Membedah Makna 'Ilmun' Secara Mendalam
Ketika seseorang bertanya tentang ilmun artinya apa, jawaban paling sederhana yang sering muncul adalah "pengetahuan" atau "sains". Namun, jawaban ini, meskipun tidak salah, terasa kurang memadai untuk menangkap kedalaman dan kekayaan makna yang terkandung dalam kata tersebut. Kata 'ilmun' (عِلْمٌ), yang berasal dari bahasa Arab, bukan sekadar istilah teknis untuk akumulasi data atau informasi. Ia adalah sebuah konsep fundamental yang merajut tatanan peradaban, spiritualitas, dan kemanusiaan itu sendiri. Memahami 'ilmun' secara utuh berarti menyelami sebuah samudra makna yang luas, menyentuh aspek etimologi, teologi, filosofi, etika, dan aplikasi praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Artikel ini akan membawa kita dalam sebuah perjalanan untuk membedah konsep 'ilmun' secara komprehensif. Kita akan mulai dari akar katanya, menelusuri bagaimana konsep ini diposisikan dalam sumber-sumber utama peradaban Islam seperti Al-Qur'an dan Hadis, menjelajahi berbagai klasifikasi ilmu yang dibuat oleh para cendekiawan, merenungkan adab atau etika yang harus menyertainya, hingga merefleksikan relevansinya yang abadi di tengah hiruk pikuk era digital modern. Ini adalah upaya untuk melihat 'ilmun' bukan sebagai objek mati yang dihafal, melainkan sebagai cahaya hidup yang membimbing, memberdayakan, dan memanusiakan.
Akar Kata dan Dimensi Linguistik 'Ilmun'
Untuk benar-benar memahami sebuah konsep, langkah pertama yang paling mendasar adalah menelusuri asal-usul katanya. Kata 'ilmun' berasal dari akar kata trikonsonan dalam bahasa Arab: ‘Ain-Lam-Mim (ع-ل-م). Akar kata ini memiliki spektrum makna yang sangat kaya, yang semuanya berkisar pada gagasan tentang mengetahui, menandai, dan membedakan. Dari akar yang sama, lahir berbagai derivasi kata yang saling terkait dan memperkaya pemahaman kita tentang 'ilmun'.
Makna dasar dari ‘Ain-Lam-Mim adalah "mengetahui dengan pasti" (to know with certainty). Ini menyiratkan bahwa 'ilmun' bukan sekadar opini (zhann) atau dugaan, melainkan sebuah pengetahuan yang didasarkan pada bukti, kejelasan, dan keyakinan. Ia adalah pengetahuan yang menghilangkan keraguan dan kebodohan (jahl). Dari sini, kita dapat melihat bahwa 'ilmun' secara inheren membawa kualitas kejelasan dan kepastian.
Derivasi dan Kata Terkait
Beberapa kata turunan dari akar ‘Ain-Lam-Mim membantu kita melihat berbagai wajah dari konsep 'ilmun':
- 'Alim (عَالِمٌ): Bentuk partisip aktif yang berarti "orang yang mengetahui" atau "seorang sarjana/ilmuwan". Ini menunjukkan bahwa 'ilmun' adalah sesuatu yang dimiliki dan dipraktikkan oleh individu.
- Ma'lum (مَعْلُوْمٌ): Bentuk partisip pasif yang berarti "sesuatu yang diketahui". Ini merujuk pada objek dari pengetahuan itu sendiri, entah itu fakta, data, atau sebuah konsep.
- 'Alam (عَالَمٌ): Berarti "dunia" atau "semesta". Hubungannya sangat filosofis; alam semesta adalah tanda-tanda (ayat) atau "penanda" yang menunjukkan keberadaan dan keagungan Sang Pencipta. Dengan mempelajari alam, kita memperoleh 'ilmun' tentang-Nya.
- 'Alamah (عَلَامَةٌ): Berarti "tanda", "simbol", atau "penanda". Ini memperkuat gagasan bahwa pengetahuan diperoleh dengan mengenali dan memahami tanda-tanda, baik yang ada di alam maupun dalam teks suci.
- Ta'lim (تَعْلِيْمٌ): Berarti "proses mengajar" atau "pendidikan". Ini adalah aspek aktif dari penyebaran 'ilmun', di mana pengetahuan ditransfer dari satu orang ke orang lain.
- Muta'allim (مُتَعَلِّمٌ): Berarti "orang yang sedang belajar" atau "murid". Ini adalah peran aktif dari pencari ilmu.
- Mu'allim (مُعَلِّمٌ): Berarti "pengajar" atau "guru". Sosok yang memfasilitasi proses ta'lim.
Dengan melihat jejaring kata ini, kita mulai sadar bahwa 'ilmun' bukanlah konsep yang statis. Ia adalah sebuah ekosistem dinamis yang melibatkan subjek ('alim, muta'allim, mu'allim), objek (ma'lum), proses (ta'lim), dan medium ('alam, 'alamah). Ini adalah sebuah perjalanan aktif untuk mengenali tanda-tanda, memahami realitas, dan mencapai kepastian, bukan sekadar pengumpulan fakta secara pasif.
Kedudukan 'Ilmun' dalam Al-Qur'an: Cahaya Wahyu
Al-Qur'an, sebagai sumber utama ajaran Islam, memberikan tempat yang sangat agung bagi 'ilmun'. Kata 'ilmun' dan derivasinya disebutkan lebih dari 800 kali, menunjukkan betapa sentralnya konsep ini. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sendiri adalah perintah untuk membaca, yang merupakan gerbang utama menuju ilmu.
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. Al-'Alaq: 1-5)
Ayat ini secara eksplisit mengaitkan Tuhan dengan tindakan mengajar ('allama) dan proses memperoleh ilmu melalui perantara seperti pena (qalam), simbol dari segala bentuk pencatatan dan penyebaran pengetahuan. Ini menetapkan sebuah fondasi bahwa aktivitas intelektual adalah sebuah ibadah, sebuah respons terhadap panggilan ilahi.
Peningkatan Derajat bagi Orang Berilmu
Al-Qur'an secara tegas menyatakan bahwa orang yang memiliki 'ilmun' memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Ini bukan tentang status sosial atau kekayaan, melainkan tentang kedekatan dengan kebenaran dan Tuhan.
"...Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadilah: 11)
Derajat yang lebih tinggi ini dapat dipahami dalam beberapa cara. Secara spiritual, ilmu yang benar akan membawa seseorang lebih dekat kepada Tuhannya, karena ia semakin memahami keagungan ciptaan-Nya. Secara intelektual, orang berilmu memiliki kapasitas yang lebih besar untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, yang bermanfaat dan yang merusak. Secara sosial, mereka adalah para pewaris nabi yang memiliki tanggung jawab untuk membimbing masyarakat menuju pencerahan.
Ilmu sebagai Syarat Ketakwaan Sejati
Salah satu ayat yang paling mendalam tentang 'ilmun' mengaitkannya secara langsung dengan rasa takut yang khusyuk kepada Allah (khasyah).
"...Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang-orang yang berilmu)..." (QS. Fatir: 28)
Ini adalah sebuah pernyataan yang revolusioner. Ayat ini tidak mengatakan bahwa yang paling takut kepada Allah adalah yang paling banyak beribadah ritual, melainkan yang paling berilmu. Mengapa? Karena hanya melalui ilmullah seseorang dapat benar-benar mengapresiasi kebesaran, kekuasaan, dan keagungan Allah yang tak terbatas, baik melalui pengamatan alam semesta (kosmologi, fisika, biologi) maupun melalui perenungan atas wahyu-Nya. Semakin dalam ilmu seseorang tentang kompleksitas sel, keteraturan galaksi, atau keindahan bahasa Al-Qur'an, semakin besar pula rasa takjub dan ketundukannya kepada Sang Pencipta. Ketakwaan yang lahir dari ilmu bukanlah ketakwaan buta, melainkan ketakwaan yang tercerahkan.
Perintah untuk Terus Belajar dan Berdoa
Perjalanan mencari ilmu tidak pernah berakhir. Al-Qur'an bahkan mengajarkan doa spesifik kepada Nabi Muhammad SAW untuk memohon tambahan ilmu, yang menunjukkan bahwa ilmu adalah anugerah yang harus senantiasa dicari dan diminta.
"...dan katakanlah: 'Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan'." (QS. Thaha: 114)
Perintah ini berlaku universal bagi seluruh umat manusia. Ia menanamkan semangat belajar seumur hidup (long-life learning) dan kerendahan hati intelektual. Tidak peduli seberapa banyak yang telah kita ketahui, akan selalu ada lebih banyak lagi yang belum kita ketahui. Samudra ilmu Allah tidak akan pernah habis untuk diarungi.
'Ilmun' dalam Perspektif Hadis: Jalan Menuju Surga
Hadis, sebagai catatan perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad SAW, semakin memperjelas dan mendorong pentingnya mencari 'ilmun'. Banyak sekali hadis yang mengangkat kemuliaan ilmu dan para pencarinya.
Kewajiban Menuntut Ilmu
Salah satu hadis yang paling fundamental dan sering dikutip adalah hadis yang menjadikan menuntut ilmu sebagai sebuah kewajiban bagi setiap individu Muslim, tanpa memandang jenis kelamin.
"Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim." (HR. Ibnu Majah)
Kata "wajib" (faridhah) di sini menempatkan aktivitas intelektual pada tingkat yang sama dengan kewajiban ritual seperti shalat dan puasa. Ini menghancurkan dikotomi antara yang sakral dan yang sekuler, antara ibadah dan belajar. Dalam pandangan ini, seorang mahasiswa di laboratorium, seorang insinyur yang merancang jembatan, atau seorang dokter yang mempelajari anatomi tubuh manusia, selama niatnya benar, mereka semua sedang menjalankan sebuah kewajiban agama.
Jalan yang Dimudahkan Menuju Surga
Nabi Muhammad SAW memberikan motivasi spiritual yang luar biasa bagi para penuntut ilmu dengan menjanjikan kemudahan dalam mencapai tujuan akhir setiap mukmin, yaitu surga.
"Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)
Hadis ini memiliki makna literal dan metaforis. Secara literal, Allah akan memberikan kemudahan dan pertolongan dalam proses belajar itu sendiri. Secara metaforis, ilmu yang bermanfaat akan membimbing seseorang untuk melakukan amal saleh, menjauhi larangan, dan pada akhirnya mengantarkannya ke surga. Ilmu menjadi kompas moral dan spiritual yang menavigasi perjalanan hidup.
Warisan Terbaik: Ilmu yang Bermanfaat
Dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, Nabi Muhammad SAW menjelaskan tentang amal yang pahalanya tidak akan terputus bahkan setelah seseorang meninggal dunia. Dari tiga hal yang disebutkan, dua di antaranya berkaitan langsung dengan ilmu.
"Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim)
Ilmu yang bermanfaat (ilmun yuntafa'u bih) adalah warisan yang abadi. Seorang guru yang mendidik murid-muridnya, seorang penulis yang bukunya terus dibaca, atau seorang ilmuwan yang penemuannya terus digunakan oleh generasi berikutnya, mereka semua akan terus menerima aliran pahala. Ini mendorong kita untuk tidak hanya mencari ilmu untuk diri sendiri, tetapi juga untuk menyebarkannya dalam format yang bisa diakses dan dimanfaatkan oleh orang banyak.
Klasifikasi 'Ilmun': Memetakan Samudra Pengetahuan
Menyadari betapa luasnya cakupan 'ilmun', para ulama dan cendekiawan Muslim dari generasi ke generasi berusaha untuk membuat klasifikasi atau pemetaan pengetahuan. Tujuannya adalah untuk memberikan panduan, menetapkan prioritas, dan memahami hubungan antara berbagai cabang ilmu. Terdapat beberapa skema klasifikasi yang terkenal.
1. Berdasarkan Hukum Mempelajarinya: Fardhu 'Ain dan Fardhu Kifayah
Klasifikasi ini dibuat oleh Imam Al-Ghazali dan menjadi sangat populer. Ini membedakan ilmu berdasarkan tingkat kewajiban untuk mempelajarinya.
- Fardhu 'Ain: Ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu Muslim dewasa dan berakal. Kegagalan mempelajarinya akan mendatangkan dosa. Ilmu ini berkaitan langsung dengan keyakinan (aqidah) dan praktik ibadah sehari-hari. Contohnya termasuk pengetahuan dasar tentang keesaan Allah, kenabian, tata cara shalat, puasa, zakat, serta ilmu tentang apa yang halal dan haram dalam kehidupan pribadi. Tujuannya adalah agar setiap individu dapat menjalankan kewajiban agamanya dengan benar.
- Fardhu Kifayah: Ilmu yang wajib ada di dalam sebuah komunitas Muslim. Jika sebagian orang dari komunitas tersebut telah mempelajarinya hingga tingkat yang memadai, maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Namun, jika tidak ada satu pun yang mempelajarinya, maka seluruh komunitas akan menanggung dosa. Ilmu ini mencakup semua disiplin yang diperlukan untuk kemaslahatan dan keberlangsungan peradaban masyarakat. Contohnya sangat luas, seperti ilmu kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi, hukum, fisika, kimia, dan lain-lain. Tanpa para ahli di bidang ini, sebuah masyarakat akan lumpuh dan bergantung pada pihak lain.
Klasifikasi ini secara cerdas mengintegrasikan ilmu-ilmu "agama" dan ilmu-ilmu "dunia" dalam satu kerangka kewajiban. Keduanya sama-sama penting, hanya berbeda dalam skala kewajibannya (individu vs. komunal).
2. Berdasarkan Sumbernya: Ilmu Naqli dan Ilmu 'Aqli
Klasifikasi ini membedakan ilmu berdasarkan sumber utamanya.
- Ilmu Naqli (Transmitted Knowledge): Ilmu yang bersumber dari wahyu atau transmisi otoritatif, yaitu Al-Qur'an dan Hadis. Ilmu ini diterima melalui jalur periwayatan yang sahih. Contohnya adalah ilmu tafsir, ilmu hadis, fiqih, dan sejarah Islam. Akal ('aql) berperan dalam memahami, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari sumber-sumber ini, tetapi tidak menciptakannya.
- Ilmu 'Aqli (Rational Knowledge): Ilmu yang diperoleh melalui penggunaan akal, observasi, eksperimen, dan logika. Ini adalah ilmu-ilmu yang bisa diakses oleh siapa saja, tanpa memandang latar belakang agamanya. Contohnya adalah matematika, logika (mantiq), filsafat, ilmu alam (fisika, biologi), dan ilmu-ilmu sosial. Dalam tradisi Islam, ilmu 'aqli seringkali dipandang sebagai alat untuk lebih memahami 'ilmu naqli dan untuk mengapresiasi keagungan ciptaan Tuhan.
3. Berdasarkan Tujuannya: Ilmu Mahmudah dan Ilmu Madzmumah
Imam Al-Ghazali juga memperkenalkan klasifikasi berdasarkan nilai etis atau tujuan dari ilmu itu sendiri.
- Ilmu Mahmudah (Praiseworthy Knowledge): Ilmu yang terpuji, yaitu semua ilmu yang bermanfaat bagi manusia, baik untuk kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Ini mencakup semua ilmu fardhu 'ain dan fardhu kifayah yang telah disebutkan sebelumnya, selama dipelajari dengan niat yang benar.
- Ilmu Madzmumah (Blameworthy Knowledge): Ilmu yang tercela, yaitu ilmu yang lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaat, atau yang secara eksplisit dilarang. Contohnya adalah ilmu sihir, perdukunan, ilmu yang digunakan untuk menipu, atau perdebatan teologis yang sia-sia dan hanya menimbulkan perpecahan tanpa menghasilkan kebenaran. Ilmu ini tercela bukan karena substansinya semata, tetapi karena tujuan dan dampaknya yang negatif.
Klasifikasi ini memberikan dimensi etis yang kuat pada pencarian ilmu. Ia mengingatkan kita bahwa tidak semua pengetahuan layak untuk dikejar. Seorang penuntut ilmu harus memiliki kebijaksanaan untuk memilih bidang studi yang akan membawa kebaikan bagi dirinya dan masyarakat luas.
Adab dan Etika Menuntut Ilmu: Membingkai Pengetahuan dengan Akhlak
Dalam tradisi Islam, 'ilmun' tidak dapat dipisahkan dari adab (etika, akhlak mulia). Ilmu tanpa adab diibaratkan seperti api tanpa kendali; ia bisa membakar dan menghancurkan. Oleh karena itu, para ulama menekankan pentingnya membekali diri dengan adab sebelum, selama, dan setelah proses menuntut ilmu. Adab ini berfungsi sebagai bingkai yang memastikan ilmu digunakan secara bijaksana dan bertanggung jawab.
1. Niat yang Ikhlas (Sincere Intention)
Ini adalah fondasi dari segala adab. Niat menuntut ilmu haruslah semata-mata karena Allah SWT, untuk mengangkat kebodohan dari diri sendiri dan orang lain, untuk menegakkan kebenaran, dan untuk memakmurkan bumi. Jika niatnya adalah untuk mencari popularitas, kekayaan, jabatan, atau untuk mendebat orang lain demi kesombongan, maka ilmu tersebut kehilangan keberkahannya dan bisa menjadi bumerang bagi pemiliknya.
2. Kerendahan Hati (Tawadhu')
Ilmu sejati akan melahirkan kerendahan hati, bukan kesombongan. Semakin banyak seseorang belajar, semakin ia sadar akan luasnya samudra pengetahuan yang belum ia ketahui. Penuntut ilmu harus bersikap rendah hati di hadapan Tuhannya, gurunya, dan bahkan sesama pelajar. Kesombongan intelektual adalah penghalang terbesar dalam memperoleh ilmu yang berkah.
Pepatah Arab mengatakan, "Ilmu itu ada tiga tahapan. Jika seseorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Jika ia memasuki tahapan kedua, ia akan rendah hati. Dan jika ia memasuki tahapan ketiga, ia akan merasa bahwa ia tidak tahu apa-apa."
3. Menghormati Guru (Mu'allim)
Guru adalah perantara yang membukakan pintu ilmu. Menghormati guru adalah kunci keberkahan ilmu. Rasa hormat ini diwujudkan dengan mendengarkan dengan saksama, tidak memotong pembicaraannya, bertanya dengan sopan, dan mendoakannya. Hubungan antara murid dan guru bukanlah hubungan transaksional, melainkan hubungan spiritual yang penuh rasa hormat dan kasih sayang.
4. Kesabaran dan Ketekunan (Sabr)
Jalan menuntut ilmu adalah jalan yang panjang dan seringkali terjal. Ia membutuhkan kesabaran dalam menghadapi kesulitan memahami materi, ketekunan dalam mengulang pelajaran, dan ketabahan dalam menghadapi berbagai rintangan, baik finansial maupun sosial. Tanpa kesabaran, seseorang akan mudah putus asa di tengah jalan.
5. Mengamalkan Ilmu ('Amal)
Puncak dari ilmu adalah pengamalan. Ilmu yang tidak diamalkan diibaratkan seperti pohon yang tidak berbuah. Ia mungkin indah dipandang, tetapi tidak memberikan manfaat. Mengamalkan ilmu adalah bukti kebenaran dan ketulusan seseorang dalam belajar. Seorang dokter yang menasihati pasien untuk tidak merokok tetapi ia sendiri perokok berat adalah contoh ilmu tanpa amal. Ilmu harus mentransformasi karakter dan perilaku pemiliknya terlebih dahulu sebelum ia bisa mengubah dunia.
6. Menyebarkan Ilmu (Dakwah dan Ta'lim)
Setelah diamalkan, ilmu menjadi amanah yang harus disebarkan. Menyimpan ilmu untuk diri sendiri adalah bentuk kekikiran intelektual. Dengan mengajarkan ilmu kepada orang lain, ilmu tersebut tidak akan berkurang, justru akan semakin kokoh dan berkembang dalam diri sang pengajar. Ini adalah bentuk zakat ilmu yang akan membuatnya semakin berkah dan bermanfaat.
Relevansi Konsep 'Ilmun' di Era Digital Modern
Di era di mana informasi melimpah ruah dan dapat diakses hanya dengan ujung jari, apakah konsep 'ilmun' yang berakar dari tradisi klasik ini masih relevan? Jawabannya adalah, ia tidak hanya relevan, tetapi justru menjadi semakin krusial.
Membedakan Informasi dan 'Ilmun'
Era digital menghadapkan kita pada tsunami informasi. Namun, informasi bukanlah 'ilmun'. Informasi adalah data mentah, sementara 'ilmun' adalah pemahaman yang terstruktur, diverifikasi, dan terinternalisasi yang membawa kepada kebijaksanaan. Konsep 'ilmun' mengajarkan kita untuk tidak sekadar menjadi konsumen informasi, tetapi menjadi pemikir kritis yang mampu menyaring, memverifikasi (tabayyun), menganalisis, dan mensintesis informasi menjadi pengetahuan yang bermanfaat.
Menghadapi Tantangan Disinformasi dan Hoax
Banjir disinformasi dan berita bohong (hoax) adalah salah satu tantangan terbesar saat ini. Prinsip 'ilmun' yang menekankan pada kepastian, bukti, dan kejelasan menjadi benteng pertahanan yang sangat kuat. Ajaran untuk tidak mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan (QS. Al-Isra: 36) adalah panduan etis yang sangat relevan untuk navigasi di dunia maya. Kita didorong untuk selalu bertanya: "Apa sumbernya? Apakah valid? Apa buktinya?"
Integrasi Ilmu dan Etika
Perkembangan sains dan teknologi modern, seperti kecerdasan buatan (AI), rekayasa genetika, dan teknologi nuklir, membawa potensi manfaat yang luar biasa sekaligus risiko yang mengerikan. Di sinilah konsep 'ilmun' yang terintegrasi dengan adab dan etika menjadi sangat penting. Ia mengingatkan para ilmuwan dan teknolog bahwa pengetahuan adalah amanah. Kemajuan teknologi harus selalu dibingkai dengan pertanyaan-pertanyaan etis: "Apakah ini bermanfaat bagi kemanusiaan? Apa dampak jangka panjangnya? Apakah ini sejalan dengan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan?" Tanpa landasan etis, ilmu bisa menjadi alat destruktif yang paling berbahaya.
Mendorong Semangat Belajar Seumur Hidup
Dunia modern berubah dengan sangat cepat. Pekerjaan yang ada hari ini mungkin akan hilang esok hari. Konsep 'ilmun' yang mendorong pembelajaran dari buaian hingga liang lahat (uthlubul 'ilma minal mahdi ilal lahdi) adalah mentalitas yang paling dibutuhkan untuk beradaptasi dan berkembang di abad ke-21. Ia menanamkan rasa ingin tahu yang tak pernah padam dan kemauan untuk terus belajar hal-hal baru sepanjang hayat.
Kesimpulan: 'Ilmun' sebagai Perjalanan Menuju Pencerahan
Kembali ke pertanyaan awal, ilmun artinya apa? Setelah perjalanan panjang ini, kita dapat menyimpulkan bahwa 'ilmun' jauh lebih dari sekadar "pengetahuan". Ia adalah sebuah konsep holistik yang mencakup:
- Sebuah proses aktif untuk mencari kebenaran dan kepastian.
- Sebuah cahaya ilahi yang mengangkat derajat manusia dan membawanya lebih dekat kepada Sang Pencipta.
- Sebuah kewajiban fundamental, baik secara individu maupun kolektif, yang menopang peradaban.
- Sebuah jalan yang dimudahkan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
- Sebuah amanah yang harus diiringi dengan niat yang tulus, adab yang mulia, dan pengamalan yang nyata.
'Ilmun' adalah kunci untuk membuka potensi penuh kemanusiaan. Ia adalah penawar bagi kebodohan, lentera di tengah kegelapan, dan kompas yang mengarahkan kita menuju kebaikan. Memahami dan menghayati makna 'ilmun' secara mendalam adalah langkah pertama dalam perjalanan seumur hidup untuk menjadi manusia yang tercerahkan, bermanfaat, dan pada akhirnya, diridai oleh Tuhan Semesta Alam.