Kelas Berapa yang Mengikuti Asesmen Nasional? Mengungkap Jawabannya Secara Tuntas
Di tengah dinamika dunia pendidikan Indonesia, muncul sebuah sistem evaluasi baru yang mengubah paradigma lama, yaitu Asesmen Nasional atau yang lebih akrab disapa AN. Kehadirannya menggantikan Ujian Nasional (UN) yang selama bertahun-tahun menjadi tolok ukur kelulusan siswa. Pergeseran ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan siswa, orang tua, dan bahkan para pendidik. Salah satu pertanyaan paling mendasar dan sering terdengar adalah: “Sebenarnya, kelas berapa yang mengikuti Asesmen Nasional?”
Pertanyaan ini sederhana, namun jawabannya jauh lebih kompleks dan mendalam daripada sekadar menyebutkan satu atau dua jenjang kelas. Jawaban atas pertanyaan ini membuka jendela pemahaman kita tentang tujuan fundamental Asesmen Nasional itu sendiri. Ini bukan sekadar tentang siapa yang diuji, tetapi tentang mengapa mereka yang dipilih, dan untuk tujuan apa evaluasi ini dilakukan. Artikel ini akan mengupas tuntas, lapis demi lapis, untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai peserta Asesmen Nasional, filosofi di baliknya, dan bagaimana instrumen ini dirancang untuk memotret dan memperbaiki kualitas pendidikan di seluruh nusantara.
Memahami Esensi Asesmen Nasional: Sebuah Paradigma Baru
Sebelum kita menjawab secara langsung jenjang kelas mana yang menjadi peserta, sangat penting untuk memahami terlebih dahulu apa itu Asesmen Nasional. Tanpa pemahaman ini, alasan di balik pemilihan peserta akan terasa mengambang dan tidak logis. Asesmen Nasional adalah sebuah program evaluasi yang dirancang oleh pemerintah untuk memetakan mutu sistem pendidikan pada tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah. Kata kuncinya di sini adalah "memetakan mutu sistem".
Ini adalah perbedaan paling fundamental antara Asesmen Nasional (AN) dengan Ujian Nasional (UN). Mari kita bedah perbedaannya:
- Fokus Evaluasi: UN berfokus pada evaluasi individu siswa. Nilai UN melekat pada nama setiap siswa dan digunakan sebagai salah satu syarat kelulusan dan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebaliknya, AN berfokus pada evaluasi sistem pendidikan di sebuah sekolah. Hasil AN tidak melaporkan skor individu siswa, melainkan menjadi gambaran atau potret kualitas pembelajaran di sekolah tersebut.
- Tujuan Akhir: Tujuan akhir UN adalah untuk mengukur pencapaian akademik siswa di akhir jenjang pendidikan. Sifatnya adalah assessment of learning (penilaian atas apa yang telah dipelajari). Sementara itu, AN bertujuan untuk menjadi dasar perbaikan proses belajar-mengajar. Sifatnya lebih ke arah assessment for learning (penilaian untuk perbaikan pembelajaran) dan assessment as learning (penilaian sebagai bagian dari proses belajar).
- Konsekuensi: UN memiliki konsekuensi yang tinggi (high-stakes) bagi siswa, karena menentukan kelulusan. AN dirancang sebagai asesmen yang rendah konsekuensi (low-stakes) bagi siswa. Tidak ada istilah "lulus" atau "tidak lulus" AN. Hasilnya tidak akan memengaruhi nilai rapor, kelulusan, atau kesempatan siswa untuk melanjutkan pendidikan.
Dengan memahami perbedaan mendasar ini, kita bisa mulai melihat bahwa AN bukanlah sebuah "ujian" dalam artian tradisional. Ia lebih menyerupai sebuah "diagnosis" atau "check-up" kesehatan untuk sebuah sekolah. Seperti halnya dokter yang melakukan serangkaian tes untuk mengetahui kondisi kesehatan pasien agar bisa memberikan resep yang tepat, AN melakukan serangkaian pengukuran untuk mengetahui kondisi "kesehatan" sebuah sekolah agar pemerintah dan sekolah itu sendiri dapat merancang program perbaikan yang efektif.
Asesmen Nasional berdiri di atas tiga pilar utama yang saling melengkapi untuk memberikan gambaran yang holistik:
- Asesmen Kompetensi Minimum (AKM): Mengukur hasil belajar kognitif yang paling mendasar, yaitu literasi membaca dan literasi numerasi.
- Survei Karakter: Mengukur hasil belajar sosial-emosional, yang mengacu pada Profil Pelajar Pancasila.
- Survei Lingkungan Belajar: Mengukur kualitas berbagai aspek input dan proses belajar-mengajar di sekolah, seperti iklim keamanan, inklusivitas, dan praktik pengajaran guru.
Ketiga instrumen ini bekerja bersama untuk menjawab pertanyaan: "Sejauh mana sebuah sekolah berhasil mengembangkan kompetensi literasi-numerasi, membentuk karakter siswa, dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif?" Jawaban atas pertanyaan inilah yang menjadi Rapor Pendidikan bagi setiap sekolah.
Fokus Utama: Siapa Saja Peserta Asesmen Nasional?
Setelah memahami fondasi dan tujuan Asesmen Nasional, kini kita siap untuk menjawab pertanyaan utama. Peserta Asesmen Nasional tidak hanya terdiri dari siswa, tetapi juga melibatkan pendidik dan kepala satuan pendidikan. Mereka semua adalah bagian dari ekosistem sekolah yang potretnya ingin diambil. Secara spesifik, pesertanya adalah:
- Siswa pada jenjang kelas 5, 8, dan 11.
- Seluruh Guru.
- Seluruh Kepala Satuan Pendidikan (Kepala Sekolah).
Mari kita bedah satu per satu mengapa kelompok-kelompok inilah yang dipilih dan apa peran mereka masing-masing dalam Asesmen Nasional.
1. Siswa: Kelas 5, 8, dan 11 sebagai "Titik Tengah" Strategis
Inilah inti dari jawaban yang paling dicari. Mengapa bukan kelas 6, 9, atau 12 yang berada di akhir jenjang? Pemilihan kelas 5 (untuk jenjang SD/sederajat), kelas 8 (untuk jenjang SMP/sederajat), dan kelas 11 (untuk jenjang SMA/SMK/sederajat) adalah sebuah keputusan yang sangat strategis dan penuh pertimbangan. Alasan utamanya adalah untuk menjadikan hasil asesmen sebagai alat umpan balik perbaikan, bukan sebagai vonis di akhir perjalanan.
Pemilihan jenjang kelas di tengah (middle grade) bertujuan untuk memotret dampak dari proses pembelajaran yang telah berlangsung dan memberikan waktu bagi sekolah untuk melakukan perbaikan sebelum siswa tersebut lulus.
Mengapa Kelas 5 (SD/MI/Sederajat)?
Siswa kelas 5 telah menjalani sebagian besar kurikulum pendidikan dasar. Mereka dianggap sudah cukup matang untuk mengerjakan soal-soal AKM yang menuntut kemampuan bernalar. Yang terpenting, setelah Asesmen Nasional dilaksanakan, para siswa ini masih memiliki satu tahun lagi di sekolah tersebut. Hasil AN yang diterima sekolah pada tahun berjalan dapat digunakan sebagai dasar untuk memperbaiki strategi pembelajaran, materi ajar, dan pendekatan kepada siswa. Perbaikan ini akan dirasakan dampaknya oleh siswa peserta AN itu sendiri di kelas 6, dan juga menjadi bekal bagi sekolah untuk menyambut adik-adik kelas mereka dengan kualitas pengajaran yang lebih baik. Jika asesmen dilakukan di kelas 6, sekolah tidak lagi memiliki kesempatan untuk memberikan "intervensi perbaikan" kepada angkatan tersebut karena mereka akan segera lulus.
Mengapa Kelas 8 (SMP/MTs/Sederajat)?
Logika yang sama persis berlaku untuk siswa kelas 8. Mereka berada di titik tengah jenjang pendidikan menengah pertama. Mereka telah merasakan proses pembelajaran di SMP selama hampir dua tahun. Hasil AN yang didapat dari partisipasi mereka akan memberikan informasi berharga bagi sekolah untuk meningkatkan kualitas di sisa satu tahun ajaran mereka. Misalnya, jika hasil AKM menunjukkan kemampuan literasi siswa masih perlu ditingkatkan, sekolah punya waktu satu tahun penuh untuk merancang program-program literasi yang intensif sebelum siswa-siswa ini menghadapi jenjang pendidikan selanjutnya. Ini adalah kesempatan emas untuk "memperbaiki" sebelum terlambat, sebuah kemewahan yang tidak ada jika asesmen dilakukan di kelas 9.
Mengapa Kelas 11 (SMA/MA/SMK/Sederajat)?
Di jenjang pendidikan menengah atas, kelas 11 menjadi pilihan yang logis. Melaksanakan asesmen di kelas 11 akan mengurangi tekanan psikologis yang biasanya membebani siswa kelas 12, yang sudah fokus pada persiapan kelulusan dan seleksi perguruan tinggi. Dengan demikian, siswa dapat mengerjakan AN dengan lebih tenang dan jujur, sehingga data yang dihasilkan lebih valid. Sama seperti jenjang sebelumnya, sekolah mendapatkan umpan balik yang sangat berharga. Sekolah dapat mengevaluasi apakah program-program pengajaran selama dua tahun pertama telah efektif dalam membangun kompetensi nalar dan karakter. Hasil ini dapat digunakan untuk memoles dan menyempurnakan pembelajaran di kelas 12, mempersiapkan siswa tidak hanya untuk lulus, tetapi juga untuk kehidupan setelah sekolah, baik itu di dunia kerja maupun di perguruan tinggi.
2. Metode Pemilihan Siswa: Sampling, Bukan Sensus
Fakta penting lainnya adalah tidak semua siswa di kelas 5, 8, dan 11 akan mengikuti Asesmen Nasional. Berbeda dengan UN yang bersifat sensus (diikuti seluruh siswa di tingkat akhir), AN menggunakan metode sampling (pemilihan sampel). Sampel siswa ini dipilih secara acak oleh sistem dari Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
Mengapa menggunakan sampel? Tujuannya adalah efisiensi dan representasi. Untuk mendapatkan potret mutu sebuah sekolah, tidak perlu menguji setiap siswa. Sama seperti seorang peneliti yang hanya membutuhkan beberapa tetes darah untuk mengetahui kondisi seluruh tubuh, AN hanya membutuhkan sampel siswa yang representatif untuk memotret kondisi sekolah. Hal ini mengurangi beban logistik, biaya, dan waktu pelaksanaan secara signifikan.
Jumlah sampel yang diambil bervariasi tergantung jenjangnya:
- SD/MI/Sederajat: Maksimal 30 siswa utama dan 5 siswa cadangan.
- SMP/MTs/Sederajat: Maksimal 45 siswa utama dan 5 siswa cadangan.
- SMA/MA/SMK/Sederajat: Maksimal 45 siswa utama dan 5 siswa cadangan.
Bagaimana jika jumlah siswa di kelas tersebut kurang dari batas maksimal? Jika demikian, maka seluruh siswa di kelas tersebut akan menjadi peserta Asesmen Nasional. Pemilihan secara acak oleh sistem juga bertujuan untuk menjaga objektivitas. Sekolah tidak bisa memilih siswa-siswa "terpintar" saja untuk mengikuti AN, karena hal itu akan menghasilkan potret yang tidak akurat dan menipu diri sendiri.
3. Peran Guru dan Kepala Sekolah dalam Survei Lingkungan Belajar
Seperti yang telah disebutkan, siswa bukanlah satu-satunya peserta. Seluruh guru dan kepala sekolah di setiap satuan pendidikan juga wajib berpartisipasi. Namun, partisipasi mereka berbeda. Mereka tidak mengerjakan soal AKM Literasi dan Numerasi. Sebaliknya, mereka menjadi responden untuk Survei Lingkungan Belajar.
Survei ini sangat krusial. Jika AKM dan Survei Karakter memotret "hasil" (output) dari pendidikan, maka Survei Lingkungan Belajar memotret "proses" dan "input"-nya. Guru dan kepala sekolah adalah pihak yang paling memahami seluk-beluk kondisi internal sekolah. Melalui survei ini, mereka memberikan perspektif mereka mengenai:
- Kualitas Pembelajaran: Bagaimana praktik pengajaran di kelas, apakah sudah berpusat pada siswa, apakah ada diskusi yang memicu nalar kritis?
- Refleksi dan Perbaikan oleh Guru: Apakah para guru terbiasa merefleksikan cara mengajarnya dan mau terus belajar untuk memperbaikinya?
- Kepemimpinan Instruksional: Bagaimana peran kepala sekolah dalam memandu dan mendukung para guru untuk meningkatkan kualitas pengajaran?
- Iklim Keamanan Sekolah: Apakah sekolah merupakan tempat yang aman dari perundungan (bullying), kekerasan seksual, dan intoleransi?
- Iklim Inklusivitas: Apakah sekolah menerima dan menghargai keberagaman latar belakang sosial-ekonomi, agama, dan gender? Apakah siswa dengan kebutuhan khusus mendapatkan layanan yang semestinya?
Data dari Survei Lingkungan Belajar ini menjadi cermin bagi sekolah. Ketika data ini digabungkan dengan hasil AKM dan Survei Karakter siswa, akan muncul sebuah gambaran yang utuh. Misalnya, sebuah sekolah mungkin mendapati hasil AKM siswanya rendah. Melalui data Survei Lingkungan Belajar, mereka bisa jadi menemukan bahwa iklim keamanan sekolahnya kurang baik, banyak terjadi perundungan, sehingga siswa tidak bisa belajar dengan tenang. Tanpa data dari guru dan kepala sekolah, akar masalah ini mungkin tidak akan pernah terungkap.
Mengupas Tuntas Instrumen Asesmen Nasional
Untuk melengkapi pemahaman kita, mari kita selami lebih dalam ketiga instrumen yang dihadapi oleh para peserta Asesmen Nasional.
Asesmen Kompetensi Minimum (AKM): Mengukur Kemampuan Bernalar
AKM adalah bagian yang paling sering disalahpahami sebagai pengganti UN. Padahal, fokusnya sangat berbeda. AKM tidak menguji penguasaan konten mata pelajaran tertentu (seperti Biologi, Ekonomi, atau Sejarah). AKM mengukur dua kompetensi fundamental yang lintas mata pelajaran dan dibutuhkan sepanjang hayat.
1. Literasi Membaca
Ini bukan sekadar kemampuan membaca kalimat. Literasi Membaca dalam AKM didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami, menggunakan, mengevaluasi, dan merefleksikan berbagai jenis teks untuk menyelesaikan masalah dan mengembangkan kapasitas individu sebagai warga Indonesia dan warga dunia. Soal-soalnya akan menyajikan beragam teks, mulai dari artikel berita, infografis, petunjuk penggunaan, hingga kutipan sastra. Siswa kemudian diminta untuk:
- Menemukan informasi: Mencari detail spesifik yang tersurat dalam teks.
- Menginterpretasi dan mengintegrasikan: Memahami ide pokok, menyimpulkan, dan menghubungkan informasi antar bagian teks.
- Mengevaluasi dan merefleksi: Menilai kredibilitas teks, menganalisis argumen penulis, dan menghubungkan isi teks dengan pengalaman pribadi.
2. Literasi Numerasi
Sama halnya dengan literasi membaca, numerasi bukanlah sekadar matematika atau kemampuan berhitung. Numerasi adalah kemampuan untuk menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah sehari-hari dalam berbagai konteks yang relevan. Soal AKM Numerasi tidak akan berbentuk soal matematika murni seperti "Hitunglah akar dari X!". Sebaliknya, soal akan menyajikan masalah kontekstual, misalnya:
- Menghitung diskon belanja di supermarket.
- Membaca dan menginterpretasi grafik data pertumbuhan penduduk.
- Mengukur dan memperkirakan kebutuhan bahan untuk membuat kue.
- Memahami konsep peluang dalam sebuah permainan.
Baik literasi maupun numerasi, keduanya menguji kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS), yaitu kemampuan analisis, evaluasi, dan kreasi, bukan sekadar hafalan.
Survei Karakter: Memotret Wajah Pelajar Pancasila
Pendidikan tidak hanya bertujuan untuk mencerdaskan, tetapi juga untuk membentuk karakter yang luhur. Inilah peran Survei Karakter. Instrumen ini dirancang untuk mengukur sejauh mana penerapan nilai-nilai Pancasila telah menjadi bagian dari sikap dan perilaku siswa. Survei ini mengacu pada enam dimensi Profil Pelajar Pancasila:
- Beriman, Bertakwa kepada Tuhan YME, dan Berakhlak Mulia: Mencakup akhlak kepada agama, pribadi, manusia, alam, dan negara.
- Berkebinekaan Global: Kemampuan untuk mengenal dan menghargai budaya lain, serta berkomunikasi secara interkultural.
- Bergotong Royong: Kemampuan untuk berkolaborasi, berbagi, dan peduli terhadap sesama.
- Mandiri: Memiliki kesadaran akan diri dan situasi, serta mampu meregulasi diri sendiri.
- Bernalar Kritis: Kemampuan untuk memperoleh dan memproses informasi secara objektif, menganalisis, mengevaluasi, dan menyimpulkan.
- Kreatif: Kemampuan untuk menghasilkan gagasan atau karya yang orisinal dan bermanfaat.
Siswa akan diberikan serangkaian pernyataan atau situasi, dan mereka diminta untuk memberikan respons yang paling sesuai dengan diri mereka. Tidak ada jawaban benar atau salah dalam survei ini. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran yang jujur tentang karakter yang telah terbentuk melalui proses pendidikan di sekolah.
Survei Lingkungan Belajar: Mengintip Dapur Sekolah
Seperti yang telah dijelaskan, instrumen ini diisi oleh seluruh guru dan kepala sekolah. Survei ini ibarat sebuah kuesioner mendalam yang menggali informasi tentang kualitas "dapur" tempat proses pendidikan "dimasak". Hasilnya memberikan konteks yang sangat penting untuk memahami mengapa hasil belajar siswa bisa tinggi atau rendah. Jika sebuah sekolah memiliki lingkungan belajar yang positif—aman, mendukung, inklusif, dengan guru-guru yang reflektif dan kepala sekolah yang visioner—maka besar kemungkinan hasil AKM dan karakter siswanya juga akan baik, dan sebaliknya. Data ini memberdayakan sekolah untuk melakukan perbaikan dari akarnya, bukan hanya di permukaannya saja.
Manfaat dan Implikasi Hasil Asesmen Nasional
Setelah mengetahui siapa pesertanya dan apa saja yang diukur, pertanyaan selanjutnya adalah, untuk apa semua data ini? Apa manfaatnya?
Penting untuk menggarisbawahi sekali lagi: Hasil Asesmen Nasional tidak memiliki konsekuensi langsung bagi individu. Siswa yang mengikuti AN tidak akan menerima skor pribadi. Nama mereka tidak akan dicantumkan dalam laporan. Hasil ini tidak akan memengaruhi nilai rapor atau kelulusan mereka. Begitu pula dengan guru dan kepala sekolah, hasil survei mereka bersifat anonim dan agregat, tidak digunakan untuk penilaian kinerja individu.
Manfaat utama dari hasil AN adalah untuk refleksi dan perencanaan perbaikan di tingkat satuan pendidikan dan daerah. Seluruh hasil akan dirangkum dalam sebuah platform yang disebut Rapor Pendidikan. Rapor ini berfungsi sebagai berikut:
- Bagi Sekolah: Rapor Pendidikan menjadi cermin yang menunjukkan kekuatan dan kelemahan sekolah secara komprehensif. Kepala sekolah dan guru dapat menggunakannya untuk mengidentifikasi area prioritas yang perlu diperbaiki. Misalnya, jika rapor menunjukkan bahwa kemampuan numerasi siswa rendah dan iklim keamanan sekolah perlu ditingkatkan, maka sekolah dapat memfokuskan sumber dayanya untuk merancang program pelatihan guru matematika dan program anti-perundungan. Ini adalah langkah menuju pengambilan keputusan berbasis data (data-driven decision making).
- Bagi Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan): Dinas Pendidikan mendapatkan peta mutu pendidikan di seluruh wilayahnya. Mereka dapat melihat sekolah mana yang membutuhkan dukungan lebih intensif dan jenis dukungan apa yang paling relevan. Data ini membantu pemerintah daerah untuk merancang kebijakan, program pelatihan, dan alokasi anggaran yang lebih tepat sasaran.
- Bagi Pemerintah Pusat (Kementerian): Di tingkat nasional, data AN memberikan gambaran besar tentang kesehatan sistem pendidikan Indonesia. Ini menjadi dasar untuk merumuskan kebijakan pendidikan nasional yang lebih efektif dan relevan dengan kebutuhan nyata di lapangan.
Secara jangka panjang, Asesmen Nasional diharapkan dapat mendorong terjadinya pergeseran budaya di dunia pendidikan. Dari budaya yang berorientasi pada skor dan peringkat, menjadi budaya yang berorientasi pada proses perbaikan yang berkelanjutan. Dari fokus pada hafalan konten, menjadi fokus pada pengembangan kompetensi nalar dan karakter yang esensial untuk masa depan.
Kesimpulan: Sebuah Jawaban yang Holistik
Jadi, untuk kembali ke pertanyaan awal: kelas berapa yang mengikuti Asesmen Nasional? Jawabannya adalah sebuah ekosistem, bukan sekadar satu jenjang kelas. Pesertanya adalah:
Siswa kelas 5, kelas 8, dan kelas 11 yang dipilih secara acak, serta seluruh guru dan kepala sekolah di setiap satuan pendidikan dasar dan menengah.
Pemilihan peserta ini bukanlah tanpa alasan. Ini adalah sebuah desain cerdas yang bertujuan untuk mengubah fungsi evaluasi dari sekadar alat penghakiman menjadi motor penggerak perbaikan. Dengan melibatkan siswa di pertengahan jenjang, Asesmen Nasional memberikan kesempatan bagi sekolah untuk berbenah dan memberikan dampak positif yang masih bisa dirasakan oleh angkatan siswa yang sama. Dengan melibatkan guru dan kepala sekolah, asesmen ini menggali hingga ke akar proses pembelajaran untuk menemukan penyebab dari setiap tantangan.
Asesmen Nasional adalah sebuah undangan bagi seluruh insan pendidikan untuk bersama-sama bercermin, mengidentifikasi tantangan, dan merencanakan langkah-langkah perbaikan secara kolaboratif. Ini adalah wujud dari sebuah paradigma baru, di mana kualitas pendidikan tidak lagi diukur dari skor individu di akhir perjalanan, melainkan dari kemampuan sistem untuk terus belajar, beradaptasi, dan berkembang demi masa depan generasi penerus bangsa.