Membedah Contoh Ijma sebagai Sumber Hukum Islam

اجماع Ilustrasi Konsep Ijma Sebuah ilustrasi yang menggambarkan berbagai elemen pemikiran yang menyatu menjadi satu konsensus pusat yang solid. Ilustrasi SVG Konsep Ijma atau Konsensus dalam Islam

Dalam struktur sumber hukum Islam, Ijma menempati posisi fundamental ketiga setelah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ijma secara harfiah berarti 'kesepakatan' atau 'konsensus'. Secara terminologis dalam ilmu Ushul Fiqh, Ijma didefinisikan sebagai kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Islam pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW atas suatu hukum syar'i. Kedudukannya sebagai sumber hukum yang bersifat mengikat (hujjah qath'iyyah) memberikan stabilitas dan kepastian hukum dalam persoalan-persoalan yang tidak dijelaskan secara eksplisit dan terperinci dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis mutawatir. Memahami Ijma tidak cukup hanya dengan definisi, tetapi harus melalui penelusuran contoh-contoh konkret yang telah terjadi dalam sejarah Islam. Artikel ini akan menguraikan secara mendalam berbagai contoh Ijma yang paling signifikan, menjelaskan konteks historis, proses terjadinya, dalil-dalil yang mendasarinya, serta implikasi hukumnya bagi umat Islam.

Pengantar: Kedudukan dan Urgensi Ijma

Sebelum menyelami contoh-contoh spesifik, penting untuk menegaskan kembali mengapa Ijma menjadi begitu krusial. Islam adalah agama yang relevan untuk setiap zaman dan tempat. Al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber primer mengandung prinsip-prinsip universal dan hukum-hukum dasar. Namun, seiring berjalannya waktu, umat dihadapkan pada permasalahan baru yang tidak ada presedennya secara langsung pada masa Rasulullah SAW. Di sinilah peran ijtihad para ulama menjadi vital. Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan intelektual seorang mujtahid untuk menggali (istinbath) hukum dari dalil-dalil syar'i.

Ketika para mujtahid dari satu generasi secara kolektif sampai pada kesimpulan yang sama mengenai suatu hukum, kesimpulan tersebut naik statusnya dari sekadar hasil ijtihad (yang bersifat zhanni atau dugaan kuat) menjadi sebuah hukum yang pasti dan mengikat (qath'i) melalui mekanisme Ijma. Kepastian ini didasarkan pada keyakinan bahwa Allah SWT tidak akan membiarkan seluruh ulama umat ini bersepakat di atas kesesatan. Landasan ini diambil dari beberapa dalil, di antaranya firman Allah SWT:

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An-Nisa: 115)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa mengikuti jalan selain jalan orang-orang mukmin (yang dimanifestasikan dalam kesepakatan mereka) adalah sebuah ancaman. Juga, hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh banyak sahabat, "Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan." Hadis ini, meskipun redaksinya beragam, maknanya mutawatir dan menjadi sandaran utama para ulama dalam menetapkan keabsahan Ijma sebagai sumber hukum. Dengan fondasi ini, kita dapat mulai menjelajahi contoh-contoh nyata bagaimana Ijma beroperasi dalam sejarah hukum Islam.

Contoh Ijma Pertama: Pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai Khalifah

Contoh Ijma yang paling fundamental dan terjadi paling awal adalah kesepakatan para sahabat untuk mengangkat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah (pemimpin umat Islam) setelah wafatnya Rasulullah SAW. Peristiwa ini bukan sekadar keputusan politik, melainkan sebuah penetapan hukum syar'i yang memiliki implikasi mendalam.

Konteks Sejarah dan Permasalahan yang Muncul

Wafatnya Rasulullah SAW adalah guncangan terbesar yang dialami umat Islam. Beliau bukan hanya seorang nabi, tetapi juga kepala negara, panglima perang, dan hakim tertinggi. Kepergian beliau meninggalkan kekosongan kepemimpinan yang harus segera diisi untuk mencegah perpecahan dan kekacauan. Al-Qur'an dan Sunnah tidak secara eksplisit menunjuk nama pengganti beliau atau menjelaskan mekanisme pemilihan pemimpin. Inilah masalah hukum dan kenegaraan pertama yang dihadapi generasi sahabat.

Segera setelah kabar wafatnya Nabi menyebar, kaum Anshar berkumpul di Saqifah (balai pertemuan) Bani Sa'idah untuk mendiskusikan suksesi kepemimpinan. Mereka merasa berhak atas kepemimpinan karena telah menolong dan memberikan perlindungan kepada Nabi dan kaum Muhajirin. Mereka mengajukan Sa'ad bin Ubadah sebagai calon pemimpin. Kabar ini sampai kepada para sahabat Muhajirin terkemuka seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah bin Jarrah, yang kemudian segera menyusul ke Saqifah.

Proses Terjadinya Ijma

Di Saqifah Bani Sa'idah, terjadi dialog yang intens. Kaum Anshar mengemukakan argumen mereka, dan sempat muncul usulan kompromi "dari kami seorang pemimpin, dan dari kalian (Muhajirin) seorang pemimpin." Usulan ini berpotensi memecah belah umat. Di saat genting inilah, Abu Bakar Ash-Shiddiq tampil dengan pidato yang sangat bijaksana. Beliau memuji keutamaan kaum Anshar, namun mengingatkan mereka pada hadis Nabi SAW, "Para pemimpin itu berasal dari Quraisy."

Argumentasi Abu Bakar didasarkan pada pemahaman mendalam terhadap realitas sosial dan legitimasi. Suku Quraisy memiliki posisi terhormat di kalangan bangsa Arab, sehingga kepemimpinan dari kalangan mereka akan lebih mudah diterima oleh suku-suku lain yang baru masuk Islam, dan ini akan menjaga persatuan umat. Beliau kemudian mengajukan dua kandidat terkemuka dari Muhajirin, yaitu Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah.

Melihat situasi yang bisa berlarut-larut, Umar bin Khattab mengambil inisiatif. Ia memegang tangan Abu Bakar dan membaiatnya sebagai khalifah, seraya berkata, "Engkaulah sahabat Nabi di dalam gua, engkaulah yang diperintahkan Nabi untuk mengimami shalat saat beliau sakit. Siapa yang lebih berhak atas urusan ini selain engkau?" Tindakan Umar ini segera diikuti oleh Abu Ubaidah dan para sahabat Muhajirin lainnya. Melihat hal tersebut, para sahabat dari kaum Anshar, termasuk Basyir bin Sa'ad, juga turut membaiat Abu Bakar. Meskipun ada sedikit keraguan dari Sa'ad bin Ubadah pada awalnya, mayoritas absolut kaum Anshar dan Muhajirin yang hadir di Saqifah sepakat atas kekhalifahan Abu Bakar.

Keesokan harinya, baiat umum dilakukan di Masjid Nabawi. Seluruh sahabat yang ada di Madinah memberikan baiat mereka kepada Abu Bakar. Kesepakatan yang dimulai di Saqifah ini kemudian meluas dan diterima oleh seluruh sahabat di berbagai penjuru. Inilah yang disebut sebagai Ijma Sukuti (konsensus diam-diam) yang kemudian menjadi Ijma Sarih (konsensus eksplisit) karena tidak ada seorang pun sahabat yang secara sah menentang atau mengajukan calon lain. Penolakan beberapa individu pada awalnya tidak merusak Ijma, karena Ijma adalah kesepakatan para ahli hukum dan pemuka pendapat (ahlul halli wal 'aqdi), dan pada akhirnya mereka semua pun memberikan baiatnya.

Implikasi Hukum dari Ijma Ini

Ijma atas kekhalifahan Abu Bakar ini menetapkan beberapa prinsip hukum ketatanegaraan Islam yang fundamental:

  1. Kewajiban Mengangkat Pemimpin: Ijma ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam atau khalifah adalah kewajiban syar'i bagi umat Islam untuk menjaga agama, mengatur urusan dunia, dan menegakkan hukum Allah.
  2. Mekanisme Pemilihan: Meskipun tidak ada prosedur baku, prinsip musyawarah (syura) dan pemilihan oleh para pemuka umat (ahlul halli wal 'aqdi) menjadi model yang legitimate.
  3. Kriteria Pemimpin: Argumentasi yang digunakan menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki kualifikasi seperti ilmu, keadilan, keberanian, dan kemampuan untuk diterima oleh mayoritas umat (dalam konteks saat itu, berasal dari Quraisy menjadi faktor sosiologis penting).

Ijma ini menjadi preseden hukum yang diikuti oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah sepanjang sejarah dalam menetapkan wajibnya keberadaan seorang pemimpin bagi kaum muslimin.

Contoh Ijma Kedua: Kompilasi Al-Qur'an dalam Satu Mushaf

Salah satu pencapaian terbesar generasi sahabat yang didasari oleh Ijma adalah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an yang berserakan menjadi satu kitab (mushaf) yang utuh. Proses ini terjadi dalam dua fase, keduanya didasari oleh konsensus para sahabat.

Fase Pertama: Pengumpulan di Masa Abu Bakar

Konteks dan Permasalahan

Setelah wafatnya Rasulullah, banyak terjadi pemberontakan dan munculnya nabi-nabi palsu. Dalam Perang Yamamah melawan Musailamah Al-Kadzdzab, sejumlah besar sahabat penghafal Al-Qur'an (huffazh) gugur sebagai syuhada. Umar bin Khattab menjadi sangat khawatir. Beliau melihat ancaman nyata: jika para penghafal Al-Qur'an terus gugur dalam peperangan, ada risiko sebagian Al-Qur'an akan hilang bersama wafatnya mereka.

Pada masa Nabi, Al-Qur'an terjaga dalam dua bentuk: di dalam dada para sahabat (hafalan) dan dalam bentuk tulisan yang terpencar-pencar di berbagai media seperti pelepah kurma, lempengan batu, tulang belulang, dan kulit binatang. Tidak ada satu pun koleksi tulisan yang terkumpul dalam satu bundel.

Umar mendatangi Khalifah Abu Bakar dan mengutarakan kekhawatirannya. "Aku khawatir pertempuran akan terus memakan korban para qurra' (pembaca/penghafal Al-Qur'an) di berbagai medan, dan banyak dari Al-Qur'an akan hilang. Menurutku, engkau harus memerintahkan pengumpulan Al-Qur'an," usul Umar.

Proses Terjadinya Ijma

Awalnya, Abu Bakar ragu-ragu. Beliau menjawab, "Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?" Ini menunjukkan kehati-hatian luar biasa dari para sahabat untuk tidak melakukan bid'ah dalam urusan agama. Namun, Umar terus meyakinkan Abu Bakar bahwa tindakan ini adalah sebuah kebaikan dan kemaslahatan yang sangat besar bagi umat. Umar berargumen bahwa meskipun teknisnya baru, tujuannya adalah menjaga sumber utama agama, sebuah tujuan yang selaras dengan syariat. Akhirnya, Allah melapangkan dada Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut.

Abu Bakar kemudian memanggil Zaid bin Tsabit, sekretaris wahyu utama Nabi. Zaid pun pada awalnya merasakan keberatan yang sama. "Demi Allah, seandainya mereka membebaniku untuk memindahkan sebuah gunung, itu tidak akan lebih berat bagiku daripada perintahmu untuk mengumpulkan Al-Qur'an," kata Zaid. Namun, setelah Abu Bakar dan Umar menjelaskan urgensinya, Zaid pun luluh dan menerima tugas mulia tersebut.

Zaid bin Tsabit melakukan tugasnya dengan metodologi yang sangat ketat. Ia tidak hanya mengandalkan hafalannya sendiri, tetapi juga mengumpulkan tulisan-tulisan yang ada dan mensyaratkan adanya dua orang saksi yang adil untuk setiap ayat yang akan dicatat. Ini adalah sebuah bentuk kehati-hatian kolektif. Proses ini didukung penuh oleh para sahabat senior. Tidak ada satu pun dari mereka yang menentang proyek ini setelah tujuannya dijelaskan. Kesepakatan mereka untuk melakukan tindakan yang tidak pernah dicontohkan secara teknis oleh Nabi demi menjaga esensi agama adalah sebuah Ijma yang brilian. Hasilnya adalah suhuf (lembaran-lembaran) yang disimpan oleh Abu Bakar, kemudian Umar, dan terakhir oleh Hafshah binti Umar.

Fase Kedua: Penyatuan dalam Satu Mushaf Utsmani

Konteks dan Permasalahan

Di masa kekhalifahan Utsman bin Affan, wilayah Islam telah meluas hingga ke Armenia dan Azerbaijan. Banyak mualaf dari berbagai bangsa dengan dialek yang berbeda-beda membaca Al-Qur'an. Seorang sahabat bernama Hudzaifah bin al-Yaman, saat berada di medan perang, melihat perselisihan serius di antara kaum muslimin mengenai cara membaca Al-Qur'an. Setiap kelompok mengklaim bacaannya yang paling benar dan menyalahkan yang lain. Hudzaifah khawatir perselisihan ini akan menjadi seperti perselisihan Ahli Kitab terhadap kitab suci mereka.

Ia segera kembali ke Madinah dan melaporkan kepada Khalifah Utsman, "Wahai Amirul Mukminin, selamatkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang Al-Kitab seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani!"

Proses Terjadinya Ijma

Utsman, setelah bermusyawarah dengan para sahabat senior, menyadari gawatnya situasi. Beliau memutuskan untuk mengambil langkah preventif yang tegas. Beliau meminta suhuf yang disimpan di tangan Hafshah. Kemudian, beliau membentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit lagi, dengan anggota Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al-'Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits. Utsman memerintahkan mereka untuk menyalin suhuf tersebut ke dalam beberapa mushaf induk. Beliau memberikan instruksi penting, "Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu (dalam ejaan atau dialek), maka tulislah sesuai dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur'an turun dalam dialek mereka."

Setelah panitia menyelesaikan tugasnya, beberapa mushaf standar disalin. Utsman kemudian memerintahkan agar mushaf-mushaf ini dikirim ke kota-kota besar di wilayah Islam (seperti Kufah, Basrah, Damaskus, dan Makkah) sebagai rujukan resmi. Yang paling krusial, beliau memerintahkan agar semua catatan atau mushaf pribadi lainnya yang berbeda dari mushaf induk ini untuk dibakar. Tujuannya adalah untuk menyatukan umat di atas satu standar tulisan (rasm) dan menghilangkan sumber perselisihan.

Tindakan Utsman ini didukung oleh seluruh sahabat yang masih hidup saat itu. Ali bin Abi Thalib berkata, "Janganlah kalian berkata tentang Utsman kecuali kebaikan. Demi Allah, apa yang ia lakukan terhadap mushaf-mushaf itu dilakukan atas persetujuan dari kami semua." Pernyataan ini menegaskan bahwa keputusan tersebut adalah sebuah Ijma para sahabat. Mereka sepakat bahwa kemaslahatan menjaga persatuan umat dan otentisitas teks Al-Qur'an jauh lebih besar daripada mempertahankan catatan-catatan pribadi.

Implikasi Hukum

Ijma ini melahirkan beberapa hukum dan prinsip penting:

Contoh Ijma Ketiga: Bagian Warisan untuk Nenek (Seperenam)

Contoh ini adalah ilustrasi sempurna bagaimana Ijma berfungsi untuk menetapkan hukum atas kasus yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an. Ayat-ayat waris (mawaris) dalam Surat An-Nisa sangat terperinci, tetapi tidak menyebutkan secara langsung bagian untuk seorang nenek.

Konteks dan Permasalahan

Pada masa Khalifah Abu Bakar, seorang nenek datang kepada beliau menanyakan hak warisnya dari cucunya yang meninggal dunia. Abu Bakar menjawab, "Aku tidak menemukan bagian untukmu di dalam Kitabullah (Al-Qur'an), dan aku tidak mengetahui Rasulullah SAW pernah menetapkan sesuatu untukmu. Namun, aku akan bertanya kepada orang-orang."

Ini menunjukkan prosedur standar seorang mujtahid: pertama merujuk pada Al-Qur'an, kemudian Sunnah. Jika tidak ditemukan, ia akan berijtihad dan bertanya kepada sahabat lain yang mungkin memiliki pengetahuan yang tidak ia miliki.

Proses Terjadinya Ijma

Abu Bakar pun bertanya kepada para sahabat yang hadir. Al-Mughirah bin Syu'bah berdiri dan bersaksi, "Aku pernah hadir saat Rasulullah SAW memberikan kepada nenek bagian seperenam (1/6)." Abu Bakar kemudian meminta saksi lain untuk menguatkan kesaksian Al-Mughirah. Muhammad bin Maslamah al-Anshari kemudian berdiri dan memberikan kesaksian yang sama. Berdasarkan dua kesaksian ini, Abu Bakar menetapkan bagian waris untuk nenek tersebut sebesar seperenam.

Kemudian, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, kasus serupa terjadi. Namun kali ini, ada dua nenek yang datang (dari pihak ayah dan dari pihak ibu). Umar pada awalnya hanya memberikan bagian seperenam itu kepada nenek dari pihak ibu. Namun, seorang sahabat dari kaum Anshar, Dlahak bin Sofyan, memberitahu Umar bahwa Rasulullah SAW pernah membagi seperenam itu untuk kedua nenek secara bersama-sama (masing-masing mendapat setengah dari seperenam, yaitu seperduabelas).

Umar kemudian menerapkan keputusan ini. Keputusan yang didasarkan pada Sunnah ini kemudian diterima dan diamalkan oleh seluruh sahabat tanpa ada penolakan. Tidak ada seorang pun yang berpendapat bahwa nenek tidak berhak mendapat warisan atau berhak mendapat bagian selain seperenam. Kesepakatan para sahabat untuk memberikan bagian seperenam kepada nenek (baik satu orang maupun dibagi di antara dua nenek jika ada) menjadi sebuah Ijma yang solid.

Implikasi Hukum

Ijma ini sangat penting karena beberapa alasan:

  1. Menetapkan Hukum Baru: Ijma ini menetapkan sebuah hukum waris yang tidak tertera secara eksplisit di Al-Qur'an, namun didasarkan pada Sunnah yang dikonfirmasi oleh kesepakatan sahabat. Ini menunjukkan integrasi antara sumber-sumber hukum.
  2. Memperjelas Posisi Nenek: Hukum ini menempatkan nenek pada posisi yang sama dengan ibu ketika ibu tidak ada, yaitu sama-sama berhak atas bagian seperenam, sebuah bentuk penghormatan dan keadilan dalam Islam.
  3. Menjadi Rujukan Tetap: Sejak saat itu, seluruh mazhab fiqih (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali, dan lainnya) sepakat bahwa nenek (satu atau lebih) berhak atas bagian seperenam dari harta warisan cucunya jika syarat-syarat tertentu terpenuhi (misalnya, tidak terhalang oleh ibu).

Contoh Ijma Keempat: Hukuman 80 Kali Cambuk bagi Peminum Khamr

Kasus hukuman bagi peminum khamr (minuman memabukkan) menunjukkan evolusi penetapan hukuman (ta'zir) menjadi hukuman yang disepakati (hadd) melalui Ijma.

Konteks dan Permasalahan

Al-Qur'an secara tegas mengharamkan khamr, tetapi tidak menetapkan hukuman spesifik di dunia bagi pelakunya. Pada masa Rasulullah SAW, hukuman bagi peminum khamr tidak memiliki standar yang baku. Terkadang beliau menghukum dengan 40 kali pukulan menggunakan tangan, pelepah kurma, atau ujung pakaian. Ini menunjukkan bahwa hukumannya bersifat ta'zir, yaitu hukuman yang kebijaksanaannya diserahkan kepada hakim.

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, beliau menetapkan hukuman sebanyak 40 kali cambukan. Ini adalah ijtihad beliau untuk menstandarkan hukuman tersebut.

Namun, di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, masalah peminum khamr menjadi semakin meluas seiring dengan ekspansi wilayah Islam ke daerah-daerah di mana minuman keras sudah menjadi budaya. Umar merasa hukuman 40 kali cambukan tidak lagi memberikan efek jera yang cukup.

Proses Terjadinya Ijma

Umar bin Khattab mengumpulkan para sahabat senior untuk bermusyawarah mengenai masalah ini. Beliau meminta pendapat mereka tentang bagaimana cara meningkatkan hukuman agar lebih efektif. Di sinilah Ali bin Abi Thalib memberikan ijtihadnya yang cemerlang, yang didasarkan pada qiyas (analogi).

Ali berargumen: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya jika seseorang minum (khamr), ia akan mabuk. Jika ia mabuk, ia akan mengigau (berbicara tidak karuan). Dan jika ia mengigau, ia akan berdusta (menuduh tanpa bukti). Dan hukuman bagi penuduh zina (qadzaf) adalah 80 kali cambukan."

Logika Ali sangat kuat. Ia menganalogikan dampak dari meminum khamr dengan kejahatan qadzaf, karena mabuk dapat mengantarkan seseorang pada perbuatan menuduh orang lain berbuat keji. Hukuman qadzaf secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an (Surat An-Nur: 4) sebanyak 80 kali dera.

Umar bin Khattab dan seluruh sahabat yang hadir menyetujui ijtihad Ali ini. Mereka sepakat untuk menaikkan hukuman bagi peminum khamr menjadi 80 kali cambukan. Sejak saat itu, tidak ada sahabat yang menentang keputusan ini. Kesepakatan mereka untuk menetapkan angka 80 kali cambukan sebagai hukuman standar bagi peminum khamr menjadi sebuah Ijma.

Implikasi Hukum

Ijma ini memiliki dampak signifikan:

Contoh Ijma Lainnya yang Penting

Selain contoh-contoh utama di atas, terdapat banyak sekali contoh Ijma lain dalam berbagai bidang fiqih yang telah membentuk kerangka hukum Islam yang kita kenal hari ini. Beberapa di antaranya adalah:

1. Ijma tentang Haramnya Menikahi Seorang Wanita Bersamaan dengan Bibinya

Al-Qur'an dalam Surat An-Nisa ayat 23 secara eksplisit mengharamkan seorang pria untuk "menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara." Ayat ini hanya menyebutkan larangan menikahi kakak-beradik secara bersamaan. Namun, para ulama, berdasarkan hadis Nabi yang melarang menikahi seorang wanita bersamaan dengan bibinya (baik dari pihak ayah maupun ibu), telah ber-Ijma atas keharaman hal tersebut. Ijma ini memperluas cakupan larangan yang ada di Al-Qur'an berdasarkan penjelasan dari Sunnah, dan tidak ada satu pun ulama yang menentangnya. Ini mengukuhkan prinsip bahwa Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan perinci dari Al-Qur'an.

2. Ijma tentang Keabsahan Jual Beli dengan Sistem Salam (Pesan)

Jual beli salam adalah transaksi di mana pembeli membayar tunai di muka untuk barang yang spesifikasinya jelas, tetapi barang tersebut akan diserahkan di kemudian hari. Secara lahiriah, ini seperti menjual sesuatu yang belum ada. Namun, ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau mendapati penduduknya biasa melakukan praktik ini. Beliau tidak melarangnya, tetapi justru mengatur dan melegitimasi-nya dengan bersabda, "Barangsiapa melakukan salam, hendaklah ia melakukannya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan sampai waktu yang jelas." Berdasarkan hadis ini dan praktik yang terus berlanjut, seluruh ulama Islam telah ber-Ijma atas kebolehan dan keabsahan jual beli salam, karena memenuhi kebutuhan masyarakat dalam perdagangan dan pertanian.

3. Ijma tentang Jatuhnya Talak Tiga Sekaligus

Masalah ini sedikit lebih kompleks dan menunjukkan adanya evolusi dalam praktik hukum. Pada masa Nabi dan Abu Bakar, ucapan "aku talak kamu tiga kali" dalam satu majelis dianggap jatuh sebagai satu talak. Namun, pada masa Umar bin Khattab, beliau melihat banyak orang meremehkan masalah talak dan dengan mudahnya mengucapkan talak tiga sekaligus. Untuk memberikan pelajaran dan efek jera, Umar berijtihad untuk memberlakukan talak tiga yang diucapkan sekaligus sebagai talak tiga yang sah (talak ba'in kubra), yang berarti pasangan tersebut tidak bisa rujuk kembali kecuali sang istri telah menikah dengan pria lain dan bercerai. Ijtihad Umar ini disetujui oleh para sahabat yang ada pada saat itu dan menjadi sebuah Ijma di masa mereka. Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama di masa-masa setelahnya, Ijma yang terjadi pada masa sahabat itu sendiri menjadi sebuah preseden hukum yang sangat kuat dan diikuti oleh mayoritas mazhab fiqih.

Kesimpulan: Makna dan Relevansi Ijma

Dari serangkaian contoh di atas, terlihat jelas bahwa Ijma bukanlah sebuah konsep teoretis yang abstrak. Ia adalah mekanisme hidup yang telah membentuk, mengklarifikasi, dan menstabilkan hukum Islam sejak generasi pertama. Ijma berfungsi sebagai jaring pengaman ilahiah yang menjaga umat dari perpecahan dalam masalah-masalah pokok agama. Ia memberikan kepastian hukum (qath'iyyah) pada hasil-hasil ijtihad yang bersifat dugaan (zhanniyyah).

Contoh pengangkatan Abu Bakar menunjukkan peran Ijma dalam menjaga eksistensi politik umat. Contoh kompilasi Al-Qur'an menunjukkan perannya dalam menjaga sumber utama ajaran Islam. Contoh warisan nenek dan hukuman peminum khamr menunjukkan perannya dalam menjawab persoalan hukum baru yang tidak dirinci dalam nash. Semua contoh ini membuktikan bahwa Ijma adalah manifestasi dari rahmat Allah kepada umat ini, memastikan bahwa ajaran-Nya tetap relevan, aplikatif, dan terjaga dari penyimpangan.

Mempelajari contoh-contoh Ijma memberikan kita pemahaman yang mendalam tentang dinamika hukum Islam. Kita belajar bagaimana para sahabat dan generasi setelahnya dengan cerdas dan penuh tanggung jawab menggunakan Al-Qur'an dan Sunnah untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer mereka. Bagi umat Islam hari ini, memahami Ijma berarti menghargai warisan intelektual para ulama terdahulu dan memegang teguh prinsip-prinsip yang telah disepakati, yang menjadi pilar kokoh bagi bangunan syariat Islam.

🏠 Homepage