Memahami Hakikat Waktu: Kehidupan Itu Cuma Dua Hari
Dalam khazanah hikmah Islam, terdapat sebuah ungkapan mendalam yang sering dikaitkan dengan sosok mulia Ali bin Abi Thalib. Ungkapan tersebut merangkum esensi kefanaan dunia dengan kalimat yang padat: "Kehidupan itu cuma dua hari." Kalimat sederhana ini membawa implikasi filosofis yang sangat besar, menuntut setiap insan untuk mengevaluasi prioritas dan cara menjalani eksistensi mereka di bumi.
Lantas, apa makna dari dua hari tersebut? Para cendekiawan menafsirkan dua hari ini sebagai representasi dari keseluruhan rentang waktu kehidupan manusia. Hari pertama adalah hari yang telah berlalu—masa lalu yang tidak bisa diubah, yang berisi pelajaran dan penyesalan. Hari kedua adalah hari yang sedang kita jalani saat ini—masa kini yang penuh peluang untuk berbuat kebaikan dan persiapan menuju keabadian.
Ali bin Abi Thalib, seorang sahabat Rasulullah SAW yang dikenal dengan kebijaksanaannya, seringkali mengingatkan umat untuk tidak terbuai oleh gemerlap duniawi. Pemahaman bahwa "kehidupan itu cuma dua hari" memaksa kita untuk melihat bahwa waktu adalah komoditas paling berharga yang diberikan Allah SWT. Jika hari pertama telah terlewatkan dalam kesia-siaan, maka hari kedua—hari ini—harus dioptimalkan sepenuhnya.
Hari Pertama: Masa Lalu yang Menjadi Cermin
Hari pertama adalah cerminan dari apa yang telah kita tanam. Ia adalah akumulasi dari pilihan, kesalahan, dan keberhasilan yang membentuk diri kita hari ini. Dalam konteks nasihat ini, hari pertama seharusnya menjadi hari di mana kita mengambil pelajaran. Jika kita menyia-nyiakan hari pertama (masa lalu) dengan keburukan, maka penyesalan adalah harga yang harus dibayar. Namun, jika hari pertama digunakan sebagai ladang amal yang kemudian dipetik hikmahnya, ia menjadi fondasi kuat untuk langkah selanjutnya. Sayangnya, banyak manusia menghabiskan terlalu banyak energi untuk menyesali hari pertama, sementara hari kedua (masa kini) terus berjalan tanpa aksi nyata.
Hari Kedua: Masa Kini dan Persiapan Akhirat
Inilah inti dari peringatan tersebut. Hari kedua adalah saat ini, detik demi detik yang kita hirup. Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa dari dua hari itu, kita hanya bisa berbuat di hari kedua. Hari ini adalah kesempatan emas untuk beribadah, berbakti kepada sesama, memperbaiki hubungan dengan Sang Pencipta, dan menanam investasi untuk kehidupan abadi—akhirat.
Konsep ini sangat bertolak belakang dengan mentalitas hidup hedonistik yang mengutamakan kesenangan sesaat. Jika kita mengingat bahwa kenikmatan duniawi hanya akan dinikmati dalam waktu singkat—sebagai bagian dari "hari kedua" sebelum hari ketiga (kematian) datang—maka fokus kita akan bergeser. Kita akan lebih memilih untuk mendirikan masjid daripada membangun istana, lebih memilih menolong yang lemah daripada mengumpulkan harta tanpa batas.
Implikasi Spiritual dalam Keseharian
Menghayati bahwa kehidupan itu singkat memiliki dampak transformatif. Ia menumbuhkan sikap zuhud—bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, melainkan tidak menjadikan dunia sebagai tujuan akhir. Setiap tindakan kita menjadi lebih bermakna karena kita sadar bahwa setiap detiknya sedang dihitung. Jika kita menunda shalat, kita merugikan hari kedua kita. Jika kita menunda sedekah, kita kehilangan peluang untuk menambal kekurangan di hari pertama.
Intinya, nasihat Ali bin Abi Thalib ini adalah panggilan untuk kesadaran waktu. Dunia ini adalah persinggahan sementara, sebuah tempat transit. Kita tidak menghabiskan waktu hanya untuk menikmati perjalanan, tetapi untuk mempersiapkan bekal terbaik sebelum tiba di tujuan akhir yang kekal. Dengan memahami bahwa waktu yang kita miliki sangat terbatas (cuma dua hari), kita dipaksa untuk hidup secara otentik, penuh tujuan, dan selalu dalam keadaan siap menghadapi perhitungan. Jadikanlah hari ini, hari kedua kita, sebaik-baiknya bekal untuk menghadapi hari esok yang sesungguhnya.