Jalan Pulang Sang Arsitek

Ilustrasi Masjid Ilustrasi siluet masjid dengan kubah besar dan menara, melambangkan ketenangan dan spiritualitas.

Gelas kristal di tangannya terasa dingin, sama dinginnya dengan penghargaan berkilauan yang baru saja ia letakkan di atas meja mahoni. Ardi menatap pantulan dirinya pada jendela apartemennya yang menjulang tinggi, memperlihatkan gemerlap lampu kota Jakarta yang tak pernah tidur. Di usianya yang baru menginjak tiga puluh lima, ia telah mencapai apa yang diimpikan banyak orang: firma arsitektur yang disegani, proyek-proyek prestisius, dan pengakuan industri. Namun, di tengah semua kemegahan itu, sebuah kekosongan yang aneh menggerogoti jiwanya. Semakin tinggi ia membangun menara untuk orang lain, semakin rapuh fondasi di dalam dirinya sendiri.

Malam itu, setelah perayaan kemenangannya, ia tidak bisa tidur. Pikirannya melayang, bukan pada denah bangunan atau material konstruksi, melainkan pada kenangan masa kecil yang entah kenapa menyeruak kuat. Ia teringat halaman masjid kecil di kampungnya, tempat ia belajar mengaji, berlari-larian bersama teman-temannya hingga azan Magrib berkumandang. Ia teringat wangi sarung ayahnya yang khas, dan suara lembut ibunya yang membangunkannya untuk salat Subuh. Semua itu terasa seperti sebuah film dari kehidupan orang lain, begitu jauh dan kabur.

Ponselnya bergetar di atas meja. Nama "Ibu" tertera di layar. Dengan sedikit enggan, ia mengangkatnya. Suara ibunya terdengar seperti biasa, lembut dan penuh kekhawatiran. Setelah basa-basi menanyakan kabar dan mengucapkan selamat atas penghargaannya—yang ibunya lihat dari berita di televisi—terdengar jeda sejenak.

"Ardi, nduk," panggil ibunya dengan sebutan masa kecil. "Masjid kampung kita atapnya bocor parah. Kemarin hujan deras, airnya sampai menggenang di dalam. Kasihan Pak Hasan, marbot tua itu, harus mengepel sendirian sampai larut malam."

Seketika, sebuah gambaran melintas di benak Ardi. Masjid Al-Ikhlas. Bangunan sederhana berdinding putih dengan kubah hijau pudar. Tempat di mana ia pertama kali merasakan kedamaian sujud. Tempat di mana ia merasa dekat dengan Sang Pencipta, sebelum dunia dan segala ambisinya menariknya menjauh. Rasa bersalah yang tajam mencubit hatinya.

"Nanti Ardi transfer uang, Bu. Cukup untuk ganti semua atapnya. Cari saja tukang terbaik di sana," jawabnya cepat, sebuah solusi instan yang biasa ia tawarkan untuk setiap masalah.

"Bukan hanya soal uang, Di. Warga di sini mau gotong royong, tapi kami butuh arahan. Kamu kan ahlinya. Mungkin... mungkin kamu bisa pulang sebentar?" suara ibunya terdengar penuh harap.

Ardi terdiam. Pulang? Ke kampung yang telah ia tinggalkan lebih dari lima belas tahun lalu? Menghadapi kesederhanaan yang kontras dengan kehidupannya kini? Ia merasa ide itu konyol. Namun, entah kenapa, ada bagian dari dirinya yang terusik. Kekosongan yang ia rasakan seolah berbisik, menyuruhnya untuk mempertimbangkan permintaan itu. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Ardi tidak memikirkan tentang proyek atau keuntungan. Ia memikirkan tentang atap masjid yang bocor dan sebuah jalan pulang.


Tiga hari kemudian, sedan mewah berwarna hitam metalik itu membelah jalanan desa yang sempit dan berdebu, kontras dengan pemandangan sawah hijau yang terhampar dan rumah-rumah sederhana. Ardi, dengan kemeja bermerek dan kacamata hitamnya, merasa seperti alien yang mendarat di planet asing. Ia memarkir mobilnya di bawah pohon mangga rindang di depan rumah ibunya, sebuah rumah panggung kayu yang masih terawat baik. Ibunya menyambut dengan pelukan hangat dan air mata haru. Aroma masakan ibunya segera memenuhi indera penciumannya, sebuah aroma yang membangkitkan kenangan lebih kuat daripada album foto manapun.

Setelah melepas lelah sejenak, ia langsung menuju masjid. Bangunannya tampak lebih tua dan lebih kecil dari yang ia ingat. Cat putihnya di beberapa bagian telah mengelupas, dan kubah hijaunya kini lebih banyak dihiasi lumut daripada cat. Di serambi, seorang lelaki tua kurus dengan peci putih yang sedikit miring sedang menyapu dedaunan kering. Itulah Pak Hasan, sang marbot. Wajahnya berkerut oleh waktu, namun matanya memancarkan keteduhan.

"Assalamualaikum, Pak Hasan," sapa Ardi, berusaha terdengar ramah.

Pak Hasan mengangkat wajahnya, menyipitkan mata sejenak, lalu senyumnya merekah. "Wa'alaikumussalam. Mas Ardi, putranya Bu Siti, kan? Subhanallah, sudah jadi orang besar sekarang. Selamat datang kembali di kampung."

Ardi merasa sedikit canggung. Ia mengulurkan tangan untuk bersalaman, lalu langsung ke pokok persoalan. "Saya dengar atap masjid bocor, Pak. Saya ke sini untuk membantu memperbaikinya. Ini, saya sudah siapkan dananya. Kita bisa panggil kontraktor dari kota kabupaten untuk mengerjakannya." Ia mengeluarkan sebuah amplop tebal dari tasnya.

Pak Hasan tidak langsung menerima amplop itu. Ia justru meletakkan sapunya dan mempersilakan Ardi duduk di bangku kayu panjang di serambi. "Alhamdulillah, terima kasih banyak atas niat baik Mas Ardi. Allah pasti membalasnya. Tapi, bagi kami di sini, membangun rumah Allah itu bukan sekadar soal dana dan kontraktor."

Ardi mengerutkan kening. "Maksud Bapak?"

"Membangun masjid itu soal kebersamaan, soal gotong royong. Setiap genteng yang dipasang, setiap paku yang dipukul, ada pahala jariyah yang mengalir di sana untuk warga. Kalau semua diserahkan ke kontraktor, di mana ladang amal kami?" Pak Hasan berkata dengan lembut, namun kata-katanya menohok Ardi.

Ardi terdiam. Logika bisnisnya berbenturan dengan logika spiritualitas yang sederhana namun mendalam ini. Baginya, efisiensi adalah segalanya. Serahkan pada ahlinya, bayar, dan selesai. Namun, di sini, prosesnya sama pentingnya dengan hasil akhir.

"Kami tidak menolak bantuan dana dari Mas Ardi, itu sangat kami syukuri. Tapi, kami lebih bersyukur lagi kalau Mas Ardi mau membantu kami dengan ilmunya. Pimpin kami, ajari kami cara memasang rangka atap yang benar, cara memilih bahan yang awet tapi terjangkau. Jadilah arsitek untuk kami, bukan hanya donatur," lanjut Pak Hasan.

Permintaan itu terasa lebih berat daripada menandatangani cek bernilai miliaran rupiah. Ini menuntut waktunya, energinya, dan yang paling penting, kerendahan hatinya untuk turun tangan langsung, bekerja bersama orang-orang yang mungkin tidak mengerti istilah-istilah teknis yang biasa ia gunakan. Untuk pertama kalinya, Ardi merasa keahliannya ditantang dengan cara yang berbeda. Bukan untuk membangun monumen kemegahan, tetapi untuk membangun kembali sebuah rumah ibadah yang sederhana, bersama-sama.

Ardi menatap ke dalam masjid. Di dinding yang agak lembap itu, tergantung sebuah kaligrafi tua bertuliskan, "Sesungguhnya masjid-masjid Allah hanyalah yang dimakmurkan oleh orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian." Kata 'memakmurkan' tiba-tiba memiliki makna baru baginya. Bukan hanya mengisi dengan jamaah, tapi juga merawat, membangun, dan menjaganya dengan tangan dan hati. Dengan helaan napas panjang, ia menatap Pak Hasan dan mengangguk perlahan. "Baik, Pak. Saya akan bantu."


Hari-hari berikutnya menjadi sebuah pengalaman yang benar-benar baru bagi Ardi. Ia menanggalkan kemeja mahalnya, menggantinya dengan kaus oblong dan celana kerja. Ia belajar membedakan antara obrolan di ruang rapat ber-AC dengan canda tawa di bawah terik matahari. Rapat dimulai bukan dengan presentasi PowerPoint, tetapi dengan secangkir kopi tubruk dan singkong goreng di serambi masjid setelah salat Subuh berjamaah.

Awalnya, Ardi merasa frustrasi. Rencananya yang terstruktur dan jadwalnya yang ketat seolah tidak berlaku di sini. Warga desa bekerja dengan ritme mereka sendiri, diselingi istirahat untuk salat, mengobrol, atau sekadar berbagi bekal makanan. Ia mencoba menerapkan manajemen proyek modern, tetapi selalu berbenturan dengan kearifan lokal. Ia ingin memesan kayu baja ringan yang praktis, tetapi warga bersikeras menggunakan kayu jati dari kebun Pak Lurah yang terkenal kuat dan sudah diwakafkan untuk masjid.

Suatu sore, saat ia sedang menggambar desain rangka atap yang baru di atas selembar kertas besar, Pak Hasan datang membawakan teh hangat. "Jangan terlalu tegang, Mas Ardi. Membangun rumah Allah itu harus dengan hati yang lapang," katanya sambil tersenyum.

"Tapi, Pak, kalau begini terus, kapan selesainya? Tidak efisien," keluh Ardi.

Pak Hasan duduk di sampingnya. "Efisiensi itu ukuran dunia, Mas. Di sini, kita mencari berkah. Apa gunanya atap selesai dalam tiga hari tapi hati kita tidak ikut terbangun? Lihatlah mereka," Pak Hasan menunjuk ke arah sekelompok bapak-bapak yang sedang bergotong royong menurunkan genteng lama. "Pak Karto itu petani. Pak Budi guru ngaji. Pak Slamet pedagang di pasar. Siang hari mereka mencari nafkah untuk keluarga, tapi pagi dan sore, mereka wakafkan waktu dan tenaga mereka untuk masjid ini. Setiap tetes keringat mereka adalah doa. Itulah fondasi yang lebih kokoh dari beton manapun."

Ardi tertegun. Ia melihat pemandangan itu dengan perspektif baru. Ia melihat senyum tulus, semangat kebersamaan yang tidak pernah ia temukan di proyek-proyeknya di kota. Di sana, semua diukur dengan uang. Di sini, semua diukur dengan keikhlasan. Perlahan, hatinya yang keras mulai melunak. Ia mulai ikut mengangkat kayu, memaku reng, dan bahkan belajar memasang genteng dari Pak Karto, yang dengan sabar mengajarinya.

Malam harinya, setelah salat Isya, ia sering duduk berdua dengan Pak Hasan di serambi masjid. Langit desa yang bersih bertabur bintang, sesuatu yang tak pernah bisa ia nikmati dari apartemennya. Dalam obrolan-obrolan itu, Ardi belajar banyak. Pak Hasan, dengan bahasanya yang sederhana, berbicara tentang makna rezeki yang bukan hanya materi, tentang ketenangan yang datang dari sujud, dan tentang kebahagiaan sejati yang bersumber dari rasa syukur.

"Mas Ardi ini arsitek hebat," kata Pak Hasan pada suatu malam. "Mas bisa membangun gedung pencakar langit. Tapi jangan lupa, bangunan yang paling penting untuk dibangun adalah bangunan di dalam diri kita sendiri. Bangunan takwa. Fondasinya iman, tiangnya salat, atapnya ikhlas. Kalau bangunan itu kokoh, insya Allah selamat dunia dan akhirat."

Kata-kata itu meresap ke dalam sanubari Ardi. Ia menyadari, selama ini ia sibuk membangun mahakarya dari baja dan kaca, tetapi ia telah membiarkan rumah spiritualnya sendiri kosong dan reyot. Di desa kecil itu, di tengah debu dan peluh pekerjaan kasar, Ardi justru sedang memulai proyek arsitektur terpenting dalam hidupnya: merenovasi kembali fondasi imannya yang telah lama terlupakan.

Ia mulai menikmati setiap momen. Ia menikmati salat berjamaah tepat waktu, merasakan nikmatnya makanan sederhana yang disantap bersama setelah lelah bekerja. Ia bahkan mulai mengajari anak-anak desa menggambar setiap sore. Tawa riang mereka menjadi musik terindah yang pernah ia dengar. Kekosongan di hatinya perlahan mulai terisi, bukan oleh pengakuan atau materi, tetapi oleh sesuatu yang lebih hangat dan hakiki: rasa terhubung. Terhubung dengan sesama, dengan alam, dengan masa lalunya, dan yang terpenting, dengan Sang Pencipta.


Pekerjaan renovasi atap sudah berjalan hampir dua minggu. Kerangka utama dari kayu jati pilihan telah berdiri kokoh, siap untuk dipasangi genteng baru yang sudah berjejer rapi di halaman masjid. Semangat warga semakin membara melihat kemajuan yang pesat. Ardi, yang kini kulitnya sedikit lebih gelap karena terbakar matahari, tampak lebih hidup dan bersemangat daripada saat ia menerima penghargaan di Jakarta.

Namun, alam punya rencananya sendiri. Sore itu, langit yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi kelabu pekat. Awan hitam bergulung-gulung dengan cepat, membawa angin kencang yang menderu-deru. Radio di warung kopi dekat masjid menyiarkan peringatan badai. Warga yang sedang bekerja saling berpandangan dengan cemas. Atap masjid masih terbuka, hanya berkerangka. Terpal besar yang mereka siapkan mungkin tak akan cukup kuat menahan amukan badai.

"Cepat! Amankan karpet dan Al-Qur'an di dalam!" teriak Pak Lurah. "Yang lain, bantu tarik terpal!"

Semua orang bergerak cepat. Hujan mulai turun, awalnya hanya rintik-rintik, lalu berubah menjadi guyuran dahsyat laksana ditumpahkan dari langit. Angin mengoyak-ngoyak terpal yang berusaha dibentangkan oleh belasan orang. Ardi berada di tengah-tengah mereka, basah kuyup, berjuang sekuat tenaga menarik tali terpal. Wajahnya tegang, bukan karena takut pada badai, tetapi karena khawatir akan nasib rumah Allah yang sedang mereka perjuangkan.

Tiba-tiba, sebuah embusan angin yang luar biasa kuat merobek sebagian terpal. Air hujan langsung menerobos masuk, membanjiri lantai masjid. Kepanikan mulai terasa. Beberapa ibu-ibu menangis di teras rumah melihat perjuangan sia-sia itu.

Di tengah kekacauan itu, Pak Hasan yang sudah basah kuyup, berjalan ke tengah-tengah kerumunan. Dengan suara yang lantang mengatasi deru angin dan hujan, ia berseru, "Saudara-saudaraku! Tenang! Usaha kita sudah maksimal. Sekarang, mari kita serahkan pada Yang Maha Kuasa! Mari kita berdoa!"

Kemudian, sesuatu yang luar biasa terjadi. Di tengah badai yang mengamuk, di serambi masjid yang separuh basah, Pak Hasan mengangkat tangan dan mulai melantunkan azan. Bukan azan penanda waktu salat, tetapi azan yang penuh kepasrahan, sebuah seruan agung yang menegaskan kebesaran Allah di hadapan kekuatan alam.

"Allahu Akbar... Allahu Akbar..."

Suaranya yang serak namun mantap seolah memiliki kekuatan magis. Satu per satu, warga yang tadinya panik, berhenti dari perjuangan mereka melawan angin. Mereka berdiri, basah kuyup, dan ikut menengadahkan tangan. Ardi berdiri terpaku. Gema azan yang menembus badai itu terasa menggetarkan seluruh jiwanya. Ia melihat wajah-wajah di sekelilingnya: wajah petani, guru, pedagang, semua basah oleh hujan dan air mata, namun memancarkan keteguhan iman yang luar biasa. Tidak ada lagi kepanikan, yang ada hanya kepasrahan total kepada Sang Pemilik Alam Semesta.

Saat itulah Ardi merasakan sebuah titik balik dalam hidupnya. Di tengah badai, di bawah atap masjid yang terbuka, ia merasa lebih terlindungi daripada di dalam apartemennya yang berlapis baja dan kaca. Ia menyadari bahwa bangunan terkokoh bukanlah yang terbuat dari material termahal, melainkan yang dibangun di atas fondasi iman dan kebersamaan. Ia menengadahkan wajahnya ke langit, membiarkan air hujan membasuh wajahnya, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia menangis. Bukan tangis kesedihan, tetapi tangis haru, tangis seorang hamba yang akhirnya menemukan jalan pulangnya.

Ia ikut mengangkat tangannya, bibirnya bergerak lirih, melantunkan doa yang keluar dari lubuk hatinya yang terdalam. Ia tidak lagi berdoa agar proyeknya selamat, tetapi ia berdoa untuk memohon ampunan atas kelalaiannya selama ini, dan bersyukur karena telah diberi kesempatan untuk menyaksikan kebesaran iman yang begitu nyata. Di momen puncak kerapuhan itu, Ardi justru menemukan kekuatannya yang sejati.


Badai akhirnya berlalu menjelang Subuh, menyisakan keheningan dan udara yang sejuk. Kerusakan yang terjadi tidak separah yang ditakutkan. Beberapa bagian kerangka atap memang sedikit miring dan perlu diperbaiki, namun secara keseluruhan strukturnya masih utuh. Yang lebih penting, semangat warga tidak padam, justru semakin menyala.

Pagi itu, setelah salat Subuh di serambi yang masih basah, Ardi mengumpulkan semua warga. Wajahnya tampak berbeda. Tidak ada lagi jejak arogansi seorang arsitek kota. Yang ada adalah ketenangan dan senyum yang tulus.

"Bapak-bapak, Ibu-ibu sekalian," mulainya dengan suara mantap. "Kejadian semalam adalah pelajaran berharga bagi kita semua, terutama bagi saya. Saya minta maaf jika selama ini saya terlalu mengandalkan perhitungan teknis dan kurang berserah diri."

Ia berhenti sejenak, menatap sekeliling. "Karena itu, saya telah membuat keputusan. Saya tidak akan kembali ke Jakarta dalam waktu dekat. Saya akan tinggal di sini sampai masjid ini tidak hanya selesai, tapi berdiri dengan indah dan kokoh. Saya tidak hanya akan memperbaiki atapnya. Dengan izin Allah dan restu dari Bapak-bapak sekalian, saya ingin merancang ulang dan membangun kembali Masjid Al-Ikhlas ini menjadi lebih baik, menjadi pusat kegiatan dan kebanggaan kita bersama."

Warga yang mendengar terdiam sejenak, lalu serentak mengucapkan hamdalah dan takbir. Wajah mereka berseri-seri. Pak Hasan menepuk-nepuk pundak Ardi dengan mata berkaca-kaca. "Ini bukan hanya masjid yang dibangun kembali, Nak Ardi. Tapi juga hati kita semua."

Hari-hari berikutnya diisi dengan semangat baru. Ardi, dengan sepenuh hatinya, membuat desain baru untuk masjid. Bukan desain yang megah dan modern, tetapi sebuah desain yang menyatu dengan alam dan budaya desa. Ia menggabungkan elemen arsitektur tradisional dengan sentuhan modern yang fungsional, memastikan sirkulasi udara yang baik dan pencahayaan alami yang maksimal. Ia merancang halaman yang luas untuk tempat anak-anak bermain dan belajar, serta serambi yang nyaman untuk warga bersosialisasi.

Ia tidak lagi bekerja sendirian. Ia melibatkan warga dalam setiap proses desain, mendengarkan masukan mereka. Ia belajar tentang filosofi di balik ukiran kayu lokal dari Pak Karto, belajar tentang jenis tanaman yang cocok untuk taman masjid dari para ibu, dan berdiskusi tentang arah kiblat yang paling presisi dengan Pak Budi, sang guru ngaji. Proyek itu menjadi milik bersama, sebuah karya kolektif yang ditenun dari benang keahlian, keikhlasan, dan cinta.

Waktunya di kampung tidak hanya dihabiskan untuk masjid. Ia menghabiskan lebih banyak waktu dengan ibunya, mendengarkan cerita-cerita masa lalunya, dan menebus waktu yang hilang. Ia menemukan kembali kebahagiaan dalam hal-hal sederhana: makan siang bersama ibunya, memancing di sungai, atau sekadar duduk di teras rumah menikmati senja. Ia merasa 'kaya' dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.


Bulan berganti bulan. Masjid Al-Ikhlas yang baru akhirnya berdiri dengan anggun. Kubahnya yang berwarna hijau toska berkilauan di bawah sinar matahari. Dindingnya yang putih bersih dihiasi kaligrafi dan ornamen kayu jati yang indah. Menaranya yang tidak terlalu tinggi seolah menyapa ramah siapa saja yang datang. Masjid itu bukan hanya sebuah bangunan, tetapi sebuah perwujudan dari semangat dan iman sebuah komunitas.

Hari peresmiannya menjadi sebuah perayaan besar bagi seluruh desa. Gema takbir dan tahmid membahana, bercampur dengan senyum dan tawa syukur. Ardi berdiri di sudut halaman, mengamati wajah-wajah bahagia di sekelilingnya. Ia tidak lagi merasa sebagai orang luar, seorang arsitek dari kota. Ia adalah bagian dari mereka. Ini adalah rumahnya. Ini adalah karyanya yang paling membanggakan, sebuah karya yang tidak akan memberinya penghargaan duniawi, tetapi memberinya sesuatu yang jauh lebih berharga: ketenangan jiwa.

Beberapa hari setelah peresmian, ia menerima telepon dari rekan bisnisnya di Jakarta. Sebuah tawaran proyek besar, membangun sebuah ikon baru di jantung ibu kota. Dulu, tawaran seperti ini akan membuatnya melompat kegirangan. Namun kini, ia menjawab dengan tenang.

"Terima kasih atas tawarannya," katanya. "Tapi untuk saat ini, saya sudah menemukan proyek terpenting saya. Saya akan membuka kantor kecil di sini, di kampung saya. Saya ingin membangun rumah-rumah yang layak untuk warga, sekolah, dan fasilitas umum lainnya. Saya ingin membangun dari sini."

Keputusannya mengejutkan banyak orang di Jakarta, tetapi tidak bagi orang-orang di kampungnya. Mereka tahu, Ardi telah menemukan apa yang selama ini ia cari.

Sore itu, saat azan Magrib berkumandang dari menara masjid yang baru, Ardi melangkahkan kakinya masuk. Ia mengambil wudu, merasakan sejuknya air membasuh wajah, tangan, dan kakinya, seolah membersihkan sisa-sisa kepenatan dunia. Ia berdiri di saf paling depan, di samping Pak Hasan. Saat ia mengangkat tangan untuk takbiratul ihram, mengucapkan "Allahu Akbar", hatinya terasa begitu lapang dan ringan.

Dalam sujudnya yang khusyuk di atas lantai keramik yang sejuk, ia merasakan kedamaian yang sempurna. Gemerlap lampu kota, penghargaan yang berkilauan, dan ambisi duniawi terasa begitu jauh dan tidak berarti. Di sini, di rumah Allah yang ia bantu bangun kembali dengan keringat dan hatinya, ia akhirnya menemukan fondasi yang sesungguhnya. Ia telah menyelesaikan perjalanan pulangnya, bukan hanya pulang ke kampung halaman, tetapi pulang kepada fitrahnya, pulang kepada Sang Pencipta. Dan dalam kepulangan itu, sang arsitek akhirnya menemukan desain kebahagiaan yang sejati.

🏠 Homepage