Di tengah gemuruh perkembangan teknologi dan globalisasi, keberadaan bahasa-bahasa daerah seringkali terancam eksistensinya. Namun, tidak demikian dengan bahasa Lontara Bugis. Sebagai salah satu warisan budaya tak ternilai dari suku Bugis di Sulawesi Selatan, bahasa Lontara Bugis terus berupaya dijaga dan dilestarikan oleh masyarakatnya. Bahasa ini bukan sekadar alat komunikasi, melainkan cerminan identitas, sejarah, kearifan lokal, dan peradaban yang kaya.
Secara historis, Lontara adalah aksara tradisional yang digunakan oleh masyarakat Bugis-Makassar. Nama "Lontara" sendiri berasal dari kata "lontar" yang merujuk pada daun lontar yang umumnya menjadi media penulisannya di masa lampau. Aksara Lontara memiliki keunikan tersendiri, tergolong dalam rumpun aksara Brahmi dari India, yang kemudian berkembang dan beradaptasi dengan budaya lokal. Bentuknya yang khas, menyerupai coretan-coretan melengkung yang rapi, memberikan kesan artistik yang mendalam.
Lebih dari sekadar simbol tulisan, bahasa Lontara Bugis mencakup kekayaan sastra, hukum, catatan sejarah, naskah keagamaan, hingga ramalan dan pitunase (nasihat). Naskah-naskah lontara yang masih tersimpan rapi di berbagai perpustakaan, museum, maupun koleksi pribadi menjadi bukti otentik dari kejayaan peradaban Bugis di masa lalu. Melalui aksara ini, para leluhur Bugis merekam berbagai peristiwa penting, cerita rakyat, nilai-nilai moral, serta sistem pemerintahan dan kemasyarakatan yang tertuang dalam karya-karya seperti "La Galigo".
"La Galigo" sendiri adalah epik kepahlawanan yang diakui sebagai salah satu sastra terpanjang di dunia, ditulis dalam aksara Lontara. Karya monumental ini tidak hanya menceritakan kisah para dewa dan raja, tetapi juga memuat pandangan dunia, kosmologi, etika, dan hukum yang berlaku dalam masyarakat Bugis. Keberadaan "La Galigo" menunjukkan betapa canggih dan kompleksnya peradaban Bugis di masa lalu, yang mampu menciptakan karya sastra sekelas epik dunia.
Menyadari pentingnya menjaga warisan leluhur, berbagai upaya terus dilakukan untuk melestarikan bahasa Lontara Bugis. Salah satunya adalah melalui lembaga pendidikan formal maupun non-formal. Di beberapa sekolah di Sulawesi Selatan, aksara Lontara mulai diajarkan kembali sebagai muatan lokal. Ini bertujuan agar generasi muda tidak hanya mengenal, tetapi juga mampu membaca, menulis, dan memahami makna di balik aksara kuno ini.
Selain itu, berbagai komunitas budaya, pegiat literasi, dan akademisi juga berperan aktif dalam mengkaji, menerjemahkan, dan mempublikasikan naskah-naskah lontara. Upaya ini penting untuk membuka akses bagi khalayak luas agar dapat mempelajari kekayaan yang tersimpan dalam bahasa Lontara Bugis. Di era digital ini, pemanfaatan teknologi juga menjadi salah satu strategi pelestarian yang efektif. Pengembangan aplikasi pembelajaran aksara Lontara, pembuatan kamus digital, hingga digitalisasi naskah-naskah kuno diharapkan dapat menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk diaspora Bugis di berbagai belahan dunia.
Pentingnya bahasa Lontara Bugis tidak hanya terletak pada aspek historis dan sastranya, tetapi juga pada perannya dalam memperkuat identitas budaya. Bahasa adalah jiwa suatu bangsa, dan bahasa Lontara Bugis adalah denyut nadi kebudayaan Bugis yang harus terus dijaga agar tidak padam. Keunikan aksaranya, kekayaan kosakata, dan filosofi yang terkandung di dalamnya merupakan aset yang tidak ternilai harganya bagi Indonesia. Dengan semangat kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan generasi muda, diharapkan bahasa Lontara Bugis akan terus lestari dan menjadi kebanggaan bangsa. Pelestarian ini adalah tanggung jawab bersama, demi memastikan warisan berharga ini dapat dinikmati oleh anak cucu kita di masa mendatang.