Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu kesayangan Nabi Muhammad SAW, adalah figur yang diselimuti oleh keberanian luar biasa, ilmu pengetahuan yang mendalam, dan kesetiaan tanpa batas. Namun, di balik citra pahlawan yang tak kenal takut itu, tersembunyi kisah kepahitan hidup yang panjang dan mendalam, terutama setelah wafatnya Rasulullah. Kisah kepahitan ini bukan sekadar tentang perang fisik, melainkan luka batin akibat pilihan politik dan perpecahan umat yang ia cintai.
Salah satu sumber kepahitan terbesar bagi Ali adalah peristiwa setelah Baiat di Saqifah. Meskipun banyak riwayat menyatakan bahwa Nabi telah memberikan isyarat kuat mengenai keutamaan dan kepemimpinan Ali, kenyataan pahit yang dihadapinya adalah ia harus menahan diri selama dua puluh lima tahun. Ia menyaksikan bagaimana kepemimpinan berpindah kepada tiga khalifah sebelum dirinya. Periode penantian ini bukanlah kemalasan; sebaliknya, itu adalah bentuk pengorbanan tertinggi demi menjaga kesatuan umat Islam. Setiap hari tanpa memegang kendali pemerintahan adalah hari di mana ia menahan lidahnya dari klaim haknya, demi menghindari pertumpahan darah yang akan melemahkan fondasi Islam yang baru berdiri.
Kepahitan ini diperparah oleh fakta bahwa meskipun ia adalah gudang ilmu dan penasihat terdekat Rasulullah, pandangan dan usulan terbaiknya sering kali baru diakui kebenarannya setelah tragedi atau kekeliruan terjadi. Ini menciptakan jarak emosional antara kecemerlangan pemikiran Ali dan posisi strukturalnya dalam pemerintahan awal.
Ketika akhirnya Ali terpilih menjadi Khalifah keempat, ia tidak mewarisi masa keemasan yang damai. Sebaliknya, ia mewarisi umat yang telah terkoyak oleh ketidakpuasan, intrik politik, dan tuduhan-tuduhan yang beredar pasca-kematian khalifah sebelumnya. Kepahitan Ali memuncak ketika ia dipaksa untuk memerangi saudara-saudaranya sendiri dalam tiga peperangan besar: Jamal, Shiffin, dan Nahrawan.
Perang Shiffin adalah ujian terberat. Berperang melawan Muawiyah bin Abi Sufyan berarti Ali harus menghadapi faksi besar umat Islam yang menuntut balas atas kematian Utsman. Bagi Ali, setiap pedang yang terhunus di medan perang itu terasa seperti menusuk jantungnya sendiri, karena ia tahu bahwa setiap tetes darah Muslim yang tertumpah adalah kegagalan kolektif dalam menjaga persaudaraan yang diajarkan Nabi. Ia menghadapi orang-orang yang sangat menghormatinya, namun kini berdiri di kubu yang berlawanan atas dasar interpretasi politik.
Kepahitan Ali juga datang dari dalam barisannya sendiri. Kaum Khawarij, kelompok yang awalnya mendukungnya namun kemudian menolaknya karena menerima hasil perundingan dengan Muawiyah, berubah menjadi musuh bebuyutan yang paling berbahaya. Mereka adalah orang-orang yang pernah shalat di belakangnya, yang hafal Al-Qur'an, namun kini menganggap Ali sebagai murtad. Kenyataan bahwa orang-orang yang paling dekat dengan ajaran agama (menurut pemahaman mereka) justru menjadi pengkhianat paling kejam adalah luka batin yang sulit disembuhkan.
Di akhir hayatnya, Ali sering kali dikenal karena kesedihannya yang mendalam, yang tercermin dalam banyak khutbahnya di Nahj al-Balaghah. Ia meratapi hilangnya keharmonisan dan rasa keterasingan di tengah umat yang seharusnya ia pimpin menuju keadilan sejati. Ia merasa sendirian dalam upayanya menegakkan standar moralitas Islam yang tinggi, sebuah standar yang tampak terlalu berat bagi kebanyakan orang pada masa itu.
Kepahitan hidup Ali bin Abi Thalib mencapai klimaksnya ketika ia dibunuh saat sedang sujud dalam shalat Subuh di Masjid Kufah. Tokoh yang dikenal sebagai Gerbang Ilmu dan benteng pertahanan Islam ini wafat bukan di medan perang melawan musuh luar, melainkan dibunuh oleh salah satu pengikutnya sendiri, seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Kematian yang tragis ini adalah penutup pahit bagi kehidupan yang didedikasikan sepenuhnya untuk menegakkan kebenaran, sebuah warisan kesetiaan yang mahal harganya. Kepahitan hidupnya menjadi pelajaran abadi tentang betapa mahalnya menjaga persatuan dan betapa pedihnya melihat idealisme diuji oleh realitas politik.