Di belahan timur Indonesia, tepatnya di tanah Bugis dan Makassar, tersimpan sebuah warisan aksara yang kaya dan memesona: Huruf Lontara. Bukan sekadar rangkaian simbol, Lontara adalah cerminan peradaban, pemikiran, dan identitas masyarakat Sulawesi Selatan yang telah bertahan lintas zaman. Keberadaannya menjadi bukti kejayaan intelektual dan budaya nenek moyang yang patut kita jaga kelestariannya.
Aksara Lontara, yang sering disebut juga sebagai Aksara Bugis atau Aksara Makassar, memiliki akar sejarah yang panjang. Diperkirakan muncul pada abad ke-17, Lontara berkembang dari aksara Pallawa dari India, yang merupakan leluhur dari banyak aksara Asia Tenggara. Nama "Lontara" sendiri berasal dari kata bahasa Melayu "lontar" yang merujuk pada daun lontar, media tulis tradisional yang umum digunakan untuk menulis aksara ini pada masa lalu. Daun lontar yang diiris tipis, dikeringkan, lalu dibentuk menjadi gulungan menjadi media utama penyimpanan ilmu pengetahuan, catatan sejarah, karya sastra, hingga hukum adat.
Secara visual, Lontara memiliki bentuk yang unik dan elegan. Berbeda dengan aksara Latin yang cenderung memiliki garis lurus, Lontara didominasi oleh bentuk-bentuk melengkung dan garis vertikal yang tegas. Setiap huruf biasanya terdiri dari satu konsonan yang melekat pada vokal inheren 'a'. Untuk mengubah vokal ini, digunakanlah diakritik atau tanda baca khusus yang diletakkan di atas, di bawah, atau di samping huruf dasar. Sistem penulisan ini mirip dengan aksara-aksara Brahmic lainnya di Asia Selatan dan Tenggara, menunjukkan adanya hubungan historis dan budaya.
Struktur dasar Lontara terdiri dari beberapa jenis huruf: huruf dasar (vokal inheren 'a'), penanda vokal lain (i, u, e, o), tanda untuk menghilangkan vokal (pang-long atau paten), serta beberapa huruf konsonan yang unik dan tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia.
Salah satu keunikan Lontara adalah cara penulisannya. Secara tradisional, Lontara ditulis dari kiri ke kanan, namun beberapa naskah kuno juga ditemukan ditulis dari atas ke bawah dalam kolom-kolom yang rapi. Fleksibilitas dalam arah penulisan ini menambah kekayaan tradisi literasinya.
Sebelum kehadiran alfabet Latin, Lontara adalah alat komunikasi dan rekaman yang esensial bagi masyarakat Bugis-Makassar. Melalui Lontara, berbagai jenis karya tulis dihasilkan. Di antaranya adalah La Galigo, epik puitis terpanjang di dunia yang berisi silsilah, mitologi, hukum, dan ajaran moral. Naskah-naskah lontara juga mencakup Pangrisik (catatan tentang ramalan), Pabbirata (catatan pengobatan), Tallilanga (catatan tentang mantra), serta berbagai karya sastra dan sejarah lainnya.
Lontara bukan hanya digunakan untuk merekam hal-hal spiritual atau sastra, tetapi juga dokumen-dokumen penting seperti perjanjian antar kerajaan, peraturan adat, hingga catatan perdagangan. Keberadaan naskah-naskah ini menjadi bukti sistem pemerintahan yang terorganisir dan masyarakat yang memiliki kesadaran akan sejarah dan identitas mereka.
Seiring perkembangan zaman dan masuknya pengaruh dari luar, penggunaan huruf Lontara perlahan mulai tersisihkan oleh aksara Latin yang lebih umum digunakan dalam pendidikan formal dan komunikasi modern. Banyak generasi muda kini tidak lagi fasih membaca maupun menulis dalam Lontara. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya salah satu warisan budaya terpenting dari tanah Celebes.
Namun, semangat pelestarian aksara Lontara tetap menyala. Berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah, akademisi, hingga komunitas pegiat budaya, terus berupaya menghidupkan kembali Lontara. Program-program edukasi, workshop, lomba menulis, dan publikasi naskah lontara dalam bentuk digital maupun cetak menjadi sarana penting untuk mengenalkan kembali kekayaan aksara ini kepada masyarakat luas, khususnya generasi muda. Kemajuan teknologi juga memungkinkan digitalisasi naskah-naskah lontara kuno, sehingga mudah diakses dan dipelajari oleh siapa saja.
Huruf Lontara adalah lebih dari sekadar aksara; ia adalah denyut nadi budaya, jendela menuju masa lalu, dan jati diri yang tak ternilai harganya. Dengan upaya pelestarian yang berkelanjutan, kita berharap Lontara akan terus lestari, menjadi kebanggaan bagi masyarakat Sulawesi Selatan dan menjadi khazanah kekayaan literasi Nusantara yang mendunia.