Di antara lautan kebijaksanaan yang ditinggalkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, terdapat satu pesan fundamental yang terus bergema sepanjang zaman: pentingnya membatasi, bahkan menghilangkan, harapan sepenuhnya kepada sesama manusia. Pesan ini bukan lahir dari sifat pesimis, melainkan dari pemahaman mendalam mengenai sifat dasar manusia yang fana, penuh kekurangan, dan rentan berubah.
Ali bin Abi Thalib, seorang tokoh sentral dalam sejarah Islam, dikenal dengan ketajaman analisisnya terhadap realitas kehidupan. Beliau melihat bahwa manusia, betapapun mulia niatnya, adalah makhluk yang tidak memiliki kendali mutlak atas nasib, rezeki, ataupun perasaan mereka sendiri. Menaruh harapan besar pada kemampuan manusia untuk memberikan kepastian adalah sama saja dengan membangun istana di atas pasir.
Mengapa Ali mengajarkan hal ini? Karena harapan adalah sebuah energi spiritual. Ketika energi ini diarahkan kepada sesuatu yang tidak pasti, konsekuensinya adalah kekecewaan yang mendalam. Manusia dapat berjanji, bisa bersumpah setia, tetapi keadaannya dapat berubah karena godaan dunia, lupa diri, atau bahkan karena faktor eksternal yang tak terduga.
Dalam konteks sosial dan politik, ketergantungan pada dukungan manusia sering kali berujung pada pengkhianatan atau pengabaian saat kita paling membutuhkan. Mereka yang hari ini memuji Anda, bisa jadi besok menjadi yang pertama mencela. Ini adalah siklus yang berulang dalam interaksi antarmanusia. Ali, yang mengalami pergolakan politik dan pengkhianatan pribadi, memahami betul mekanisme rapuh ini.
Pelajaran untuk "jangan berharap pada manusia" sebenarnya adalah ajakan untuk mengalihkan fokus harapan tersebut. Jika bukan kepada manusia, lalu kepada siapa? Jawabannya jelas: kepada Zat Yang Maha Kekal, Allah SWT. Hanya Dia yang Maha Tahu, Maha Kuasa, dan sifat-Nya tidak pernah berubah. Harapan yang disandarkan kepada-Nya adalah harapan yang memiliki landasan kokoh.
Dengan melepaskan ketergantungan penuh pada manusia, seseorang akan memperoleh dua hal penting. Pertama, ia menjadi lebih mandiri secara emosional. Kedua, ia terhindar dari luka batin akibat pengkhianatan atau kekecewaan yang tak terhindarkan dari interaksi dengan makhluk ciptaan-Nya. Hal ini bukan berarti kita harus menjadi penyendiri atau anti-sosial, namun kita harus berinteraksi dengan harapan yang realistis. Kita boleh meminta bantuan, namun jangan menjadikannya sebagai satu-satunya jalan keluar.
Dalam konteks pekerjaan, Ali mengajarkan bahwa kita harus berusaha semaksimal mungkin, namun hasil akhirnya harus diserahkan kepada kehendak Ilahi. Dalam persahabatan, kita harus berbuat baik, namun kita tidak boleh mengharapkan imbalan yang sama persis atau kesetiaan abadi dari sahabat kita. Jika mereka berbuat baik, itu adalah bonus; jika tidak, kita tidak akan hancur.
Pola pikir ini menghasilkan ketenangan batin (sakinah). Ketika Anda tidak lagi menuntut kesempurnaan atau kepastian dari orang lain, Anda akan lebih mudah menerima kekurangan mereka dan lebih mudah memaafkan. Anda membebaskan diri dari belenggu ekspektasi yang seringkali menghancurkan hubungan.
Oleh karena itu, hikmah Ali bin Abi Thalib ini adalah sebuah peta jalan menuju kedewasaan spiritual. Ia mengajarkan kita untuk menggunakan akal sehat dalam menilai kapasitas manusia, seraya menempatkan kepercayaan tertinggi hanya pada Sumber segala daya. Manusia adalah alat bantu, sarana, atau perantara; namun Sumber dari segala pertolongan harus selalu tunggal. Dengan demikian, jiwa kita akan selalu tenteram, karena sandaran kita adalah pada Yang Tidak Pernah Mengecewakan.
Memahami dan mengamalkan prinsip ini adalah kunci untuk menjalani kehidupan tanpa gejolak emosi yang ekstrem akibat ulah sesama. Kehidupan akan terasa lebih ringan ketika kita tahu bahwa segala sesuatu yang baik datang dari ketetapan yang Maha Tinggi, dan segala sesuatu yang buruk adalah ujian yang harus kita hadapi dengan tabah.