Menelusuri Jejak Perasaan: Kisah Kecewa Ali bin Abi Thalib

Simbolisasi Pergulatan Batin Ilustrasi suasana haru yang mencerminkan kekecewaan sejarah Islam

Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW, dikenal sebagai pribadi yang memiliki kedalaman iman, keberanian tak tertandingi, dan keluasan ilmu. Namun, bahkan sosok seagung beliau pun tidak luput dari pengalaman pahit dalam perjalanan hidupnya, terutama terkait isu kepemimpinan umat setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pembahasan mengenai kecewa Ali bin Abi Thalib bukanlah upaya untuk merendahkan martabat beliau, melainkan untuk memahami dinamika politik dan sosial yang terjadi di masa transisi kekhalifahan pertama.

Konstruksi Politik Pasca Wafatnya Nabi

Salah satu titik sentral kekecewaan yang sering dikaji adalah peristiwa Saqifah Bani Sa’idah. Ketika Rasulullah SAW berpulang, umat Islam dihadapkan pada krisis kepemimpinan mendadak. Dalam riwayat Sunni, proses pemilihan Abu Bakar Ash-Shiddiq di Saqifah berlangsung cepat dan penuh perdebatan sengit. Meskipun Ali dikenal sebagai salah satu figur yang paling berhak karena kedekatannya dengan Nabi dan penguasaan ilmu agama yang mendalam, beliau saat itu sedang disibukkan dengan persiapan pemakaman jenazah Rasulullah SAW.

Keterlambatan Ali untuk hadir dan menyatakan dukungan secara langsung pada proses pemilihan tersebut, diyakini oleh sebagian narasi menjadi salah satu sumber kekecewaan mendalam. Bukan kekecewaan karena ambisi duniawi, melainkan kekecewaan karena merasa bahwa amanah besar umat tidak ditangani dengan proses musyawarah yang utuh atau terburu-buru. Perasaan ini semakin diperparah dengan penundaan pengakuan resmi atas kepemimpinan baru oleh beberapa pihak di Madinah.

Tekanan dan Pengasingan dalam Pemerintahan Awal

Periode kekhalifahan tiga sahabat setelah Rasulullah – Abu Bakar, Umar, dan Utsman – adalah masa di mana Ali seringkali berada dalam posisi yang sulit. Meskipun beliau memberikan nasihat ketika diminta dan tetap setia pada otoritas yang sah, terdapat jarak dan ketegangan yang signifikan. Banyak sumber sejarah menyebutkan bahwa Ali merasa bahwa nasihat dan pandangan beliau mengenai beberapa kebijakan penting, terutama yang berkaitan dengan penafsiran wasiat atau penempatan beberapa gubernur, seringkali tidak diindahkan atau diabaikan.

Kekecewaan Ali bin Abi Thalib dalam konteks ini bersifat kolektif; ia mewakili kekecewaan atas pergeseran prioritas dari idealisme kenabian menuju pragmatisme politik. Misalnya, narasi yang berkembang dalam beberapa literatur Syiah menekankan bagaimana hak politik Ali dan Ahlul Bait (keluarga Nabi) terasa terpinggirkan selama hampir dua dekade sebelum ia akhirnya diangkat menjadi khalifah keempat. Tekanan psikologis ini tentu meninggalkan bekas luka bagi seorang yang selama hidupnya selalu berada di garda terdepan membela kebenaran Islam.

Puncak Penderitaan di Masa Khilafah Sendiri

Ironisnya, ketika Ali akhirnya menjadi khalifah, masa pemerintahannya dipenuhi dengan konflik internal yang luar biasa. Peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan membuka gerbang fitnah dan perang saudara yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Islam. Ali harus menghadapi penolakan dari banyak pihak, termasuk sahabat terkemuka seperti Muawiyah bin Abi Sufyan dan Aisyah binti Abu Bakar.

Pertempuran Jamal dan pertempuran di Shiffin adalah manifestasi nyata dari kegagalan mencapai persatuan. Bagi Ali, yang dikenal sebagai pembawa keadilan, menyaksikan umat yang dipimpinnya saling bunuh demi kepentingan duniawi atau interpretasi yang berbeda, pastilah merupakan puncak kekecewaan yang paling mendalam. Beliau harus berjuang melawan pemberontakan atas dasar prinsip, yang secara historis mengakibatkan beliau harus bertindak melawan sesama Muslim—sebuah skenario yang sangat bertentangan dengan cita-cita awal Islam yang beliau perjuangkan bersama Nabi.

Warisan Ketabahan di Tengah Kekecewaan

Meskipun mengalami kekecewaan politik yang berulang, poin krusial dari kisah Ali adalah bagaimana beliau meresponsnya. Ali tidak pernah melepaskan diri dari jamaah Islam atau menanggalkan tanggung jawab moralnya. Beliau menunjukkan ketabahan luar biasa (sabr) yang melampaui batas emosi manusiawi biasa.

Kekhawatiran Ali selalu tertuju pada kemaslahatan agama dan umat, bukan pada pengakuan pribadi. Kata-kata beliau yang tercatat dalam Nahj al-Balaghah seringkali mencerminkan kepedihan atas kondisi umat yang menyimpang dari jalan lurus yang telah diajarkan Nabi. Kekecewaan tersebut menjadi bahan bakar spiritual, mengubahnya menjadi pelajaran tentang pentingnya menjaga kemurnian ajaran di tengah badai perebutan kekuasaan. Sejarah mencatat Ali bin Abi Thalib sebagai sosok yang sangat menderita secara batiniah demi menjaga integritas Islam, menjadikannya simbol kesetiaan sejati meskipun harus menanggung beban kekecewaan politik yang teramat berat.

🏠 Homepage