Menggali Makna Kemenangan Hakiki: Tafsir Bunyi An Nasr Ayat 2
Dalam samudra Al-Qur'an yang tak bertepi, terdapat surah-surah pendek yang memiliki kedalaman makna luar biasa. Salah satunya adalah Surah An-Nasr, sebuah surah yang membawa kabar gembira sekaligus isyarat perpisahan. Fokus utama dalam pembahasan kali ini adalah pada ayat keduanya, sebuah kalimat yang merekam salah satu momen paling monumental dalam sejarah penyebaran Islam. Ayat ini bukan sekadar laporan sejarah, melainkan sebuah cermin yang memantulkan hakikat pertolongan Allah, hasil dari kesabaran, dan buah dari dakwah yang penuh hikmah.
Bunyi An Nasr ayat 2 menjadi penanda sebuah era baru, di mana cahaya Islam tidak lagi merambat dari satu hati ke hati yang lain secara sembunyi-sembunyi, melainkan mengalir deras laksana bah, membanjiri jazirah Arab dengan kedamaian dan ketundukan kepada Sang Pencipta. Mari kita selami lebih dalam lafaz, konteks, dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Lafaz, Terjemahan, dan Transliterasi Ayat
Sebelum melangkah lebih jauh, sangat penting untuk memahami bunyi dan makna literal dari ayat yang menjadi pusat perhatian kita. Ayat kedua dari Surah An-Nasr berbunyi:
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا "Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā" "dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"
Tiga komponen utama dalam ayat ini—penglihatan (ra'aita), subjek manusia (an-nas), dan cara mereka masuk (afwaja)—membentuk sebuah gambaran yang hidup dan dramatis. Ini bukan lagi sebuah proses konversi yang bersifat individual, melainkan sebuah fenomena sosial berskala masif, sebuah gelombang besar yang mengubah lanskap spiritual dan politik Jazirah Arab selamanya.
Konteks Utuh Surah An-Nasr
Untuk memahami ayat kedua secara komprehensif, kita tidak bisa melepaskannya dari ayat pertama dan ketiga. Surah An-Nasr (Pertolongan) adalah sebuah kesatuan narasi yang utuh:
- Ayat 1: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan). Ayat ini adalah premis atau syarat. Ia menetapkan kondisi awal, yaitu datangnya pertolongan ilahi yang konkret, yang oleh mayoritas ulama tafsir diidentikkan dengan peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekkah).
- Ayat 2: وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah). Ini adalah hasil atau konsekuensi dari syarat di ayat pertama. Kemenangan yang diraih bukan kemenangan militeristik yang menakutkan, melainkan kemenangan yang membuka hati, sehingga manusia berduyun-duyun memeluk Islam.
- Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat). Ini adalah respons yang diperintahkan. Setelah pertolongan dan kemenangan datang, reaksi yang pantas bukanlah euforia kesombongan, melainkan tasbih (menyucikan Allah), tahmid (memuji-Nya), dan istighfar (memohon ampun).
Struktur ini mengajarkan sebuah pelajaran fundamental: kemenangan sejati berasal dari Allah, buahnya adalah hidayah bagi manusia, dan respons terbaik atasnya adalah kerendahan hati dan kembali kepada-Nya.
Asbabun Nuzul: Latar Belakang Sejarah Turunnya Ayat
Para ulama sepakat bahwa Surah An-Nasr adalah salah satu surah terakhir yang diturunkan, bahkan ada yang menyebutnya sebagai surah utuh terakhir. Konteks historisnya sangat erat kaitannya dengan peristiwa Fathu Makkah pada bulan Ramadhan tahun ke-8 Hijriah.
Peristiwa ini adalah puncak dari perjuangan dakwah Rasulullah SAW selama lebih dari dua dekade. Setelah bertahun-tahun mengalami penindasan, pengusiran, dan peperangan, kaum Muslimin akhirnya kembali ke Mekkah bukan sebagai buronan, melainkan sebagai pemenang. Namun, kemenangan ini unik. Tidak ada pertumpahan darah yang masif, tidak ada balas dendam, dan tidak ada penjarahan.
Rasulullah SAW memasuki kota kelahirannya dengan kepala tertunduk, penuh rasa syukur dan tawadhu. Beliau memberikan pengampunan massal kepada penduduk Mekkah yang dahulu memusuhinya, dengan sabdanya yang terkenal, "Pergilah kalian semua, kalian bebas."
Sikap inilah yang menjadi kunci. Penduduk Mekkah dan suku-suku Arab di sekitarnya menyaksikan secara langsung akhlak mulia yang diajarkan Islam. Mereka melihat kekuatan yang diiringi dengan belas kasih, kemenangan yang disertai dengan pengampunan. Ini adalah dakwah bil hal (dakwah dengan perbuatan) yang paling efektif. Mereka menyadari bahwa agama yang dibawa oleh Muhammad SAW bukanlah agama yang haus kekuasaan, melainkan agama rahmat.
Akibatnya, terjadilah apa yang digambarkan dalam bunyi An Nasr ayat 2. Delegasi dari berbagai kabilah (disebut wufud) mulai berdatangan ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka secara kolektif. Tahun ke-9 Hijriah bahkan dikenal sebagai 'Amul Wufud (Tahun Delegasi) karena saking banyaknya rombongan yang datang. Mereka tidak lagi masuk Islam satu per satu, tetapi per suku, per kabilah, per rombongan. Inilah makna dari "berbondong-bondong" atau afwaja.
Tafsir Mendalam Bunyi An Nasr Ayat 2 per Kata
Mari kita bedah setiap frasa dalam ayat ini untuk menemukan kekayaan maknanya.
وَرَأَيْتَ (Wa Ra'aita) - Dan Engkau Melihat
Kata "ra'aita" (engkau melihat) ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Ini adalah sebuah penglihatan yang bersifat nyata, bukan mimpi atau kiasan. Allah menunjukkan secara langsung kepada Rasul-Nya buah dari kesabaran dan perjuangannya. Penggunaan kata ini memberikan penegasan dan kepastian bahwa peristiwa ini benar-benar akan terjadi dan disaksikan oleh beliau.
Lebih dari sekadar penglihatan fisik, ini juga mencakup penglihatan dengan mata hati (bashirah). Rasulullah SAW melihat realisasi janji Allah yang telah lama dinantikan. Ini adalah momen validasi, peneguhan, dan puncak kebahagiaan atas keberhasilan misi risalah yang diembannya.
النَّاسَ (An-Naas) - Manusia
Penggunaan kata "An-Naas" (manusia) bersifat umum dan inklusif. Al-Qur'an tidak menyebut "bangsa Arab" atau "suku Quraisy" secara spesifik. Ini mengisyaratkan universalitas pesan Islam. Yang masuk ke dalam agama Allah bukan hanya satu kelompok, melainkan "manusia" dari berbagai latar belakang, suku, dan kabilah. Ini adalah cikal bakal tersebarnya Islam ke seluruh penjuru dunia, merangkul seluruh umat manusia tanpa memandang ras atau asal-usul.
يَدْخُلُونَ (Yadkhuluuna) - Mereka Masuk
Kata kerja yang digunakan adalah dalam bentuk mudhari' (present/future tense), yaitu "yadkhuluuna". Dalam tata bahasa Arab, bentuk ini menunjukkan sebuah tindakan yang sedang berlangsung dan akan terus berlanjut. Ini memberikan gambaran sebuah proses yang dinamis dan berkelanjutan. Gelombang manusia yang masuk Islam tidak berhenti pada satu titik setelah Fathu Makkah, melainkan menjadi sebuah gerakan yang terus mengalir dan membesar. Mereka masuk dengan kesadaran dan kemauan sendiri, bukan karena paksaan. Pintu hidayah telah terbuka lebar, dan mereka memasukinya dengan sukarela.
فِي دِينِ اللَّهِ (Fii Diinillah) - Ke dalam Agama Allah
Frasa ini sangat penting. Mereka tidak masuk ke dalam kekuasaan Muhammad atau hegemoni suku tertentu, tetapi "ke dalam agama Allah". Ini menegaskan bahwa loyalitas tertinggi mereka adalah kepada Allah SWT, bukan kepada individu atau kelompok. Islam bukanlah kultus individu, melainkan sebuah sistem kehidupan (diin) yang bersumber dari Tuhan semesta alam. Penekanan pada "Diinillah" memurnikan niat dan tujuan dari proses konversi massal tersebut. Mereka tunduk pada aturan Allah, bukan pada aturan manusia.
أَفْوَاجًا (Afwaajaa) - Berbondong-bondong
Inilah kata kunci yang melukiskan skala dari peristiwa ini. "Afwaajaa" adalah bentuk jamak dari "fauj", yang berarti sekelompok besar, rombongan, atau resimen. Kata ini kontras dengan kondisi awal dakwah Islam di Mekkah, di mana para sahabat masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, satu per satu, dan sering kali harus menanggung siksaan. Kini, situasinya berbalik 180 derajat. Manusia masuk Islam secara terbuka, berkelompok, dan dalam jumlah besar. Ini menunjukkan bahwa penghalang utama dakwah—yaitu kekuatan kafir Quraisy di Mekkah—telah runtuh, sehingga tidak ada lagi yang menghalangi orang untuk menerima kebenaran.
Pandangan Para Ahli Tafsir
Para mufasir dari berbagai generasi telah memberikan wawasan yang berharga mengenai ayat ini.
- Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menghubungkan ayat ini secara langsung dengan Fathu Makkah. Beliau menjelaskan bahwa setelah penaklukan Mekkah, bangsa Arab berkata, "Jika Muhammad telah menang atas penduduk Tanah Haram (Mekkah), padahal Allah telah melindungi mereka dari pasukan gajah, maka dia adalah seorang nabi yang benar." Maka, mereka pun masuk Islam secara bergelombang, baik dari penduduk dataran tinggi maupun pesisir.
- Imam As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain menafsirkannya secara ringkas namun padat: "(dan engkau melihat manusia) yakni bangsa Arab dari berbagai kabilah dan lainnya (masuk ke dalam agama Allah) yaitu agama Islam (secara berbondong-bondong) artinya, berkelompok-kelompok."
- Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur'an menyoroti aspek psikologis dan spiritual. Menurutnya, kemenangan ini adalah bukti nyata pertolongan Allah yang menghancurkan keraguan di hati manusia. Pemandangan manusia masuk Islam secara berbondong-bondong adalah sebuah festival kemenangan iman atas jahiliyah, sebuah pemandangan agung yang menggetarkan hati dan mengundang air mata kebahagiaan dan syukur.
- Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menekankan bahwa peristiwa ini menunjukkan perubahan total dalam persepsi masyarakat Arab. Jika dulu Islam dianggap ancaman, kini ia dilihat sebagai sumber keselamatan dan kemuliaan. Kemenangan yang bermartabat dan tanpa dendam menjadi daya tarik utama yang membuat orang berduyun-duyun memeluknya.
Isyarat Tersembunyi: Tanda Dekatnya Ajal Rasulullah SAW
Di balik kabar gembira yang terkandung dalam Surah An-Nasr, tersimpan sebuah makna yang lebih dalam dan mengharukan. Banyak sahabat besar, terutama Ibnu Abbas RA, memahami surah ini sebagai isyarat bahwa tugas Rasulullah SAW di dunia telah selesai dan ajalnya sudah dekat.
Logikanya sederhana: misi utama seorang rasul adalah menyampaikan risalah hingga sempurna dan diterima oleh umatnya. Ketika pertolongan Allah dan kemenangan puncak (Fathu Makkah) telah datang, dan manusia telah berbondong-bondong masuk ke dalam agama-Nya, maka tugas tersebut telah paripurna. Tidak ada lagi tujuan besar yang tersisa. Oleh karena itu, perintah di ayat ketiga untuk memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar adalah persiapan untuk bertemu dengan Sang Pencipta.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih, ketika Umar bin Khattab RA bertanya kepada para sahabat senior tentang makna surah ini, banyak yang menafsirkannya secara literal. Namun, ketika giliran Ibnu Abbas yang saat itu masih muda, ia menjawab, "Ini adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepada beliau." Umar pun membenarkan penafsiran tersebut.
Kisah ini mengajarkan bahwa di puncak kesuksesan dan kemenangan, seorang hamba harus semakin sadar akan kefanaannya dan semakin giat mempersiapkan diri untuk kembali kepada Allah. Kemenangan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan penanda bahwa sebuah babak telah usai dan babak baru di akhirat akan segera dimulai.
Pelajaran dan Hikmah Abadi
Bunyi An Nasr ayat 2 bukan hanya untuk dikenang sebagai bagian dari sejarah. Ia mengandung pelajaran universal yang relevan sepanjang masa.
- Kesabaran Berbuah Manis: Perjuangan dakwah Rasulullah SAW selama 21 tahun sebelum Fathu Makkah adalah pelajaran tentang keteguhan dan kesabaran. Hasil yang digambarkan dalam ayat ini tidak datang secara instan, melainkan melalui proses panjang yang penuh dengan pengorbanan.
- Kemenangan Hakiki adalah Terbukanya Hati: Ayat ini mendefinisikan ulang arti kemenangan. Kemenangan bukanlah tentang menaklukkan wilayah atau menundukkan musuh secara fisik, melainkan tentang menaklukkan hati manusia dengan kebenaran dan akhlak mulia. Kemenangan sejati adalah ketika manusia kembali kepada Tuhannya.
- Dakwah Terbaik adalah Keteladanan: Pengampunan massal yang diberikan oleh Rasulullah SAW saat Fathu Makkah adalah faktor kunci yang menyebabkan orang berbondong-bondong masuk Islam. Ini menunjukkan bahwa karakter dan perilaku yang baik (akhlakul karimah) memiliki daya persuasif yang jauh lebih kuat daripada pedang atau paksaan.
- Pertolongan Allah Pasti Datang: Surah ini adalah sumber optimisme bagi setiap pejuang di jalan kebenaran. Ia menegaskan bahwa selama seseorang istiqamah dalam perjuangannya, pertolongan Allah (nasrullah) pada akhirnya akan datang pada waktu yang tepat.
- Siklus Kehidupan: Adanya isyarat wafatnya Nabi setelah puncak kemenangan mengajarkan tentang siklus kehidupan. Setiap ada awal, pasti ada akhir. Setiap misi memiliki titik purna. Hal ini mendorong kita untuk senantiasa mawas diri dan tidak terlena oleh kesuksesan duniawi.
Kesimpulan
Bunyi An Nasr ayat 2, "Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā," adalah sebuah potret agung dari buah perjuangan, manifestasi pertolongan ilahi, dan titik balik peradaban manusia. Ia lebih dari sekadar rekaman sejarah; ia adalah sebuah teologi kemenangan, sebuah manual tentang bagaimana menyikapi kesuksesan, dan sebuah pengingat bahwa tujuan akhir dari setiap perjuangan adalah kembalinya manusia ke jalan Allah.
Ayat ini mengajak kita untuk merenung: bahwa di balik setiap kesulitan, ada janji kemudahan. Di balik kesabaran, ada kemenangan yang menanti. Dan di puncak kemenangan itu, yang paling dibutuhkan bukanlah arogansi, melainkan tasbih, tahmid, dan istighfar sebagai wujud ketundukan total kepada Dia yang Maha Memberi Pertolongan dan Kemenangan.