Hamzah bin Abdul Muthalib: Auman Sang Singa Padang Pasir

Ilustrasi Singa dan Pedang Sebuah ilustrasi yang menggabungkan kepala singa yang gagah dengan sebilah pedang Arab melengkung, melambangkan julukan Hamzah bin Abdul Muthalib sebagai 'Singa Allah' dan kehebatannya sebagai seorang pejuang. أسد الله

Di hamparan pasir Jazirah Arab, di tengah masyarakat yang mengagungkan kekuatan dan keberanian, lahir seorang tokoh yang namanya kelak akan terukir abadi dalam sejarah. Dia bukan sekadar pejuang, melainkan perwujudan dari kegagahan, kehormatan, dan kesetiaan. Dialah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman sekaligus saudara sepersusuan Sang Nabi terakhir, Muhammad. Julukannya menggetarkan jiwa: Asadullah wa Asadu Rasulihi, Singa Allah dan Singa Rasul-Nya. Kisahnya adalah epik tentang transformasi seorang ksatria Quraisy yang disegani menjadi perisai utama bagi sebuah risalah agung.

Ksatria Quraisy dan Pemburu Ulung

Jauh sebelum cahaya kenabian menyinari Mekkah, nama Hamzah bin Abdul Muthalib telah menjadi buah bibir. Ia adalah putra dari Abdul Muthalib, pemimpin suku Quraisy yang paling dihormati, menjadikannya seorang bangsawan tulen. Postur tubuhnya tegap, kuat, dan mengesankan. Wajahnya memancarkan ketegasan, sementara sorot matanya tajam laksana elang padang pasir. Hamzah adalah personifikasi dari ksatria Arab pada masanya: pemberani, terus terang, dan memegang teguh kehormatan suku dan keluarga di atas segalanya.

Salah satu kegemaran terbesarnya adalah berburu. Baginya, berburu bukan sekadar aktivitas mengisi waktu luang, melainkan sebuah arena untuk menguji ketangkasan, kekuatan, dan nalurinya. Setiap kali kembali dari perburuan dengan membawa hasil yang melimpah, ia tidak langsung pulang ke rumahnya. Ritualnya adalah berjalan gagah menuju Ka'bah, melakukan thawaf, lalu duduk bersama para pemuka Quraisy lainnya. Ia menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat, dan kehadirannya selalu disambut dengan decak kagum. Di kalangan pemuda Mekkah, Hamzah adalah idola, simbol dari kekuatan fisik dan status sosial yang tinggi.

Karakternya yang paling menonjol adalah keadilan dan ketidaksukaannya pada penindasan. Meskipun hidup dalam tatanan masyarakat jahiliyah, hatinya secara alami condong pada perlindungan terhadap yang lemah. Siapapun yang berani berbuat zalim di hadapannya akan merasakan akibatnya. Ia tidak segan menggunakan kekuatannya untuk membela mereka yang teraniaya, menjadikan namanya dihormati sekaligus ditakuti. Ia adalah penjamin keamanan bagi banyak orang, dan kata-katanya memiliki bobot yang setara dengan keputusan seorang hakim di kalangan sukunya.

Titik Balik: Kemarahan yang Membuka Pintu Hidayah

Ketika keponakannya, Muhammad, mulai menyampaikan risalah tauhid, Hamzah pada awalnya tidak terlalu ambil pusing. Ia melihatnya sebagai urusan internal keluarga dan belum merasakan urgensi untuk terlibat. Ia menghormati Muhammad sebagai seorang pemuda yang jujur dan berakhlak mulia, namun ajaran baru yang dibawanya terasa asing. Hamzah tetap melanjutkan kehidupannya seperti biasa, dengan perburuan dan posisinya di antara para bangsawan Quraisy.

Namun, takdir telah menyiapkan sebuah momen dramatis yang akan mengubah jalan hidupnya selamanya. Suatu hari, seperti biasa, Hamzah pulang dari perburuan panjang di padang pasir. Panah tersandang di bahu, wajahnya memancarkan kepuasan. Saat memasuki gerbang kota Mekkah, seorang budak perempuan milik Abdullah bin Jud'an menghampirinya dengan napas terengah-engah. Wajah perempuan itu pucat, suaranya bergetar saat menyampaikan sebuah berita yang menyulut api dalam dada sang Singa Quraisy.

Perempuan itu menceritakan bagaimana Abu Jahal, salah satu musuh paling sengit dakwah Islam, telah mencegat Muhammad di dekat bukit Shafa. Dengan penuh kebencian, Abu Jahal mencaci maki, menghina ajaran yang dibawa Muhammad, bahkan dengan keji melemparkan batu hingga melukai kepala Sang Nabi. Muhammad, dengan kesabarannya yang luar biasa, tidak membalas dan hanya berlalu pulang menahan sakit dan perih di hati.

Mendengar cerita itu, darah Hamzah mendidih. Ini bukan lagi soal agama atau keyakinan. Ini adalah soal kehormatan keluarga! Keponakannya, darah dagingnya sendiri, telah dihina dan dilukai di depan umum. Kemarahan yang meluap-luap menguasai dirinya. Tanpa menunda sejenak pun, bahkan tanpa sempat pulang ke rumah, ia melangkah dengan gegas menuju Ka'bah, tempat Abu Jahal biasa berkumpul dengan para kroninya. Busur panah masih kokoh di tangannya, bukan lagi sebagai alat berburu, tetapi sebagai senjata yang siap menuntut balas.

Di pelataran Ka'bah, ia melihat Abu Jahal sedang duduk dengan angkuh, tertawa-tawa bersama para pembesar Quraisy lainnya. Hamzah mendekat tanpa suara, lalu berdiri menjulang di hadapan Abu Jahal. Tatapan matanya membara. Sebelum Abu Jahal sempat bereaksi, Hamzah mengayunkan busurnya dengan sekuat tenaga dan menghantamkannya ke kepala Abu Jahal. Pukulan itu begitu keras hingga menyebabkan luka yang mengucurkan darah.

"Beraninya engkau mencaci maki keponakanku, padahal aku telah memeluk agamanya dan mengatakan apa yang ia katakan! Sekarang, balaslah aku jika engkau mampu!"

Suara Hamzah menggelegar, membungkam seluruh kerumunan. Pernyataan itu adalah sebuah kejutan besar. Hamzah bin Abdul Muthalib, sang ksatria kebanggaan Quraisy, menyatakan diri memeluk agama Muhammad. Orang-orang di sekitar Abu Jahal bangkit hendak membelanya, namun Abu Jahal, yang menyadari betapa berbahayanya memancing amarah Hamzah lebih jauh, menahan mereka. "Biarkan Abu Umarah (panggilan Hamzah)," katanya lirih, "aku memang telah menghina keponakannya dengan sangat keterlaluan."

Hamzah melangkah pergi dengan perasaan campur aduk. Kemarahannya telah mendorongnya mengucapkan kalimat syahadat di depan umum. Namun, setelah amarah itu mereda, hatinya mulai bergejolak. Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia merenung, bertanya pada dirinya sendiri. Apakah ia benar-benar beriman, ataukah ucapannya hanya terdorong oleh harga diri dan amarah sesaat? Ia merasa berada di persimpangan jalan yang menentukan. Dalam kegelisahannya, ia berdoa kepada Tuhan, memohon petunjuk dan keteguhan hati. Dan cahaya hidayah pun meresap ke dalam jiwanya. Allah melapangkan dadanya untuk menerima Islam sepenuhnya. Keesokan harinya, ia datang kepada Rasulullah dan menceritakan segala kegelisahannya, lalu dengan tulus dan mantap, ia memperbarui keislamannya. Mekkah kini memiliki seorang pelindung baru.

Perisai Umat: Keislaman Hamzah Mengubah Peta Kekuatan

Kabar keislaman Hamzah menyebar secepat angin di padang pasir. Bagi kaum muslimin yang saat itu masih lemah dan sering mengalami penindasan, berita ini adalah suntikan semangat yang luar biasa. Mereka merasa mendapatkan perisai yang kokoh, seorang pembela yang tidak akan gentar menghadapi siapapun. Kehadiran Hamzah di barisan mereka membuat mereka bisa mengangkat kepala sedikit lebih tinggi. Ibadah yang sebelumnya dilakukan sembunyi-sembunyi, kini mulai bisa dilakukan dengan lebih terbuka.

Sebaliknya, bagi kaum kafir Quraisy, ini adalah sebuah pukulan telak. Mereka kehilangan salah satu pilar kekuatan mereka. Tokoh yang selama ini menjadi kebanggaan mereka, kini justru berdiri di seberang barisan. Rencana mereka untuk menghentikan dakwah Muhammad menjadi jauh lebih sulit. Mereka tahu betul, menyakiti seorang muslim kini berarti berhadapan langsung dengan amukan sang Singa Allah. Abu Jahal dan para pembesar lainnya terpaksa menahan diri. Mereka tidak berani lagi bertindak sewenang-wenang seperti sebelumnya, karena bayangan busur Hamzah selalu menghantui mereka.

Hamzah mendedikasikan seluruh kekuatan dan pengaruhnya untuk melindungi Rasulullah dan kaum muslimin. Ia menjadi garda terdepan, tak pernah ragu menantang siapa saja yang mencoba mengganggu dakwah. Keberaniannya yang legendaris kini disalurkan untuk membela kebenaran. Ia adalah benteng yang tegar, tempat kaum lemah berlindung. Bersama Umar bin Khattab yang juga masuk Islam tidak lama setelahnya, kekuatan kaum muslimin di Mekkah menjadi berlipat ganda. Dua tokoh besar Quraisy yang paling ditakuti kini menjadi pembela utama risalah tauhid. Masa-masa penindasan brutal perlahan mulai mereda, berganti menjadi perang urat syaraf dan strategi politik.

Panglima Perang di Medan Laga

Ketika perintah hijrah datang, Hamzah termasuk di antara mereka yang berhijrah ke Madinah, meninggalkan tanah kelahiran, harta, dan statusnya di Mekkah demi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Di Madinah, sebuah babak baru dalam perjuangan Islam dimulai. Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin (pendatang dari Mekkah) dengan Anshar (penduduk asli Madinah). Hamzah dipersaudarakan dengan Zaid bin Haritsah, mantan budak yang telah diangkat menjadi anak oleh Rasulullah. Ini menunjukkan betapa Islam telah meruntuhkan sekat-sekat status sosial jahiliyah.

Bakat militer Hamzah yang luar biasa tidak disia-siakan. Ia dipercaya oleh Rasulullah untuk memimpin detasemen militer Islam yang pertama. Pasukan kecil yang terdiri dari tiga puluh penunggang kuda dari kaum Muhajirin ini diutus untuk mencegat kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Abu Jahal. Kedua pasukan bertemu di pesisir Laut Merah. Ketegangan memuncak, pedang nyaris terhunus. Namun, pertempuran berhasil dihindari berkat mediasi dari Majdi bin Amr al-Juhani, seorang tokoh dari suku yang bersikap netral. Meskipun tidak terjadi pertumpahan darah, ekspedisi ini menjadi pesan yang jelas bagi Quraisy: umat Islam di Madinah bukan lagi komunitas lemah yang bisa ditindas, melainkan sebuah kekuatan baru yang siap mempertahankan diri.

Kegemilangan di Kancah Badar

Puncak dari kehebatan militer Hamzah terbukti dalam pertempuran besar pertama dalam sejarah Islam, Perang Badar. Pasukan muslim yang berjumlah sekitar tiga ratus orang harus berhadapan dengan pasukan Quraisy yang jumlahnya tiga kali lipat lebih banyak dan bersenjata lengkap. Sebelum pertempuran utama dimulai, tradisi Arab menuntut adanya perang tanding (mubarazah) antara para jagoan dari kedua belah pihak.

Dari barisan Quraisy, majulah tiga ksatria terbaik mereka: Utbah bin Rabi'ah, saudaranya Syaibah bin Rabi'ah, dan putranya Al-Walid bin Utbah. Mereka menantang para pejuang muslim untuk berduel. Tiga pemuda Anshar maju menyambut tantangan, namun para ksatria Quraisy menolak. "Kami tidak punya urusan dengan kalian," teriak mereka, "Keluarkan untuk kami orang-orang yang sepadan dari kaum kami!"

Rasulullah kemudian menunjuk tiga orang dari keluarganya sendiri untuk menghadapi tantangan tersebut. "Bangkitlah, wahai Ubaidah bin al-Harits! Bangkitlah, wahai Hamzah! Bangkitlah, wahai Ali!" Ketiganya segera melangkah maju dengan gagah berani. Hamzah, dengan bulu burung unta yang khas tersemat di dadanya sebagai tanda pengenal di medan perang, langsung berhadapan dengan Syaibah bin Rabi'ah. Pertarungan mereka berlangsung singkat dan menentukan. Dengan satu gerakan cepat dan kuat, laksana singa yang menerkam mangsanya, Hamzah berhasil menumbangkan Syaibah. Di sisi lain, Ali bin Abi Thalib juga berhasil mengalahkan lawannya, Al-Walid. Sementara itu, duel antara Ubaidah dan Utbah berlangsung sengit dan keduanya saling melukai. Melihat saudaranya terluka, Hamzah dan Ali segera membantu Ubaidah dan menghabisi Utbah.

Kemenangan telak dalam perang tanding ini menjadi pukulan psikologis yang berat bagi pasukan Quraisy, sekaligus membangkitkan semangat juang kaum muslimin hingga ke puncaknya. Setelah itu, pertempuran besar pun berkecamuk. Hamzah terjun ke tengah-tengah barisan musuh, mengayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Ia bertarung dengan dua pedang, bergerak lincah dan mematikan. Setiap serangannya menebar ketakutan, setiap gerakannya meruntuhkan pertahanan musuh. Ia menjadi momok yang paling menakutkan bagi kaum Quraisy. Keberaniannya yang luar biasa menjadi inspirasi bagi seluruh pasukan muslim, membawa mereka meraih kemenangan gemilang yang tak terduga di Badar.

Tragedi di Uhud: Puncak Kesyahidan Sang Singa

Kekalahan telak di Badar menyisakan luka dan dendam yang mendalam di hati kaum Quraisy. Mereka bersumpah akan menuntut balas. Salah satu orang yang paling terbakar api dendam adalah Hindun binti Utbah, istri dari Abu Sufyan. Ayahnya (Utbah), pamannya (Syaibah), dan saudaranya (Al-Walid) tewas di Badar, dan Hamzahlah yang menjadi salah satu penyebab utama kematian keluarganya. Hindun menyimpan kebencian yang luar biasa terhadap Hamzah.

Untuk melampiaskan dendamnya, Hindun menyewa seorang budak asal Habasyah (Ethiopia) bernama Wahsyi bin Harb. Wahsyi adalah seorang ahli dalam melempar tombak pendek, dengan akurasi yang hampir tidak pernah meleset. Hindun menjanjikan kemerdekaan dan perhiasan berlimpah kepada Wahsyi jika ia berhasil membunuh Hamzah. Bagi Wahsyi, seorang budak, janji kemerdekaan adalah segalanya. Ia tidak peduli dengan perang atau perseteruan antar suku. Misinya hanya satu: membunuh Hamzah.

Tibalah saatnya pertempuran Uhud. Di awal pertempuran, kaum muslimin kembali menunjukkan keperkasaan mereka. Hamzah, seperti biasa, berada di garis depan, menjadi mesin pembunuh yang tak terhentikan. Ia bertarung dengan gagah berani, merobohkan satu per satu pembawa panji Quraisy. Kehadirannya saja sudah cukup untuk menggetarkan nyali lawan.

Sementara itu, dari kejauhan, sepasang mata terus mengawasinya. Wahsyi tidak ikut bertarung dalam pertempuran terbuka. Ia bersembunyi di balik bebatuan dan semak-semak, mencari celah, menunggu momen yang tepat. Ia adalah seorang pemburu yang sedang mengintai mangsa utamanya. Ia melihat bagaimana Hamzah bergerak lincah, menghancurkan barisan musuh. Ia sabar menanti, karena ia tahu, satu kesempatan saja sudah cukup.

Momen itu pun tiba. Saat Hamzah sedang berduel sengit dengan seorang pejuang Quraisy bernama Siba' bin Abdul Uzza, posisinya sedikit terbuka. Ketika Hamzah berhasil menumbangkan Siba', Wahsyi melihat peluang emas. Dari tempat persembunyiannya, ia mengambil ancang-ancang, mengayunkan lengannya, dan melemparkan tombaknya dengan segenap kekuatan dan keahlian yang ia miliki. Tombak itu melesat di udara, mengarah tepat ke sasaran.

Tombak itu menembus perisai dan mengenai bagian bawah perut Hamzah. Sang Singa Allah tersentak. Ia mencoba bangkit dan berbalik ke arah Wahsyi, namun lukanya terlalu parah. Kekuatannya terkuras habis. Dengan langkah yang terhuyung, ia akhirnya rubuh ke tanah. Jiwa sang pahlawan besar itu pun berpulang ke haribaan Rabb-nya, gugur sebagai syahid.

Setelah pertempuran berbalik dan kaum muslimin terdesak, Wahsyi kembali ke lokasi Hamzah terbaring untuk memastikan kematiannya dan mengambil tombaknya. Ia kemudian melaporkan keberhasilannya kepada Hindun. Namun, tragedi tidak berhenti di situ. Didorong oleh kebencian yang membabi buta, Hindun mendatangi jasad Hamzah yang mulia. Ia melakukan perbuatan yang sangat keji, merusak jasad pahlawan itu, membelah dadanya dan mencoba memakan jantungnya. Sebuah pemandangan yang menunjukkan betapa dalamnya dendam yang tersimpan.

Duka Sang Nabi dan Gelar Abadi "Sayyid al-Syuhada"

Ketika pertempuran usai, Rasulullah berkeliling mencari para sahabatnya yang gugur. Betapa hancur hati beliau ketika menemukan jasad paman yang sangat dicintainya dalam kondisi yang begitu mengenaskan. Rasulullah menangis tersedu-sedu. Kesedihan yang beliau rasakan begitu mendalam, sebuah kehilangan yang takkan pernah tergantikan. Paman yang selalu melindunginya sejak di Mekkah, pahlawan yang menjadi benteng bagi umat, kini telah tiada.

Melihat pemandangan itu, Rasulullah bersabda dengan suara bergetar oleh duka, menunjuk pada jasad Hamzah, "Engkau adalah Sayyid al-Syuhada (Penghulu Para Syuhada)." Gelar agung itu tersemat abadi pada namanya, sebuah pengakuan atas pengorbanan dan kedudukannya yang istimewa di sisi Allah.

Saat Rasulullah dan para sahabat kembali ke Madinah, mereka mendengar suara tangisan para wanita Anshar yang meratapi anggota keluarga mereka yang gugur di Uhud. Rasulullah yang masih dirundung duka yang mendalam berkata, "Akan tetapi, Hamzah tidak ada yang menangisinya." Kalimat itu menyentuh hati para sahabat. Seketika itu juga, para wanita Anshar berhenti menangisi keluarga mereka dan mulai menangisi kesyahidan Hamzah bin Abdul Muthalib, sebagai bentuk cinta dan penghormatan mereka kepada pahlawan besar itu dan untuk meringankan duka Rasulullah. Sejak saat itu, menjadi tradisi di Madinah untuk menangisi Hamzah terlebih dahulu sebelum menangisi syuhada lainnya.

Warisan Sang Singa Allah

Kisah Hamzah bin Abdul Muthalib adalah warisan abadi tentang keberanian, transformasi, dan pengorbanan tertinggi. Ia mengajarkan bahwa kekuatan sejati adalah ketika fisik yang perkasa tunduk pada kebenaran, ketika keberanian digunakan untuk membela yang hak, dan ketika nyawa dipersembahkan untuk sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Dari seorang pemburu dan ksatria kebanggaan jahiliyah, ia berubah menjadi Singa Allah yang aumannya menggetarkan musuh-musuh kebenaran. Namanya akan selalu dikenang sebagai simbol kegagahan yang tanpa kompromi. Ia adalah perisai pertama umat, pahlawan Badar, dan penghulu para syuhada di Uhud. Setiap kali kisah keberanian disebut, nama Hamzah bin Abdul Muthalib akan selalu berada di urutan terdepan, abadi sebagai inspirasi bagi generasi-generasi pejuang kebenaran hingga akhir zaman.

🏠 Homepage