Ketentuan Allah

Dalam perjalanan hidup yang terbentang luas, setiap insan akan menemui persimpangan jalan, tanjakan terjal, turunan curam, serta dataran yang lapang. Ada kalanya tawa membahana memenuhi rongga dada, ada masanya air mata mengalir membasahi pipi. Kita merencanakan, kita berusaha, kita berharap. Namun, di atas segala rencana dan usaha manusia, ada sebuah skenario agung yang telah tertulis, sebuah ketetapan yang pasti berlaku. Inilah yang kita kenal sebagai Ketentuan Allah. Memahaminya bukan berarti menyerah pada nasib, melainkan menemukan kekuatan, kedamaian, dan tujuan sejati dalam setiap helaan napas.

Konsep ketentuan Allah, atau yang dalam terminologi Islam dikenal sebagai iman kepada Qada dan Qadar, adalah salah satu pilar fundamental akidah seorang muslim. Ia adalah sauh yang menambatkan kapal jiwa di tengah badai kehidupan, lentera yang menerangi jalan di kala gulita, dan kompas yang mengarahkan hati untuk senantiasa kembali kepada Sang Pencipta. Mengimaninya secara benar akan melahirkan ketenangan yang tak tergoyahkan, keberanian yang tak kenal takut, dan optimisme yang tak pernah padam. Ini adalah kunci untuk membuka gerbang kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.

Artikel ini akan mengajak kita untuk menyelami lebih dalam makna di balik ketentuan Allah, menyingkap hikmah-hikmah indah yang tersembunyi di dalamnya, serta merumuskan sikap terbaik yang seharusnya dimiliki seorang hamba dalam menyikapi segala yang terjadi dalam hidupnya. Ini bukan sekadar pembahasan teologis yang kaku, melainkan sebuah refleksi untuk menemukan kembali esensi penyerahan diri (Islam) yang sesungguhnya.

Definisi dan Ruang Lingkup Ketentuan Allah

Untuk memahami konsep ini secara utuh, penting bagi kita untuk membedah beberapa istilah kunci yang menjadi fondasinya. Seringkali, istilah Qada dan Qadar digunakan secara bergantian, padahal keduanya memiliki nuansa makna yang sedikit berbeda namun saling terkait erat, laksana dua sisi dari satu koin yang sama.

Membedah Makna Qada dan Qadar

Qadar secara bahasa berarti ukuran, kadar, atau batasan. Dalam konteks akidah, Qadar adalah ketetapan Allah yang bersifat azali (ada tanpa permulaan) yang mencakup segala sesuatu yang akan terjadi hingga akhir zaman. Ia adalah cetak biru (blueprint) agung dari alam semesta. Allah dengan ilmu-Nya yang Maha Meliputi telah mengetahui, menetapkan, dan mengukur segala sesuatu—mulai dari pergerakan galaksi hingga detak jantung seekor semut, dari takdir sebuah bangsa hingga pilihan yang akan kita ambil sedetik kemudian. Semua ini telah tertulis di dalam sebuah kitab yang terpelihara, yaitu Lauh Mahfuzh.

Qada, di sisi lain, secara bahasa berarti keputusan, hukum, atau pelaksanaan. Dalam konteks akidah, Qada adalah realisasi atau perwujudan dari Qadar yang telah ditetapkan sebelumnya. Jika Qadar adalah rencananya, maka Qada adalah pelaksanaannya. Ketika sesuatu yang telah tertulis dalam Lauh Mahfuzh itu terjadi di alam nyata, itulah yang disebut Qada. Misalnya, Allah telah menetapkan dalam Qadar-Nya bahwa seseorang akan lahir pada waktu tertentu, hidup selama sekian tahun, dan wafat pada saat yang ditentukan. Maka, peristiwa kelahiran, perjalanan hidup, dan kematian orang tersebut adalah Qada dari Allah.

Keduanya tidak dapat dipisahkan. Tidak ada Qada (pelaksanaan) tanpa Qadar (ketetapan) sebelumnya, dan setiap Qadar pada akhirnya akan diwujudkan menjadi Qada sesuai dengan kehendak Allah. Mengimani keduanya berarti meyakini bahwa segala peristiwa di alam semesta ini, baik besar maupun kecil, terjadi atas dasar ilmu, kehendak, dan penciptaan Allah SWT.

"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."

Empat Pilar Iman kepada Qadar

Para ulama merincikan bahwa keimanan yang benar terhadap Qadar harus mencakup empat pilar utama. Keimanan seseorang tidak akan sempurna kecuali ia meyakini keempat pilar ini secara menyeluruh.

  1. Al-'Ilm (Ilmu): Mengimani bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu, baik yang telah terjadi, yang sedang terjadi, yang akan terjadi, maupun yang tidak terjadi—Allah tahu bagaimana jadinya jika ia terjadi. Ilmu-Nya tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Dia mengetahui apa yang tersembunyi di lubuk hati terdalam, jumlah tetesan hujan yang jatuh, dan helai daun yang gugur di kegelapan malam.
  2. Al-Kitabah (Pencatatan): Mengimani bahwa Allah telah menuliskan takdir segala sesuatu di Lauh Mahfuzh jauh sebelum penciptaan langit dan bumi. Catatan ini sempurna, detail, dan tidak pernah berubah. Ini menunjukkan betapa teraturnya skenario ilahi dan betapa agungnya kekuasaan-Nya.
  3. Al-Masyi'ah (Kehendak): Mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah atas kehendak (iradah) Allah yang mutlak. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi. Tidak ada satu pun peristiwa, baik itu ketaatan seorang hamba, kemaksiatan seorang pendosa, atau fenomena alam, yang terjadi di luar kehendak-Nya.
  4. Al-Khalq (Penciptaan): Mengimani bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta (Al-Khaliq). Segala sesuatu selain Allah adalah makhluk. Ini mencakup zat, sifat, dan perbuatan makhluk itu sendiri. Allah menciptakan hamba dan juga perbuatan yang dilakukan oleh hamba tersebut.

Apakah Manusia Memiliki Kehendak Bebas?

Ini adalah pertanyaan fundamental yang sering muncul ketika membahas takdir. Jika semua telah ditentukan dan diciptakan oleh Allah, di manakah letak tanggung jawab manusia? Apakah kita seperti robot yang hanya menjalankan program?

Ahlus Sunnah wal Jama'ah meyakini pandangan pertengahan yang adil. Benar bahwa Allah adalah Pencipta perbuatan kita, namun Dia juga memberikan kepada kita kemampuan untuk memilih dan berkehendak (ikhtiyar). Allah menciptakan perbuatan kita, tetapi kita adalah pelaku dari perbuatan tersebut berdasarkan pilihan kita sendiri. Analoginya, Allah menciptakan api dengan sifat membakar. Ketika seseorang memilih untuk menyalakan api dan membakar sesuatu, maka Allah-lah yang menciptakan proses pembakaran itu, tetapi manusialah yang memilih untuk melakukannya dan bertanggung jawab atas akibatnya.

Kita merasakan dengan jelas dalam diri kita bahwa kita memiliki kemampuan untuk memilih antara berjalan ke masjid atau ke tempat maksiat, antara berbicara jujur atau berdusta, antara menolong atau mengabaikan. Pilihan inilah yang menjadi dasar adanya pahala dan dosa, surga dan neraka. Ilmu Allah yang azali mengenai pilihan yang akan kita ambil tidak menafikan bahwa kita sendiri yang membuat pilihan itu pada waktunya. Allah mengetahui, bukan memaksa. Oleh karena itu, bersembunyi di balik dalih takdir untuk membenarkan kemaksiatan adalah sebuah kesesatan, karena Allah juga telah memberikan kita akal dan petunjuk melalui para rasul untuk memilih jalan yang benar.

Hikmah Agung di Balik Setiap Ketentuan Allah

Seringkali, akal manusia yang terbatas ini gagal memahami mengapa suatu peristiwa—terutama yang menyakitkan—harus terjadi. Namun, di balik setiap ketentuan Allah, baik yang tampak baik maupun buruk di mata kita, tersimpan lautan hikmah yang tak terhingga. Mengimani hal ini akan membuka mata hati kita untuk melihat keindahan dalam setiap takdir.

Ujian untuk Meningkatkan Derajat

Salah satu hikmah terbesar dari musibah dan kesulitan adalah sebagai sarana ujian dari Allah untuk mengangkat derajat seorang hamba. Seperti emas yang harus dibakar untuk memisahkannya dari kotoran dan menjadikannya murni, begitu pula seorang mukmin diuji untuk membersihkan jiwanya dan meningkatkan kualitas imannya. Semakin tinggi keimanan seseorang, semakin berat pula ujian yang dihadapinya. Para nabi dan rasul adalah orang-orang yang paling berat cobaannya, menunjukkan bahwa ujian adalah tanda cinta Allah, bukan kemurkaan-Nya.

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta."

Pembersih Dosa dan Kesalahan

Tidak ada manusia yang luput dari dosa. Musibah yang menimpa seorang mukmin, sekecil apa pun itu, bahkan sebatas duri yang menusuk kakinya, dapat menjadi kafarat atau penggugur dosa-dosanya. Kesabaran dalam menghadapi cobaan tersebut akan membersihkan catatan amalnya, sehingga ia dapat bertemu dengan Allah dalam keadaan yang lebih suci. Ini adalah bentuk kasih sayang Allah yang luar biasa. Dia tidak ingin hamba-Nya menanggung beban dosa yang berat, maka Dia berikan sedikit kesulitan di dunia sebagai pembersih, yang jauh lebih ringan daripada siksaan di akhirat.

Mengajarkan Kerendahan Hati dan Ketergantungan

Ketika manusia berada di puncak kesuksesan, kesehatan, dan kekuatan, seringkali ia lupa diri. Ia merasa bahwa semua itu adalah hasil jerih payahnya semata. Maka, Allah datangkan sakit, kegagalan, atau kehilangan untuk menyadarkannya akan kelemahannya. Musibah meruntuhkan tembok keangkuhan dan memaksa kita untuk menengadahkan tangan, mengakui bahwa kita adalah makhluk yang fakir dan sangat bergantung kepada kekuatan Allah Yang Maha Kaya dan Maha Kuasa. Dalam titik terendah itulah, seringkali kita menemukan hubungan yang paling intim dan tulus dengan Tuhan kita.

Menyingkap Kebaikan yang Tersembunyi

Pandangan kita seringkali tertipu oleh penampilan luar. Sesuatu yang kita benci dan anggap sebagai bencana, bisa jadi di dalamnya terkandung kebaikan yang besar. Sebaliknya, sesuatu yang kita sukai dan kejar mati-matian, bisa jadi justru membawa keburukan bagi kita. Allah berfirman, "...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."

Kisah Nabi Yusuf 'alaihissalam adalah contoh sempurna. Dibuang ke dalam sumur, dijual sebagai budak, difitnah, dan dipenjara adalah rangkaian peristiwa yang tampak sangat buruk. Namun, semua itu adalah jalan yang telah Allah tetapkan untuk menjadikannya seorang pemimpin besar di Mesir yang menyelamatkan banyak nyawa dari kelaparan. Kebaikan besar seringkali terbungkus dalam ujian yang pahit.

Mendorong Rasa Syukur saat Mendapat Nikmat

Dengan memahami bahwa nikmat dan musibah sama-sama datang dari Allah, kita akan lebih menghargai setiap karunia yang kita terima. Kesehatan terasa lebih berharga setelah merasakan sakit. Kelapangan terasa lebih nikmat setelah melewati kesempitan. Kesadaran bahwa nikmat ini adalah pemberian murni dari Allah, bukan hak kita, akan melahirkan rasa syukur yang mendalam dan menjauhkan kita dari kesombongan. Kita akan sadar bahwa Allah bisa saja mengambil nikmat itu kapan saja, sehingga kita terdorong untuk memanfaatkannya di jalan yang Dia ridhai.

Sikap Seorang Mukmin Menghadapi Ketentuan Allah

Iman kepada ketentuan Allah bukanlah sekadar keyakinan pasif di dalam hati. Ia harus tercermin dalam sikap, perkataan, dan perbuatan. Ada beberapa sikap fundamental yang menjadi buah dari keimanan yang benar terhadap takdir.

Ridha (Kerelaan Hati)

Ridha adalah tingkatan yang lebih tinggi dari sabar. Jika sabar adalah menahan diri dari keluh kesah, maka ridha adalah menerima ketetapan Allah dengan hati yang lapang dan damai, tanpa ada rasa benci atau protes di dalam kalbu. Seorang yang ridha meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa apa pun yang Allah pilihkan untuknya adalah yang terbaik. Ia melihat setiap peristiwa sebagai manifestasi dari sifat-sifat Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Penyayang. Ridha tidak berarti tidak merasakan kesedihan—karena sedih adalah fitrah manusiawi—tetapi kesedihan itu tidak sampai membuatnya marah atau berprasangka buruk kepada Tuhannya. Inilah puncak ketenangan jiwa.

Sabar (Kesabaran)

Sabar adalah pilar utama dalam menghadapi cobaan. Ia ibarat kepala bagi tubuh iman. Para ulama membagi sabar menjadi tiga jenis:

Kesabaran yang sejati adalah kesabaran pada hentakan pertama musibah, di mana seorang hamba langsung mengembalikan urusannya kepada Allah dengan mengucapkan "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami akan kembali).

Syukur (Rasa Terima Kasih)

Ketika ketentuan Allah berupa nikmat dan kebaikan, maka sikap yang wajib ditunjukkan adalah syukur. Syukur bukan hanya ucapan "Alhamdulillah" di lisan, melainkan sebuah totalitas yang mencakup tiga hal:

Dengan bersyukur, Allah berjanji akan menambah nikmat-Nya. Sebaliknya, mengingkari nikmat akan mendatangkan azab yang pedih.

Ikhtiar (Usaha) dan Doa

Memahami takdir tidak berarti kita hanya duduk berpangku tangan menunggu nasib. Justru, keimanan kepada takdir harus mendorong kita untuk melakukan usaha (ikhtiar) yang maksimal. Seorang petani harus mencangkul, menanam benih, dan mengairi sawahnya. Seorang pelajar harus belajar dengan giat. Seorang yang sakit harus berobat. Semua ini adalah bagian dari mengambil sebab yang telah Allah perintahkan.

Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk "menambatkan unta terlebih dahulu, baru kemudian bertawakal." Usaha adalah wujud dari kepatuhan kita pada sunnatullah (hukum alam) yang telah Allah tetapkan. Namun, kita harus sadar bahwa usaha kita tidak serta-merta menjamin hasil. Hasil akhir sepenuhnya ada di tangan Allah.

Di samping ikhtiar, senjata seorang mukmin yang paling ampuh adalah doa. Doa adalah inti dari ibadah. Dengan berdoa, kita mengakui kelemahan kita dan kekuasaan Allah. Doa bahkan bisa mengubah takdir, dalam artian bahwa Allah telah menetapkan di Lauh Mahfuzh bahwa suatu musibah akan tertolak karena doa yang dipanjatkan oleh seorang hamba. Jadi, ikhtiar dan doa adalah dua sayap yang harus diseimbangkan. Berusaha tanpa berdoa adalah kesombongan, sedangkan berdoa tanpa berusaha adalah angan-angan kosong.

Tawakal (Berserah Diri)

Setelah ikhtiar maksimal telah dilakukan dan doa telah dipanjatkan, maka langkah terakhir adalah tawakal. Tawakal adalah menyandarkan hati sepenuhnya kepada Allah, menyerahkan hasil akhir dari segala urusan kepada-Nya, dan merasa tenang dengan apa pun keputusan-Nya. Tawakal adalah buah dari seluruh sikap sebelumnya. Ia adalah ketenangan yang datang setelah perjuangan, kedamaian yang lahir dari keyakinan bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan usaha hamba-Nya dan pasti akan memberikan yang terbaik, meskipun "yang terbaik" itu tidak selalu sesuai dengan keinginan kita.

Buah Manis Mengimani Ketentuan Allah

Keimanan yang kokoh terhadap takdir Allah akan membuahkan hasil-hasil yang sangat manis dalam kehidupan seorang hamba, membentuk karakter yang tangguh dan jiwa yang damai.

Ketenangan Jiwa yang Hakiki

Orang yang paling gelisah di dunia adalah orang yang hatinya bergantung pada selain Allah. Ia cemas akan masa depan, menyesali masa lalu, dan iri dengan apa yang dimiliki orang lain. Sebaliknya, seorang yang mengimani takdir akan merasakan ketenangan yang luar biasa. Ia tahu bahwa rezekinya tidak akan tertukar, ajalnya tidak akan maju atau mundur sedetik pun, dan apa yang ditakdirkan untuknya tidak akan pernah meleset. Ini membebaskannya dari belenggu kecemasan dan penyesalan yang tidak perlu. Hatinya damai, karena ia tahu bahwa hidupnya berada dalam genggaman Sang Maha Pengatur yang paling bisa dipercaya.

Keberanian dalam Menegakkan Kebenaran

Keyakinan bahwa tidak ada yang bisa memberi manfaat atau mudarat kecuali dengan izin Allah akan melahirkan keberanian yang sejati. Seorang mukmin tidak akan takut kepada celaan manusia dalam menyampaikan kebenaran. Ia tidak akan gentar menghadapi ancaman penguasa yang zalim. Ia yakin bahwa jika seluruh manusia berkumpul untuk mencelakainya, mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali jika Allah telah menetapkannya. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberinya manfaat, mereka pun tidak akan sanggup kecuali atas izin Allah. Inilah sumber keberanian para nabi dan orang-orang saleh sepanjang sejarah.

Optimisme dan Semangat Hidup

Iman kepada takdir bukanlah alasan untuk menjadi pesimis atau malas. Justru sebaliknya. Seorang mukmin selalu optimis. Jika ia mendapat nikmat, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia ditimpa musibah, ia bersabar, dan itu pun baik baginya. Tidak ada kata "putus asa" dalam kamus hidupnya. Setiap kegagalan ia pandang sebagai pelajaran dan penggugur dosa. Setiap kesulitan ia lihat sebagai pintu menuju kemudahan, sesuai janji Allah, "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." Semangat hidupnya tidak pernah padam karena ia tidak bergantung pada hasil duniawi, melainkan pada keridhaan Ilahi.

Sifat Qana'ah dan Jauh dari Iri Hati

Salah satu penyakit hati yang paling merusak adalah iri dan dengki. Penyakit ini muncul dari perasaan tidak puas dengan apa yang Allah berikan dan membanding-bandingkan nasib diri dengan orang lain. Iman kepada takdir adalah obat yang paling mujarab untuk penyakit ini. Ketika kita yakin bahwa Allah telah membagi rezeki dengan adil dan bijaksana, sesuai dengan ilmu-Nya, maka hati kita akan menjadi qana'ah, yaitu merasa cukup dan puas dengan apa yang ada. Kita akan turut bahagia melihat nikmat yang didapat orang lain, karena kita tahu itu adalah bagian dari takdir mereka, dan kita pun memiliki takdir kita sendiri yang sudah sempurna ukurannya.

Fokus pada Tujuan Hidup yang Sebenarnya

Dengan menyerahkan hasil akhir kepada Allah, seorang mukmin dapat memfokuskan seluruh energi dan pikirannya pada hal yang benar-benar berada dalam kendalinya: yaitu niat yang lurus dan proses usaha yang terbaik. Ia tidak lagi terobsesi dengan hasil-hasil duniawi yang fana. Tujuan hidupnya menjadi jernih: beribadah kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya. Sukses dan gagal di mata manusia menjadi relatif. Kesuksesan sejati baginya adalah ketika ia berhasil menjalankan perannya sebagai hamba dengan sebaik-baiknya, apa pun ketentuan Allah yang berlaku atasnya. Hidupnya menjadi lebih bermakna, terarah, dan penuh berkah.


Pada akhirnya, memahami ketentuan Allah adalah sebuah perjalanan seumur hidup. Ia adalah seni menari di antara ikhtiar dan tawakal, antara harapan dan kerelaan, antara tangis kesedihan dan senyum kesyukuran. Ia adalah tentang melihat Tangan Kasih Sayang Allah dalam setiap detail kehidupan, baik yang manis maupun yang pahit. Dengan merangkul takdir-Nya, kita tidak kehilangan kendali atas hidup kita; sebaliknya, kita justru menyerahkan kendali itu kepada Dzat yang paling berhak dan paling mampu untuk mengendalikannya. Dalam penyerahan diri yang total inilah, kita akan menemukan kebebasan, kekuatan, dan kedamaian yang selama ini kita cari. Itulah esensi dari Islam: pasrah dalam damai kepada ketentuan Sang Pencipta.

🏠 Homepage