Dalam lintasan kehidupan manusia, hubungan adalah salah satu elemen paling kompleks dan memikat. Ada ikatan yang terjalin karena rasa sayang, ketergantungan, dan harapan bersama. Namun, seringkali, cinta yang paling murni diuji bukan oleh seberapa kuat kita menggenggam, melainkan oleh seberapa besar keberanian kita untuk melepaskan.
Ungkapan bijak yang sering dinisbahkan kepada tokoh besar seperti Ali bin Abi Thalib, "Jika kamu mencintai seseorang, biarkan dia pergi. Jika dia kembali, dia adalah milikmu selamanya. Jika tidak, dia memang tidak pernah menjadi milikmu," bukan sekadar kalimat puitis. Ia mengandung filosofi mendalam tentang hakikat kepemilikan, kebebasan, dan kualitas sejati dari cinta itu sendiri.
Kesalahan umum dalam memahami cinta adalah menyamakannya dengan kepemilikan mutlak. Ketika kita mencintai, secara naluriah kita ingin memastikan subjek cinta kita selalu berada dalam jangkauan pandang dan kendali kita. Namun, penjara yang paling nyaman pun tetaplah penjara. Memaksa seseorang untuk tinggal—baik secara fisik maupun emosional—ketika hatinya sudah condong ke arah lain adalah tindakan egois yang berkedok kasih sayang.
Cinta sejati mengakui bahwa setiap individu adalah entitas yang utuh dan berhak menentukan jalannya sendiri. Ali bin Abi Thalib, dalam kebijaksanaan yang sering ia ajarkan, mengingatkan bahwa cinta harus memberi ruang untuk pertumbuhan. Jika seseorang memilih untuk pergi, itu adalah sebuah petunjuk. Mungkin kita tidak lagi menjadi tujuan utamanya, dan memaksanya tinggal hanya akan melahirkan kepahitan di masa depan.
Membiarkan seseorang pergi adalah ujian tertinggi bagi keikhlasan. Apakah kita mencintai orang itu demi kebahagiaannya, atau demi kebahagiaan dan rasa aman yang kita dapatkan dari kehadirannya? Proses melepaskan menuntut kita untuk menanggalkan ego dan menerima kenyataan bahwa kebahagiaan orang yang kita cintai mungkin berada di luar orbit kita.
Kepercayaan memainkan peran krusial di sini. Ketika kita melepaskan, kita menaruh kepercayaan pada takdir atau pada pilihan sadar orang tersebut. Jika ia kembali—bukan karena terpaksa, tetapi karena ia menyadari bahwa tempat terbaik dan paling damai baginya adalah bersama kita—maka ikatan tersebut telah teruji oleh api kebebasan dan terbukti kokoh.
Proses melepaskan seringkali menyakitkan. Dunia bisa terasa runtuh saat kita harus mengakui bahwa sebuah harapan telah pupus. Namun, dalam kesendirian yang tercipta dari pelepasan itulah kesempatan untuk introspeksi diri yang mendalam terbuka lebar.
Ketika kita berhenti fokus pada mempertahankan orang lain, kita mulai fokus pada membangun diri sendiri. Kita menyembuhkan luka, mendefinisikan kembali nilai-nilai kita, dan belajar bahwa harga diri kita tidak bergantung pada keberadaan orang lain. Justru, setelah melewati fase ini, kita menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan siap menyambut cinta yang datang tanpa paksaan—apakah itu cinta yang kembali atau cinta yang baru.
Kesimpulannya, filosofi di balik ungkapan yang dikaitkan dengan Ali bin Abi Thalib mengajarkan kita bahwa cinta sejati adalah tentang memberi kebebasan. Jika cinta harus dipertahankan dengan rantai, maka itu bukanlah cinta, melainkan pengekangan. Cinta yang otentik adalah ketika dua jiwa memilih untuk bersama karena kesukarelaan, bukan karena keterikatan yang mencekik. Biarkan mereka terbang. Jika mereka ditakdirkan untuk bersamamu, sayap mereka akan selalu membawanya kembali ke pelabuhan hati yang tulus.
Menerapkan prinsip ini dalam kehidupan memerlukan kedewasaan emosional yang tinggi, namun hasilnya adalah hubungan—atau kenangan akan hubungan—yang diwarnai oleh rasa hormat, keikhlasan, dan kebebasan sejati.