Dalam sistem hukum pertanahan di Indonesia, sertifikat tanah merupakan bukti kepemilikan yang paling kuat dan sah secara hukum. Secara prinsip, objek yang dijaminkan dalam suatu perjanjian utang piutang (seperti kredit perbankan atau pinjaman pribadi) haruslah dimiliki sepenuhnya oleh pemberi jaminan.
Permasalahan muncul ketika muncul kebutuhan untuk menggunakan sertifikat tanah milik orang lain—misalnya, milik orang tua, pasangan, atau kerabat—sebagai jaminan atas kewajiban finansial yang diemban oleh pihak ketiga (pemilik sertifikat tidak berutang, tetapi tanahnya dijaminkan). Secara umum, praktik ini melibatkan konsep yang dikenal sebagai pemisahan antara subjek hukum yang berutang (debitur) dan objek jaminan yang dimiliki oleh pihak ketiga (yang disebut sebagai dader atau pemberi gadai/hipotek dari pihak ketiga).
Pengikatan hak tanggungan (hipotek atas tanah) diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan pelaksananya. Aturan paling mendasar adalah bahwa pihak yang menyerahkan hak atas tanah sebagai jaminan haruslah merupakan pihak yang namanya tercantum secara sah pada sertifikat hak milik atau hak pengelolaan tersebut.
Jika sertifikat tanah atas nama Orang A, dan yang berutang adalah Orang B, maka untuk menjadikan tanah tersebut jaminan, Orang A harus bertindak sebagai pemberi hipotek/tanggungan. Ini berarti Orang A secara sukarela mengikatkan propertinya sebagai jaminan pelunasan utang Orang B. Tindakan ini harus diformalkan melalui perjanjian yang sah dan dicatatkan di Kantor Pertanahan atau dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Seringkali, muncul kesalahpahaman di mana orang mencoba menggunakan sertifikat atas nama orang lain tanpa melakukan pengikatan jaminan formal (seperti Hak Tanggungan atau Fidusia jika itu properti bergerak). Tanpa proses legal yang benar, sertifikat tersebut tidak memiliki kekuatan eksekutorial (kemampuan untuk ditagih secara langsung melalui lelang) jika terjadi wanprestasi.
Menggunakan sertifikat tanah atas nama orang lain tanpa persetujuan tertulis dan otentik dari pemiliknya adalah tindakan ilegal dan dapat dikategorikan sebagai penipuan atau penggelapan, terutama jika ada upaya menyembunyikan fakta kepemilikan yang sebenarnya dari pihak pemberi pinjaman (kreditur). Kreditur, dalam hal ini, sangat berhati-hati karena mereka wajib memastikan bahwa jaminan yang diterima adalah sah dan dapat dieksekusi.
Untuk menghindari kerugian hukum di kemudian hari, setiap transaksi yang melibatkan jaminan properti pihak ketiga harus melibatkan Notaris/PPAT. PPAT bertugas memastikan bahwa:
Kesimpulannya, jaminan sertifikat tanah atas nama orang lain hanya sah jika pemilik sah tersebut secara aktif dan formal mengikatkan hak atas tanahnya sebagai jaminan pelunasan utang pihak ketiga melalui prosedur pengikatan jaminan yang diakui hukum, seperti Hak Tanggungan.