Di tengah keragaman khazanah aksara yang dimiliki Indonesia, terdapat sebuah sistem penulisan yang mempesona dan kaya akan sejarah, yaitu huruf Pegon. Aksara ini merupakan adaptasi dari huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan berbagai bahasa daerah di Nusantara, khususnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu. Kehadiran huruf Pegon tidak hanya menjadi bukti interaksi budaya yang mendalam, tetapi juga melestarikan kekayaan sastra dan keilmuan para pendahulu.
Simbol Adaptasi dan Kebijaksanaan
Aksara Pegon mulai dikenal luas pada abad ke-15, seiring dengan penyebaran agama Islam di Nusantara. Para ulama dan santri yang mempelajari kitab-kitab berbahasa Arab membutuhkan cara untuk menuliskan ajaran-ajaran tersebut dalam bahasa lokal agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat luas. Kebutuhan inilah yang melahirkan inovasi penggunaan huruf Arab sebagai dasar penulisan.
Secara linguistik, huruf Pegon bukan sekadar transliterasi semata. Ada modifikasi dan penambahan titik atau tanda baca lain yang disematkan pada huruf-huruf Arab untuk mewakili bunyi-bunyi vokal atau konsonan yang tidak ada dalam bahasa Arab standar, tetapi ada dalam bahasa-bahasa Nusantara. Misalnya, penambahan titik di bawah huruf tertentu untuk menghasilkan bunyi 'ny', 'ng', atau 'c'. Fleksibilitas inilah yang menjadikan huruf Pegon sangat efektif dan adaptif.
Perkembangan huruf Pegon tidak hanya terbatas pada kebutuhan keagamaan. Seiring waktu, aksara ini juga digunakan untuk merekam karya-karya sastra, hikayat, babad, serat, hingga naskah-naskah hukum dan pemerintahan lokal. Banyak manuskrip kuno yang tersimpan di berbagai perpustakaan dan pesantren ditulis menggunakan huruf Pegon, menjadi sumber utama bagi para peneliti sejarah, budaya, dan linguistik.
Keunikan huruf Pegon terletak pada estetikanya. Bentuknya yang kaligrafi dan sering kali dihiasi dengan ornamen-ornamen khas Nusantara memberikan nilai seni tersendiri. Setiap goresan huruf memiliki cerita dan makna mendalam. Bagi komunitas pesantren, huruf Pegon tetap menjadi sarana utama dalam mempelajari dan mendalami kitab-kitab kuning (kitab berbahasa Arab dengan konten keislaman), yang sering kali ditulis dalam format Pegon untuk memudahkan pemahaman santri.
Di era digital modern, eksistensi huruf Pegon menghadapi berbagai tantangan. Perkembangan teknologi dan dominasi aksara Latin dalam pendidikan formal serta media massa sering kali membuat generasi muda kurang familiar dengan aksara ini. Meski demikian, semangat pelestarian terus digaungkan oleh berbagai pihak. Komunitas pegiat budaya, lembaga pendidikan keagamaan, hingga peneliti terus berupaya mengenalkan kembali keindahan dan nilai historis huruf Pegon.
"Huruf Pegon adalah warisan berharga yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Ia mengajarkan kita tentang adaptasi, inovasi, dan kekuatan bahasa dalam melestarikan identitas budaya."
Upaya pelestarian meliputi digitalisasi naskah-naskah Pegon, penyelenggaraan workshop dan pelatihan menulis Pegon, serta integrasi pembelajaran Pegon dalam kurikulum pendidikan non-formal. Tujuannya adalah agar aksara unik ini tidak hanya menjadi artefak sejarah, tetapi tetap hidup dan relevan bagi generasi penerus.
Mempelajari dan memahami huruf Pegon membuka jendela baru untuk mengapresiasi kekayaan intelektual dan kultural leluhur bangsa. Ini adalah pengingat bahwa tradisi penulisan Nusantara memiliki kedalaman dan keindahan tersendiri, yang lahir dari perpaduan unsur lokal dan pengaruh global. Keberadaan huruf Pegon menegaskan bahwa aksara dapat beradaptasi dan menjelma menjadi alat yang kuat untuk mewujudkan pengetahuan dan kebudayaan.