Makna Mendalam Surah An-Nasr dan Bunyi Ayat Keduanya

Surah An-Nasr, surah ke-110 dalam Al-Qur'an, adalah salah satu surah yang paling dikenal oleh umat Islam. Meskipun hanya terdiri dari tiga ayat yang singkat, surah ini membawa pesan yang sangat padat, mendalam, dan memiliki signifikansi historis yang luar biasa. Banyak orang mencari tahu detail spesifik dari surah ini, terutama mengenai bunyi atau lafal dari ayat-ayatnya. Pertanyaan sentral yang sering muncul adalah: bunyi surah an nasr ayat kedua adalah apa? Artikel ini akan mengupas tuntas tidak hanya bunyi ayat kedua, tetapi juga seluruh aspek dari Surah An-Nasr, mulai dari lafal, terjemahan, tafsir per kata, konteks turunnya (asbabun nuzul), hingga hikmah dan pelajaran abadi yang bisa kita petik darinya.

Kaligrafi Arab 'An-Nasr' yang berarti pertolongan النصر

Teks Lengkap Surah An-Nasr: Arab, Latin, dan Terjemahan

Sebelum kita menyelam lebih dalam ke setiap ayat, mari kita lihat terlebih dahulu teks lengkap Surah An-Nasr. Memahami surah ini secara utuh adalah kunci untuk mengapresiasi keindahan dan kedalaman makna yang terkandung di dalamnya, termasuk pada ayat kedua.

Ayat Pertama

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ

Idzaa jaa-a nashrullahi wal fat-h

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"

Ayat Kedua

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا

Wa ra-aitan naasa yadkhuluuna fii diinillahi afwaajaa

"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"

Ayat Ketiga

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfir-h, innahuu kaana tawwaabaa

"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat."

Fokus Utama: Bunyi Surah An Nasr Ayat Kedua Adalah...

Sesuai dengan pencarian utama, mari kita jawab secara langsung dan jelas. Bunyi dari Surah An-Nasr ayat kedua adalah:

"Wa ra-aitan naasa yadkhuluuna fii diinillahi afwaajaa"

Ayat ini merupakan jantung dari surah tersebut, menggambarkan buah dari "pertolongan Allah dan kemenangan" yang disebutkan di ayat pertama. Lafal ini memiliki irama yang indah dan makna yang sangat kuat. Mari kita bedah setiap kata dari ayat kedua ini untuk memahami kedalaman pesannya.

Analisis Kata per Kata Ayat Kedua (وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا)

1. وَرَأَيْتَ (Wa ra-aita)

Kata ini terdiri dari dua bagian: 'Wa' yang berarti "dan", serta 'ra-aita' yang berarti "engkau melihat". Kata 'ra-aita' merujuk langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai orang yang diajak bicara. Ini bukan sekadar penglihatan biasa, melainkan sebuah kesaksian langsung, sebuah pemandangan nyata yang disaksikan oleh beliau. Allah seakan-akan berfirman, "Dan engkau sendiri, wahai Muhammad, akan menjadi saksi mata atas fenomena agung ini." Penggunaan kata kerja dalam bentuk lampau ('telah melihat') seringkali digunakan dalam Al-Qur'an untuk menunjukkan kepastian suatu peristiwa yang akan terjadi di masa depan, seolah-olah sudah terjadi karena janji Allah adalah sebuah kepastian mutlak.

2. النَّاسَ (An-naasa)

Kata ini berarti "manusia" dalam bentuk jamak dan definitif (menggunakan alif-lam). Ini menunjukkan bukan hanya satu atau dua orang, atau satu suku saja, tetapi umat manusia secara luas, khususnya merujuk pada kabilah-kabilah Arab pada saat itu yang sebelumnya memusuhi atau menahan diri dari Islam. Kata ini menyiratkan sebuah perubahan skala besar dalam penerimaan dakwah. Jika sebelumnya yang masuk Islam adalah individu-individu, kini yang bergerak adalah 'manusia' sebagai sebuah kolektif.

3. يَدْخُلُونَ (Yadkhuluuna)

Artinya "mereka masuk". Kata kerja ini dalam bentuk *mudhari'* (present/future tense), yang mengindikasikan sebuah proses yang sedang berlangsung dan terus-menerus. Ini bukan peristiwa sesaat, melainkan sebuah gelombang yang terus datang. Pemandangannya adalah orang-orang yang terus-menerus dan aktif memasuki gerbang keimanan. Mereka tidak dipaksa, tetapi 'masuk' dengan kesadaran dan kemauan mereka sendiri setelah melihat kebenaran yang nyata.

4. فِي دِينِ اللَّهِ (Fii diinillahi)

Frasa ini berarti "ke dalam agama Allah". 'Fii' berarti 'di dalam', 'diin' berarti 'agama', dan 'Allah' adalah nama Tuhan. Ini menegaskan bahwa yang mereka masuki bukanlah sebuah ideologi buatan manusia, bukan pula sebuah faksi politik, melainkan agama yang hakiki, jalan hidup yang diridhai oleh Allah SWT, yaitu Islam. Penyandaran kata 'diin' kepada 'Allah' (Agama Allah) memberikannya status tertinggi, paling murni, dan paling benar. Ini adalah tujuan akhir dari seluruh perjuangan dakwah.

5. أَفْوَاجًا (Afwaajaa)

Inilah kata kunci yang melukiskan skala dari peristiwa ini. 'Afwaajaa' adalah bentuk jamak dari 'fauj', yang berarti "rombongan", "kelompok besar", atau "gelombang". Jadi, artinya adalah "berbondong-bondong" atau "dalam rombongan-rombongan besar". Kata ini secara visual menggambarkan pemandangan yang luar biasa. Jika di masa-masa awal dakwah di Mekah, orang masuk Islam satu per satu secara sembunyi-sembunyi karena takut akan penindasan, kini situasinya berbalik total. Mereka datang dalam delegasi-delegasi, suku demi suku, kabilah demi kabilah, secara terang-terangan dan penuh semangat untuk menyatakan keislaman mereka. Ini adalah kontras yang dramatis dan merupakan bukti visual yang tak terbantahkan dari kemenangan yang Allah berikan.

Jadi, jika kita gabungkan, ayat "Wa ra-aitan naasa yadkhuluuna fii diinillahi afwaajaa" melukiskan sebuah panorama kemenangan yang agung: "Dan engkau (Muhammad) menyaksikan dengan mata kepalamu sendiri bagaimana umat manusia, suku demi suku, dalam rombongan-rombongan yang besar dan tak terputus, secara aktif dan berkelanjutan memasuki jalan hidup yang lurus, yaitu agama Allah."

Tafsir Mendalam Surah An-Nasr Secara Keseluruhan

Setelah memahami detail ayat kedua, kita perlu menempatkannya kembali dalam konteks keseluruhan surah untuk mendapatkan gambaran yang utuh. Surah ini, meskipun pendek, menceritakan tiga fase penting: syarat, hasil, dan respon.

Ayat 1: Syarat Kemenangan (إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ)

Ayat pertama, "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan," menetapkan kondisi awal. Kemenangan yang dimaksud di sini bukanlah semata-mata kemenangan militer. Para ulama tafsir sepakat bahwa "An-Nasr" (pertolongan) dan "Al-Fath" (kemenangan/penaklukan) secara spesifik merujuk pada peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekah).

Fathu Makkah adalah momen puncak dalam sejarah Islam. Kota yang dahulunya menjadi pusat penindasan terhadap Nabi dan para sahabat, kini berhasil dikuasai kembali hampir tanpa pertumpahan darah. Ini bukan kemenangan karena kekuatan militer semata, tetapi murni "nashrullah", pertolongan dari Allah. Allah telah mengatur segalanya sedemikian rupa sehingga kaum Quraisy menyerah tanpa perlawanan berarti. 'Al-Fath' juga bisa diartikan sebagai "pembukaan". Terbukanya kota Mekah menjadi pusat tauhid kembali, dan terbukanya hati manusia untuk menerima kebenaran. Ayat ini menegaskan bahwa setiap kemenangan sejati, setiap keberhasilan hakiki, sumbernya hanya satu: pertolongan dari Allah SWT. Tanpa campur tangan-Nya, usaha manusia tidak akan pernah mencapai hasil yang paripurna.

Ayat 2: Hasil Kemenangan (وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا)

Inilah buah manis dari pertolongan Allah dan kemenangan yang disebutkan sebelumnya. Kemenangan sejati dalam Islam bukanlah tentang menaklukkan wilayah atau menumpuk harta rampasan perang. Tolok ukur kemenangan yang hakiki adalah ketika manusia kembali kepada fitrahnya, yaitu mengakui keesaan Allah dan tunduk pada ajaran-Nya. Fathu Makkah menjadi bukti nyata bagi seluruh Jazirah Arab. Mereka melihat bahwa kekuatan yang selama ini menentang Nabi Muhammad ﷺ, yaitu kaum Quraisy yang perkasa, telah takluk. Mereka menyaksikan bagaimana Nabi Muhammad ﷺ memasuki Mekah dengan penuh kerendahan hati, memaafkan musuh-musuh bebuyutannya, dan membersihkan Ka'bah dari berhala-berhala.

Pemandangan ini menghancurkan keraguan di hati banyak kabilah. Mereka yang tadinya bersikap menunggu ('wait and see') dan berkata, "Biarkan Muhammad berurusan dengan kaumnya. Jika dia menang, berarti dia benar-benar seorang nabi," kini tidak punya alasan lagi untuk menunda. Maka, terjadilah apa yang digambarkan ayat ini. Delegasi (wufud) dari berbagai penjuru Arab datang ke Madinah untuk menyatakan bai'at (sumpah setia) dan masuk Islam. Sejarah mencatat periode setelah Fathu Makkah sebagai "'Am al-Wufud" atau "Tahun Delegasi" karena begitu banyaknya rombongan yang datang. Inilah makna dari "afwaajaa" (berbondong-bondong).

Ayat 3: Respon atas Kemenangan (فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا)

Setelah meraih puncak kesuksesan dan menyaksikan buah dari perjuangan selama lebih dari dua dekade, apa yang diperintahkan Allah kepada Nabi-Nya? Bukan pesta pora, bukan arak-arakan kemenangan, bukan pula penghitungan kekayaan. Perintah yang datang justru bersifat spiritual dan introspektif.

"Fasabbih bihamdi rabbika" (maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu). 'Tasbih' (Subhanallah) adalah menyucikan Allah dari segala kekurangan. 'Tahmid' (Alhamdulillah) adalah memuji Allah atas segala kesempurnaan dan nikmat-Nya. Perintah ini adalah pengingat fundamental: kemenangan ini bukan karena kehebatanmu, wahai Muhammad, tetapi murni karena pertolongan dan pujian bagi Tuhanmu. Ini adalah resep anti-kesombongan. Saat berada di puncak, manusia paling rentan terhadap penyakit hati seperti ujub (bangga diri) dan takabur. Resep ilahiah untuk menangkalnya adalah dengan mengembalikan segala pujian dan kesucian hanya kepada Allah.

"Wastaghfir-hu" (dan mohonlah ampunan kepada-Nya). Perintah ini mungkin terdengar aneh. Mengapa memohon ampun di saat kemenangan? Inilah puncak dari kerendahan hati dan kesadaran seorang hamba. Pertama, ini adalah pengakuan bahwa dalam setiap perjuangan, pasti ada kekurangan dan kelalaian yang dilakukan oleh manusia. Mungkin ada hak yang belum tertunaikan secara sempurna, atau niat yang sesekali tercampuri urusan duniawi. Istighfar membersihkan semua itu. Kedua, bagi para sahabat, khususnya Sayyidina Umar bin Khattab dan Ibnu Abbas, ayat ini dipahami sebagai isyarat bahwa tugas Nabi Muhammad ﷺ di dunia telah selesai. Kemenangan telah diraih, misi telah tuntas. Istighfar adalah persiapan untuk kembali kepada Sang Pemberi Tugas. Ini adalah cara untuk menyempurnakan amal sebelum menghadap-Nya.

"Innahuu kaana tawwaabaa" (Sungguh, Dia Maha Penerima taubat). Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan hati. Allah adalah At-Tawwab, salah satu Asmaul Husna yang berarti Maha Penerima taubat. Nama ini tidak hanya berarti Allah menerima taubat, tetapi Dia 'selalu' dan 'senantiasa' menerima taubat hamba-Nya yang kembali. Ini adalah jaminan dan pintu harapan yang selalu terbuka. Tidak peduli seberapa besar pencapaian seseorang, pintu istighfar dan taubat harus selalu diketuk, dan Allah dengan kasih sayang-Nya akan selalu menyambutnya.

Konteks Sejarah (Asbabun Nuzul) dan Isyarat Perpisahan

Surah An-Nasr tergolong sebagai surah Madaniyah. Para ulama berpendapat bahwa ini adalah surah terakhir yang diturunkan secara lengkap, meskipun ada ayat lain dari surah berbeda yang turun setelahnya. Surah ini turun pada masa Haji Wada' (haji perpisahan) Nabi Muhammad ﷺ, beberapa bulan sebelum beliau wafat. Konteks ini memberikan lapisan makna yang lebih dalam pada surah ini.

Ketika surah ini turun, banyak sahabat senior seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq langsung menangis. Ketika ditanya mengapa, beliau menjawab, "Ini adalah isyarat akan dekatnya ajal Rasulullah ﷺ." Para sahabat yang lebih muda mungkin melihatnya sebagai kabar gembira tentang kemenangan, tetapi para sahabat yang memiliki pemahaman mendalam tahu bahwa jika sebuah misi telah sempurna, maka sang pembawa misi akan segera dipanggil pulang oleh yang mengutusnya.

Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khattab pernah bertanya kepada para sahabat senior tentang makna surah ini. Banyak yang memberikan jawaban standar tentang kemenangan. Namun, ketika giliran Ibnu Abbas yang saat itu masih muda, beliau menjawab, "Ini adalah pertanda ajal Rasulullah ﷺ yang Allah beritahukan kepadanya. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' yang merupakan tanda dekatnya ajalmu, maka bertasbihlah dan mohonlah ampun." Umar pun membenarkan tafsir tersebut.

Aisyah RA juga meriwayatkan bahwa setelah turunnya surah ini, Rasulullah ﷺ memperbanyak membaca doa dalam rukuk dan sujudnya: "Subhanakallahumma Rabbana wa bihamdika, Allahummaghfirli" (Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah aku), sebagai pengamalan langsung dari perintah dalam surah ini.

Pelajaran Abadi dari Surah An-Nasr untuk Kehidupan Kita

Meskipun Surah An-Nasr turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pesannya bersifat universal dan abadi. Setiap individu, komunitas, atau organisasi akan mengalami fase-fase perjuangan dan (insya Allah) kemenangan dalam skala yang berbeda. Surah ini memberikan peta jalan ilahiah tentang bagaimana menyikapi setiap fase tersebut.

Kesimpulan

Pertanyaan "bunyi surah an nasr ayat kedua adalah" membawa kita pada sebuah perjalanan yang jauh lebih dalam dari sekadar lafal sebuah ayat. Bunyi "Wa ra-aitan naasa yadkhuluuna fii diinillahi afwaajaa" adalah gema kemenangan iman atas kekufuran, kebenaran atas kebatilan, dan kerendahan hati atas kesombongan. Ayat ini, yang diapit oleh janji pertolongan Allah dan perintah untuk bertasbih serta beristighfar, merangkum esensi dari perjuangan dan kemenangan dalam Islam.

Surah An-Nasr mengajarkan kita bahwa setiap pertolongan akan berbuah manis jika disikapi dengan benar. Buah termanisnya adalah hidayah bagi umat manusia, dan sikap terbaik dalam menerimanya adalah dengan sujud syukur, membasahi lisan dengan zikir, dan melembutkan hati dengan istighfar. Ini adalah surah tentang kemenangan total, bukan hanya di medan perang, tetapi juga kemenangan atas ego dalam diri, yang menjadi penutup manis dari risalah kenabian dan sekaligus pembuka jalan bagi kita semua untuk meneladani cara menyikapi nikmat kehidupan hingga tiba saatnya kita kembali kepada-Nya, Sang Maha Penerima Taubat.

🏠 Homepage