebuah pemandangan yang menakjubkan. Kata "Afwājā" (أفواجا) berasal dari kata "fauj" yang berarti rombongan besar atau kelompok. Ini menunjukkan bahwa setelah Fathu Makkah, orang-orang tidak lagi masuk Islam secara sembunyi-sembunyi atau satu per satu seperti di masa awal dakwah yang penuh tekanan. Sebaliknya, mereka datang dalam delegasi-delegasi suku, kabilah-kabilah, dan kelompok-kelompok besar dari berbagai penjuru Arabia untuk menyatakan keislaman mereka di hadapan Rasulullah SAW.
Sejarah mencatat bahwa tahun ke-9 dan ke-10 Hijriah dikenal sebagai "Amul Wufud" atau "Tahun Delegasi". Ratusan utusan dari suku-suku seperti Tsaqif, Tamim, dan Hawazin datang ke Madinah untuk memeluk Islam. Fenomena ini adalah pemenuhan janji Allah yang menakjubkan. Setelah bertahun-tahun kesabaran, penindasan, dan pengorbanan, Nabi Muhammad SAW akhirnya menyaksikan buah dari dakwahnya dalam skala yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ini adalah bukti visual yang tidak terbantahkan bahwa cahaya Allah tidak dapat dipadamkan.
Kata "ra'aita" (engkau melihat) ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Ini adalah sebuah penegasan dan penghiburan langsung dari Allah kepadanya, seolah-olah berfirman, "Wahai Muhammad, saksikanlah dengan mata kepalamu sendiri hasil dari kesabaran dan perjuanganmu. Lihatlah bagaimana manusia yang dulu memusuhimu kini berbondong-bondong menerima agama yang engkau bawa." Ini adalah puncak kepuasan spiritual bagi seorang dai yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk menyeru manusia ke jalan kebenaran.
Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًۢا (maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.)
Ayat ketiga ini adalah inti dari pesan moral Surah An-Nasr. Di saat euforia kemenangan mencapai puncaknya, Allah justru memberikan instruksi yang mengarahkan pada introspeksi dan kerendahan hati. Respon yang diajarkan Islam terhadap nikmat terbesar bukanlah pesta pora atau arogansi, melainkan kembali kepada Allah dengan zikir dan istighfar.
Makna "Fasabbiḥ biḥamdi rabbika" (Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu)
Perintah ini mengandung dua tindakan: Tasbih dan Tahmid.
- Tasbih (Subhanallah): Mensucikan Allah dari segala bentuk kekurangan, kelemahan, dan keserupaan dengan makhluk-Nya. Dengan bertasbih, kita mengakui bahwa kemenangan ini terjadi bukan karena ada kekurangan pada musuh atau kehebatan pada diri kita, melainkan murni karena kehendak dan kekuasaan Allah yang Maha Sempurna. Ini adalah cara menafikan segala sebab selain Allah dalam meraih kemenangan.
- Tahmid (Alhamdulillah): Memuji Allah atas segala nikmat dan karunia-Nya. Setelah mensucikan Allah dari segala kekurangan, kita kemudian memuji-Nya atas anugerah kemenangan dan pertolongan yang telah Dia berikan. Ini adalah ekspresi syukur yang paling tulus, mengakui bahwa segala kebaikan dan pujian hanya layak ditujukan kepada-Nya.
Gabungan antara tasbih dan tahmid ("Subhanallahi wa bihamdih") adalah zikir yang sangat dicintai Allah. Ini adalah sikap yang sempurna dalam menghadapi nikmat: menyucikan Sang Pemberi Nikmat dari segala cela, lalu memuji-Nya atas nikmat tersebut.
Makna "Wastaghfirh" (dan mohonlah ampunan kepada-Nya)
Ini adalah bagian yang paling mendalam dan menyentuh dari surah ini. Mengapa di puncak kemenangan, Rasulullah SAW, seorang yang ma'shum (terjaga dari dosa), justru diperintahkan untuk beristighfar (memohon ampun)? Para ulama memberikan beberapa penjelasan yang saling melengkapi:
- Tanda Selesainya Tugas: Istighfar adalah persiapan untuk bertemu dengan Allah. Perintah ini dipahami oleh banyak sahabat, terutama Ibnu Abbas dan Umar bin Khattab, sebagai isyarat bahwa tugas risalah Nabi Muhammad SAW telah paripurna. Kemenangan telah diraih, manusia telah masuk Islam secara massal, dan agama telah sempurna. Maka, tibalah saatnya bagi sang utusan untuk kembali ke haribaan Rabb-nya. Istighfar menjadi penutup yang sempurna bagi sebuah pengabdian seumur hidup.
- Pelajaran Kerendahan Hati: Perintah ini mengajarkan kepada seluruh umat manusia, termasuk pemimpin terbesar sekalipun, untuk tidak pernah merasa puas dan sempurna. Di tengah kesuksesan, pasti ada kekurangan dan kelalaian dalam menunaikan hak-hak Allah secara sempurna. Mungkin ada rasa bangga yang sekelibat terlintas di hati, atau ada cara yang lebih baik dalam bersyukur yang terlewatkan. Istighfar berfungsi untuk menambal segala kekurangan tersebut dan menjaga hati dari penyakit sombong.
- Contoh bagi Umatnya: Sebagai teladan utama, Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa istighfar bukanlah amalan bagi para pendosa saja, tetapi juga bagi orang-orang saleh di setiap keadaan, terutama di saat lapang dan sukses. Jika beliau yang ma'shum saja diperintahkan beristighfar, apalagi kita yang penuh dengan dosa dan kelalaian.
Makna "Innahū kāna tawwābā" (Sungguh, Dia Maha Penerima tobat)
Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan hati. Nama Allah, At-Tawwab, berarti Dia yang senantiasa dan terus-menerus menerima tobat hamba-Nya. Kata "Tawwab" berada dalam bentuk superlatif (sighah mubalaghah), yang menunjukkan intensitas dan keluasan penerimaan tobat Allah. Ini adalah sebuah undangan terbuka: seberapa pun kekuranganmu, kembalilah kepada-Nya, karena pintu ampunan-Nya selalu terbuka lebar. Penutup ini memberikan harapan dan motivasi untuk segera melaksanakan perintah bertasbih, bertahmid, dan beristighfar, karena kita berhadapan dengan Tuhan yang Maha Pengampun dan Maha Penerima tobat.
Surah An-Nasr sebagai Isyarat Wafatnya Rasulullah SAW
Salah satu penafsiran paling kuat dan diterima secara luas mengenai Surah An-Nasr adalah bahwa ia merupakan na'yu atau pemberitahuan tersirat tentang dekatnya ajal Rasulullah SAW. Pemahaman ini didasarkan pada beberapa riwayat hadis yang kuat.
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Ibnu Abbas RA berkata bahwa Umar bin Khattab RA sering mengajaknya duduk dalam majelis para sahabat senior peserta Perang Badar. Sebagian dari mereka merasa kurang nyaman dengan kehadiran Ibnu Abbas yang masih sangat muda. Suatu hari, Umar bertanya kepada mereka, "Apa pendapat kalian tentang firman Allah, 'Iżā jā'a naṣrullāhi wal-fatḥ'?"
Sebagian dari mereka menjawab, "Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan memohon ampunan-Nya jika kita diberi pertolongan dan kemenangan." Sebagian yang lain diam tidak berkomentar. Kemudian Umar bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah begitu pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?" Ibnu Abbas menjawab, "Tidak." Umar bertanya lagi, "Lalu bagaimana pendapatmu?"
Ibnu Abbas menjawab, "Itu adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepada beliau. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (Fathu Makkah)', yang mana itu adalah tanda ajalmu (wahai Muhammad). Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat." Mendengar jawaban itu, Umar bin Khattab berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui tafsirnya kecuali seperti apa yang engkau katakan."
Kecerdasan Ibnu Abbas dalam menangkap isyarat ini sangat luar biasa. Logikanya adalah, jika tujuan utama dari risalah, yaitu kemenangan Islam dan masuknya manusia ke dalam agama Allah secara massal, telah tercapai, maka tugas sang Rasul di dunia ini telah selesai. Perintah untuk beristighfar menjadi semacam persiapan spiritual untuk transisi menuju kehidupan akhirat.
Aisyah RA juga meriwayatkan bahwa setelah turunnya surah ini, Rasulullah SAW sangat sering membaca zikir dalam rukuk dan sujudnya: "Subḥānakallāhumma Rabbanā wa biḥamdika, Allāhummaghfirlī" (Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah aku). Beliau mengamalkan perintah dalam surah tersebut secara harfiah. Ini menunjukkan betapa seriusnya beliau menerima pesan yang terkandung di dalamnya. Beliau memahami bahwa waktunya sudah dekat, sehingga beliau memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar sebagai bekal untuk bertemu dengan Sang Pencipta.
Oleh karena itu, Surah An-Nasr tidak hanya berbicara tentang kemenangan duniawi, tetapi juga tentang siklus kehidupan dan misi. Setiap awal memiliki akhir. Setiap perjuangan memiliki puncak. Dan setiap puncak kesuksesan adalah momen yang paling tepat untuk merenungkan akhir perjalanan dan mempersiapkan kepulangan kepada Allah SWT.
Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surah An-Nasr
Meskipun turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pesan-pesan Surah An-Nasr bersifat universal dan abadi. Berikut adalah beberapa hikmah dan pelajaran penting yang dapat kita petik untuk kehidupan sehari-hari:
1. Ketergantungan Mutlak kepada Allah
Surah ini mengajarkan bahwa kesuksesan dalam urusan apa pun—baik itu dalam karier, studi, keluarga, maupun dakwah—tidak pernah lepas dari pertolongan Allah. Kita wajib berusaha sekuat tenaga, tetapi hati harus senantiasa bergantung kepada-Nya. Sikap ini akan melahirkan ketenangan jiwa dan menjauhkan kita dari keputusasaan saat menghadapi kegagalan serta dari kesombongan saat meraih keberhasilan.
2. Respon yang Benar Terhadap Nikmat
Surah An-Nasr memberikan formula ilahi dalam menyikapi nikmat dan kesuksesan. Bukan dengan berfoya-foya, membanggakan diri, atau merendahkan orang lain. Respon seorang mukmin adalah:
- Tasbih: Mengakui kesucian dan keagungan Allah sebagai sumber nikmat.
- Tahmid: Bersyukur dan memuji-Nya atas karunia yang diberikan.
- Istighfar: Memohon ampun atas segala kekurangan dalam ibadah dan syukur kita.
3. Pentingnya Istighfar dalam Setiap Keadaan
Jika Rasulullah SAW saja diperintahkan beristighfar di puncak kejayaan, maka kita seharusnya lebih sering lagi beristighfar. Istighfar bukan hanya untuk menghapus dosa, tetapi juga untuk menyempurnakan amal, membersihkan hati dari noda-noda kesombongan, dan sebagai bentuk pengakuan atas kelemahan diri di hadapan keagungan Allah.
4. Janji Kemenangan bagi Kebenaran
Surah ini menyiratkan sebuah optimisme ilahi. Ia adalah janji bahwa selama ada perjuangan yang tulus di jalan Allah, pertolongan dan kemenangan-Nya pasti akan datang, meskipun mungkin membutuhkan waktu dan kesabaran. Ini memberikan harapan dan kekuatan bagi setiap individu atau komunitas yang sedang berjuang untuk menegakkan kebaikan dan kebenaran di tengah tantangan.
5. Setiap Misi Memiliki Titik Akhir
Sebagaimana misi kenabian yang agung memiliki akhir, setiap peran dan tugas kita di dunia ini juga memiliki batas waktu. Pelajaran tentang dekatnya ajal Nabi SAW mengingatkan kita akan kefanaan hidup. Kita harus memanfaatkan waktu yang ada untuk menyelesaikan misi hidup kita dengan sebaik-baiknya dan selalu mempersiapkan diri untuk kembali kepada-Nya, dengan memperbanyak amal saleh, zikir, dan istighfar.
Penutup: Surah Kemenangan dan Kerendahan Hati
Surah An-Nasr adalah sebuah mahakarya ilahi yang merangkum esensi perjalanan seorang hamba. Ia dimulai dengan janji pertolongan (harapan), diikuti oleh bukti kemenangan (realita), dan diakhiri dengan perintah untuk kembali kepada Allah (hakikat). Ia adalah surah tentang kemenangan yang tidak melahirkan keangkuhan, melainkan melahirkan kesadaran spiritual yang lebih dalam.
Membaca dan merenungkan bacaan Surah An Nasr latin beserta maknanya akan membantu kita menata kembali perspektif kita tentang sukses dan gagal. Kesuksesan sejati adalah ketika kita mampu merespon setiap karunia dengan tasbih, tahmid, dan istighfar. Dengan begitu, setiap kemenangan yang kita raih di dunia tidak akan melenakan, tetapi justru menjadi tangga untuk naik ke derajat yang lebih tinggi di sisi Allah SWT, Tuhan yang Maha Penerima tobat.