Representasi visual dari proses bandeng presto.
Ikan bandeng (Chanos chanos) adalah salah satu komoditas perairan tawar yang sangat populer di Indonesia, terutama di Jawa dan wilayah pesisir lainnya. Dikenal karena tekstur dagingnya yang gurih, bandeng seringkali menjadi hidangan utama. Namun, satu tantangan besar yang selalu menyertai santapan ini adalah durinya yang sangat banyak dan kecil, membuat banyak orang enggan mengolahnya, terutama bagi anak-anak atau lansia. Inilah celah yang kemudian diisi oleh sebuah inovasi kuliner revolusioner: bandeng presto yang pertama.
Sebelum hadirnya teknologi presto, mengolah bandeng memerlukan ketelatenan luar biasa. Proses membuang duri (deboning) adalah pekerjaan rumah yang memakan waktu. Beberapa metode tradisional seperti pengasapan atau pengolahan kering seringkali tidak sepenuhnya menghilangkan kekhawatiran konsumen akan duri halus. Keterbatasan ini menghambat popularitas bandeng untuk dikonsumsi secara massal dan cepat saji. Masyarakat mendambakan olahan bandeng yang tetap mempertahankan rasa khasnya namun tanpa duri yang mengancam.
Teknik presto sendiri bukanlah penemuan baru dalam dunia kuliner; ini adalah teknik memasak menggunakan panci bertekanan tinggi (pressure cooker). Tekanan tinggi ini memungkinkan air mendidih pada suhu yang lebih tinggi dari 100°C, sehingga mempercepat proses pemasakan dan melunakkan struktur makanan yang keras, termasuk tulang dan duri ikan yang kecil. Konsep inilah yang diaplikasikan secara cerdas pada ikan bandeng.
Meskipun sulit melacak secara pasti tanggal dan jam berapa ide itu pertama kali muncul di benak seorang juru masak, konsensus sejarah kuliner Indonesia menunjuk pada daerah Semarang, Jawa Tengah, sebagai tempat lahirnya fenomena bandeng presto yang pertama. Semarang, sebagai kota pelabuhan dan pusat kuliner, memang dikenal sebagai tempat lahirnya banyak inovasi makanan berbasis ikan.
Identitas pasti pencipta orisinal seringkali menjadi subjek perdebatan lokal, namun nama yang paling sering dikaitkan dengan komersialisasi dan popularitas masif bandeng presto adalah Ibu Soekijat. Kisah yang beredar luas menyebutkan bahwa inovasi ini muncul sebagai solusi praktis di tengah kebutuhan untuk mengolah hasil tangkapan bandeng yang melimpah. Dengan menggunakan panci presto berkapasitas besar, ia bereksperimen hingga menemukan formula yang tepat: duri bandeng bisa menjadi sangat lunak, hampir menyerupai bubur, asalkan diproses dengan tekanan dan waktu yang akurat.
Keberhasilan formula ini bukan sekadar melunakkan duri. Proses presto juga memungkinkan bumbu marinasi meresap lebih dalam ke serat daging ikan, menghasilkan rasa yang lebih kaya dan gurih setelah digoreng atau dibumbui lebih lanjut. Inilah yang membedakan bandeng presto dari bandeng kukus atau bandeng biasa. Ia menawarkan tekstur unik: dagingnya empuk dan duri yang bisa langsung dikunyah.
Sejak diperkenalkan, bandeng presto yang pertama tersebut segera menjadi fenomena. Tidak hanya di Semarang, resep dan teknik ini menyebar cepat ke kota-kota lain seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, di mana bandeng juga menjadi primadona. Bandeng presto membuka pasar baru; kini, orang yang sebelumnya menghindari bandeng karena masalah duri, kini menjadi konsumen setia.
Evolusi produk ini terus berlanjut. Dari sekadar bandeng presto polos yang kemudian digoreng, kini muncul varian-varian seperti bandeng presto aneka bumbu (bumbu kuning, presto pedas), hingga bandeng presto isi (isian jamur atau udang). Beberapa pengusaha bahkan mengembangkan produk yang lebih modern dengan mengemasnya secara vakum, menjadikannya oleh-oleh khas yang tahan lama dan mudah dibawa bepergian.
Inovasi yang dimulai dari kebutuhan praktis ini membuktikan bahwa dalam dunia kuliner, solusi sederhana seringkali menghasilkan dampak yang monumental. Bandeng presto bukan hanya sekadar makanan; ia adalah simbol adaptasi budaya kuliner Indonesia terhadap tantangan bahan baku lokal, mengubah ikan yang sulit dimakan menjadi hidangan mewah yang dinikmati semua kalangan. Kisah bandeng presto yang pertama adalah kisah sukses sederhana dari dapur rumah tangga yang berhasil menaklukkan duri dan memenangkan hati para pencinta ikan.
Hingga kini, setiap kali kita menikmati kerenyahan dan kelembutan bandeng presto, kita sebenarnya sedang menikmati warisan kuliner yang lahir dari kecerdikan memanfaatkan teknologi panci bertekanan tinggi. Ini adalah warisan yang terus dimasak dengan cinta dan inovasi di seluruh nusantara.