Ibnu Abi Ad-Dunya, nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Sufyan Al-Qurasyi Al-Baghdadi, adalah salah satu tokoh intelektual Muslim paling produktif dan berpengaruh pada abad ke-9 Masehi. Lahir di Baghdad, pusat ilmu pengetahuan dunia saat itu, ia mewarisi semangat keilmuan yang luar biasa dari lingkungan tempat ia dibesarkan. Meskipun namanya mungkin tidak sepopuler para filsuf besar, kontribusi Ibnu Abi Ad-Dunya dalam bidang etika, moralitas, zuhud (asketisme), dan sejarah periwayatan sangatlah fundamental.
Ibnu Abi Ad-Dunya menjalani kehidupan yang didedikasikan sepenuhnya untuk mengumpulkan, menyusun, dan menyebarkan ilmu. Ia hidup pada masa keemasan Kekhalifahan Abbasiyah, sebuah periode di mana Baghdad menjadi mercusuar peradaban. Ia dikenal sebagai seorang *muhaddits* (ahli hadis), sejarawan, dan ulama yang memiliki hafalan kuat serta pemahaman mendalam terhadap tradisi-tradisi Nabi Muhammad SAW. Berbeda dengan beberapa ulama sezamannya yang berfokus pada teologi spekulatif, Ibnu Abi Ad-Dunya memilih jalur yang lebih praktis dan aplikatif: bagaimana seorang Muslim seharusnya menjalani kehidupannya sehari-hari.
Salah satu ciri khas karyanya adalah pendekatannya yang ensiklopedis. Ia sering mengumpulkan riwayat-riwayat pendek, anekdot, nasihat bijak, dan kutipan dari para salaf (pendahulu yang saleh) untuk mendukung setiap tema yang dibahasnya. Pendekatan ini membuatnya sangat disukai oleh pembaca umum yang mencari panduan hidup yang mudah dicerna namun kaya akan hikmah. Ia tidak hanya mencatat hadis, tetapi juga konteks sosial dan moral di balik periwayatan tersebut.
Dikatakan bahwa Ibnu Abi Ad-Dunya menulis lebih dari seratus buku, meskipun banyak di antaranya kini telah hilang atau hanya tersisa dalam bentuk kutipan di karya penulis lain. Karya-karyanya mencakup spektrum yang luas, meliputi topik-topik seperti kesabaran (*As-Shabr*), kesungguhan (*Al-Jidd*), penguasaan diri, bahaya lisan, hingga topik yang sangat mendalam tentang zuhud dan kewalian.
Karya-karya yang masih tersimpan, seperti Kitab Az-Zuhd wal-Wara' (Kitab Tentang Kehidupan Askestis dan Kehati-hatian) dan Kitab Al-Ikhwan (Kitab Tentang Persaudaraan), memberikan jendela penting ke dalam pemikiran etika Islam klasik. Dalam buku-buku ini, ia menekankan bahwa kekayaan sejati seorang mukmin terletak pada kesalehan hatinya dan perilakunya, bukan pada kemewahan duniawi. Ia mengajarkan bahwa kerendahan hati, kepuasan (*qana'ah*), dan penolakan terhadap hal-hal yang meragukan adalah pilar utama kehidupan yang diridhai Allah.
Meskipun ada beberapa kritik mengenai ketelitian sanad (rantai periwayatan) pada beberapa karyanya—sebuah isu yang umum dalam penulisan hadis pada masa itu—para sejarawan sepakat bahwa Ibnu Abi Ad-Dunya adalah seorang yang sangat saleh dan berintegritas. Pengaruhnya terasa hingga berabad-abad kemudian. Para ulama tasawuf dan ahli akhlak sering merujuk pada kompilasi hikmah yang ia kumpulkan. Ia berhasil menjembatani dunia periwayatan hadis yang ketat dengan kebutuhan praktis masyarakat akan nasihat moral yang mendalam.
Ibnu Abi Ad-Dunya membuktikan bahwa seorang cendekiawan tidak harus menjadi penakluk militer atau penguasa politik untuk meninggalkan jejak abadi. Dengan pena dan kertas, ia berhasil membentuk karakter ribuan pembaca melalui koleksi hikmah yang ia teliti dengan cermat. Ia adalah arsitek moral yang karyanya terus relevan dalam menuntun jiwa manusia menuju kesucian dan kedekatan dengan Tuhan, menjadikannya nama yang wajib dikenang dalam khazanah keilmuan Islam.