Mengenal Hadis Qudsi: Kalam Ilahi yang Penuh Rahmat
Sebuah Jendela Menuju Kasih Sayang Tuhan
Pendahuluan: Di Antara Wahyu Al-Qur'an dan Sabda Nabi
Dalam khazanah keilmuan Islam, wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad ﷺ merupakan sumber utama ajaran dan pedoman hidup. Secara umum, kaum muslimin mengenal dua bentuk utama wahyu: Al-Qur'an, firman Allah yang menjadi mukjizat, dan Hadis Nabawi, yaitu segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah ﷺ. Namun, di antara keduanya, terdapat satu kategori wahyu yang istimewa dan unik, yang dikenal sebagai Hadis Qudsi.
Hadis Qudsi menempati posisi yang sangat khusus. Ia bukanlah bagian dari Al-Qur'an, tetapi maknanya datang langsung dari Allah SWT. Ia juga bukan sekadar sabda Nabi, karena Rasulullah ﷺ hanya bertindak sebagai penyampai firman Tuhannya dalam redaksi beliau sendiri. Ibarat sebuah jembatan, Hadis Qudsi menghubungkan keagungan firman Allah yang termaktub dalam Al-Qur'an dengan kearifan sabda Nabi yang terangkum dalam Hadis Nabawi. Mempelajarinya membuka sebuah pintu untuk memahami sisi lain dari komunikasi ilahiah, sebuah dialog yang penuh dengan rahmat, cinta, dan bimbingan langsung dari Sang Pencipta kepada hamba-hamba-Nya. Artikel ini akan mengupas secara mendalam tentang hakikat Hadis Qudsi, perbedaannya dengan Al-Qur'an dan Hadis Nabawi, ciri-cirinya, serta merenungi beberapa contohnya yang paling menyentuh jiwa.
Definisi dan Hakikat Hadis Qudsi
Untuk memahami Hadis Qudsi secara utuh, kita perlu membedahnya dari segi bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi). Pemahaman ini menjadi fondasi untuk membedakannya dari jenis wahyu lainnya.
1. Pengertian Secara Bahasa dan Istilah
Secara bahasa, kata "Hadis" (حديث) berarti 'perkataan', 'percakapan', atau 'berita'. Sementara itu, kata "Qudsi" (قدسي) merupakan nisbah atau penisbatan kepada kata "Al-Quds" (القدس), yang berarti 'suci'. Jadi, secara harfiah, Hadis Qudsi berarti 'perkataan yang suci'. Penisbatan ini merujuk kepada sumbernya, yaitu Allah SWT, Dzat Yang Maha Suci (Al-Quddus).
Secara istilah, para ulama mendefinisikan Hadis Qudsi sebagai:
Dari definisi ini, kita dapat menarik dua poin kunci:Sesuatu (firman) yang Allah SWT sampaikan kepada Nabi-Nya ﷺ melalui ilham atau mimpi, lalu Nabi ﷺ memberitahukan makna dari firman tersebut dengan ungkapan kata (redaksi) beliau sendiri.
- Sumber Makna: Makna, esensi, dan kandungan berita dalam Hadis Qudsi berasal langsung dari Allah SWT.
- Sumber Redaksi (Lafaz): Redaksi atau susunan kalimat yang digunakan untuk menyampaikan makna tersebut berasal dari Rasulullah ﷺ. Inilah titik pembeda utamanya dengan Al-Qur'an.
2. Perbedaan Mendasar dengan Al-Qur'an
Meskipun sama-sama bersumber dari Allah, terdapat perbedaan fundamental antara Hadis Qudsi dan Al-Qur'an. Kesalahan dalam memahami perbedaan ini dapat mengaburkan batasan antara Kalamullah yang menjadi mukjizat dan firman-Nya yang lain.
- Lafaz dan Makna: Al-Qur'an, baik lafaz (redaksi) maupun maknanya, berasal dari Allah SWT. Jibril menurunkannya persis seperti yang Allah firmankan, dan Nabi Muhammad ﷺ menyampaikannya tanpa mengubah satu huruf pun. Sedangkan Hadis Qudsi, maknanya dari Allah, tetapi redaksinya dari Nabi Muhammad ﷺ. Inilah pendapat mayoritas ulama.
- Status sebagai Mukjizat: Al-Qur'an adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad ﷺ yang menantang seluruh manusia dan jin untuk membuat yang serupa dengannya, dan tantangan itu berlaku hingga akhir zaman. Hadis Qudsi tidak memiliki status kemukjizatan ini.
- Status Ibadah dalam Bacaan: Membaca Al-Qur'an dinilai sebagai ibadah yang berpahala untuk setiap hurufnya. Sebagaimana sabda Nabi, "Aku tidak mengatakan 'Alif Laam Miim' itu satu huruf, tetapi 'Alif' satu huruf, 'Laam' satu huruf, dan 'Miim' satu huruf." Sementara itu, membaca Hadis Qudsi berpahala dari sisi menuntut ilmu dan merenungi maknanya, tetapi tidak ada pahala khusus per huruf seperti Al-Qur'an.
- Penggunaan dalam Salat: Ayat-ayat Al-Qur'an sah dan wajib dibaca dalam salat (seperti Al-Fatihah). Membaca Hadis Qudsi di dalam salat sebagai pengganti ayat Al-Qur'an akan membatalkan salat tersebut.
- Periwayatan: Seluruh ayat Al-Qur'an diriwayatkan secara mutawatir, yaitu melalui jalur periwayatan yang sangat banyak pada setiap generasinya, sehingga mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. Hal ini menjamin keasliannya seratus persen. Di sisi lain, Hadis Qudsi, sama seperti Hadis Nabawi, bisa berstatus mutawatir, ahad, sahih, hasan, bahkan ada yang dha'if (lemah). Oleh karena itu, Hadis Qudsi tetap harus melalui proses kritik sanad dan matan oleh para ahli hadis.
- Penyucian: Seseorang yang dalam keadaan hadas (kecil atau besar) dilarang menyentuh mushaf Al-Qur'an menurut pendapat mayoritas ulama. Aturan ini tidak berlaku seketat itu untuk kitab-kitab yang memuat Hadis Qudsi.
3. Perbedaan dengan Hadis Nabawi
Jika Hadis Qudsi berbeda dengan Al-Qur'an, lalu apa bedanya dengan Hadis Nabawi biasa? Perbedaannya terletak pada sandaran atau sumber konten perkataan tersebut.
Dalam Hadis Qudsi, Nabi Muhammad ﷺ secara eksplisit menyandarkan perkataan itu kepada Allah SWT. Beliau bertindak sebagai perawi pertama yang meriwayatkan langsung dari Tuhannya. Oleh karena itu, rantai sanadnya berakhir pada Allah SWT.
Sementara itu, Hadis Nabawi adalah perkataan yang berasal dari Nabi Muhammad ﷺ sendiri. Meskipun semua yang diucapkan Nabi dalam konteks syariat adalah wahyu yang terbimbing ("Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan." - QS. An-Najm: 3-4), namun isi dan redaksinya merupakan buah dari pemikiran, ijtihad, dan hikmah beliau sebagai seorang Rasul. Beliau tidak menyandarkannya secara langsung kepada Allah dalam bentuk firman.
Ciri-ciri dan Cara Mengenali Hadis Qudsi
Hadis Qudsi memiliki beberapa ciri khas yang membuatnya mudah dikenali, baik dari segi redaksi periwayatan maupun dari segi tema yang diangkat.
1. Frasa Kunci dalam Periwayatan
Cara paling mudah untuk mengidentifikasi sebuah Hadis Qudsi adalah dengan melihat bagaimana Nabi Muhammad ﷺ memulainya. Biasanya, terdapat frasa-frasa baku yang menunjukkan bahwa beliau sedang menukil firman dari Tuhannya. Di antaranya adalah:
- "Rasulullah ﷺ bersabda meriwayatkan dari Rabb-nya 'Azza wa Jalla..." (قال رسول الله ﷺ فيما يرويه عن ربه عز وجل).
- "Rasulullah ﷺ bersabda: Allah Ta'ala berfirman..." (قال رسول الله ﷺ: قال الله تعالى).
- Atau dalam sanadnya, seorang perawi (misalnya Abu Hurairah) berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda..." lalu di tengah-tengahnya disebutkan "Allah berfirman...".
Frasa-frasa ini menjadi penanda yang jelas bahwa konten yang disampaikan bukanlah observasi atau ijtihad pribadi Nabi, melainkan sebuah firman langsung dari Allah SWT.
2. Fokus Tema dan Gaya Bahasa
Selain dari redaksi periwayatannya, Hadis Qudsi juga memiliki kekhasan dari sisi konten. Jika Al-Qur'an mencakup segala aspek kehidupan mulai dari akidah, ibadah, hukum (fiqh), muamalah, hingga kisah-kisah umat terdahulu, maka Hadis Qudsi cenderung lebih fokus pada aspek-aspek tertentu.
Tema-tema yang dominan dalam Hadis Qudsi adalah:
- Rahmat dan Ampunan Allah: Banyak Hadis Qudsi yang berbicara tentang betapa luasnya rahmat, ampunan, dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Ini bertujuan untuk menumbuhkan harapan (raja') dan mencegah keputusasaan.
- Motivasi Beribadah dan Berakhlak Mulia: Hadis-hadis ini sering kali berbicara tentang keutamaan suatu amal, ganjaran yang besar, dan bagaimana Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang taat dan berbuat baik.
- Keagungan dan Kebesaran Allah: Menggambarkan sifat-sifat keagungan (jalal) dan keindahan (jamal) Allah untuk menumbuhkan rasa pengagungan, takwa, dan cinta dalam hati seorang hamba.
- Dialog Intim: Gaya bahasanya sering kali menggunakan kata ganti orang pertama ("Aku", "Wahai hamba-Ku"), yang menciptakan nuansa dialog yang sangat personal dan menyentuh antara Allah dan hamba-Nya. Ini berbeda dengan gaya bahasa Al-Qur'an yang sering kali menggunakan kata ganti orang ketiga ("Dia") atau berbicara secara umum.
Sangat jarang ditemukan Hadis Qudsi yang membahas rincian hukum fiqh seperti tata cara salat, zakat, atau haji. Fokusnya lebih pada pembangunan spiritual, pemurnian jiwa (tazkiyatun nafs), dan penguatan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya.
Contoh-contoh Hadis Qudsi dan Penjelasannya
Untuk merasakan kedalaman makna dan keindahan Hadis Qudsi, cara terbaik adalah dengan merenungi langsung beberapa contohnya. Berikut adalah beberapa Hadis Qudsi yang sangat populer beserta penjelasan singkatnya.
Hadis 1: Aku Sesuai Prasangka Hamba-Ku kepada-Ku
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, "Allah Ta'ala berfirman: Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya di dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di tengah-tengah kumpulan orang, maka Aku akan mengingatnya di tengah-tengah kumpulan yang lebih baik dari mereka. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Dan jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari." (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan dan Pelajaran:
Hadis ini adalah salah satu hadis yang paling menanamkan optimisme dan harapan dalam jiwa seorang mukmin.
- Pentingnya Husnuzan (Baik Sangka): Kalimat pembuka, "Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku," adalah kaidah emas dalam berhubungan dengan Allah. Jika seorang hamba yakin bahwa Allah Maha Pengampun, maka Allah akan mengampuninya. Jika ia yakin Allah akan menolongnya, maka pertolongan Allah akan datang. Sebaliknya, jika ia berburuk sangka, pesimis, dan merasa Allah tidak akan membantunya, maka ia telah menutup pintu rahmat itu dengan tangannya sendiri. Ini mengajarkan kita untuk selalu memelihara prasangka baik kepada Allah dalam segala kondisi, baik saat berdoa, bertaubat, maupun menghadapi ujian.
- Kebersamaan Allah (Ma'iyyatullah): Frasa "Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku" menunjukkan sebuah kebersamaan khusus yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang berzikir. Ini bukan sekadar kebersamaan dalam artian ilmu (Allah mengetahui segalanya), tetapi kebersamaan dalam bentuk pertolongan, bimbingan, perlindungan, dan rahmat. Semakin sering seorang hamba mengingat Allah, semakin ia merasakan kehadiran dan pertolongan-Nya dalam hidup.
- Respon Allah yang Berlipat Ganda: Bagian akhir hadis ini menggambarkan betapa cepat dan besarnya respons Allah terhadap setiap langkah kebaikan hamba-Nya. Usaha hamba yang kecil (mendekat sejengkal) dibalas Allah dengan respons yang jauh lebih besar (mendekat sehasta). Kecepatan langkah hamba (berjalan) dibalas dengan kecepatan yang tak terhingga dari Allah (berlari). Ini adalah metafora yang indah untuk menunjukkan bahwa kasih sayang dan rahmat Allah selalu lebih dahulu dan lebih besar daripada usaha hamba-Nya.
Hadis 2: Wahai Hamba-Ku, Aku Haramkan Kezaliman
Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu 'anhu, dari Nabi ﷺ, dalam apa yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya 'Azza wa Jalla, bahwa Dia berfirman: "Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku telah menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi. Wahai hamba-Ku, kalian semua adalah sesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya. Wahai hamba-Ku, kalian semua adalah lapar kecuali orang yang Aku beri makan, maka mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya. Wahai hamba-Ku, kalian semua adalah telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa di waktu malam dan siang, dan Aku mengampuni semua dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian..." (HR. Muslim)
Penjelasan dan Pelajaran:
Hadis yang panjang ini (kutipan di atas hanya sebagian) adalah piagam agung tentang tauhid, keadilan, dan betapa fakirnya manusia di hadapan Allah yang Maha Kaya.
- Dasar Keadilan Universal: Allah memulai dengan mendeklarasikan bahwa Dia mengharamkan kezaliman bahkan atas diri-Nya sendiri. Ini adalah pernyataan yang luar biasa, karena Allah Maha Kuasa berbuat apa saja. Namun, karena sifat-Nya yang Maha Adil, Dia memilih untuk tidak pernah berbuat zalim. Deklarasi ini menjadi fondasi bahwa keadilan adalah prinsip utama dalam Islam, dan larangan berbuat zalim kepada sesama makhluk adalah konsekuensi logisnya.
- Pengakuan Ketergantungan Total: Hadis ini secara sistematis mengingatkan manusia akan ketergantungan mutlaknya kepada Allah dalam segala hal: petunjuk, makanan, pakaian, dan ampunan. Manusia pada hakikatnya tidak memiliki apa-apa. Semua adalah pemberian dari Allah. Pengakuan ini akan melahirkan sikap tawadhu (rendah hati) dan memupus kesombongan.
- Pintu Permintaan yang Selalu Terbuka: Di setiap pernyataan tentang kebutuhan manusia, Allah selalu menyertainya dengan perintah "maka mintalah kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya". Ini adalah penegasan bahwa pintu doa dan permintaan selalu terbuka lebar. Allah tidak hanya memberitahu kita tentang kelemahan kita, tetapi juga langsung memberikan solusinya: memintalah hanya kepada-Nya. Ini adalah esensi dari tauhid uluhiyyah, yaitu mengesakan Allah dalam peribadahan dan permohonan.
Hadis 3: Kecintaan Allah kepada Hamba yang Mendekatkan Diri
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman: Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang terhadapnya. Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada amalan yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan senantiasalah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah (nawafil) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk memukul, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, pasti akan Aku beri. Dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, pasti akan Aku lindungi." (HR. Bukhari)
Penjelasan dan Pelajaran:
Hadis ini sering disebut sebagai "hadis wali" dan menjadi pegangan utama bagi para pencari jalan spiritual (suluk) untuk mencapai derajat kecintaan Allah.
- Prioritas Amalan Wajib: Hadis ini menegaskan sebuah prinsip fundamental dalam beribadah: amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang Dia wajibkan (fardhu). Salat lima waktu lebih utama dari salat sunnah ribuan rakaat. Puasa Ramadan lebih utama dari puasa sunnah sepanjang tahun. Ini adalah pengingat agar tidak sibuk dengan yang sunnah hingga melalaikan yang wajib. Fondasi harus kokoh sebelum membangun hiasan.
- Jalan Meraih Cinta Allah: Setelah yang wajib tertunaikan dengan sempurna, jalan untuk meraih level cinta (mahabbah) dari Allah adalah dengan konsisten melakukan amalan-amalan sunnah (nawafil). Amalan sunnah adalah ekspresi cinta dan kerinduan seorang hamba yang tidak puas hanya dengan menunaikan kewajiban.
- Buah dari Cinta Allah: Puncak dari hadis ini adalah gambaran indah tentang apa yang terjadi ketika Allah telah mencintai seorang hamba. "Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya..." bukanlah berarti penyatuan wujud (ittihad/hulul), melainkan sebuah kiasan (majaz) yang agung. Artinya, seluruh indra dan gerak-gerik hamba tersebut akan senantiasa berada dalam bimbingan, taufik, dan penjagaan Allah. Pendengarannya hanya akan mau mendengar yang diridhai-Nya, matanya hanya melihat yang halal, dan tangannya hanya berbuat kebaikan. Ini adalah tingkat penjagaan ilahi yang luar biasa, di mana doa-doanya menjadi mustajab dan ia senantiasa dalam perlindungan-Nya.
Kedudukan dan Urgensi Mempelajari Hadis Qudsi
Mempelajari Hadis Qudsi bukan sekadar menambah wawasan intelektual, tetapi memiliki dampak spiritual yang mendalam bagi seorang muslim. urgensinya terletak pada beberapa poin berikut:
- Memperkuat Akidah dan Ma'rifatullah: Hadis Qudsi membuka jendela untuk mengenal Allah (ma'rifatullah) dari sudut pandang yang lebih personal. Kita belajar tentang sifat-sifat-Nya seperti Ar-Rahman, Al-Ghafur, Al-Wadud (Maha Penyayang, Pengampun, Mencintai) melalui "ucapan"-Nya sendiri. Ini memperkuat fondasi akidah dan menumbuhkan keyakinan yang kokoh.
- Membangun Hubungan Personal dengan Allah: Gaya bahasanya yang sering menggunakan kata ganti orang pertama ("Aku," "Wahai hamba-Ku") menciptakan perasaan seolah-olah Allah sedang berbicara langsung kepada kita. Ini membantu membangun hubungan yang lebih intim, personal, dan penuh cinta dengan Sang Pencipta, bukan sekadar hubungan formal antara hamba dan Tuhan.
- Sumber Motivasi dan Inspirasi: Janji-janji Allah yang agung, gambaran rahmat-Nya yang tak terbatas, dan penghargaan-Nya terhadap amal sekecil apa pun menjadi sumber motivasi yang luar biasa untuk terus beribadah, berbuat baik, dan tidak pernah putus asa dari rahmat-Nya.
- Pelengkap Pemahaman Al-Qur'an dan Hadis Nabawi: Hadis Qudsi sering kali memberikan penjelasan atau penekanan pada tema-tema yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an. Ia memberikan dimensi emosional dan spiritual yang melengkapi dimensi hukum dan kisah dalam Al-Qur'an. Ia menjadi jembatan yang indah antara keagungan Al-Qur'an dan teladan praktis dalam Hadis Nabawi.
Kesimpulan
Hadis Qudsi adalah sebuah kategori wahyu yang istimewa, sebuah permata dalam warisan kenabian. Ia adalah firman Allah yang disampaikan dengan lisan mulia Rasulullah ﷺ, membawa pesan-pesan suci yang ditujukan langsung ke dalam hati setiap hamba. Dengan memahami definisinya, perbedaannya dengan Al-Qur'an, serta merenungi contoh-contohnya, kita dapat merasakan betapa dekatnya Allah dengan kita, betapa luasnya rahmat-Nya, dan betapa besar keinginan-Nya agar kita kembali kepada-Nya.
Mempelajari Hadis Qudsi adalah sebuah perjalanan spiritual untuk menyelami samudra kasih sayang ilahi. Ia mengajarkan kita untuk selalu berbaik sangka kepada Tuhan, menyadari ketergantungan total kita kepada-Nya, dan terus berusaha mendekatkan diri melalui jalan ibadah yang telah Dia tetapkan. Semoga dengan merenunginya, hati kita semakin lembut, iman kita semakin kuat, dan langkah kita semakin mantap di atas jalan yang diridhai-Nya.