Perjalanan Keberkahan: Para Ibu Susuan Sang Nabi Terakhir

Ilustrasi seorang ibu menggendong bayi di padang pasir di bawah bulan sabit Kasih Ibu di Awal Kehidupan Ilustrasi seorang ibu menggendong bayi di padang pasir di bawah bulan sabit

Kisah kehidupan Nabi Muhammad ﷺ adalah samudra tak bertepi yang penuh dengan hikmah, pelajaran, dan cahaya. Salah satu babak terpenting yang membentuk fisik, lisan, dan karakter beliau adalah masa-masa awal kehidupannya, terutama saat berada dalam asuhan para ibu susuan. Ini bukan sekadar tradisi, melainkan sebuah rancangan ilahi yang mempersiapkan sang Nabi terakhir untuk tugasnya yang agung.

Tradisi Istirdha’: Mencari Susu di Padang Pasir

Di tengah masyarakat Mekkah, terutama di kalangan bangsawan Quraisy, terdapat sebuah tradisi yang mengakar kuat yang dikenal sebagai istirdha'. Secara harfiah, tradisi ini berarti mencari wanita untuk menyusui. Para keluarga terpandang akan menitipkan bayi-bayi mereka yang baru lahir kepada para wanita dari suku-suku Badui yang hidup di padang pasir (badiyah). Praktik ini bukanlah tanpa alasan; ia didasari oleh berbagai pertimbangan mendalam yang diyakini akan memberikan awal terbaik bagi kehidupan seorang anak.

Pertama, faktor kesehatan menjadi pertimbangan utama. Kota Mekkah, sebagai pusat perdagangan dan ziarah, adalah tempat berkumpulnya banyak orang dari berbagai penjuru. Kondisi ini membuat kota lebih rentan terhadap penyebaran penyakit. Sebaliknya, udara padang pasir yang bersih, kering, dan jauh dari keramaian dianggap sebagai lingkungan yang jauh lebih sehat. Dipercaya bahwa anak-anak yang tumbuh di badiyah akan memiliki fisik yang lebih kuat, tubuh yang lebih kokoh, dan daya tahan yang lebih baik terhadap penyakit. Mereka akan terhindar dari wabah yang sesekali melanda perkotaan.

Kedua, aspek kebahasaan memegang peranan yang sangat penting. Suku-suku Badui di padang pasir dikenal sebagai penjaga kemurnian bahasa Arab. Bahasa mereka fasih, lugas, dan bebas dari pengaruh bahasa asing atau dialek-dialek kaum pendatang yang banyak ditemui di kota dagang seperti Mekkah. Menitipkan anak kepada mereka berarti memberikan kesempatan emas bagi si anak untuk mempelajari bahasa Arab yang paling murni dan fasih (fusha) sejak usia dini. Kemampuan berbahasa yang elok dan tertata adalah sebuah kebanggaan dan tanda kecerdasan bagi orang Arab. Kelak, Nabi Muhammad ﷺ sendiri pernah bersabda tentang hal ini, yang menggarisbawahi betapa pentingnya periode ini dalam membentuk kefasihan lisan beliau.

Ketiga, pembentukan karakter. Kehidupan di padang pasir sangat berbeda dengan kehidupan nyaman di kota. Ia menuntut kemandirian, ketangguhan, kesabaran, dan keberanian. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan ini akan terbiasa dengan alam terbuka, belajar tentang jejak bintang, memahami tabiat hewan ternak, dan merasakan langsung kerasnya kehidupan. Mereka tumbuh menjadi pribadi yang tidak manja, berjiwa bebas, dan memiliki mental yang kuat. Inilah wadah penempaan karakter yang ideal, menjauhkan anak dari kemewahan dan pengaruh negatif kehidupan kota yang mungkin melenakan.

Oleh karena itu, ketika seorang bayi laki-laki agung lahir dari rahim Aminah binti Wahb, bayi yatim yang kelak akan mengubah wajah dunia, tradisi ini pun berlaku baginya. Allah SWT telah menyiapkan sebuah perjalanan istimewa, sebuah pendidikan dini di tangan para wanita mulia yang terpilih untuk menjadi ibu susuannya.

Thuwaibah Al-Aslamiyyah: Sentuhan Kasih Pertama

Sebelum diserahkan kepada kabilah Bani Sa'd di padang pasir, Nabi Muhammad ﷺ pertama kali merasakan air susu selain dari ibundanya, Aminah, dari seorang wanita bernama Thuwaibah Al-Aslamiyyah. Kisahnya singkat namun sarat makna, menunjukkan betapa setiap orang yang menyentuh kehidupan awal sang Nabi diliputi oleh keberkahan.

Thuwaibah adalah seorang hamba sahaya milik paman Nabi, Abu Lahab. Ketika kabar kelahiran Muhammad ﷺ sampai kepada Abu Lahab, ia diliputi kegembiraan yang luar biasa atas kelahiran keponakannya itu. Sebagai ungkapan kebahagiaannya, ia memerdekakan Thuwaibah. Tindakan yang didasari oleh suka cita sesaat ini, menurut beberapa riwayat, memberikan keringanan siksa bagi Abu Lahab di alam barzakh setiap hari Senin, hari di mana keponakannya itu dilahirkan. Ini menunjukkan betapa besar nilai kegembiraan atas kelahiran sang pembawa rahmat.

Setelah dimerdekakan, Thuwaibah mendapat kehormatan menjadi orang pertama yang menyusui Nabi setelah ibunya. Meskipun hanya berlangsung beberapa hari, momen ini menciptakan sebuah ikatan suci, yaitu ikatan persusuan. Melalui air susunya, Thuwaibah tidak hanya menghubungkan dirinya dengan Nabi, tetapi juga menciptakan hubungan kekeluargaan baru. Ia juga menyusui putranya sendiri yang bernama Masruh, dan sebelumnya telah menyusui Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Nabi yang gagah berani. Selain itu, ia juga menyusui Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi.

Dengan demikian, Hamzah bin Abdul Muththalib dan Abu Salamah menjadi saudara sepersusuan bagi Nabi Muhammad ﷺ. Ikatan ini sangat dihormati dalam masyarakat Arab dan memiliki konsekuensi hukum dalam Islam, di mana saudara sepersusuan memiliki status mahram layaknya saudara kandung. Ikatan ini mempererat hubungan antara Nabi dan pamannya, Hamzah, yang kelak menjadi salah satu pilar utama dan pembela Islam yang paling gigih.

Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah melupakan kebaikan Thuwaibah. Sepanjang hidupnya, beliau senantiasa menunjukkan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepadanya. Beliau dan istrinya, Khadijah binti Khuwailid, sering mengirimkan hadiah berupa pakaian dan berbagai kebutuhan lainnya untuk Thuwaibah sebagai bentuk bakti dan penghargaan. Beliau selalu menanyakan kabarnya dan memastikan kehidupannya terjamin. Bahkan setelah hijrah ke Madinah, beliau tetap menjaga silaturahmi ini. Ketika beliau mendapat kabar bahwa Thuwaibah telah wafat, beliau menanyakan tentang putranya, Masruh, untuk melanjutkan kebaikan kepadanya, namun dikabarkan bahwa putranya pun telah tiada.

Kisah Thuwaibah adalah cerminan dari akhlak agung Nabi Muhammad ﷺ. Beliau adalah pribadi yang sangat mengenang budi, tidak pernah melupakan kebaikan sekecil apa pun yang pernah diterimanya. Sentuhan kasih pertama dari Thuwaibah terukir abadi dalam memori sang Nabi, menjadi pelajaran bagi umatnya tentang pentingnya berterima kasih dan memuliakan orang-orang yang telah berjasa dalam hidup kita.

Halimah As-Sa’diyah: Perjalanan Menjemput Keberkahan

Kisah yang paling masyhur dan penuh dengan detail menakjubkan tentang ibu susuan Nabi adalah kisah Halimah binti Abi Dzuaib dari kabilah Bani Sa'd. Kisahnya bukan sekadar tentang menyusui, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang mengubah kehidupan Halimah dan keluarganya selamanya, dipenuhi dengan tanda-tanda keberkahan (barakah) yang menyertai sang bayi mulia.

Musim Paceklik dan Harapan di Kota Mekkah

Pada suatu waktu, negeri Bani Sa'd dilanda musim kemarau dan paceklik yang parah. Tanah menjadi kering kerontang, tumbuhan meranggas, dan hewan ternak kurus kering karena kekurangan makanan dan air susu. Kehidupan terasa begitu sulit. Di tengah kondisi yang getir itu, datanglah musim di mana para wanita dari Bani Sa'd pergi ke Mekkah untuk mencari bayi-bayi dari keluarga terpandang untuk disusui, dengan harapan mendapatkan upah yang dapat membantu meringankan beban ekonomi keluarga mereka.

Halimah berangkat bersama rombongan wanita lainnya. Ia menunggangi seekor keledai betina yang kurus dan lamban, ditemani suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza, dan bayi laki-lakinya yang masih menyusu. Bayinya itu terus-menerus menangis sepanjang perjalanan karena kelaparan, sebab air susu Halimah sendiri sangat sedikit. Mereka juga membawa seekor unta betina tua yang sudah tidak mengeluarkan setetes pun air susu. Perjalanan mereka terasa sangat berat dan melelahkan, tertinggal jauh di belakang rombongan lainnya. Namun, harapan akan rezeki di Mekkah membuat mereka terus melangkah.

Pertemuan dengan Bayi Yatim yang Agung

Setibanya di Mekkah, para wanita dari Bani Sa'd segera menyebar mencari bayi susuan. Satu per satu dari mereka mendapatkan bayi dari keluarga kaya. Namun, ketika mereka ditawari seorang bayi bernama Muhammad bin Abdullah, mereka semua menolaknya. Alasan mereka sederhana dan pragmatis: bayi itu seorang yatim. Ayahnya, Abdullah, telah wafat sebelum ia lahir. Dalam pikiran mereka, seorang anak yatim tidak akan memberikan imbalan yang besar. Harapan mereka akan upah yang melimpah ada pada ayah si bayi. Karena itu, mereka lebih memilih bayi dari keluarga yang ayahnya masih hidup dan kaya raya.

Halimah adalah salah satu yang terakhir tiba dan belum juga mendapatkan bayi. Semua wanita dalam rombongannya telah berhasil mendapatkan anak susuan, dan hanya ia yang bernasib sial. Mereka bersiap-siap untuk kembali ke kampung halaman. Merasa malu dan tidak ingin pulang dengan tangan hampa, Halimah berkata kepada suaminya, "Demi Allah, aku tidak suka pulang bersama kawan-kawanku tanpa membawa seorang bayi pun. Aku akan pergi mengambil bayi yatim itu."

Suaminya yang bijaksana mendukung keputusannya. "Tidak mengapa engkau melakukannya," kata Al-Harits. "Semoga Allah memberikan kita berkah melaluinya." Dengan hati yang mantap, Halimah pun kembali ke rumah Abdul Muththalib, kakek sang bayi, dan menyatakan kesediaannya untuk mengambil Muhammad kecil. Keluarga Abdul Muththalib menyambutnya dengan suka cita.

Tanda-Tanda Keberkahan yang Menakjubkan

Keajaiban dan keberkahan mulai tampak sejak saat pertama Halimah membawa bayi Muhammad ke dalam dekapannya. Ketika ia tiba di tenda persinggahannya dan meletakkan sang bayi di pangkuannya, ia menyodorkan puting susunya. Seketika itu, air susunya yang tadinya kering, mengalir dengan derasnya. Bayi Muhammad menyusu hingga kenyang, dan begitu pula dengan putra kandung Halimah, yang akhirnya bisa tidur dengan nyenyak setelah sekian lama rewel karena kelaparan.

Kejutan tidak berhenti di situ. Suaminya, Al-Harits, bangkit dan mendekati unta betina tua mereka. Betapa terkejutnya ia saat mendapati kantung susu unta itu penuh terisi. Ia segera memerahnya, dan mereka berdua minum sepuasnya hingga kenyang. Malam itu menjadi malam terindah yang pernah mereka lalui. Al-Harits menatap istrinya dengan penuh takjub dan berkata, "Ketahuilah, wahai Halimah, engkau telah mengambil jiwa yang penuh berkah."

Perjalanan pulang mereka pun berubah total. Keledai kurus yang tadinya berjalan terseok-seok di belakang, kini berjalan dengan sangat cepat dan tegap, bahkan mendahului semua keledai lain dalam rombongan. Wanita-wanita lain yang melihatnya merasa heran dan bertanya, "Wahai putri Abu Dzuaib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah ini keledaimu yang kita tunggangi saat berangkat?" Halimah menjawab, "Benar, demi Allah, ini memang keledaiku." Mereka pun bergumam, "Sungguh, ada sesuatu yang luar biasa pada dirinya."

Keberkahan itu terus berlanjut setibanya mereka di negeri Bani Sa'd. Tanah mereka yang tadinya gersang, seketika menjadi subur dan hijau. Kambing-kambing milik Halimah dan suaminya, setiap kali pulang dari penggembalaan pada sore hari, selalu dalam keadaan kenyang dengan perut yang besar dan kantung susu yang penuh. Mereka bisa memerah susu sebanyak yang mereka mau. Sementara itu, ternak milik orang lain tetap kurus, kelaparan, dan tidak menghasilkan susu. Orang-orang Bani Sa'd yang lain sampai menyuruh para penggembala mereka, "Gembalakanlah ternak kalian di tempat penggembala putri Abu Dzuaib menggembalakan ternaknya!" Namun, ternak mereka tetap saja pulang dalam keadaan lapar, sementara ternak Halimah selalu kenyang. Keberkahan itu jelas terlihat dan hanya menyertai keluarga yang mengasuh Muhammad kecil.

Peristiwa Pembelahan Dada (Syaqq As-Sadr)

Muhammad kecil tumbuh dengan pesat, tidak seperti anak-anak lainnya. Perkembangannya begitu cepat dan fisiknya sangat sehat. Ia tumbuh menjadi seorang anak yang kuat dan ceria. Ia biasa bermain bersama saudara-saudara susuannya: Abdullah, Unaisah, dan Syaima'. Syaima', putri tertua Halimah, seringkali bertugas mengasuh dan mengajaknya bermain.

Ketika usianya menginjak beberapa tahun, terjadilah sebuah peristiwa agung yang luar biasa, yang dikenal sebagai peristiwa pembelahan dada (Syaqq As-Sadr). Peristiwa ini merupakan salah satu mukjizat besar yang menandai kemuliaan dan kesucian dirinya sejak kecil.

Pada suatu hari, ketika Muhammad kecil sedang bermain bersama saudara-saudara susuannya di dekat rumah mereka, tiba-tiba datanglah dua orang laki-laki berjubah putih bersih. Dalam riwayat lain disebutkan mereka adalah Malaikat Jibril dan Mikail. Kedua malaikat itu menghampiri Muhammad, memeganginya, dan membaringkannya dengan lembut di atas tanah.

Anak-anak lain yang melihat kejadian itu lari ketakutan. Mereka berlari pulang dan berteriak kepada Halimah dan suaminya, "Muhammad telah dibunuh! Muhammad telah dibunuh!" Mendengar teriakan itu, Halimah dan Al-Harits panik dan segera berlari ke tempat kejadian.

Sementara itu, kedua malaikat tersebut membelah dada Muhammad kecil tanpa rasa sakit sedikit pun. Mereka mengeluarkan hatinya, lalu mengambil segumpal darah hitam dari dalamnya. Salah satu malaikat berkata, "Ini adalah bagian setan darimu." Kemudian, mereka mencuci hati dan rongga dada itu dengan air salju (dalam riwayat lain, air zamzam) yang berada di dalam sebuah bejana emas. Setelah bersih, mereka mengembalikan hati itu ke tempatnya semula dan menutup kembali dadanya tanpa meninggalkan bekas luka sedikit pun.

Ketika Halimah dan suaminya tiba, mereka mendapati Muhammad kecil sedang berdiri sendirian dengan wajah yang pucat pasi, namun ia dalam keadaan baik-baik saja. Mereka memeluknya dengan erat dan bertanya apa yang telah terjadi. Ia pun menceritakan pengalamannya dengan dua sosok berjubah putih itu.

Peristiwa ini membuat Halimah dan suaminya sangat khawatir. Mereka takut sesuatu yang buruk akan menimpa anak asuh mereka yang istimewa itu. Meskipun mereka tahu ia diliputi keberkahan, kejadian luar biasa ini membuat mereka merasa bahwa tanggung jawab mereka telah sampai pada batasnya. Dengan berat hati, mereka memutuskan bahwa inilah saatnya untuk mengembalikan Muhammad kepada ibunya di Mekkah, untuk memastikan ia aman dalam penjagaan keluarganya.

Kembali ke Pangkuan Ibunda

Meskipun berat, Halimah akhirnya membawa Muhammad kembali ke Mekkah. Ia menceritakan semua kejadian aneh dan keberkahan yang ia alami, termasuk peristiwa pembelahan dada, kepada ibunda Aminah. Aminah mendengarkan dengan tenang, tanpa menunjukkan keterkejutan yang berlebihan. Ia kemudian berkata, "Apakah kalian khawatir ia akan diganggu setan? Jangan khawatir, demi Allah, setan tidak akan bisa mengganggunya. Sungguh, anakku ini akan memiliki kedudukan yang agung."

Aminah lalu menceritakan penglihatan-penglihatan menakjubkan yang ia alami saat mengandung Muhammad, di mana ia melihat cahaya keluar dari dirinya yang menerangi istana-istana di Syam. Ia tahu sejak awal bahwa putranya bukanlah anak biasa. Dengan demikian, berakhirlah masa penyusuan Muhammad kecil di perkampungan Bani Sa'd, sebuah periode yang penuh dengan cinta, keberkahan, dan keajaiban ilahi.

Ikatan yang Tak Terputus oleh Waktu

Meskipun masa pengasuhan telah berakhir, hubungan antara Nabi Muhammad ﷺ dengan keluarga Halimah as-Sa'diyah tidak pernah putus. Beliau senantiasa mengenang mereka dengan penuh cinta dan penghormatan.

Setelah beliau menikah dengan Khadijah, Halimah pernah datang mengunjunginya di Mekkah. Ia mengadukan tentang kesulitan hidup dan kekeringan yang melanda negerinya. Tanpa ragu, Nabi Muhammad ﷺ meminta Khadijah untuk memberikan hadiah yang melimpah. Beliau memberinya empat puluh ekor kambing dan seekor unta sebagai bekal perjalanan, sebuah bentuk bakti yang luar biasa kepada wanita yang pernah merawatnya.

Penghormatan tertinggi ditunjukkan beliau setelah diangkat menjadi Nabi. Suatu ketika, Halimah kembali datang mengunjungi beliau. Melihat kedatangan ibu susuannya itu, beliau langsung berdiri menyambutnya dengan penuh hormat. Beliau melepaskan sorbannya (rida') dan menghamparkannya di tanah agar Halimah bisa duduk di atasnya. Pemandangan ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan Halimah di hati beliau. Beliau memperlakukannya layaknya ibu kandungnya sendiri, sebuah teladan agung tentang bagaimana memuliakan orang yang berjasa.

Ikatan kasih sayang juga terjalin dengan saudara-saudara susuannya. Dalam sebuah pertempuran, Syaima', putri Halimah, termasuk di antara para tawanan. Ketika ia dibawa ke hadapan Nabi, ia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah saudara perempuan sepersusuanmu." Nabi bertanya apa buktinya. Syaima' lalu menunjukkan bekas gigitan di punggungnya, yang ia katakan sebagai bekas gigitan Nabi saat masih kecil ketika Syaima' menggendongnya. Nabi pun mengenali tanda itu dan hatinya luluh. Air matanya berlinang. Beliau kembali menghamparkan sorbannya untuk Syaima' dan memberinya pilihan, "Jika engkau mau, tinggallah bersamaku dalam keadaan dimuliakan. Dan jika engkau lebih suka kembali ke kaummu, aku akan memberimu bekal dan mengantarkanmu." Syaima' memilih untuk kembali kepada kaumnya setelah menyatakan keislamannya.

Hikmah Agung di Balik Perjalanan ke Bani Sa'd

Periode kehidupan Nabi di padang pasir bersama Bani Sa'd bukanlah sekadar kebetulan atau tradisi semata. Di dalamnya terkandung hikmah dan rancangan ilahi yang sangat mendalam sebagai bagian dari persiapan (i'dad) kenabian.

Pertama, Penjagaan Fitrah dan Tauhid. Dengan menjauhkannya dari lingkungan Mekkah yang pada saat itu tenggelam dalam kemusyrikan, penyembahan berhala, dan berbagai dekadensi moral, Allah SWT menjaga kesucian fitrah (naluri murni) Muhammad kecil. Ia tumbuh di lingkungan yang lebih alami dan sederhana, jauh dari ritual-ritual paganisme yang merusak akal dan jiwa. Ini adalah karantina spiritual untuk melindungi calon Nabi dari polusi syirik.

Kedua, Pembentukan Fisik dan Karakter yang Tangguh. Seperti yang telah dijelaskan, kehidupan padang pasir adalah sekolah terbaik untuk membentuk fisik yang kuat, mental yang tangguh, dan jiwa yang mandiri. Ia belajar tentang kesederhanaan, kesabaran menghadapi alam, dan keberanian. Karakter ini sangat dibutuhkan untuk memikul beban risalah yang begitu berat di kemudian hari, menghadapi penolakan, intimidasi, dan peperangan.

Ketiga, Penguasaan Bahasa Arab yang Sempurna. Kefasihan lisan adalah modal utama seorang penyampai risalah. Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab yang indah dan memiliki nilai sastra tertinggi. Untuk menyampaikan mukjizat bahasa ini, diperlukan seorang utusan yang memiliki penguasaan bahasa yang sempurna. Dengan tumbuh di lingkungan Bani Sa'd, lisan Nabi Muhammad ﷺ terasah menjadi sangat fasih, jelas, dan indah, sehingga beliau mampu menyampaikan wahyu ilahi dengan cara yang paling efektif dan memukau. Beliau pernah berkata, "Aku adalah orang Arab yang paling fasih di antara kalian, karena aku berasal dari Quraisy dan disusui di Bani Sa'd bin Bakr."

Keempat, Pengenalan pada Kehidupan Gembala. Selama di Bani Sa'd, beliau terbiasa dengan kehidupan menggembala kambing. Profesi ini mengajarkan banyak hal: kesabaran dalam membimbing, kasih sayang kepada yang lemah, kewaspadaan terhadap bahaya, dan tanggung jawab atas amanah. Semua nabi, sebagaimana disebutkan dalam hadis, pernah menjadi penggembala. Ini adalah miniatur dari tugas besar memimpin dan membimbing umat manusia.

Penutup: Cahaya dari Para Ibu

Kisah para ibu susuan Nabi Muhammad ﷺ, dari sentuhan singkat Thuwaibah hingga pengasuhan panjang Halimah, adalah bukti nyata dari penjagaan dan persiapan Allah SWT terhadap utusan-Nya. Mereka bukan sekadar wanita biasa; mereka adalah instrumen pilihan Tuhan untuk merawat, membesarkan, dan membentuk pribadi yang kelak menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Melalui mereka, kita belajar tentang keberkahan yang menyertai sang Nabi, akhlak mulia beliau dalam mengenang budi, serta hikmah ilahi yang tersembunyi di balik setiap peristiwa. Kisah ini mengajarkan kita untuk menghormati para ibu, memuliakan guru, dan menghargai setiap tetes kebaikan yang membentuk diri kita. Perjalanan hidup Nabi Muhammad ﷺ sejak hari pertama adalah lautan pelajaran, dan kisah para ibu susuannya adalah permata yang berkilauan di dalamnya, memancarkan cahaya kasih sayang, keberkahan, dan keteladanan abadi.

🏠 Homepage