Pendahuluan: Upaya Manusia Mengenal Penciptanya
Setiap manusia yang merenung pasti akan sampai pada sebuah pertanyaan fundamental: Siapakah Tuhan? Bagaimana gambaran-Nya? Pertanyaan ini bukanlah sekadar keingintahuan intelektual, melainkan sebuah dorongan fitrah yang tertanam dalam jiwa untuk mengenal asal-usul dan tujuan keberadaannya. Namun, akal manusia yang terbatas memiliki keterbatasan yang sangat signifikan dalam menjawab pertanyaan ini. Upaya untuk membayangkan wujud Tuhan seringkali terjebak dalam antropomorfisme, yaitu menggambarkan Tuhan dengan sifat-sifat makhluk, seperti bentuk fisik, warna, atau tempat.
Islam datang dengan sebuah fondasi teologis yang kokoh dan membebaskan akal dari kebuntuan ini. Alih-alih memberikan gambaran fisik, Islam mengenalkan Allah melalui sifat-sifat-Nya yang sempurna, nama-nama-Nya yang terindah (Asmaul Husna), dan perbuatan-perbuatan-Nya yang agung yang terpampang di alam semesta. Prinsip utamanya adalah penegasan absolut bahwa Allah tidak serupa dengan apapun jua.
"...Laisa kamitslihi syai'un, wa huwas samii'ul bashiir."
"...Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." QS. Asy-Syura: 11
Ayat ini adalah pilar utama dalam akidah Islam. Bagian pertama, "Laisa kamitslihi syai'un," secara total menafikan segala bentuk keserupaan antara Pencipta dan makhluk. Ini memotong tuntas segala upaya imajinasi liar untuk melukiskan zat Allah. Apapun yang terlintas di benak kita tentang Allah, maka Allah tidak seperti itu. Bagian kedua, "wa huwas samii'ul bashiir," menetapkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat kesempurnaan, seperti Mendengar dan Melihat, namun dengan cara yang sama sekali berbeda dan tidak dapat dibandingkan dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Inilah jalan tengah yang lurus: menafikan keserupaan (tasybih) tanpa menolak sifat-sifat kesempurnaan (ta'thil). Artikel ini akan mengulas bagaimana Islam memberikan 'gambaran' Allah bukan dalam bentuk visual, melainkan dalam bentuk pemahaman konseptual yang agung melalui sifat-sifat dan nama-nama-Nya.
Mengenal Allah Melalui Asmaul Husna
Salah satu cara terindah untuk mendapatkan gambaran tentang keagungan Allah adalah dengan merenungi Asmaul Husna, yaitu nama-nama-Nya yang terbaik. Allah sendiri memerintahkan kita untuk berdoa dan mengenal-Nya melalui nama-nama ini. Setiap nama menyingkap satu aspek dari kesempurnaan-Nya yang tak terbatas, memberikan kita pemahaman yang lebih dalam tentang siapa Dia.
Nama-nama yang Mencerminkan Kasih Sayang dan Rahmat
Dimensi pertama yang seringkali ditekankan adalah kasih sayang-Nya yang tak bertepi. Ini memberikan rasa aman, harapan, dan cinta dalam hati seorang hamba.
Ar-Rahman (Maha Pengasih): Nama ini merujuk pada kasih sayang Allah yang universal, meliputi seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali, baik yang beriman maupun yang tidak. Sinar matahari, udara yang kita hirup, air yang menyegarkan, dan rezeki yang terhampar di bumi adalah manifestasi dari sifat Ar-Rahman-Nya. Kasih-Nya mendahului murka-Nya. Sifat ini mengajarkan kita untuk memiliki welas asih kepada seluruh ciptaan.
Ar-Rahim (Maha Penyayang): Berbeda dengan Ar-Rahman, sifat Ar-Rahim adalah kasih sayang khusus yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, terutama di akhirat kelak. Ini adalah bentuk rahmat yang lebih spesifik, berupa petunjuk, ampunan, dan nikmat surga. Jika Ar-Rahman adalah rahmat di dunia, Ar-Rahim adalah puncak rahmat bagi mereka yang taat.
Al-Ghafur (Maha Pengampun): Nama ini adalah sumber harapan bagi setiap pendosa. Al-Ghafur berarti Dia yang senantiasa menutupi dosa dan memaafkan kesalahan. Ampunan-Nya jauh lebih luas daripada dosa-dosa manusia. Selama seorang hamba mau kembali dengan tulus, pintu ampunan-Nya selalu terbuka. Konsep ini menghapus keputusasaan dan mendorong perbaikan diri.
Al-Wadud (Maha Mencintai): Ini adalah tingkatan yang lebih tinggi dari sekadar menyayangi. Al-Wadud berarti Allah adalah sumber dari segala cinta dan Dia mencintai hamba-hamba-Nya yang saleh. Cinta-Nya termanifestasi dalam bentuk pertolongan, bimbingan, dan ketenangan hati yang Dia anugerahkan. Merenungi nama ini menumbuhkan cinta yang mendalam dari hamba kepada Penciptanya.
Nama-nama yang Mencerminkan Kekuasaan dan Keagungan
Di samping kasih sayang, gambaran tentang Allah juga diwarnai oleh keagungan dan kekuasaan-Nya yang mutlak. Ini menumbuhkan rasa takzim, tunduk, dan rendah hati di hadapan-Nya.
Al-Malik (Maha Merajai): Allah adalah Raja yang sesungguhnya. Kekuasaan-Nya mutlak, abadi, dan tidak memerlukan legitimasi dari siapapun. Semua raja di dunia hanyalah 'raja' pinjaman yang pada akhirnya akan sirna. Kedaulatan-Nya meliputi setiap atom di alam semesta. Memahami Al-Malik membuat kita sadar bahwa kita semua adalah hamba di bawah kekuasaan-Nya.
Al-Aziz (Maha Perkasa): Keperkasaan Allah tidak terkalahkan. Tidak ada kekuatan apapun yang dapat menandingi atau melemahkan-Nya. Dia Maha Perkasa dalam segala hal, mampu melakukan apa pun yang Dia kehendaki tanpa ada yang bisa menghalangi. Sifat ini memberikan keyakinan bahwa pertolongan-Nya pasti datang bagi mereka yang bersandar kepada-Nya.
Al-Jabbar (Maha Memaksa): Nama ini sering disalahpahami. Al-Jabbar tidak berarti sewenang-wenang. Maknanya adalah Dia yang memiliki kekuatan untuk melaksanakan kehendak-Nya tanpa bisa ditolak, dan Dia juga yang 'memperbaiki' keadaan yang rusak. Dia memperbaiki hati yang hancur, menolong yang lemah, dan memaksa segala sesuatu berjalan sesuai takdir-Nya yang penuh hikmah.
Al-Mutakabbir (Maha Memiliki Kebesaran): Kesombongan adalah sifat tercela bagi makhluk, tetapi merupakan hak mutlak bagi Allah. Hanya Dia yang pantas menyandang kebesaran, karena kebesaran-Nya adalah hakiki. Semua kebesaran selain-Nya adalah semu. Sifat ini mengajarkan manusia untuk tawadhu (rendah hati), karena kesombongan adalah upaya merebut hak Allah.
Nama-nama yang Mencerminkan Ilmu dan Hikmah
Pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu, yang tampak maupun yang gaib. Tidak ada satu pun daun yang jatuh tanpa sepengetahuan-Nya.
Al-'Alim (Maha Mengetahui): Ilmu Allah tidak berawal dan tidak berakhir. Dia mengetahui masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dia mengetahui apa yang tersembunyi di dalam dada, bahkan bisikan hati yang belum terucap. Pengetahuan-Nya detail dan sempurna. Kesadaran akan sifat ini mendorong kita untuk selalu berbuat baik, bahkan saat tidak ada orang lain yang melihat.
Al-Hakim (Maha Bijaksana): Segala sesuatu yang Allah ciptakan dan tetapkan pasti mengandung hikmah yang agung, baik kita memahaminya maupun tidak. Tidak ada satupun perbuatan-Nya yang sia-sia atau tanpa tujuan. Setiap perintah, larangan, dan takdir-Nya didasari oleh kebijaksanaan yang sempurna untuk kebaikan hamba-hamba-Nya.
Al-Khabir (Maha Teliti): Nama ini lebih spesifik dari Al-'Alim. Al-Khabir berarti Dia yang mengetahui hakikat terdalam dari segala urusan. Dia mengetahui detail-detail tersembunyi yang luput dari pengetahuan siapapun. Dia mengetahui niat di balik perbuatan dan motif di balik ucapan. Tidak ada yang bisa disembunyikan dari-Nya.
Memahami Allah Melalui Sifat-Sifat-Nya
Selain Asmaul Husna, para ulama teologi Islam (Ahlus Sunnah wal Jama'ah) juga merumuskan pembahasan tentang sifat-sifat Allah untuk memudahkan pemahaman. Sifat-sifat ini terbagi menjadi beberapa kategori yang membantu kita membangun gambaran konseptual yang benar tentang Allah, tanpa terjatuh pada penyerupaan dengan makhluk.
Sifat Wajib: Sifat yang Pasti Ada pada Allah
Sifat Wajib adalah sifat-sifat kesempurnaan yang pasti dimiliki oleh Allah dan mustahil dinafikan dari-Nya. Para ulama umumnya merangkumnya menjadi 20 sifat untuk mempermudah pembelajaran.
- Wujud (Ada): Sifat paling dasar. Keberadaan Allah adalah niscaya (wajib al-wujud), bukan karena diciptakan, melainkan ada dengan sendirinya. Keberadaan alam semesta ini adalah bukti paling nyata akan adanya Sang Pencipta.
- Qidam (Terdahulu): Keberadaan Allah tidak berawal. Dia ada sebelum segala sesuatu ada. Jika Dia memiliki awal, berarti ada yang mengawali-Nya, dan itu menafikan ketuhanan-Nya.
- Baqa' (Kekal): Keberadaan Allah tidak akan pernah berakhir. Dia abadi. Segala sesuatu selain Dia akan fana dan binasa.
- Mukhalafatu lil Hawadits (Berbeda dengan Makhluk): Ini adalah penegasan kembali dari "Laisa kamitslihi syai'un". Allah tidak serupa dengan apapun, baik dari segi zat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Tangan, mata, wajah, atau cara bersemayam-Nya sama sekali tidak bisa disamakan dengan makhluk.
- Qiyamuhu bi Nafsihi (Berdiri Sendiri): Allah tidak bergantung pada apapun dan tidak membutuhkan apapun. Sebaliknya, seluruh makhluklah yang bergantung sepenuhnya kepada-Nya.
- Wahdaniyyah (Esa/Tunggal): Allah Maha Esa dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Tidak ada tuhan selain Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya. Ini adalah inti dari ajaran tauhid.
- Qudrat (Berkuasa): Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kekuasaan-Nya tidak terbatas.
- Iradat (Berkehendak): Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah atas kehendak-Nya. Tidak ada yang terjadi di luar Iradat-Nya.
- 'Ilm (Mengetahui): Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, seperti yang telah dijelaskan pada nama Al-'Alim.
- Hayat (Hidup): Allah Maha Hidup, dengan kehidupan yang sempurna, tidak didahului oleh ketiadaan dan tidak akan diakhiri oleh kematian. Kehidupan-Nya adalah sumber dari segala kehidupan.
- Sama' (Mendengar): Allah Maha Mendengar. Pendengaran-Nya meliputi segala suara, bahkan yang paling lirih sekalipun, tanpa memerlukan alat pendengaran seperti makhluk.
- Bashar (Melihat): Allah Maha Melihat. Penglihatan-Nya meliputi segala sesuatu, bahkan semut hitam di atas batu hitam di malam yang kelam, tanpa memerlukan organ penglihatan.
- Kalam (Berfirman): Allah berbicara, namun cara-Nya berbicara tidak seperti makhluk yang memerlukan lisan dan suara. Al-Qur'an adalah manifestasi dari Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Tujuh sifat terakhir (Qudrat hingga Kalam) memiliki konsekuensi logis, yaitu keadaan-Nya yang senantiasa Berkuasa (Kaunuhu Qadiran), Berkehendak (Kaunuhu Muridan), Mengetahui (Kaunuhu 'Aliman), Hidup (Kaunuhu Hayyan), Mendengar (Kaunuhu Sami'an), Melihat (Kaunuhu Bashiran), dan Berfirman (Kaunuhu Mutakalliman). Ini melengkapi 20 sifat wajib yang menjadi dasar pemahaman.
Sifat Mustahil dan Sifat Jaiz
Untuk melengkapi pemahaman, kita juga perlu mengetahui kebalikannya. Sifat Mustahil adalah lawan dari 20 Sifat Wajib. Mustahil bagi Allah untuk tidak ada ('Adam), memiliki permulaan (Huduts), binasa (Fana'), serupa dengan makhluk (Mumatsalatu lil Hawadits), dan seterusnya. Memahami sifat mustahil memperkokoh keyakinan kita akan kesempurnaan-Nya.
Adapun Sifat Jaiz adalah sifat yang boleh (mungkin) bagi Allah untuk melakukan atau tidak melakukannya. Sifat ini hanya ada satu, yaitu: "Fi'lu kulli mumkinin au tarkuhu" (Melakukan segala sesuatu yang mungkin terjadi atau tidak melakukannya). Artinya, Allah memiliki kebebasan absolut untuk menciptakan atau tidak menciptakan, memberi rezeki kepada si A atau tidak, menjadikan sesuatu terjadi atau tidak. Semua ini didasari oleh Iradat (kehendak) dan Hikmah (kebijaksanaan)-Nya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Gambaran Allah dalam Al-Qur'an: Ayat Kursi sebagai Puncak Deskripsi
Al-Qur'an sendiri memberikan deskripsi yang luar biasa agung tentang Allah. Salah satu ayat yang paling dikenal dan dianggap sebagai ayat teragung dalam Al-Qur'an adalah Ayat Kursi (QS. Al-Baqarah: 255). Ayat ini secara komprehensif merangkum banyak sifat kesempurnaan Allah.
"Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." QS. Al-Baqarah: 255
Mari kita bedah keagungan ayat ini. Ayat ini dimulai dengan penegasan tauhid (La ilaha illa Huwa), diikuti dengan sifat Al-Hayyu (Maha Hidup) dan Al-Qayyum (Maha Mandiri dan terus-menerus mengurus makhluk). Lalu, dinafikan sifat kekurangan yang biasa ada pada makhluk: "tidak mengantuk dan tidak tidur," sebuah penegasan akan kesempurnaan pengawasan-Nya.
Selanjutnya, ditegaskan kepemilikan-Nya yang absolut atas alam semesta (Lahu ma fis samawati wa ma fil ardh). Kekuasaan-Nya begitu besar sehingga tidak ada yang bisa menjadi perantara tanpa izin-Nya. Ilmu-Nya yang sempurna digambarkan dengan frasa "Ya'lamu ma baina aidihim wa ma khalfahum," Dia mengetahui apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi, sementara ilmu makhluk sangatlah terbatas.
Puncak keagungan digambarkan dengan kalimat "Wasi'a kursiyyuhus samawati wal ardh," yang sering diterjemahkan sebagai "Kursi-Nya meliputi langit dan bumi." Para ulama menjelaskan bahwa "Kursi" di sini adalah simbol keagungan, kekuasaan, dan ilmu-Nya yang tak terbatas, bukan kursi fisik seperti milik raja. Luasnya alam semesta ini berada dalam genggaman kekuasaan-Nya. Dan mengurus semua itu sama sekali tidak memberatkan-Nya (Wa la ya'uduhu hifzhuhuma). Ayat ini ditutup dengan dua nama agung, Al-'Aliyy (Maha Tinggi) dan Al-'Azhim (Maha Agung), merangkum seluruh deskripsi sebelumnya dalam sebuah kesimpulan yang dahsyat.
Batas Akal dan Pentingnya Iman
Setelah menelusuri nama-nama dan sifat-sifat-Nya, menjadi jelas bahwa "gambaran Allah" dalam Islam bukanlah visual, melainkan pemahaman hati dan akal tentang kesempurnaan-Nya. Akal manusia diberikan peran untuk merenungi ciptaan-Nya sebagai bukti keberadaan dan keagungan-Nya, bukan untuk mencoba menjangkau Zat-Nya. Mencoba membayangkan Zat Allah adalah seperti semut yang mencoba memahami kesadaran manusia, sebuah upaya yang mustahil dan melampaui batas kemampuannya.
Oleh karena itu, Islam mengajarkan untuk melakukan tafakkur (perenungan) terhadap makhluk, bukan terhadap Khaliq (Pencipta). Renungkanlah keteraturan galaksi, kompleksitas sel, atau keajaiban siklus air. Semua itu adalah "tanda-tanda" (ayat) yang menunjuk kepada-Nya. Semakin dalam kita mempelajari sains dan alam, seharusnya semakin dalam pula pengakuan kita akan kebesaran Sang Perancang Agung.
Di sinilah iman (keyakinan) mengambil peran. Setelah akal sampai pada kesimpulan bahwa ada Pencipta yang Maha Sempurna, maka langkah selanjutnya adalah mengimani rincian sifat-sifat-Nya yang disampaikan melalui wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah), meskipun kita tidak dapat menjangkau hakikatnya. Kita beriman bahwa Allah Maha Melihat, namun kita tidak bertanya "bagaimana cara-Nya melihat?". Kita meyakini apa yang Dia sampaikan tentang diri-Nya dan menafikan segala bentuk penyerupaan dengan makhluk. Inilah puncak dari pengagungan dan penyerahan diri.
Kesimpulan: Sebuah Gambaran Konseptual yang Membebaskan
Gambaran Allah dalam ajaran Islam adalah sebuah konsep yang membebaskan jiwa. Ia membebaskan kita dari mitologi, antropomorfisme, dan kebingungan filsafat yang tak berujung. Allah diperkenalkan sebagai Zat Yang Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, Terdahulu, Kekal, dan sama sekali berbeda dari ciptaan-Nya.
Dia dikenal melalui jejak-jejak perbuatan-Nya di alam semesta, melalui keindahan nama-nama-Nya yang menunjukkan spektrum kesempurnaan dari kasih sayang hingga kekuasaan, dan melalui sifat-sifat-Nya yang agung yang dijelaskan dalam wahyu. Ini adalah gambaran yang menumbuhkan rasa cinta, harapan, takut, dan takzim secara seimbang. Cinta karena Dia Ar-Rahman dan Al-Wadud, harapan karena Dia Al-Ghafur, takut karena Dia Al-Jabbar, dan takzim karena Dia Al-'Azhim.
Pada akhirnya, upaya mengenal Allah adalah perjalanan seumur hidup. Semakin kita merenungi nama dan sifat-Nya, semakin kita akan merasa kecil di hadapan keagungan-Nya, dan semakin kita akan memahami tujuan hidup kita: untuk mengabdi kepada-Nya, Sang Pencipta yang Laisa Kamitslihi Syai'un, yang tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya.