Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman bahasa dan aksara. Salah satu warisan budaya tertulis yang memesona adalah aksara Lontara, yang merupakan sistem penulisan tradisional bagi masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Aksara ini, yang juga dikenal dengan sebutan Jangang-Jangang (burung-burung) karena bentuknya yang menyerupai goresan kaki burung, menyimpan segudang cerita, sejarah, adat istiadat, dan kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Memahami bahasa Lontara yang lengkap berarti membuka jendela ke peradaban masa lalu yang gemilang.
Aksara Lontara memiliki akar sejarah yang cukup panjang, diperkirakan mulai berkembang pada abad ke-14 Masehi. Pengaruh dari India melalui penyebaran agama Hindu-Buddha diduga kuat berperan dalam pembentukan aksara ini, sebagaimana banyak aksara tradisional di Asia Tenggara lainnya. Lontara secara harfiah berasal dari kata "lontar," yang merujuk pada daun lontar yang menjadi media utama penulisannya di masa lampau.
Nama Lontara juga memiliki makna filosofis mendalam. Bentuknya yang vertikal ke bawah dan guratan-guratan yang khas dipercaya melambangkan pohon kehidupan atau aliran sungai yang mengalir, serta dihubungkan dengan tatanan alam semesta dan kehidupan manusia. Aksara ini digunakan untuk merekam berbagai jenis naskah, mulai dari catatan sejarah kerajaan, silsilah raja, lontara' (catatan pribadi dan hukum), hingga karya sastra, epik, dan ilmu pengetahuan tradisional seperti astronomi, pengobatan, dan ramalan.
Bahasa Lontara, atau yang lebih tepatnya adalah aksara Lontara, memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari aksara lain. Aksara ini merupakan aksara silabik, yang berarti setiap konsonan memiliki vokal inheren 'a'. Jika ingin mengubah bunyi vokal, ditambahkan diakritik di atas, di bawah, atau di samping huruf. Hal ini membuat sistem penulisannya menjadi ringkas namun tetap ekspresif.
Secara total, aksara Lontara memiliki sekitar 23 aksara dasar (kini ditambah beberapa bentuk modifikasi). Setiap aksara dasar mewakili suku kata yang diawali konsonan dan diakhiri vokal 'a'. Misalnya, huruf 'ka' tertulis sebagai satu simbol. Untuk menghasilkan bunyi lain seperti 'ki' atau 'ku', ditambahkan diakritik tertentu. Ketika sebuah suku kata tidak memiliki vokal (hanya konsonan), atau ketika vokal 'a' dihilangkan di akhir kata, digunakan sebuah tanda khusus yang disebut "pangnghæng" atau "pate'".
Keunikan lain dari Lontara adalah arah penulisannya. Secara tradisional, aksara Lontara ditulis dari kiri ke kanan, secara vertikal dari atas ke bawah, membentuk lajur-lajur memanjang. Namun, dalam perkembangannya, ada variasi yang juga ditulis dari kanan ke kiri secara horizontal, terutama pada naskah-naskah yang lebih baru atau dipengaruhi oleh tradisi penulisan lain. Tata cara penulisan yang unik ini menambah daya tarik dan kompleksitas aksara Lontara.
Bahasa Lontara bukan sekadar alat tulis, melainkan denyut nadi peradaban Bugis. Melalui naskah-naskah Lontara, masyarakat Bugis mampu melestarikan identitas budaya mereka yang kuat. Naskah-naskah kuno yang tersimpan di berbagai perpustakaan dan koleksi pribadi menjadi bukti otentik perjalanan sejarah mereka.
Karya monumental seperti "I La Galigo," salah satu epik terpanjang di dunia, ditulis dalam bahasa Bugis kuno menggunakan aksara Lontara. Epik ini tidak hanya berisi kisah kepahlawanan, tetapi juga memuat nilai-nilai filosofis, kosmologi, serta panduan tentang tatanan sosial dan spiritual masyarakat Bugis. Selain itu, lontara' yang berisi catatan hukum adat ("Ade'"), aturan-aturan sosial, dan panduan hidup bermasyarakat, menjadi landasan penting dalam sistem pemerintahan dan keharmonisan sosial di masa lalu.
Bahkan dalam ranah seni, Lontara turut berperan. Penggambaran motif-motif Bugis pada kain tenun, ukiran kayu, atau benda-benda seni lainnya sering kali terinspirasi dari bentuk-bentuk aksara Lontara, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari estetika visual budaya Bugis.
Di era modern, aksara Lontara menghadapi berbagai tantangan. Pengaruh globalisasi, perkembangan teknologi informasi, dan dominasi bahasa nasional serta internasional membuat minat generasi muda terhadap aksara tradisional cenderung menurun. Banyak naskah Lontara kuno yang rentan terhadap kerusakan akibat faktor usia dan lingkungan, serta kurangnya ahli yang mampu membaca dan menerjemahkannya secara akurat.
Namun, semangat pelestarian budaya terus menyala. Berbagai komunitas, lembaga pendidikan, dan pemerintah daerah berupaya mengenalkan kembali Lontara kepada generasi penerus. Upaya ini meliputi penyelenggaraan workshop, pelatihan menulis aksara Lontara, pengembangan aplikasi digital, serta penelitian dan penerjemahan naskah-naskah kuno. Dengan pengenalan yang lebih luas dan partisipasi aktif dari masyarakat, bahasa Lontara yang lengkap dan kaya ini diharapkan dapat terus hidup dan lestari, menjadi kebanggaan warisan Nusantara.
Artikel ini bertujuan memberikan gambaran umum tentang kekayaan aksara Lontara. Pembelajaran aksara Lontara yang lengkap memerlukan studi lebih mendalam pada sumber-sumber autentik.