Kakek Nabi Muhammad Bernama: Abdul Muthalib
Dalam lembaran sejarah yang terhampar luas sebelum kenabian, berdiri sesosok figur yang agung, dihormati kawan maupun lawan, dan menjadi pilar utama bagi masyarakatnya. Sosok itu adalah kakek dari Sang Manusia Pilihan, cahaya penerang alam semesta. Jawaban dari pertanyaan "siapakah nama kakek Nabi Muhammad?" adalah Abdul Muthalib bin Hasyim. Namun, menyebut namanya saja tidak akan pernah cukup untuk melukiskan kebesaran jiwa dan perannya yang begitu krusial dalam mempersiapkan panggung sejarah bagi kedatangan cucunya.
Kisah Abdul Muthalib bukanlah sekadar catatan silsilah, melainkan sebuah epik kepemimpinan, kebijaksanaan, dan keteguhan iman dalam konteks zamannya. Ia adalah penjaga Ka'bah, penggali kembali sumur Zamzam yang telah lama hilang, dan perisai bagi kota Makkah saat di ambang kehancuran. Memahami Abdul Muthalib berarti memahami akar-akar kemuliaan yang menopang pohon kenabian, memahami atmosfer sosial, politik, dan spiritual yang melingkupi kelahiran Sang Nabi terakhir.
Syaibah, Sang Pemuda dari Yatsrib
Sebelum dikenal dengan nama Abdul Muthalib, beliau memiliki nama asli Syaibah bin Hasyim. Nama "Syaibah" yang berarti 'uban' atau 'yang berambut putih' disematkan kepadanya karena konon saat lahir, ia memiliki sehelai rambut putih di kepalanya, sebuah pertanda yang dianggap unik dan istimewa. Ayahnya adalah Hasyim bin Abdu Manaf, seorang tokoh legendaris Quraisy yang namanya menjadi nama bagi klan Bani Hasyim. Hasyim adalah pelopor perjalanan dagang musim dingin dan musim panas yang membawa kemakmuran luar biasa bagi Makkah. Ibunya adalah Salma binti Amr, seorang wanita terhormat dari kabilah Bani Najjar di Yatsrib (kelak dikenal sebagai Madinah).
Takdir menentukan bahwa Hasyim wafat dalam sebuah perjalanan dagang di Ghaza, Palestina, saat Syaibah masih dalam kandungan atau masih sangat kecil. Akibatnya, Syaibah tumbuh besar di Yatsrib di bawah asuhan ibu dan keluarga dari pihak ibunya. Ia tumbuh menjadi pemuda yang gagah, cerdas, dan menunjukkan tanda-tanda kepemimpinan sejak dini. Ia tidak menyadari sepenuhnya kedudukan agung keluarganya di Makkah, pusat spiritual dan perdagangan Jazirah Arab.
Di Makkah, kepemimpinan Bani Hasyim sepeninggal Hasyim diteruskan oleh saudaranya, Muthalib bin Abdu Manaf. Muthalib adalah seorang yang juga bijaksana dan dihormati. Suatu ketika, ia mendengar kabar tentang keponakannya, Syaibah, yang tumbuh di Yatsrib. Terdorong oleh rasa tanggung jawab keluarga dan keinginan untuk mengembalikan hak waris kepemimpinan kepada garis keturunan Hasyim, Muthalib pun melakukan perjalanan ke Yatsrib untuk menjemput Syaibah.
Ketika Muthalib tiba di Yatsrib dan melihat Syaibah, ia langsung mengenali tanda-tanda kebesaran pada diri pemuda itu. Setelah berdialog dengan Salma, ibu Syaibah, dan meyakinkannya bahwa masa depan putranya adalah di Makkah sebagai penerus ayahnya, Muthalib pun diizinkan membawa Syaibah pulang. Saat mereka memasuki Makkah, dengan Syaibah yang muda duduk di belakang unta pamannya, orang-orang Quraisy yang melihat mereka mengira bahwa pemuda itu adalah seorang hamba sahaya yang baru dibeli oleh Muthalib. Mereka pun berseru, "Ini adalah Abdul Muthalib!" (hamba sahaya Muthalib).
Muthalib mencoba mengklarifikasi, "Celakalah kalian, dia ini adalah putra saudaraku, Hasyim." Namun, julukan itu terlanjur melekat. Syaibah bin Hasyim sejak saat itu lebih dikenal dengan nama Abdul Muthalib. Ironisnya, nama yang berawal dari kesalahpahaman itu justru menjadi nama yang terukir abadi dalam sejarah sebagai salah satu pemimpin terbesar Quraisy.
Penemuan Kembali Sumur Zamzam
Salah satu peristiwa paling monumental dalam kehidupan Abdul Muthalib, yang mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin tak terbantahkan di Makkah, adalah penemuan kembali sumur Zamzam. Berabad-abad sebelumnya, sumur suci peninggalan Nabi Ismail dan Siti Hajar ini telah terkubur dan hilang ditelan zaman akibat konflik dan peperangan di Makkah. Tak seorang pun yang tahu persis lokasinya.
Dalam tidurnya, Abdul Muthalib mendapatkan sebuah mimpi gaib yang berulang. Sebuah suara memerintahkannya untuk menggali sumur. Awalnya suara itu hanya menyebut "gali yang baik". Di mimpi berikutnya, suara itu memerintahkan "gali yang terjamin". Hingga pada mimpi selanjutnya, suara itu dengan jelas memerintahkan, "Galilah Zamzam!" Ketika Abdul Muthalib bertanya di mana letaknya, mimpi itu memberikan petunjuk-petunjuk simbolis, seperti tempat yang tidak pernah kering, tempat gagak mematuk-matuk tanah, dan di dekat sarang semut.
Berbekal petunjuk dari mimpi yang ia yakini sebagai wahyu ilahi, Abdul Muthalib mengajak putranya satu-satunya saat itu, Al-Harits, untuk mulai menggali. Mereka mulai bekerja di lokasi yang sekarang berada di dalam Masjidil Haram, di antara dua berhala, Isaf dan Na'ilah. Para pembesar Quraisy lainnya memandang tindakan Abdul Muthalib dengan sinis. Mereka mengejek dan mencemoohnya, menganggapnya sedang mengejar khayalan.
"Mengapa engkau menggali di antara dua berhala sesembahan kita?" tanya mereka. "Ini adalah tempat yang tidak pernah digali sebelumnya."
Namun, Abdul Muthalib tidak goyah. Ia terus menggali dengan tekun, hanya ditemani oleh putranya. Ejekan dan cemoohan itu justru membakar semangatnya. Di tengah proses penggalian yang sulit dan penuh tekanan psikologis inilah, Abdul Muthalib merasakan betapa sepinya berjuang dengan hanya seorang anak laki-laki. Ia pun bernazar, jika kelak Tuhan memberinya sepuluh orang putra, ia akan mengurbankan salah satunya di sisi Ka'bah.
Setelah kerja keras yang tak kenal lelah, cangkul Abdul Muthalib akhirnya membentur sesuatu yang keras. Bukan batu biasa, melainkan lapisan atas dari sumur kuno. Ketika gundukan tanah terakhir disingkirkan, mata air Zamzam yang jernih memancar kembali setelah berabad-abad tersembunyi. Kegembiraan Abdul Muthalib dan Al-Harits tak terkira. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Selain menemukan sumber air, mereka juga menemukan harta karun yang terkubur bersama sumur itu: beberapa pedang berharga, baju zirah, dan dua patung kijang emas peninggalan kaum Jurhum. Melihat harta tersebut, para pembesar Quraisy yang tadinya mencemooh segera datang dan mengklaim hak atas sumur dan harta karun itu. "Wahai Abdul Muthalib, ini adalah sumur leluhur kami, Ismail. Kami berhak atasnya," kata mereka.
Abdul Muthalib dengan tegas menolak. "Tidak. Ini adalah sesuatu yang dikhususkan untukku, bukan untuk kalian," jawabnya. Perdebatan sengit pun terjadi. Untuk menghindari pertumpahan darah, mereka sepakat untuk mencari penengah, seorang peramal bijaksana dari Bani Sa'd yang tinggal di perbatasan Syam. Rombongan Abdul Muthalib dan perwakilan Quraisy pun berangkat.
Di tengah perjalanan melintasi padang pasir yang tandus, rombongan Quraisy kehabisan bekal air, sementara Abdul Muthalib dan pengikutnya masih memiliki sisa. Kaum Quraisy meminta air, namun Abdul Muthalib awalnya ragu, khawatir kelompoknya sendiri akan binasa jika berbagi. Dalam situasi genting itu, saat mereka hampir putus asa, sebuah keajaiban terjadi. Dari bawah telapak kaki unta Abdul Muthalib, tiba-tiba memancarlah mata air yang jernih. Ini adalah tanda yang jelas dari langit. Melihat pertolongan ilahi yang begitu nyata, kaum Quraisy lainnya berkata, "Demi Tuhan, Dia yang telah memberimu minum di padang pasir ini adalah Dia yang memberimu Zamzam. Kembalilah, sengketa kita telah usai. Kami tidak akan pernah mendebatmu lagi tentang Zamzam."
Mereka pun kembali ke Makkah tanpa perlu menemui sang peramal. Sejak saat itu, hak pengelolaan sumur Zamzam (dikenal sebagai *Siqayah*) secara mutlak berada di tangan Abdul Muthalib dan keturunannya. Peristiwa ini tidak hanya memberinya kekayaan dan kehormatan, tetapi juga status spiritual yang luar biasa di mata seluruh bangsa Arab.
Nazar yang Berat dan Kasih Sayang Seorang Ayah
Waktu berlalu, dan doa Abdul Muthalib terkabul. Tuhan menganugerahinya putra-putra yang gagah hingga berjumlah sepuluh orang. Mereka adalah Al-Harits, Az-Zubair, Abu Thalib, Abdullah, Hamzah, Abu Lahab, Al-Ghaidaq, Al-Muqawwim, Dhirar, dan Al-Abbas. Kini, tiba saatnya untuk menunaikan nazar yang pernah ia ucapkan di saat-saat sulit penggalian Zamzam: mengurbankan salah seorang putranya.
Ini adalah ujian terberat dalam hidupnya. Sebagai seorang pemimpin yang memegang teguh janji, ia tidak bisa mengingkarinya. Dengan hati yang berat, ia mengumpulkan semua putranya dan memberitahukan perihal nazarnya. Hebatnya, semua putranya tunduk dan patuh pada kehendak ayah mereka, menyerahkan nasib mereka kepada undian.
Abdul Muthalib kemudian membuat undian dengan anak panah di depan berhala Hubal di sisi Ka'bah. Satu per satu nama putranya ditulis, dan anak panah pun ditarik. Dengan takdir yang mengejutkan, nama yang keluar adalah Abdullah, putranya yang paling ia sayangi, yang paling tampan, dan yang paling baik budinya. Dunia serasa runtuh bagi Abdul Muthalib. Namun, janji adalah janji.
Dengan tangan gemetar, ia memegang pisau dan menuntun Abdullah menuju tempat penyembelihan. Berita ini menyebar cepat ke seluruh Makkah, menimbulkan kesedihan dan kegemparan. Para pembesar Quraisy, terutama dari kabilah Bani Makhzum (keluarga dari pihak ibu Abdullah), segera datang menghalangi. "Jangan lakukan ini! Jika engkau melakukannya, maka akan menjadi kebiasaan bagi orang-orang setelahmu untuk mengurbankan anak mereka. Carilah jalan keluar lain!" seru mereka.
Di tengah kebimbangan antara menepati nazar dan kasih sayang pada putranya, Abdul Muthalib disarankan untuk berkonsultasi dengan seorang peramal wanita bijaksana di Khaibar. Ia pun berangkat menemui sang peramal. Setelah mendengar kisahnya, peramal itu memberikan solusi. "Kembalilah ke negerimu. Buatlah undian antara putramu dengan sepuluh ekor unta. Jika yang keluar adalah nama putramu, tambahkan lagi sepuluh ekor unta, lalu undi lagi. Teruslah lakukan itu hingga Tuhan kalian rida dan yang keluar adalah undian untuk unta."
Abdul Muthalib kembali ke Makkah dengan secercah harapan. Ia melakukan seperti yang disarankan. Undian pertama dilakukan antara Abdullah dan sepuluh ekor unta. Nama Abdullah yang keluar. Ia menambahkan sepuluh ekor unta lagi, menjadi dua puluh. Lagi-lagi nama Abdullah yang keluar. Hal ini terus berulang. Dua puluh, tiga puluh, empat puluh, hingga sembilan puluh ekor unta. Setiap kali diundi, nama Abdullah yang muncul, menambah ketegangan dan kecemasan semua yang hadir.
Akhirnya, ketika jumlah unta mencapai seratus ekor, undian pun dilakukan untuk kesekian kalinya. Dengan napas tertahan, semua mata memandang. Kali ini, anak panah yang keluar adalah untuk seratus ekor unta. Seluruh Makkah bersorak gembira. Abdullah telah terselamatkan. Abdul Muthalib, dengan air mata kelegaan, segera menyembelih seratus ekor unta itu dan membagikan dagingnya kepada seluruh penduduk Makkah, bahkan hingga kepada hewan-hewan liar.
Peristiwa ini menunjukkan betapa besar nilai Abdullah di mata Tuhan. Seolah-olah takdir sedang menjaga jiwa yang kelak akan menjadi ayah dari penutup para nabi. Abdullah kemudian dikenal dengan julukan "Adz-Dzabih" atau 'yang disembelih', merujuk pada peristiwa ini, mirip dengan gelar Nabi Ismail.
Tahun Gajah: Penjaga Baitullah
Puncak kepemimpinan dan kebijaksanaan Abdul Muthalib teruji dalam sebuah peristiwa dahsyat yang kemudian diabadikan dalam Al-Qur'an: Peristiwa Tahun Gajah. Abrahah Al-Asyram, gubernur Yaman di bawah kekuasaan Kerajaan Aksum (Ethiopia), membangun sebuah katedral megah bernama Al-Qullais di Shan'a. Tujuannya adalah untuk menandingi Ka'bah dan mengalihkan pusat ziarah bangsa Arab dari Makkah ke Yaman.
Namun, usahanya sia-sia. Bangsa Arab tetap menghormati Ka'bah sebagai rumah suci warisan leluhur mereka, Ibrahim dan Ismail. Merasa murka karena rencananya gagal, dan dipicu oleh tindakan seorang Arab yang menodai katedralnya, Abrahah bersumpah akan menghancurkan Ka'bah hingga rata dengan tanah. Ia pun menyiapkan pasukan yang sangat besar dan kuat, yang dipimpin oleh seekor gajah raksasa bernama Mahmud, sesuatu yang belum pernah dilihat oleh bangsa Arab sebelumnya.
Kabar kedatangan pasukan Abrahah menimbulkan kepanikan luar biasa di Makkah. Kabilah-kabilah Arab di sepanjang jalan yang mencoba menghalangi pasukan Abrahah dengan mudah dikalahkan. Melihat kekuatan yang tidak sebanding itu, penduduk Makkah merasa tidak berdaya.
Di tengah kepanikan itu, Abdul Muthalib menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Ia tidak menyerukan perang yang ia tahu pasti akan kalah. Sebaliknya, ia memerintahkan penduduk Makkah untuk mengungsi ke puncak-puncak gunung di sekitar kota demi keselamatan mereka. Sebelum pasukan Abrahah tiba, mereka merampas harta penduduk di pinggiran kota, termasuk dua ratus ekor unta milik Abdul Muthalib.
Abdul Muthalib kemudian memutuskan untuk menemui Abrahah secara langsung. Penampilannya yang agung, berwibawa, dan tenang membuat Abrahah terkesan dan turun dari singgasananya untuk duduk sejajar dengannya. Abrahah mengira pemimpin Quraisy ini datang untuk memohon agar Ka'bah tidak dihancurkan. Namun, ia sangat terkejut dengan apa yang dikatakan Abdul Muthalib.
"Aku datang untuk meminta kembali dua ratus ekor untaku yang telah dirampas oleh pasukanmu," kata Abdul Muthalib dengan tenang.
Abrahah terperangah, lalu berkata dengan nada meremehkan, "Aku sempat terkesan denganmu saat pertama kali melihatmu. Tapi kini wibawamu jatuh di mataku. Engkau hanya membicarakan dua ratus ekor untamu, dan tidak sedikit pun menyinggung tentang Ka'bah, rumah sucimu dan agama leluhurmu, yang akan aku hancurkan?"
Jawaban Abdul Muthalib atas pertanyaan ini menjadi salah satu kalimat paling ikonik dalam sejarah pra-Islam, sebuah kalimat yang menunjukkan tingkat keyakinan dan tawakal yang mendalam.
"Adapun unta-unta itu, akulah pemiliknya. Maka sudah sewajarnya aku memintanya kembali. Sedangkan Baitullah (Ka'bah) ini, ia memiliki Pemiliknya sendiri yang akan melindunginya."
Abrahah terdiam, lalu memerintahkan agar unta-unta itu dikembalikan. Abdul Muthalib kemudian kembali ke Makkah, dan sebelum naik ke gunung, ia berhenti di depan Ka'bah. Sambil memegang lingkaran pintunya, ia memanjatkan doa yang tulus kepada Sang Pemilik Ka'bah, menyerahkan sepenuhnya perlindungan rumah suci itu kepada-Nya.
Keesokan harinya, saat Abrahah dan pasukannya bergerak maju menuju Ka'bah, keajaiban pun terjadi. Gajah Mahmud, yang berada di barisan terdepan, tiba-tiba berhenti dan berlutut, menolak untuk berjalan ke arah Ka'bah. Dipukul dan dipaksa sekeras apa pun, ia tidak mau bergerak. Namun, jika diarahkan ke arah lain, ia segera berdiri dan berjalan.
Saat itulah, dari arah laut, muncul kawanan burung yang tak terhitung jumlahnya, yang dikenal sebagai burung Ababil. Setiap burung membawa tiga batu kecil dari tanah liat yang dibakarāsatu di paruhnya dan dua di kakinya. Mereka menjatuhkan batu-batu itu ke atas pasukan Abrahah. Setiap orang yang terkena batu itu tewas seketika, tubuh mereka hancur seolah-olah daun yang dimakan ulat. Pasukan yang perkasa itu luluh lantak dalam sekejap oleh kekuatan yang tak terlihat. Abrahah sendiri terluka parah dan akhirnya meninggal dalam perjalanan pulang yang memalukan.
Peristiwa ini mengangkat derajat Ka'bah dan suku Quraisy ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh Jazirah Arab. Dan di pusat semua itu, Abdul Muthalib dihormati sebagai pemimpin bijaksana yang memiliki keyakinan teguh pada Sang Pelindung Ka'bah. Tahun terjadinya peristiwa ini dikenal sebagai Tahun Gajah, tahun yang sama di mana cucu tercintanya, Muhammad, dilahirkan.
Sang Cucu Tercinta, Cahaya Harapan
Sebelum peristiwa Tahun Gajah, Abdul Muthalib telah menikahkan putra kesayangannya, Abdullah, dengan seorang wanita mulia dari Bani Zuhrah, yaitu Aminah binti Wahb. Namun, takdir kembali mengujinya. Dalam sebuah perjalanan dagang ke Syam, Abdullah jatuh sakit dan wafat di Yatsrib sebelum sempat melihat kelahiran putranya. Kesedihan mendalam kembali menyelimuti hati Abdul Muthalib. Ia kehilangan putra yang paling ia cintai, putra yang pernah hampir ia kurbankan.
Ketika Aminah kemudian melahirkan seorang anak laki-laki, seluruh kesedihan Abdul Muthalib seakan terobati. Ia menyambut kelahiran cucu yatimnya ini dengan suka cita yang luar biasa. Ia membawa bayi itu ke dalam Ka'bah, melakukan tawaf, dan bersyukur kepada Tuhan. Di sanalah ia memberikan nama yang tidak lazim bagi bangsa Arab saat itu: Muhammad, yang berarti 'yang terpuji'. Ketika orang-orang bertanya mengapa ia tidak menggunakan nama-nama leluhurnya, Abdul Muthalib menjawab, "Aku ingin agar ia dipuji oleh Tuhan di langit dan oleh makhluk-Nya di bumi."
Kasih sayang Abdul Muthalib kepada Muhammad sangatlah besar. Ia menjadi pelindung dan pengasuh utamanya. Di halaman Ka'bah, Abdul Muthalib memiliki sebuah permadani khusus tempat ia biasa duduk, tempat yang sangat dihormati sehingga tidak seorang pun dari anak-anaknya berani mendudukinya. Namun, satu-satunya yang diizinkan bukan hanya duduk, tetapi juga bermain dan berbaring di atasnya, adalah Muhammad kecil. Jika ada yang mencoba menghalanginya, Abdul Muthalib akan berkata, "Biarkan cucuku ini. Sungguh, ia akan memiliki kedudukan yang agung kelak."
Ia melihat sesuatu yang istimewa pada diri cucunya. Ia merawatnya dengan penuh cinta, melebihi cintanya kepada anak-anaknya sendiri. Ia seolah-olah tahu bahwa anak yatim ini bukanlah anak biasa. Ia adalah jawaban atas doa-doa, penerus warisan agung Ibrahim, dan harapan masa depan bagi Makkah dan seluruh umat manusia.
Waris dan Wasiat Sang Pemimpin
Abdul Muthalib mengasuh dan melindungi Nabi Muhammad selama kurang lebih delapan tahun. Di usia senjanya, ketika ia merasa ajalnya mendekat, kekhawatiran terbesarnya adalah nasib cucu yatim piatu kesayangannya. Ia mengumpulkan semua putranya dan mencari siapa di antara mereka yang paling layak untuk melanjutkan tugas mulia mengasuh Muhammad.
Pilihannya jatuh kepada Abu Thalib. Pilihan ini sangat tepat, karena Abu Thalib adalah saudara kandung dari Abdullah, ayah Nabi. Mereka berasal dari satu ibu, Fatimah binti Amr. Abdul Muthalib berwasiat kepada Abu Thalib untuk menjaga Muhammad dengan segenap jiwa dan raganya, melindunginya dari segala mara bahaya, dan mencintainya seperti anaknya sendiri.
Abu Thalib menerima wasiat itu dengan sepenuh hati dan melaksanakannya dengan sangat baik sepanjang hidupnya. Ia menjadi perisai utama bagi dakwah Nabi Muhammad di tahun-tahun awal yang penuh tantangan di Makkah.
Tidak lama setelah itu, Abdul Muthalib, sang pemimpin agung Quraisy, penjaga Ka'bah, dan penemu Zamzam, wafat dalam usia lanjut. Seluruh Makkah berduka atas kepergiannya. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad kecil menangis tersedu-sedu di belakang keranda jenazah kakeknya, menunjukkan betapa dalam ikatan cinta di antara mereka.
Warisan Abdul Muthalib jauh melampaui kepemimpinan politik dan sosial. Ia adalah sosok sentral yang oleh takdir ilahi dipersiapkan untuk menjaga dua hal paling suci: Baitullah (Ka'bah) dan cikal bakal risalah kenabian (Nabi Muhammad). Melalui kebijaksanaannya dalam Peristiwa Tahun Gajah, ia mempertahankan kesucian Makkah. Melalui kasih sayangnya, ia memberikan perlindungan dan fondasi awal bagi pertumbuhan Sang Nabi. Abdul Muthalib adalah mata rantai emas yang menghubungkan warisan Ibrahim dengan risalah Muhammad, seorang kakek yang perannya terukir abadi dalam sejarah peradaban Islam.