Islam adalah agama yang membawa rahmat dan kemudahan. Setiap kewajiban yang dibebankan kepada umatnya selalu diiringi dengan solusi dan keringanan (rukhsah) bagi mereka yang memiliki uzur atau halangan tertentu. Salah satu ibadah agung yang memiliki pilar keringanan ini adalah puasa di bulan Ramadan. Ketika seorang Muslim tidak mampu menjalankan ibadah puasa karena alasan yang dibenarkan syariat, Islam tidak lantas meninggalkannya dalam kebingungan. Di sinilah konsep fidyah hadir sebagai jembatan spiritual dan sosial, sebuah bentuk ibadah pengganti yang sarat akan makna kepedulian dan ketaatan.
Memahami fidyah secara komprehensif adalah sebuah keharusan, bukan hanya bagi mereka yang mungkin akan menunaikannya, tetapi bagi setiap Muslim. Sebab, di dalam fidyah terkandung pelajaran tentang kemurahan Allah, pentingnya solidaritas sosial, dan bagaimana syariat Islam begitu fleksibel dalam mengakomodasi berbagai kondisi umat manusia. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk fidyah, mulai dari pengertian dasarnya, landasan hukum yang kokoh, kriteria orang yang diwajibkan, hingga panduan praktis mengenai tata cara pembayaran dan penyalurannya.
Untuk memahami fidyah secara utuh, kita perlu meninjaunya dari dua sisi: etimologi (bahasa) dan terminologi (istilah syariat). Kedua pendekatan ini akan memberikan gambaran yang jelas tentang esensi dari ibadah ini.
Kata "fidyah" berasal dari bahasa Arab, dari akar kata فَدَى (fadaa), yang berarti mengganti atau menebus. Dari kata ini, terbentuklah kata "fidyah" (فِدْيَة) yang secara harfiah dapat diartikan sebagai "tebusan" atau "pengganti". Konsep tebusan ini menyiratkan adanya sesuatu yang dikorbankan atau diberikan untuk menggantikan sesuatu yang lain. Dalam konteks ibadah, fidyah adalah "tebusan" yang diberikan seorang Muslim karena meninggalkan suatu kewajiban—dalam hal ini puasa—akibat adanya halangan yang dibenarkan.
Secara istilah syariat, para ulama mendefinisikan fidyah sebagai sejumlah harta (biasanya dalam bentuk makanan pokok) yang wajib diberikan kepada fakir miskin sebagai pengganti ibadah puasa yang ditinggalkan oleh seseorang karena uzur syar'i tertentu yang sifatnya permanen atau sangat memberatkan. Definisi ini mengandung beberapa poin kunci:
Sering kali terjadi kerancuan antara istilah fidyah, qadha, dan kaffarah. Ketiganya memang berkaitan dengan penggantian puasa yang ditinggalkan, namun memiliki sebab, bentuk, dan konsekuensi hukum yang sangat berbeda. Memahaminya akan menghindarkan kita dari kesalahan dalam menunaikan kewajiban.
| Aspek | Qadha (Mengganti) | Fidyah (Tebusan) | Kaffarah (Denda Penebus Dosa) |
|---|---|---|---|
| Pengertian | Mengganti puasa yang ditinggalkan dengan berpuasa di hari lain di luar bulan Ramadan. | Memberi makan fakir miskin sebagai tebusan karena tidak mampu berpuasa dan tidak mampu meng-qadha. | Denda berat yang wajib dibayarkan karena melanggar kehormatan bulan Ramadan dengan sengaja (contoh: berhubungan suami-istri di siang hari). |
| Sebab | Sakit yang masih bisa sembuh, bepergian (safar), haid, nifas. | Sakit menahun tanpa harapan sembuh, usia sangat tua yang lemah, ibu hamil/menyusui (dengan perincian). | Melakukan hubungan suami-istri secara sengaja di siang hari bulan Ramadan. |
| Bentuk Pengganti | Berpuasa sejumlah hari yang ditinggalkan. | Memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. | Memerdekakan budak, atau jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut, atau jika tidak mampu, memberi makan 60 orang miskin. |
| Sifat | Pengganti yang setara (ibadah fisik diganti ibadah fisik). | Keringanan (ibadah fisik diganti ibadah harta). | Sanksi/hukuman berat untuk penebusan dosa besar. |
Kewajiban membayar fidyah bukanlah hasil ijtihad semata, melainkan memiliki dasar hukum yang sangat kuat dan jelas dari sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah (Hadits Nabi Muhammad SAW).
Landasan utama penetapan fidyah terdapat dalam firman Allah SWT di Surah Al-Baqarah ayat 184:
أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ
"(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin." (QS. Al-Baqarah: 184)
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan dua hal. Pertama, bagi orang sakit (yang diharapkan sembuh) dan musafir, kewajibannya adalah mengganti puasa di hari lain (qadha). Kedua, bagi "alladziina yuthiiquunahu" wajib membayar fidyah. Para ulama tafsir, seperti Ibnu Abbas, menjelaskan bahwa frasa ini pada awalnya berlaku umum, di mana umat Islam diberi pilihan antara berpuasa atau membayar fidyah. Namun, setelah turunnya ayat berikutnya (ayat 185) yang menegaskan kewajiban berpuasa, maka hukum pilihan tersebut dihapus (mansukh) bagi orang yang mampu. Akan tetapi, hukum fidyah tetap berlaku (tidak ter-mansukh) bagi orang-orang yang memang berat atau tidak sanggup lagi berpuasa, seperti orang tua renta dan orang yang sakit menahun.
Penjelasan dalam Al-Qur'an diperkuat dan dirinci lebih lanjut oleh hadits-hadits Rasulullah SAW. Di antara hadits yang paling relevan adalah:
Berdasarkan dalil-dalil yang qath'i (pasti) dari Al-Qur'an dan Sunnah, para ulama dari berbagai mazhab sepakat (ijma') mengenai disyariatkannya fidyah bagi kelompok-kelompok tertentu yang memiliki uzur permanen. Meskipun terdapat sedikit perbedaan pendapat dalam perincian kasus seperti ibu hamil dan menyusui, namun eksistensi fidyah sebagai sebuah syariat tidak pernah diperdebatkan.
Tidak semua orang yang meninggalkan puasa bisa serta-merta menggantinya dengan fidyah. Syariat telah menetapkan kriteria dan golongan yang spesifik. Secara umum, mereka adalah orang-orang yang memiliki halangan berat dan bersifat permanen atau semi-permanen.
Ini adalah kategori yang paling disepakati oleh seluruh ulama. Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai usia senja, di mana kondisi fisik mereka sudah sangat lemah dan tidak memungkinkan lagi untuk menahan lapar dan dahaga selama sehari penuh. Kelemahan ini bersifat permanen dan tidak akan kembali menjadi kuat. Jika dipaksakan berpuasa, justru akan membahayakan kesehatan mereka. Bagi mereka, kewajiban puasa telah gugur dan digantikan dengan kewajiban membayar fidyah untuk setiap hari yang mereka tinggalkan.
Kategori ini serupa dengan orang tua renta. Sakit di sini bukanlah sakit biasa seperti demam atau flu yang bisa sembuh dalam beberapa hari. Sakit yang dimaksud adalah penyakit kronis atau menahun yang menurut diagnosis medis sulit atau tidak memiliki harapan untuk sembuh. Contohnya seperti penderita gagal ginjal yang harus rutin cuci darah, penderita diabetes akut yang kondisinya akan memburuk jika tidak makan teratur, atau penyakit kronis lainnya yang membuat puasa menjadi sebuah kemudharatan. Bagi mereka, kewajiban qadha tidak relevan karena mereka tidak akan menemukan "hari lain" di mana mereka sehat untuk berpuasa. Solusinya adalah fidyah.
Ini adalah kategori yang pembahasannya paling rinci di kalangan fuqaha (ahli fikih). Ada beberapa kondisi dan perbedaan pendapat yang perlu dipahami:
Melihat perbedaan ini, seseorang dapat mengikuti mazhab yang diyakininya atau berkonsultasi dengan ulama setempat. Namun, mengambil pendapat yang lebih hati-hati (qadha dan fidyah) tentu lebih utama untuk keluar dari perselisihan (khilaf).
Ini adalah kasus khusus yang menjadi pendapat kuat dalam Mazhab Syafi'i. Seseorang yang memiliki utang puasa Ramadan (misalnya karena safar), memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk meng-qadhanya sebelum Ramadan berikutnya tiba. Namun, karena lalai dan menunda-nunda tanpa uzur syar'i, ia belum melunasi utang puasanya hingga datang Ramadan tahun berikutnya. Dalam kasus ini, ia berdosa karena kelalaiannya. Konsekuensinya, ia tetap wajib meng-qadha puasa yang ditinggalkannya, ditambah dengan kewajiban membayar fidyah satu mud untuk setiap hari utang puasanya sebagai "denda" atas keterlambatannya. Fidyah ini bersifat kumulatif; jika ia menunda selama dua tahun, maka fidyahnya menjadi dua kali lipat per hari.
Ada dua kondisi terkait hal ini:
Setelah mengetahui siapa saja yang wajib membayar fidyah, langkah selanjutnya adalah memahami bagaimana cara menunaikannya dengan benar sesuai tuntunan syariat.
Teks Al-Qur'an secara literal menyebutkan "tha'aamu miskin" yang artinya "makanan orang miskin". Berdasarkan ini, bentuk asli dan yang paling disepakati dari fidyah adalah memberikan makanan pokok kepada fakir miskin.
Di Indonesia, banyak yang mengikuti pendapat Mazhab Hanafi. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan lembaga-lembaga filantropi Islam lainnya juga memfasilitasi pembayaran fidyah dalam bentuk uang yang kemudian akan mereka salurkan dalam bentuk makanan atau sesuai kebutuhan para mustahik.
Ukuran fidyah yang disepakati oleh mayoritas ulama adalah satu mud untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Lalu, berapa konversi satu mud itu?
Satu mud adalah sebuah takaran volume yang digunakan pada zaman Nabi SAW. Jika dikonversi ke dalam satuan modern, terdapat sedikit perbedaan dalam penghitungan, namun angka yang umum digunakan adalah:
Untuk kehati-hatian (ihtiyath), banyak ulama dan lembaga amil zakat di Indonesia yang menggenapkannya menjadi 0.7 kg, 0.75 kg (3/4 kg), atau bahkan ada yang membulatkannya menjadi 1 kg beras per hari. Menggunakan angka yang lebih besar tentu lebih baik dan lebih aman.
Contoh Perhitungan:
Jika seseorang meninggalkan puasa selama 10 hari dan menggunakan takaran 0.75 kg beras per hari, maka total fidyah yang harus ia bayarkan adalah: 10 hari x 0.75 kg/hari = 7.5 kg beras.
Jika dikonversi ke dalam uang (mengikuti pendapat Hanafi), maka nilainya adalah harga dari takaran makanan pokok tersebut. Misalnya, jika harga beras kualitas sedang per kg adalah Rp 13.000, maka nilai fidyah per hari adalah 0.75 x Rp 13.000 = Rp 9.750. Untuk amannya, bisa dibulatkan menjadi Rp 10.000 atau mengikuti standar yang ditetapkan oleh lembaga amil zakat (biasanya mereka menetapkan harga per porsi makanan layak, misalnya Rp 25.000 - Rp 40.000 per hari).
Waktu pembayaran fidyah cukup fleksibel, namun ada beberapa aturan yang perlu diperhatikan:
Sasaran penerima fidyah sudah jelas disebutkan dalam Al-Qur'an, yaitu fakir dan miskin. Fidyah tidak boleh diberikan kepada golongan penerima zakat lainnya seperti amil, mualaf, atau gharim, kecuali jika mereka juga tergolong fakir miskin.
Terkait teknis penyalurannya:
Syariat fidyah tidak hanya sekadar ritual pengganti, tetapi mengandung hikmah dan nilai-nilai luhur yang mendalam. Memahaminya akan menambah keyakinan dan kekhusyukan kita dalam beribadah.
Fidyah adalah sebuah tebusan berupa pemberian makanan pokok kepada fakir miskin yang diwajibkan bagi seorang Muslim yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa karena alasan-alasan yang bersifat permanen atau sangat memberatkan. Ia bukanlah sekadar pengganti, melainkan sebuah ibadah mandiri yang sarat dengan nilai spiritual dan sosial. Didukung oleh landasan hukum yang kokoh dari Al-Qur'an dan Sunnah, fidyah menjadi bukti konkret dari sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim Allah SWT.
Memahami siapa yang wajib membayarnya, berapa ukurannya, kapan waktu pembayarannya, dan kepada siapa harus disalurkan adalah kunci agar ibadah fidyah kita sah dan diterima di sisi Allah. Lebih dari itu, menghayati hikmah di baliknya akan mengubah fidyah dari sekadar kewajiban administratif menjadi sebuah ekspresi cinta kepada Sang Pencipta dan wujud kepedulian nyata kepada sesama manusia.