Para Ibunda Orang Beriman: Kisah Agung Istri-Istri Nabi Muhammad SAW
Ummahatul Mukminin, Cahaya Pemandu Umat
Dalam sejarah peradaban Islam, ada sosok-sosok wanita agung yang cahayanya tidak pernah pudar. Mereka adalah para istri Nabi Muhammad SAW, yang Allah SWT anugerahi gelar mulia, Ummahatul Mukminin, atau Ibunda Orang-Orang Beriman. Gelar ini bukan sekadar penghormatan, melainkan penegasan atas kedudukan istimewa mereka sebagai teladan, pendidik, dan sumber ilmu bagi seluruh umat Islam hingga akhir zaman. Kehidupan mereka, yang terjalin erat dengan risalah kenabian, bukanlah sekadar catatan pernikahan biasa, melainkan lembaran-lembaran hikmah yang sarat dengan pelajaran tentang keimanan, kesabaran, pengorbanan, dan cinta sejati.
Pernikahan Rasulullah SAW dengan para ibunda kita ini bukanlah didasari oleh hasrat duniawi, melainkan atas petunjuk ilahi dan untuk tujuan-tujuan yang jauh lebih luhur. Setiap pernikahan membawa misi dakwah yang unik: untuk menguatkan ikatan sosial, membatalkan adat jahiliyah yang keliru, memberikan perlindungan kepada para janda pejuang, serta membuka pintu bagi penyebaran ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin. Melalui rumah tangga beliau, syariat Islam diturunkan dan dicontohkan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari, memberikan panduan lengkap bagi umat manusia dalam membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Mari kita selami samudra hikmah dari kehidupan para wanita mulia ini, satu per satu, untuk memetik mutiara-mutiara keteladanan yang tak ternilai harganya.
Khadijah binti Khuwailid: Cinta Sejati dan Penopang Risalah Pertama
Jika ada satu nama yang terukir paling dalam di hati Rasulullah SAW, maka nama itu adalah Khadijah. Beliau adalah wanita pertama yang dinikahi Nabi, wanita pertama yang beriman pada risalahnya, dan satu-satunya istri yang mendampingi beliau selama masa-masa terberat di awal kenabian. Khadijah bukanlah wanita biasa. Jauh sebelum Islam datang, ia dikenal sebagai At-Thahirah (Yang Suci) karena kemuliaan akhlaknya dan Sayyidatu Quraisy (Pemimpin Wanita Quraisy) karena kecerdasan dan kesuksesannya dalam berbisnis. Ia adalah seorang saudagar kaya raya yang mandiri dan dihormati.
Pertemuan mereka berawal dari hubungan kerja. Terpesona oleh kejujuran dan amanah Muhammad muda yang bergelar Al-Amin (Yang Terpercaya), Khadijah memercayakan urusan dagangnya. Keuntungan besar yang dibawa pulang beserta laporan mengagumkan dari pembantunya, Maisarah, tentang akhlak luar biasa Muhammad selama perjalanan dagang, membuat hati Khadijah terpikat. Melalui perantara, wanita agung yang saat itu berstatus janda ini memberanikan diri untuk menyampaikan keinginan hatinya, sebuah langkah yang sangat berani pada masanya. Pernikahan mereka pun berlangsung, menjadi penyatuan dua insan paling mulia di Makkah.
"Demi Allah, Dia tidak menggantikan untukku yang lebih baik darinya. Ia beriman kepadaku saat orang-orang kufur. Ia membenarkanku saat orang-orang mendustakanku. Ia membantuku dengan hartanya saat orang-orang menahannya. Dan darinyalah aku mendapatkan keturunan."
Peran Khadijah mencapai puncaknya saat wahyu pertama turun. Ketika Nabi Muhammad SAW pulang dari Gua Hira dalam keadaan gemetar dan ketakutan setelah bertemu Malaikat Jibril, Khadijah tidak panik. Dengan kelembutan dan kebijaksanaannya, ia menyelimuti suaminya seraya berucap kata-kata penenang yang legendaris, "Ketenangan bagimu, wahai Abu al-Qasim. Bergembiralah! Demi Allah, Allah tidak akan pernah menghinakanmu selamanya. Engkau adalah orang yang menyambung silaturahmi, menolong yang lemah, memberi kepada yang tak punya, memuliakan tamu, dan menolong orang yang terkena musibah."
Ia adalah orang pertama yang tanpa ragu sedikit pun membenarkan kenabian suaminya. Dukungannya tidak hanya verbal, tetapi total. Seluruh harta kekayaannya ia serahkan untuk perjuangan dakwah. Di saat semua orang mencemooh, ia menjadi peneguh. Di saat seluruh Makkah memusuhi, rumahnya menjadi benteng perlindungan. Selama masa pemboikotan yang kejam oleh kaum Quraisy, ia setia mendampingi Nabi dan kaum muslimin menderita kelaparan dan kesulitan. Hingga akhirnya, setelah bertahun-tahun menjadi pilar utama dakwah, Khadijah wafat. Kepergiannya, bersamaan dengan wafatnya sang paman Abu Thalib, meninggalkan duka yang begitu mendalam bagi Nabi, sehingga masa itu dikenang sebagai 'Amul Huzn (Tahun Kesedihan). Rasulullah SAW tidak pernah berhenti menyebut namanya dan memuliakan sahabat-sahabatnya, bahkan jauh setelah beliau wafat, sebagai bukti cinta abadi yang tak lekang oleh waktu.
Saudah binti Zam'ah: Kebaikan Hati yang Menghibur Lara
Setelah wafatnya Khadijah, rumah Rasulullah SAW terasa sepi dan anak-anak beliau membutuhkan sosok seorang ibu. Atas usulan salah seorang sahabat wanita, Nabi menikahi Saudah binti Zam'ah. Pernikahan ini adalah wujud nyata dari kasih sayang dan perlindungan. Saudah adalah seorang janda yang suaminya wafat setelah kembali dari hijrah ke Habasyah (Ethiopia). Ia adalah seorang wanita muslimah yang taat dan telah berkorban meninggalkan tanah airnya demi mempertahankan iman. Tanpa suami dan berada di tengah kaumnya yang masih memusuhi Islam, posisinya sangat rentan.
Pernikahan dengan Rasulullah SAW adalah sebuah penyelamatan dan penghormatan baginya. Saudah dikenal memiliki kepribadian yang lapang dada, baik hati, dan humoris. Kehadirannya membawa kembali keceriaan dalam rumah tangga Nabi. Ia dengan penuh kasih sayang merawat putri-putri Nabi dan mengelola urusan rumah tangga dengan sangat baik. Ia tidak memiliki kecemburuan yang berlebihan dan sangat memahami kedudukan istri-istri Nabi yang lain, terutama Aisyah. Bahkan, di usianya yang senja, ia dengan ikhlas memberikan jatah malamnya kepada Aisyah, semata-mata karena ia tahu betapa besar cinta Rasulullah kepada Aisyah dan ia hanya ingin tetap menjadi istri Nabi di dunia dan di akhirat. Sikapnya ini menunjukkan tingkat keikhlasan dan pengorbanan yang luar biasa. Ia adalah teladan tentang bagaimana menjadi pribadi yang pemaaf, berhati besar, dan selalu mendahulukan kebahagiaan orang yang dicintai.
Aisyah binti Abu Bakar: Samudra Ilmu dan Kecerdasan yang Cemerlang
Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah sosok yang paling menonjol di antara istri-istri Nabi setelah Khadijah. Pernikahannya dengan Rasulullah SAW terjadi atas perintah Allah melalui mimpi, yang mengukuhkan ikatan mulia antara Nabi dengan sahabat terdekatnya, Abu Bakar. Aisyah tumbuh di bawah bimbingan langsung Sang Nabi, menjadikannya wadah ilmu yang tiada tara. Kecerdasannya yang luar biasa, daya ingatnya yang tajam, dan semangat belajarnya yang tinggi membuatnya mampu menyerap setiap detail ajaran dan kehidupan Rasulullah SAW.
Rumah tangganya dengan Nabi dipenuhi dengan cinta, canda, dan momen-momen pembelajaran. Banyak hadis yang meriwayatkan interaksi mereka yang hangat dan manusiawi, dari lomba lari hingga diskusi-diskusi mendalam tentang berbagai persoalan. Aisyah tidak pernah segan bertanya jika ada sesuatu yang tidak ia pahami, dan dari pertanyaan-pertanyaan kritisnyalah lahir banyak penjelasan hukum dan hikmah bagi umat. Kedekatannya dengan sumber wahyu membuatnya menjadi rujukan utama para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka sering datang kepadanya untuk meminta fatwa atau mengklarifikasi hadis. Aisyah menjadi seorang ahli fiqih, ahli tafsir, dan ahli hadis yang sangat dihormati.
Kehidupannya juga tidak lepas dari ujian berat. Peristiwa Haditsul Ifki (berita bohong besar) adalah fitnah keji yang ditujukan untuk merusak kehormatannya dan rumah tangga Nabi. Selama masa yang sangat sulit itu, ia menunjukkan kesabaran dan tawakal yang luar biasa, hingga Allah SWT sendiri yang menurunkan ayat-ayat Al-Qur'an untuk membersihkan namanya dan menegaskan kesuciannya. Ini adalah bukti nyata kedudukannya yang agung di sisi Allah.
Setelah Rasulullah SAW wafat, Aisyah melanjutkan perannya sebagai pendidik umat selama puluhan tahun. Rumahnya menjadi madrasah pertama bagi para penuntut ilmu. Ia meriwayatkan lebih dari dua ribu hadis, menjadikannya salah satu dari perawi hadis terbanyak. Kontribusinya dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan membentuk fondasi keilmuan Islam tidak dapat dipungkiri. Aisyah adalah bukti bahwa wanita dalam Islam memiliki potensi tak terbatas untuk menjadi seorang intelektual dan pemimpin di bidang keilmuan.
Hafsah binti Umar bin Khattab: Penjaga Wahyu dan Pribadi yang Tegas
Sebagai putri dari Umar bin Khattab, seorang sahabat yang terkenal dengan ketegasan dan keberaniannya, Hafsah mewarisi karakter yang kuat dan lurus. Ia adalah seorang janda yang suaminya gugur sebagai syahid dalam pertempuran. Melihat kesedihan putrinya, Umar menawarkannya kepada Utsman bin Affan dan Abu Bakar, namun keduanya menolak dengan halus. Merasa kecewa, Umar mengadukan hal ini kepada Rasulullah SAW. Nabi pun menghiburnya dengan bersabda bahwa Hafsah akan mendapatkan suami yang lebih baik dari Utsman, dan Utsman akan mendapatkan istri yang lebih baik dari Hafsah. Tak lama kemudian, Rasulullah SAW sendiri yang melamar Hafsah, sebuah kehormatan yang luar biasa bagi Umar dan putrinya.
Pernikahan ini mempererat hubungan antara Nabi dengan dua sahabat utamanya, Abu Bakar (melalui Aisyah) dan Umar (melalui Hafsah). Hafsah dikenal sebagai wanita yang sangat taat beribadah, gemar berpuasa, dan mendirikan salat malam. Ia juga memiliki keistimewaan yang sangat agung, yaitu dipercaya untuk menyimpan naskah asli Al-Qur'an (mushaf) yang pertama kali dikumpulkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Mushaf inilah yang kemudian menjadi rujukan utama saat penggandaan Al-Qur'an di masa Khalifah Utsman bin Affan. Peran Hafsah sebagai penjaga wahyu ilahi ini mengukuhkan namanya dalam sejarah Islam sebagai sosok yang amanah dan memiliki kedudukan tinggi.
Zainab binti Khuzaimah: Ibunda Kaum Miskin
Zainab binti Khuzaimah adalah sosok yang dikenal dengan sifat kedermawanannya yang luar biasa. Jauh sebelum masuk Islam, ia telah mendapatkan julukan Ummul Masakin (Ibunya Orang-Orang Miskin) karena kebiasaannya memberi makan dan menyantuni fakir miskin. Ia adalah janda dari seorang pahlawan yang gugur di medan perang. Rasulullah SAW menikahinya sebagai bentuk penghormatan atas pengorbanan suaminya dan untuk memberikan perlindungan kepadanya.
Kehidupannya bersama Rasulullah SAW sangat singkat. Hanya beberapa bulan setelah pernikahan mereka, Zainab jatuh sakit dan wafat. Meskipun demikian, singkatnya waktu tersebut cukup untuk meninggalkan jejak keharuman namanya sebagai teladan dalam kedermawanan dan kepedulian sosial. Kisahnya mengajarkan bahwa nilai hidup seseorang tidak diukur dari panjangnya usia, tetapi dari seberapa besar manfaat yang ia berikan kepada sesama. Ia adalah bukti bahwa Islam sangat memuliakan sifat welas asih dan kepedulian terhadap kaum yang lemah.
Ummu Salamah (Hindun binti Abi Umayyah): Kebijaksanaan yang Menyelamatkan Umat
Ummu Salamah adalah contoh wanita yang cerdas, bijaksana, dan memiliki keteguhan iman yang kokoh. Bersama suami pertamanya, Abu Salamah, ia termasuk golongan yang pertama masuk Islam dan mengalami berbagai penderitaan, termasuk hijrah ke Habasyah dan kemudian ke Madinah. Ujian terberat datang ketika suaminya, Abu Salamah, wafat akibat luka yang dideritanya dalam perang. Dalam kesedihannya, ia teringat doa yang diajarkan Rasulullah: "Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku ini dan berilah ganti yang lebih baik darinya." Ia sempat berpikir, siapa yang bisa lebih baik dari Abu Salamah? Namun, Allah menjawab doanya dengan cara yang paling indah: Rasulullah SAW datang untuk melamarnya.
Kebijaksanaan Ummu Salamah terbukti dalam salah satu momen paling kritis dalam sejarah Islam, yaitu saat Perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu, para sahabat merasa sangat kecewa karena tidak diizinkan masuk Makkah untuk umrah dan merasa isi perjanjian merugikan kaum muslimin. Mereka menolak untuk melaksanakan perintah Nabi untuk bertahallul (mencukur rambut) sebagai tanda selesainya umrah. Melihat kegundahan Nabi, Ummu Salamah memberikan usulan yang cemerlang. "Wahai Rasulullah, keluarlah dan jangan berbicara dengan seorang pun. Sembelihlah hewan kurbanmu dan panggillah pencukur untuk mencukur rambutmu."
Rasulullah mengikuti saran istrinya. Ketika para sahabat melihat Nabi telah bertahallul, mereka pun segera sadar dan serentak mengikuti jejak beliau. Usulan cerdas Ummu Salamah berhasil meredakan situasi yang tegang dan menyelamatkan umat dari perpecahan. Ini menunjukkan betapa besar peran seorang istri sebagai penasihat dan pendukung suaminya, bahkan dalam urusan kepemimpinan umat. Ummu Salamah hidup lama setelah Nabi wafat dan menjadi salah satu sumber penting dalam periwayatan hadis.
Zainab binti Jahsy: Membatalkan Adat Jahiliyah dengan Perintah Langit
Pernikahan Rasulullah SAW dengan Zainab binti Jahsy, yang merupakan sepupu beliau sendiri, memiliki dimensi syariat yang sangat penting. Sebelumnya, Zainab dinikahkan oleh Nabi dengan Zaid bin Haritsah, mantan budak yang diangkat menjadi anak oleh Nabi. Pernikahan ini bertujuan untuk mendobrak tradisi kasta dan menunjukkan bahwa dalam Islam, kemuliaan seseorang diukur dari ketakwaannya, bukan dari status sosial atau keturunannya.
Namun, pernikahan antara Zainab dan Zaid tidak berjalan harmonis. Perbedaan latar belakang dan karakter membuat mereka tidak menemukan kecocokan. Setelah berbagai upaya mediasi gagal, mereka akhirnya bercerai. Setelah masa iddah Zainab selesai, Allah SWT menurunkan wahyu yang memerintahkan langsung Rasulullah SAW untuk menikahi Zainab. Pernikahan ini memiliki tujuan agung: untuk membatalkan adat jahiliyah yang menganggap anak angkat sama seperti anak kandung, sehingga ayah angkat dilarang menikahi mantan istri anak angkatnya.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an untuk menegaskan bahwa Zaid bukanlah anak kandung Nabi dan pernikahan ini adalah ketetapan-Nya agar tidak ada lagi keraguan bagi kaum mukmin di masa depan. Zainab binti Jahsy sering berbangga di antara istri-istri Nabi yang lain dengan mengatakan, "Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian, sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas tujuh lapis langit." Ia dikenal sebagai wanita yang sangat taat, ahli ibadah, dan sangat dermawan. Ia bekerja dengan tangannya sendiri untuk membuat kerajinan kulit, yang hasilnya ia sedekahkan seluruhnya di jalan Allah.
Juwairiyah binti al-Harits: Pernikahan Pembawa Berkah
Juwairiyah adalah putri dari pemimpin Bani Musthaliq, suku yang diperangi oleh kaum muslimin. Dalam pertempuran itu, kaum muslimin meraih kemenangan dan Juwairiyah menjadi salah seorang tawanan. Sebagai seorang putri raja, ia datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta bantuan menebus dirinya. Rasulullah SAW menawarkan pilihan yang lebih baik: beliau akan membayarkan tebusannya dan menikahinya jika ia bersedia.
Juwairiyah menerima tawaran mulia tersebut. Berita pernikahan ini tersebar dengan cepat di antara para sahabat. Seketika itu juga, mereka berkata, "Bagaimana mungkin kita menahan tawanan yang merupakan kerabat (ipar) Rasulullah?" Maka, semua sahabat membebaskan tawanan dari Bani Musthaliq yang mereka miliki tanpa tebusan. Diperkirakan lebih dari seratus keluarga dibebaskan berkat pernikahan ini.
Ayah Juwairiyah, yang datang membawa unta untuk menebus putrinya, akhirnya masuk Islam bersama para pengikutnya setelah melihat kemuliaan akhlak Nabi dan dampak luar biasa dari pernikahan tersebut. Aisyah pernah berkata, "Aku tidak mengetahui seorang wanita pun yang lebih besar berkahnya bagi kaumnya daripada Juwairiyah." Pernikahannya tidak hanya menyelamatkan dirinya, tetapi juga seluruh kaumnya, mengubah permusuhan menjadi persahabatan, dan membuka pintu hidayah bagi mereka.
Ummu Habibah (Ramlah binti Abi Sufyan): Keteguhan Iman di Negeri Asing
Ummu Habibah adalah putri dari Abu Sufyan, pemimpin Quraisy yang pada saat itu menjadi musuh utama Islam. Meskipun berasal dari keluarga yang sangat memusuhi dakwah, Ramlah memilih untuk beriman dan hijrah ke Habasyah bersama suaminya untuk menyelamatkan agamanya. Ujian berat menimpanya di negeri perantauan ketika suaminya murtad dari Islam. Namun, Ummu Habibah tetap teguh memegang imannya, seorang diri di negeri asing bersama putrinya.
Mendengar berita ini, Rasulullah SAW sangat tersentuh oleh keteguhannya. Beliau kemudian mengirim utusan kepada Raja Najasyi di Habasyah untuk melamarkan Ummu Habibah bagi beliau. Raja Najasyi dengan penuh hormat menyelenggarakan upacara pernikahan mewakili Nabi dan memberikan mahar yang besar. Pernikahan jarak jauh ini merupakan penghormatan yang luar biasa bagi seorang wanita yang telah berkorban begitu besar demi agamanya. Pernikahan ini juga memiliki dampak politis yang signifikan. Ketika berita ini sampai ke telinga Abu Sufyan, hatinya mulai melunak terhadap Islam dan menantu barunya, yang pada akhirnya menjadi salah satu faktor yang memudahkannya untuk menerima Islam di kemudian hari.
Shafiyah binti Huyay: Dari Keturunan Nabi Menjadi Istri Nabi Terakhir
Shafiyah berasal dari garis keturunan yang sangat mulia, yaitu keturunan Nabi Harun AS. Ayahnya adalah pemimpin Bani Nadhir, salah satu suku Yahudi di Madinah. Setelah pertempuran Khaibar, di mana kaum muslimin menang atas suku-suku Yahudi yang mengkhianati perjanjian, Shafiyah termasuk di antara para tawanan. Rasulullah SAW memberinya pilihan: tetap pada agamanya dan dibebaskan, atau masuk Islam dan beliau akan menikahinya. Shafiyah, yang telah melihat kebenaran dalam Islam dan kemuliaan akhlak Nabi, memilih pilihan kedua.
Beberapa istri Nabi yang lain pernah menyindirnya tentang latar belakang Yahudinya. Shafiyah mengadu kepada Rasulullah SAW. Nabi pun mengajarinya jawaban yang sangat indah dan bijaksana, "Katakanlah kepada mereka, 'Bagaimana kalian bisa lebih baik dariku, sementara suamiku adalah Muhammad, ayahku (leluhur) adalah Harun, dan pamanku adalah Musa?'" Jawaban ini seketika membungkam mereka dan menunjukkan betapa Nabi sangat menghormati dan membela kehormatan istrinya. Kisah Shafiyah adalah bukti bahwa Islam tidak memandang latar belakang suku atau ras, dan bahwa hidayah bisa datang kepada siapa saja yang hatinya terbuka pada kebenaran.
Maimunah binti al-Harits: Pernikahan di Tanah Haram
Maimunah adalah istri terakhir yang dinikahi oleh Rasulullah SAW. Ia adalah seorang janda yang mulia dan telah lama memiliki keinginan untuk bisa menjadi istri Nabi. Melalui perantaraan kerabatnya, ia menyampaikan keinginannya tersebut, dan Rasulullah SAW pun menerimanya. Pernikahan mereka berlangsung pada saat kaum muslimin melaksanakan Umrah Qadha', yaitu umrah pengganti setelah setahun sebelumnya dihalangi dalam Perjanjian Hudaibiyah.
Pernikahan yang dilangsungkan di dekat Makkah ini menjadi simbol kemenangan dan perdamaian. Maimunah dikenal sebagai wanita yang sangat bertakwa, penyayang, dan sangat gemar menyambung tali silaturahmi. Aisyah berkata tentangnya, "Dia adalah orang yang paling bertakwa di antara kami dan paling rajin menyambung silaturahmi." Ia hidup cukup lama setelah wafatnya Nabi dan wafat di Saraf, tempat yang sama di mana ia pertama kali melangsungkan pernikahannya dengan Rasulullah SAW, seolah menjadi penutup yang indah bagi kisah hidupnya.
Mariah al-Qibtiyyah: Hadiah yang Membawa Keturunan
Mariah al-Qibtiyyah bukanlah istri yang dinikahi dengan akad seperti yang lainnya, melainkan seorang hamba sahaya yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir, kepada Rasulullah SAW. Mariah menerima ajakan Islam dengan tulus dan Rasulullah SAW menerimanya dengan baik. Dari hubungan inilah, Allah mengaruniai Nabi seorang putra di usia senjanya, yang diberi nama Ibrahim.
Kelahiran Ibrahim membawa kebahagiaan yang luar biasa bagi Rasulullah SAW. Beliau sangat menyayangi putranya ini. Namun, takdir Allah berkehendak lain. Ibrahim wafat saat masih bayi, meninggalkan duka yang mendalam di hati Nabi. Saat putranya wafat, Rasulullah SAW meneteskan air mata seraya bersabda, "Mata boleh menangis, hati boleh bersedih, tetapi kita tidak akan mengucapkan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Dan sesungguhnya kami, wahai Ibrahim, sangat berduka atas kepergianmu." Kisah Mariah dan putranya, Ibrahim, menunjukkan sisi kemanusiaan Rasulullah SAW sebagai seorang ayah yang penuh kasih sayang dan hamba yang sabar atas ketetapan Tuhannya.
Demikianlah sekelumit kisah dari kehidupan para wanita agung, para Ummahatul Mukminin. Masing-masing dari mereka memiliki karakter, kisah, dan kontribusi yang unik, namun semuanya bersatu dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka bukan hanya istri seorang Nabi, tetapi juga guru, ahli ibadah, pejuang, diplomat, dan pilar-pilar penyangga bangunan umat ini. Kehidupan mereka adalah cerminan dari ajaran Islam yang memuliakan wanita dan memberikan mereka peran yang sangat penting dalam masyarakat. Semoga kita dapat senantiasa meneladani akhlak mulia mereka dan mengambil pelajaran dari samudra hikmah yang mereka wariskan.