Memahami Karahah Artinya dan Implikasinya
Ilustrasi abstrak konsep karahah, sebuah jalan lurus yang utama dan jalan-jalan lain yang sebaiknya dihindari.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai seorang Muslim, kita sering dihadapkan pada berbagai pilihan dan tindakan. Untuk menavigasi pilihan-pilihan ini, syariat Islam menyediakan sebuah spektrum hukum yang komprehensif, mulai dari yang wajib hingga yang haram. Di antara spektrum tersebut, terdapat sebuah area yang sering kali menimbulkan pertanyaan, yaitu konsep karahah. Lantas, karahah artinya apa? Mengapa penting untuk memahaminya? Artikel ini akan mengupas tuntas makna, jenis, hikmah, dan contoh-contoh karahah dalam kehidupan kita.
Secara sederhana, karahah dapat dipahami sebagai sesuatu yang tidak disukai atau dibenci. Dalam terminologi fikih, istilah yang lebih populer dan sering digunakan adalah makruh. Kata "makruh" berasal dari akar kata yang sama dengan "karahah", yaitu kariha-yakrahu (كَرِهَ - يَكْرَهُ), yang berarti membenci atau tidak menyukai. Jadi, ketika kita membahas karahah, kita sebenarnya sedang membicarakan konsep hukum makruh.
Hukum makruh menempati posisi unik dalam skala hukum Islam (al-ahkam al-khamsah). Ia berada di antara mubah (boleh dilakukan tanpa pahala atau dosa) dan haram (dilarang keras dan berdosa jika dilakukan). Sesuatu yang makruh adalah perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan, namun tidak sampai pada tingkat diharamkan. Orang yang meninggalkannya karena ketaatan kepada Allah akan mendapatkan pahala, tetapi orang yang melakukannya tidak serta-merta dicatat berdosa. Inilah yang membuatnya menjadi area yang memerlukan pemahaman mendalam agar tidak meremehkannya.
Menelusuri Akar Kata dan Definisi Teknis
Untuk memahami karahah artinya secara lebih mendalam, kita perlu melihat dari dua sisi: etimologi (bahasa) dan terminologi (istilah syar'i). Secara bahasa, seperti yang telah disinggung, al-karahah (الكراهة) adalah antonim dari al-mahabbah (kecintaan) atau ar-ridha (keridaan). Ia merujuk pada segala sesuatu yang tidak disenangi oleh jiwa.
Namun, dalam kacamata para ulama fikih (fuqaha), definisinya menjadi lebih teknis. Para ulama mendefinisikan makruh sebagai:
"Sesuatu yang dituntut oleh syariat untuk ditinggalkan, namun tuntutannya tidak bersifat pasti (tegas)."
Mari kita bedah definisi ini. Frasa "dituntut oleh syariat untuk ditinggalkan" menunjukkan bahwa ada anjuran dari Allah dan Rasul-Nya untuk menghindari perbuatan tersebut. Ini membedakannya dari hukum mubah yang tidak memiliki tuntutan apa pun, baik untuk dilakukan maupun ditinggalkan. Sementara itu, frasa "tuntutannya tidak bersifat pasti" menjadi pembeda utama dengan hukum haram. Pada hukum haram, larangannya bersifat tegas, pasti, dan didasarkan pada dalil yang qath'i (pasti dan tidak bisa ditafsirkan lain). Sebaliknya, larangan pada perbuatan makruh biasanya didasarkan pada dalil yang bersifat zhanni (dugaan kuat, masih memiliki potensi interpretasi lain) atau larangannya tidak disertai dengan ancaman hukuman yang jelas.
Oleh karena itu, memahami karahah artinya memahami sebuah zona "peringatan" dari syariat. Ia ibarat lampu kuning dalam lalu lintas spiritual kita. Bukan lampu merah (haram) yang memaksa kita berhenti total, tetapi sebuah sinyal untuk berhati-hati, memperlambat, dan jika memungkinkan, mencari jalan lain yang lebih utama dan lebih diridai.
Dua Wajah Karahah: Makruh Tahrim dan Makruh Tanzih
Para ulama, khususnya dari mazhab Hanafi, membagi hukum makruh menjadi dua kategori utama. Pembagian ini sangat penting karena membantu kita membedakan tingkat ketidaksukaan suatu perbuatan di mata syariat. Dua kategori tersebut adalah Makruh Tahrim dan Makruh Tanzih.
1. Makruh Tahrim (Dibenci yang Mendekati Haram)
Makruh Tahrim adalah perbuatan yang larangannya didasarkan pada dalil yang zhanni (bersifat dugaan kuat) namun kuat, tetapi tidak mencapai derajat qath'i (pasti) yang menjadikannya haram. Dengan kata lain, ia lebih dekat kepada haram daripada kepada mubah. Tuntutan untuk meninggalkannya sangat kuat.
Para ulama mendefinisikannya sebagai "sesuatu yang dilarang oleh syariat namun penetapannya melalui dalil yang zhanni". Konsekuensi dari melakukan perbuatan makruh tahrim adalah pelakunya dianggap telah melakukan perbuatan tercela dan berpotensi mendapatkan dosa, meskipun dosanya tidak seberat melakukan perbuatan haram secara eksplisit. Meninggalkannya adalah sebuah keharusan dalam rangka kehati-hatian dan ketakwaan.
Contoh-contoh Makruh Tahrim:
- Menerima pinangan di atas pinangan orang lain: Ketika seorang laki-laki telah meminang seorang wanita dan pinangannya telah diterima atau sedang dalam proses pertimbangan, maka laki-laki lain dilarang untuk maju meminang wanita yang sama. Dalilnya adalah hadis Nabi Muhammad SAW: "Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya, maka tidak halal bagi seorang mukmin untuk membeli di atas pembelian saudaranya dan tidak halal pula meminang di atas pinangan saudaranya hingga saudaranya itu meninggalkan (pinangannya) atau mengizinkannya." (HR. Muslim). Larangan ini sangat kuat, namun karena tidak ada ancaman siksa spesifik, ulama mengkategorikannya sebagai makruh tahrim.
- Puasa pada hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha): Berpuasa pada dua hari raya dilarang dengan tegas. Ini adalah hari untuk makan, minum, dan bergembira sebagai bentuk syukur. Larangannya kuat, sehingga mendekati keharaman.
- Memakai emas dan sutra bagi laki-laki (menurut sebagian pandangan): Meskipun banyak ulama menghukuminya haram secara mutlak, sebagian ulama, terutama dari kalangan Hanafiyah, melihat kekuatan dalilnya dan menempatkannya dalam kategori makruh tahrim.
- Jual beli saat azan kedua shalat Jumat: Allah berfirman dalam Surat Al-Jumu'ah ayat 9 untuk segera meninggalkan jual beli dan menuju zikir kepada Allah. Larangan ini sangat jelas, sehingga meninggalkannya adalah sebuah kewajiban, dan melakukannya sangat dibenci dan mendekati haram.
2. Makruh Tanzih (Dibenci yang Bersifat Membersihkan)
Makruh Tanzih adalah perbuatan yang dianjurkan oleh syariat untuk ditinggalkan, tetapi larangannya tidak bersifat tegas. Ia lebih dekat kepada mubah (boleh) daripada kepada haram. Makruh jenis ini lebih bersifat sebagai anjuran untuk mencapai kesempurnaan (kamal) dalam beragama dan berakhlak. Kata tanzih sendiri berarti "membersihkan" atau "menyucikan", maksudnya adalah dengan meninggalkan perbuatan ini, seseorang telah membersihkan amalannya dari hal-hal yang kurang pantas.
Pelaku makruh tanzih tidak dianggap berdosa. Namun, ia telah kehilangan sebuah keutamaan. Sebaliknya, orang yang meninggalkannya karena niat untuk mengikuti sunnah dan mencari keridaan Allah akan mendapatkan pahala. Inilah esensi dari karahah dalam tingkat yang lebih ringan.
Contoh-contoh Makruh Tanzih yang Sering Ditemui:
Kategori ini mencakup banyak sekali adab dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Contoh-contoh berikut akan membantu kita memahami karahah artinya dalam praktik:
Dalam Ibadah Wudhu dan Shalat:
- Berlebihan dalam menggunakan air saat wudhu (israf): Nabi Muhammad SAW pernah melewati Sa'ad yang sedang berwudhu, lalu beliau bersabda, "Janganlah berlebihan." Sa'ad bertanya, "Apakah dalam air (wudhu) juga ada berlebih-lebihan?" Beliau menjawab, "Ya, meskipun engkau berada di tepi sungai yang mengalir." (HR. Ahmad). Perbuatan ini tidak membatalkan wudhu, tetapi dibenci karena bertentangan dengan semangat kesederhanaan.
- Berbicara saat wudhu tanpa ada keperluan: Fokus dan kekhusyukan adalah bagian dari adab berwudhu. Berbicara tentang urusan duniawi saat bersuci dianggap kurang pantas dan makruh tanzih.
- Shalat ketika makanan telah terhidang: Jika makanan sudah siap dan seseorang sangat ingin memakannya, dimakruhkan baginya untuk memaksakan diri shalat. Hikmahnya adalah agar shalatnya bisa khusyuk dan tidak terganggu oleh pikiran tentang makanan. Nabi bersabda: "Tidak ada shalat (yang sempurna) di hadapan makanan, dan tidak pula (shalat yang sempurna) bagi orang yang menahan dua kotoran (buang air kecil dan besar)." (HR. Muslim).
- Melakukan gerakan-gerakan kecil yang tidak perlu dalam shalat: Seperti memperbaiki letak peci berulang kali, menggaruk-garuk, atau melihat jam. Gerakan-gerakan ini tidak membatalkan shalat (selama tidak lebih dari tiga gerakan berturut-turut menurut sebagian mazhab), tetapi mengurangi kekhusyukan dan pahala shalat.
- Memalingkan wajah atau pandangan saat shalat tanpa hajat: Pandangan saat shalat dianjurkan untuk fokus pada tempat sujud. Memalingkan pandangan ke kanan atau kiri tanpa ada kebutuhan yang mendesak adalah perbuatan yang "dicuri" oleh setan dari shalat seorang hamba.
Dalam Adab Makan dan Minum:
- Makan dan minum sambil berdiri: Terdapat hadis yang melarang minum sambil berdiri. Meskipun ada riwayat lain yang menunjukkan Nabi pernah melakukannya (menunjukkan bahwa larangan ini tidak sampai tingkat haram), para ulama menyimpulkan bahwa adab yang terbaik dan lebih utama adalah makan dan minum sambil duduk. Melakukannya sambil berdiri hukumnya makruh tanzih.
- Meniup makanan atau minuman yang panas: Adab yang diajarkan adalah menunggunya hingga sedikit dingin. Meniup makanan dianggap kurang baik dari sisi etika dan kesehatan. Hadis dari Ibnu Abbas RA menyebutkan bahwa Nabi SAW melarang untuk bernapas di dalam wadah air atau meniupnya. (HR. Tirmidzi).
- Makan dari tengah-tengah hidangan: Sunnah mengajarkan untuk memulai makan dari bagian pinggir piring atau nampan. Nabi bersabda: "Keberkahan itu turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggirnya dan jangan makan dari tengahnya." (HR. Tirmidzi).
- Makan dengan tangan kiri: Makan dan minum sangat dianjurkan menggunakan tangan kanan. Menggunakan tangan kiri tanpa uzur (misalnya tangan kanan sedang sakit) adalah makruh, karena meniru perbuatan setan.
Dalam Aspek Kehidupan Lainnya:
- Tidur dalam posisi tengkurap: Nabi Muhammad SAW pernah melihat seseorang tidur tengkurap di masjid, lalu beliau membangunkannya dengan kakinya dan bersabda, "Sesungguhnya ini adalah cara berbaring yang dibenci oleh Allah." (HR. Abu Dawud). Posisi ini dianggap makruh karena merupakan posisi berbaringnya ahli neraka dan juga tidak baik untuk kesehatan.
- Menceritakan mimpi buruk kepada orang lain: Jika seseorang bermimpi buruk, ia dianjurkan untuk meludah ke kiri tiga kali, berlindung kepada Allah dari setan, dan tidak menceritakannya kepada siapa pun, karena mimpi buruk datangnya dari setan.
- Banyak bertanya tentang hal-hal yang tidak bermanfaat: Termasuk bertanya tentang detail takdir atau hal-hal gaib yang tidak dijelaskan oleh syariat. Sikap ini dibenci karena dapat menjerumuskan pada keraguan dan kesesatan.
Hikmah dan Filosofi di Balik Hukum Karahah
Mungkin ada yang bertanya, mengapa syariat Islam perlu mengatur hal-hal yang tampak sepele hingga ke tingkat makruh? Mengapa tidak hanya fokus pada yang wajib dan haram saja? Jawabannya terletak pada keindahan dan kesempurnaan Islam sebagai jalan hidup. Adanya hukum karahah mengandung banyak sekali hikmah, di antaranya:
1. Pagar Pelindung dari Perbuatan Haram (Saddudz Dzari'ah)
Konsep karahah berfungsi sebagai zona penyangga atau pagar pengaman. Dengan membiasakan diri untuk menghindari hal-hal yang makruh (dibenci), seseorang sedang melatih jiwanya untuk lebih mudah menjauhi perkara yang haram (dilarang keras). Orang yang terbiasa meremehkan perbuatan makruh, lambat laun akan kehilangan sensitivitasnya dan lebih rentan untuk terjerumus ke dalam dosa yang lebih besar.
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Maka barangsiapa yang menjaga diri dari perkara syubhat, ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia telah terjerumus dalam perkara haram..." (HR. Bukhari dan Muslim).
Perbuatan makruh, terutama makruh tahrim, berada sangat dekat dengan zona syubhat ini. Menjauhinya adalah bentuk kehati-hatian (wara') yang terpuji.
2. Sarana Pendidikan dan Penyempurnaan Akhlak (Tarbiyah)
Karahah mendidik kita untuk tidak hanya menjadi Muslim yang "standar" (hanya mengerjakan yang wajib dan meninggalkan yang haram), tetapi untuk menjadi seorang muhsin (orang yang berbuat ihsan). Ihsan adalah puncak tertinggi dalam beragama, yaitu beribadah seakan-akan melihat Allah, dan jika tidak bisa, maka meyakini bahwa Allah melihat kita.
Dengan memperhatikan hal-hal yang makruh, kita melatih diri untuk selalu berusaha melakukan yang terbaik dalam segala hal. Kita tidak hanya bertanya "Apakah ini dosa?", tetapi kita naik ke level pertanyaan "Apakah ini dicintai oleh Allah? Apakah ini perbuatan yang paling utama?". Ini adalah proses penyempurnaan akhlak dan adab secara terus-menerus.
3. Menumbuhkan Rasa Cinta dan Kepekaan kepada Syariat
Ketika seseorang berusaha meninggalkan sesuatu bukan karena takut akan dosa, melainkan murni karena tahu bahwa perbuatan itu "tidak disukai" oleh Allah dan Rasul-Nya, ini menunjukkan tingkat cinta yang lebih tinggi. Ia meninggalkan perbuatan tersebut sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap syariat. Kepekaan spiritualnya menjadi terasah. Ia menjadi lebih sadar akan detail-detail kecil dalam agamanya, yang pada gilirannya akan memperkuat hubungannya dengan Sang Pencipta.
4. Fleksibilitas Hukum Islam
Adanya kategori makruh juga menunjukkan fleksibilitas syariat Islam. Tidak semua hal yang tidak disukai langsung divonis haram. Islam memberikan ruang bagi umatnya. Jika seseorang berada dalam kondisi yang membuatnya terpaksa melakukan hal yang makruh, ia tidak berdosa. Misalnya, seseorang yang sangat kehausan dan tidak ada tempat duduk, maka ia boleh minum sambil berdiri tanpa merasa bersalah. Fleksibilitas ini menjadikan Islam sebagai agama yang mudah (yusr) dan tidak memberatkan pemeluknya.
Bagaimana Seharusnya Sikap Kita Terhadap Perkara Makruh?
Setelah memahami karahah artinya apa, beserta jenis dan hikmahnya, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita harus bersikap? Sikap yang benar adalah sebagai berikut:
- Tidak Meremehkan: Sikap paling berbahaya adalah menganggap remeh perbuatan makruh dengan dalih "toh tidak dosa". Ingatlah pepatah Arab, "Api yang besar berasal dari percikan-percikan api yang kecil." Meremehkan hal kecil yang dibenci Allah dapat mematikan hati dan membuka pintu bagi dosa yang lebih besar.
- Berusaha Meninggalkan dengan Niat Ibadah: Jadikan usaha untuk meninggalkan perbuatan makruh sebagai sebuah proyek ibadah. Niatkan untuk mengikuti sunnah, menyempurnakan adab, dan mencari cinta Allah. Dengan niat ini, setiap kali kita berhasil menghindari perbuatan makruh, kita akan mendapatkan pahala.
- Memahami Prioritas: Tentu saja, fokus utama harus tetap pada pelaksanaan kewajiban dan penjauhan diri dari keharaman. Jangan sampai kita sibuk memperdebatkan hukum makruh suatu hal, sementara kewajiban seperti shalat lima waktu atau berbakti pada orang tua kita abaikan. Fikih prioritas (fiqh al-awlawiyyat) harus menjadi panduan.
- Lembut dalam Mengingatkan: Jika kita melihat orang lain melakukan perbuatan makruh, cara mengingatkannya harus dengan hikmah dan kelembutan. Karena perbuatan itu sendiri tidak sampai haram, maka tidak perlu menggunakan cara-cara yang keras seolah-olah ia sedang melakukan dosa besar. Sampaikan sebagai nasihat yang baik untuk mencapai kesempurnaan.
Kesimpulan: Karahah sebagai Jalan Menuju Kesempurnaan
Pada akhirnya, pemahaman mendalam tentang karahah artinya adalah sebuah kunci untuk membuka pintu menuju tingkat spiritualitas yang lebih tinggi. Ia bukan sekadar konsep fikih yang kaku, melainkan sebuah filosofi hidup yang mengajak kita untuk selalu waspada, berhati-hati, dan berusaha mempersembahkan yang terbaik dalam setiap amal perbuatan kita.
Karahah mengajarkan kita bahwa hubungan dengan Allah tidak hanya dibangun di atas fondasi "boleh dan tidak boleh" atau "dosa dan pahala", tetapi juga di atas pilar cinta, penghormatan, dan keinginan untuk meneladani akhlak mulia Rasulullah SAW dalam setiap detail kehidupan. Dengan menjauhi apa yang dibenci-Nya, meskipun tidak diharamkan, kita secara aktif menunjukkan kesungguhan kita dalam meraih keridaan-Nya. Semoga kita semua dimampukan untuk memahami dan mengamalkan ilmu ini dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga setiap langkah kita menjadi lebih bermakna dan lebih dekat kepada-Nya.